Pages

Friday, September 20, 2024

SILENTIUM INCARNATUM; Seputar Esa dan Kelahiran Gus Dur


Kata "esa" bisa dimaknai macam-macam. Namun kita harus sadar, pilihan pemaknaannya akan menimbulkan konsekuensi terhadap cara pandang dan perilaku keagamaan kita. 


**
Sabtu, 8 Agustus 2024, aku diundang peringatan hari lahir Gus Dur. Acara ini diselenggarakan di Rumah Rakyat (Rumah Dinas Walikota Mojokerto) oleh adik-adikku yang tergabung dalam Komunitas GUSDURian Mojokerto Raya.

Uniknya, dalam flyer maupun banner acara tidak disebutkan tahun ini merupakan harlah Gus Dur yang keberapa. Rasanya hampir tidak ada satu pun acara ulang tahun yang tidak menyebutkan angka pencapaiannya. 

Kalau kita merayakan ulang tahun ataupun hari jadi perkawinan, kita selalu menyebutkan berapa tahun perjalanan tersebut. Pasti. Yang paling baru, hari ulang tahun kemerdekaan kita; disebutkan yang ke-79 dan selalu konsisten tanggalnya; 17 Agustus. 

Hanya saja harlah Gus Dur sedikit problematik. Terdapat dua versi yang berkembang di masyarakat; tanggal 4 Agustus dan 7 September. 

"#UltahGusDur hari ini? Iya. 7 Sept, hari ulang tahun yang asli. 4 Agt, hari ulang tahun yang legal," kata mbak Alissa Wahid, sulung Gus Dur, seperti dikutip NU Online (4/8/2020). 

Untuk semakin memperumit keadaan, sebenarnya masih ada dua versi lagi tanggal dan tahun kelahiran Gus Dur, meskipun keduanya tidak banyak diketahui dan diperingati masyarakat, menurut situs tersebut. Yakni, 24 September sebagaimana dicatat dalam Ensiklopedia NU, dan 4 Juli 1939 menurut buku "KH Wahid Hasyim Karangan Tersiar"  karya Abubakar Atjeh.

Terhadap dua harlah pertama, keluarga Ciganjur selama ini tidak menunjukkan keberatan. Bahkan, mereka cenderung mengapresiasi siapa saja yang merayakan salah satu atau kedua tanggal tersebut.
Namun bagaimana sikap Ciganjur jika ada yang merayakan harlah Gus Dur berdasarkan dua opsi terakhir tadi?

"Saya kok merasa keluarga Ciganjur tidak akan melarang apalagi menuntut pelakunya secara hukum," ujarku saat ngobrol bersama Belinda dalam acara harlah di Mojokerto. 

Bahkan, tambahkku, seandanya ada temuan lain tanggal dan tahun kelahiran Gus Dur --selain empat opsi tadi -- aku yakin keluarga Ciganjur masih mampu mentoleransinya.

Entah kenapa keluarga tidak berniat membakukan satu opsi saja. Apakah mungkin ini berkaitan dengan ketidakmungkinan lagi Gus Dur mengejar aspek keduniawian yang berkaitan dengan tanggal kelahiran? Semua orang tahu, kepastian tanggal kelahiran berkaitan erat dengan berbagai aspek keduniawian. Misalkan saja, legalitas tindakan hukum --kita tidak bisa mendaftarkan diri sebagai calon gubernur, bupati hingga presiden jika umur kita dianggap tidak mememenuhi syarat. Menurutku, Gus Dur --dan keluarganya (?)-- sudah selesai dengan semua itu.

Dengan sikap yang demikian, kita bisa merasakan bagaimana sosok Gus Dur, yang awalnya berstatus privat --milik keluarga, pelan-pelan telah bertransformasi menjadi milik publik. 

Dengan demikian, sosok yang menawarkan begitu banyak perspektif pembacaan, membiarkan dirinya dibaca dan ditafsirkan sesuai kapasitas masyarakat. Penafsiran ini tentu saja memiliki motivasi yang sama, yakni untuk menyelebrasi, mengeksplorasi kembali kehadiran Gus Dur dalam konteks Indonesia. 

Kelonggaran penafsiran ini tak pelak membuat siapapun, pecinta Gus Dur, bisa leluasa mengekspresikan kecintaannya seturut dengan keyakinannya. Urusannya memang menjadi agak rumit manakala satu kelompok merasa paling benar tafsirnya atas kelahiran Gus Dur dan memaksakan kepada semua pihak. 

Cara luwes atas penafsiran kelahiran Gus Dur aku terapkan saat menjelaskan bagaimana Tuhan idealnya dipersepsikan oleh mereka yang percaya padaNya. 
"Gus Aan, bisakah dijelaskan penafsirannya atas kata esa yang sering disematkan bergandengan dengan kata Tuhan?" tanya Belinda.

Esa kerap dimaknai satu --dalam pemahaman bilangan. Padahal kata satu tersebut lebih tepat direpresentasikan dengan diksi eka. Pasti ada alasan kenapa dipilih kata esa ketimbang eka. 

Mungkin "gugatan," ini sama dengan kenapa Allah dalam al-Quran direpresentasi dengan kata "ahad," ketimbang, misalnya, "wahid," Apa perbedaan "ahad," dan "wahid,"?

Wahid biasanya dimaknai "satu" yang dapat kita bayangkan sebagai sebuah bilangan -- seperti halnya bilangan dua atau tiga. Sedangkan ahad, ia adalah satu yang tidak bisa dibayangkan. Bingung? Itu hal biasa. 

Kembali kepada esa. Kata ini, konon, merupakan serapan dari kata etad, bahasa Sansekerta. Artinya, "seperti itu, sebagaimana adanya," -- Bahasa Inggrisnya; suchness, as it is, as this. 

Dalam koridor ini, Tuhan yang esa berarti "Tuhan ya seperti itu, ya demikian halnya," Dalam istilah Jawa, kata esa dapat diartikan sebagai "tan kena kinaya apa" -- tak dapat disepertikan alias "ya begitu itu,"

Ia tidak bisa dideskripiskan namun ia tidak menolak untuk dideskripsikan. ia memberikan keleluasaan siapapun, yang percaya padanya, untuk menafsirkan eksistensinya dan bagaimana ia dimanifestasikan --sebagaimana Ciganjur bersikap atas kapan Gus Dur dilahirkan.

Jika esa dipahami seperti ini maka implikasinya akan dahsyat, terutama bagi kehidupan toleransi di Indonesia. Masyarakat, apapun agama dan kepercayaanya, diberi ruang oleh pemahaman ini untuk menafsirkan tuhan secara merdeka. 

Dan --ini yang paling penting, alih-alih berpihak pada penafsiran tafsir tertentu atasnya, Tuhan seperti memilih berada dalam posisi pasif; silentium incarnatum -- keheningan yang menjelma. Ia menjelma; ia hadir dalam setiap tafsir yang dipilih secara merdeka oleh manusia. Persis sebagaimana Gus Dur hadir dalam setiap tafsir yang dianut masyarakat atas tanggal kelahirannya.

Saturday, August 24, 2024

Cerita Seru Dari Mundusewu



Dalam seminggu terakhir ini Jombang dihebohkan beberapa peristiwa, mulai dari berita pengkondisian proyek di Diknas, penyegelan Ruko Simpang Tiga yang berimbas pada penutupan Gereja Allah Baik, hingga skandal video intim yang menyeret nama kepala Diknas dan sekretarisnya.

Rasanya tidak ada kabar positif yang aku rasakan hingga datang undangan dari SMP Kristen Petra Jombang. Sekolah ini mengundangku mengisi sesi latihan kepemimpinan dasar untuk siswa-siswinya.

"Bisa ngisi acara kami ya, Gus?" kata mbak Jackly, kepala sekolahnya.
"Dengan senang hati, mbak," ujarku.

Perasaanku membuncah manakala tahu di mana acara akan dilaksanakan. Yakni di dusun Banyuurip Mundusewu Bareng, sebuah wilayah di kaki pegunungan Anjasmoro, dekat Wonosalam.

Jumlah peserta yang terlibat sekitar 100 siswa/i. Separuh lebih merupakan etnis Tionghoa. 

"Mereka nginap di mana, mbak?" tanyaku penasaran.
"Di rumah-rumah warga, Gus," sahut mbak Jacklyn.
"Islam?"
"Iya,"

Aku kaget bercampur rasa senang. Betapa tidak, ini merupakan terobosan luarbiasa yang mungkin baru pertama kali dilakukan sekolah berbasis Kristen di Jombang. Aku senang sekali mendengarnya. 


Di dusun tersebut, mereka akan tinggal selama 2 hari 3 malam, hidup membaur dengan lingkungan yang benar-benar berbeda dari kehidupan mereka sehari-sehari. 

"Saya tadi ikut ngarit. Tangan saya terluka," cerita salah satu siswa disambut derai tawa kawannya.
"Saya dikasih makan kacang panjang," susul lain.
"Saya ikut ke sawah," yang lain tak mau kalah.

Mereka berlomba-lomba menceritakan pengalaman uniknya.

"Saya senang sekali bisa ngajari anak-anak pelajaran IPA," ujar siswi yang aku lupa namanya, mungkin Fransiska.

Selama di sana, siswa/i SMP Kristen Petra memang diarahkan bisa membantu siswa/i SD setempat dalam hal pendidikan. 

Kepada mbak Jacklyn aku angkat topi tinggi. Juga kepada mas Anisah, kepala desa Mundusewu. 

"Keren sampeyan ini, mas," pujiku sedikit berbisik kepadanya ketika kami duduk di depan sebagai narasumber. 


Mas Anis adalah warga GKJW Mindi, salah satu dari tiga gereja yang ada di Mundusewu. Mayoritas penduduk Mundusewu beragama Islam. Kepadaku ia mencerritakan sedikit kisahnya memenangkan pertarungan pilkades. 

Ia menurutku menerapkan kepemimpinan empatif, sejenis model memimpin yang berbasis pada ketulusan perhatian terhadap mereka yang dipimpinnya.

"Tidaklah mungkin orang bisa memimpin empatif jika ia bergaul dengan banyak kalangan dan memiliki nilai-nilai dasar (values) yang diimaninya," ujarku saat memapar materi di hadapan peserta. 

Aku melihat model live in yang diterapkan SMP Kristen Petra pada murid-muridnya merupakan bagian penting membangun karakter kepemimpinan empatif. Dengan berinteraksi di luar lingkungan sehari-hari, para murid akan belajar dan mengalami perjumpaan nyata. 

"Gus, ayo foto dulu," ajak beberapa orang tua siswa yang kebetulan hadir. 

Sebelum ke lokasi acara, aku menyempatkan diri sowan Pdt. Natan. Ia memiliki Gereja Isa Almasih yang berada di Mundusewu. Ia nampak begitu senang aku sowani. Bersama istrinya, kami bertiga membincang banyak hal, tak terkecuali seputar Ishak-Ismail bersama Sarah-Hagar-Abraham. 

"Aku antar ke lokasi acara, Gus," katanya, agak takut aku tersesat di tengah Mundusewu yang sedemikian luas, dingin dan lumayan gelap gulita. 

Kebahagiaanku malam itu terasa sempurna dengan kehadiran Rifan dan Rinto. Keduanya adalah adikku, penggerak GDian di Kandangan Kediri, bersusah payah menembus pekatnya malam melintasi hutan untuk menemuiku. 

Yang tidak aku sangka, Rinto telah menyandang gelar pendeta di GKJW. Ia baru saja ditahbis. 

"Selamat ya, Rinto, senang sekali aku," ujarku memeluknya.


Aku bertemu Rinto saat anak ini masih semester awal di Teologi UKSW. Aku kenalkan ia dkk. dengan Gusdurian ketika aku mengunjungi Salatiga lima tahun lalu. Memori indah pertemuanku dengannya pernah aku tulis di sini. 

https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid0cNpHuV5yyCYFKvRBwsjjUX3vmr8fQ8F2u2dyueNeVT7iWzSVKGtq19JcXqfvCSR7l/?app=fbl

Sekitar jam 23.30, kami bertiga -- Rifan, aku dan Rinto-- sepakat bubar. Namun sebelum berpisah, aku berjanji pada keduanya akan mengunjungi GKJW Kandangan. Motor aku pacu menuju kota Jombang dengan menahan dingin merajami tubuhku tanpa jaket. 



Ketika Sinci Gus Dur Gagal Masuk Makam Gus Dur



Judulnya memang terasa kontradiktif. Namun itulah yang terjadi.

Sinci adalah papan arwah orang yang telah meninggal, yang kerap kita temukan dalam tradisi Tionghoa. Ia adalah simbol ilahiah untuk menghadirkan mereka yang telah mati.

Bagi hampir semua orang Tionghoa Indonesia, Gus Dur dianggap sosok suci. Itu sebabnya ia terus dikenang tak terkecuali bagi Perkumpulan Sosial Boen Hiang Tong Semarang. Mereka memiliki sinci Gus Dur dan dipasang di altar persemayaman.

Siang tadi, Sabtu (24/8), sinci ini dibawa ke Tebuireng oleh mereka, bersama lebih dari 30 orang, memakai bis. Sayangnya, sinci yang harus dipikul 4 orang ini gagal masuk ke areal makam Gus Dur di Tebuireng.

"Sudah diwanti-wanti sama pengelola makam, aturan baru menyatakan semua peziarah hanya boleh membawa bunga saja," ujar Ulin kepadaku sehari sebelumnya.

"Lho tapi gimana jadinya? Tanpa sinci, ritual cengbeng kalian pasti kurang lengkap," ujarku mencoba berempati sembari memutar otak mencari cara.

Aku berpesan kepada Ulin agar tetap membawa sinci tersebut ke Tebuireng. Sejam kemudian aku menghubunginya lagi, menawarkan format alternatif ritual cengbeng tanpa menabrak aturan pengelola makam.

"Di areal terminal ada batu besar, prasasti Gus Dur. Kita ritual di sana sebelum ritual doa bersama di makam," usulku. Usul ini diterima.

Aku teringat mengurus pembuatan prasasti ini saat kepemimpinan Bupati Suyanto, bersamaan dengan inisiasi perubahan Jalan Merdeka menjadi Jalan Presiden KH. Abdurrahman Wahid.

Sekitar jam 12.10 rombongan Semarang tiba di Terminal Makam Gus Dur. Mereka disambut puluhan rombongan Klenteng Gudo dan PSMTI Jombang, dipimpin langsung ketuanya, mas Toni.

Kami berbaris seperti pasukan kecil. Pasukan depan memegang sapu ijuk untuk menyapu jalan, diikuti rombongan yang menggotong sinci.

Kami berjalan sekitar 15 meter menuju prasasti. Sinci Gus Dur diletakkan di depan prasasti. Kami semua ada di bawahnya. Aku mendadak menjadi pengatur acara.

Ritual ini, meski singkat, berjalan cukup khidmat, diiringi tambur kecil yang ditabuh seperti dalam film-film kungfu saat ada orang mati. Doa dipimpin Ws. Andi Tjiok. Di akhir ritual semua orang menjura beberapa kali di hadapan sinci dan prasasti Gus Dur.

Rombongan kemudian bergerak menuju makam. Sinci dan hio ditinggal, menemani prasasti Gus Dur. Setiap orang dalam rombongan membawa bunga sedap malam. Kami menjadi pusat perhatian lara peziarah Islam dan para pedagang di areal makam.

"Umik...umik... Ini rombongan dari mana?" sapa penjual perempuan memakai jilbab kepada cece dan ai-ai Tionghoa. Aku ngakak dalam hati mendengar sapaan itu. "Udah jelas Tionghoa non-Islam kok dipanggil umik," aku membatin. Namun aku yakin tidak ada maksud apapun selain untuk menghormati rombongan.

Tiba di gerbang makam, aku lihat Bashori, orang kepercayaan Keluarga Ciganjur untuk urusan makam. Dia menyambut kami. Aku berkordinasi sebentar dengannya memastikan acara berlangsung lancar.

"Mas, nanti boleh masuk makam Gus Dur namun hanya 7 orang saja ya," ujarnya.

Aku kaget, tak menyangka dapat rejeki ini. Sebelumnya aku berpikir rombongan hanya boleh di luar pagar seperti peziarah lain. Pengelola makam ternyata mengizinkan kami masuk ke dalam pagar. Ini berarti kami bisa menabur bunga. Sebagai catatan, areal dalam-pagar biasanya hanya boleh diakses orang-orang pilihan saja. Aku bersyukur sekali.

Kami dilayani dengan sangat baik oleh pengelola makam. Rombongan dipilihkan lokasi luar pagar sebelah utara, tepat didekat "kepala" Gus Dur.

Lagi-lagi aku menjadi pengatur acara dadakan. Aku persilahkan perwakilan tokoh agama yang hadir untuk memimpin doa. Diawali dengan doa dari Buddha, dipimpin Bhante Sila. Mereka melantunkan pujian dengan bahasa yang aku tidak pahami. Pujian ini beradu dengan lantunan tahlil puluhan peziarah Islam.

Saat semua doa selesai, aku kemudian mengatur siapa saja yang boleh masuk ke makam Gus Dur. Semua berebut bisa masuk. Sayangnya aturan tetaplah aturan. 

Bashori bertugas menjaga pagar makam seperti security. Saat 7 orang telah selesai berdoa dan menabur bunga, ia mempersilahkan untuk keluar makam agar yang lain bisa masuk secara bergantian. Sungguh ia berbaik hati. 

Aku melihat seorang perempuan baya Tionghoa masuk makam. Aku tak kenal siapa dia. Ia langsung bersimpuh di dekat makam Gus Dur. 

Dua tangannya diangkat di atas kepala. Ia kemudian bergerak menyembah makam, seperti orang sujud. Ia lakukan berkali. Terlihat ia begitu emosional dan khusyuk melakukannya. 

Rombongan kemudian bergerak keluar areal makam dengan perasaan puas, begitu pula aku. Sementara itu, sinci Gus Dur tetap bersama prasasti Gus Dur di terminal makam, menunggu kami dengan sabar kembali dari makam. 

Saturday, August 3, 2024

HATI-HATI DENGAN SMP WIDYA WIYATA


Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya di Facebook, mengisi acara seminar di sekolah menengah pertama (SMP) merupakan pengalaman pertamaku. 


Aku lebih sering mengisi forum-forum diskusi kampus maupun kamunitas beyond-kampus. Pernah aku mengisi beberapa acara di SMA. 

Bagiku, mengisi forum seminar atau diskusi memiliki keunikan dan tingkat kesulitan masing-masing, tergantung latarbelakang pendidikan audiennya. 

Semakin rendah latarbelakang formal pendidikannya, semakin menantang bagi narasumber, khususnya dalam menyampaikan gagasan-gagasannya.

"Aku mampu atau tidak ya menyampaikan gagasanku dan memengaruhi anak-anak SMP?" batinku. 

Aku takut mereka tidak mampu memahami apa yang aku omongkan, sungguhpun aku telah bersumpah akan menggunakan bahasa sesederhana mungkin, dan menggunakan analogi yang menurutku lebih mudah dipahami.


Aku tiba di SMP Widya Wiyata Sidoarjo sekitar pukul 08.49 menit. Aku motoran dari rumah sekira jam 7 pagi. Beberapa kali tersesat --meski sudah dipandu Google Map-- menjadi faktor kenapa cukup lama aku tiba. 

Tiba di sekolah tersebut aku disambut Mbak Dhenni Ines sang kepala sekolah. Sebelumnya aku sempat mengamati sekolah ini sekilas; banyak siswanya berjilbab namun tidak sedikit yang gundulan. Banyak Tionghoanya juga. Hmm... lumayan plural -- bagus. 

Bagiku semakin homogen sebuah sekolah semakin kita tidak perlu berharap toleransi akan terinternalisasi dengan baik. Paling-paling toleransi hanya muncul sebagai gincu administratif agar tidak terlalu dimarahi pemerintah pusat. Percayalahh..

Aku juga sempat mengamati beberapa tulisan yang digurat di kaki-kaki tangga. Isinya penanaman nilai pada siswa, yang --dari segi konten--  jarang aku temui baik di sekolah negeri apalagi sekolah Islam menengah pertama.

Aku berusaha tidak kaku saat membawakan materi. Beberapa aku ajak beberapa peserta berkomunikasi. Beberapa guru ada di sana, dijaga ketat ibu kepala sekolah. 

"Kenapa pakai warna merah?" tiba-tiba ada suara berat dari seorang siswa, tanpa rasa bersalah menyeruak saat aku menjelaskan materi. 

"Berani sekali anak ini," gumamku.

Dengan sedikit kaget, aku menghentikan materi dan menjawab pertanyaannya. Aku berterima kasih padanya.

"Adik-adik, bagi kalian yang berani berbicara, apa saja, akan mendapatkan poin tambahan dalam pelajaran. Setuju?" ujarku.
"Asyikkk.." sambut mereka gembira. 
"Boleh ya bu KS?" tanyaku dengan tatapan agak "memaksa" kepada bu KS. Ia mengangguk sembari tersenyum. Menyetujui.

Aku kemudian mempresentasikan hasil survei-pendek intoleransi. Responden survei ini adalah sebagian dari mereka. Sifat pengisiannya sukarela. Itu sebabnya aku mengusulkan agar siswa/i yang mengisi diberi tambahan poin. Mereka senang sekali. 

"Di forum ini, tidak ada hukuman. Yang ada justru penghargaan bagi kalian yang berani dan kreatif," ujarku.

Aku memberi 5 pertanyaan untuk dijawab. Tidak ada jawaban salah benar. Aku hanya ingin memetakan pemikiran mereka saja terkait toleransi. Survei ini menurutku  bertumpu pada model Implisit Bias Test atau Harvard Bias Test. Jumlah siswa/siswi yang mengisi survei sebanyak 28 orang.

Untuk pertanyaan "Aku merasa suku/etnis/rasku......", sebanyak 17,9% responden menjawab "lebih baik dari yang lain" sedangkan 74,3% responden menjawab "sama saja,". Yang menjawab  "tidak tahu dan "sedikit lebih baik dari kelompok lain sebanyak 17,9% dan 0%. 

Terhadap pertanyaan "Aku merasa agamaku....."" ada 14,3% menjawab "lebih baik dari agama lain," sebanyak 82,1% menjawab "sama saja," sedangkan yang menjawab "tidak tahu," dan "sedikit lebih baik dari agama lain," sebanyak 0% dan 3,6%. Untuk jawaban pertanyaan-pertanyaan lainnya dapat dilihat di gambar.

Aku sendiri secara umum sangat gembira melihat hasil ini. Betapa tidak, para mahasiswa di kampus, terutama yang beragama Islam, menunjukkan hasil teramat menyedihkan --menurut survei PPIM bertajuk Kebinekaan di Menara Gading - Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi - PPIM UIN Jakarta 2021. Bahkan, aku berani bertaruh; seandainya survei ini dilaksanakan di SMPN atau --apalagi- SMP berbasis agama Islam hasilnya pasti di bawah SMP Widya Wiyata. 

"Betapa beruntungnya orangtua yang menyekolahkan anaknya di sini," gumamku.

Aku sendiri belum meneliti lebih detil bagaimana, misalnya, matapelajaran agama diajarkan terhadap murid-muridnya yang plural. Namun aku diberitahu bahwa sekolah ini memfasilitasi penyelenggaran, setidaknya, peringatan hari raya agama yang dianut murid-muridnya; ya natalan, ya riyoyoan, ya imlekan.

Bagaimana agama diajarkan di sekolah merupakan jantung bagi nyawa toleran tidaknya pelajar. Kesalahan dalam mengajarkan agama akan membuat anak didik menjadi korbannya. 

"Agama itu mirip lemak," ujarku pada mereka.

Lemak merupakan jenis nutrisi penting bagi tubuh. Meski demikian, lemak punya dua kepribadian; lemak jahat dan lemak baik. 

Yang jahat dapat menyebabkan aneka penyakit jika dikonsumsi. Itu sebabnya perlu dihindari. Sedangkan lemak baik --misalnya ikan, yogurt, kacang-kacangan, telur dan sejenisnya-- dipercaya akan sangat bermanfaat bagi tubuh. 

Agama kurang lebih juga demikian, memiliki dua ekspresi. Ekspresi jahat --kala agama dijadikan alat menindas dan merepresi kelompok marginal. 

Saat agama dijadikan instrumen melakukan kekerasan seksual, seperti dalam Islam Sontolo-nya Soekarno, di situlah agama diekspresikan bengis dan tak manusiawi. Jahat, sama jahatnya dengan mereka yang menutup gereja atas nama agama. 

Agama merupakan lemak baik saat ia digunakan menolong orang-orang yang sedang kesusahan, termasuk mereka yang tidak beribadah. 

"Jadi, kalau kamu Islam, membantu kawanmu ke gereja, itu hal yang superkeren. Sangat Pancasila," kataku 

Terhadap profil pelajar Pancasila (P5) pemerintah telah menetapkan enam cirinya; Bertuhan dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (TYME) dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, berpikir kritis, gotong royong, mandiri dan kreatif. 

Ciri-ciri ini sangatlah dahsyat namun sekaligus berpotensi mengalami benturan di antara ciri tersebut --yang selanjutnya dapat mematikan salah satu ciri atas ciri lain yang dianggap lebih inferior. 

Contohnya, kataku; atas nama bertuhan dan beriman, seseorang dilarang mengucapkan selamat natal, membubarkan ibadah agama atau diminta mendiskriminasi kelompok minoritas gender tertentu. 

Padahal tindakan tersebut merupakan hal jelek yang menghina kemanusiaan, tidak selaras kebinekaan global, akhlak mulia, maupun gotong royong. 

"Itu sebabnya, aku menawarkan cara baca alternatif atas 6 ciri tersebut, bu kepsek," ujarku meninggi.

Tawaranku sederhana, yakni membaca 6 ciri ini dalam rumus JIKA-MAKA; jika kita bertuhan dan beriman kepada TYME maka kita wajib berakhlak mulia, mandiri, berpikir kritis, gotong royong, berkebinekaan global, dan kreatif. 

Cara baca ini, menurutku, akan lebih mendorong siswa berdialektika dengan keluaran --baik outcome maupun output-- dari caranya menghayati berketuhanan mereka. 

Alam bawah sadar mereka setidaknya, dengan cara baca ini, akan terus terpatri; bahwa tidaklah bertuhan dan beriman --setidaknya tidak sempurna, mereka yang gagal mengekspresikan 5 ciri lainnya.

Di akhir presentasi aku mengajak peserta menonton video 5 menit upaya gerakan lintas iman Surabaya di GKI Diponegoro Surabaya saat bangkit melawan teror bom Surabaya 2018 silam. 

"Demikian. Adakah diantara kalian yang berani mengacungkan tangan, baik untu bertanya atau sekedar mengomentari omonganku tadi?" tantangku.

Puluhan mereka mengangkat tangannya. Miss Sindy, moderator acara, terlihat kewalahan mencatat mereka. Sayangnya, tidak semua yang mengacungkan tangan berkesempatan menyampaikan pertanyaan maupun gagasannya, karena keterbatasan waktu. Aku merasa sedih.

Di akhir acara, aku mengajak mereka maju ke depan, nyanyi Padamu Negeri. 

Terima kasih SMP Widya Wiyata atas inspirasinya. Hormat!

Oh ya, hati-hati dengan SMP Widya Wiyata karena bisa jadi ia lebih unggul ketimbang sekolahmu. 

Monday, July 22, 2024

Perkawinan Beda Agama; Antara Tawaran Daniel Yusmic dan Teladan Nadiem Makarim


Daniel Yusmic P Foekh adalah hakim konstitusi saat ini. Setahuku perkawinannya seagama, sama-sama kristennya -- GPIB jika tidak salah.

Sedangkan Nadiem Makarim, menteri pendidikan kita, memilih mengikatkan diri dan istrinya melalui perkawinan beda agama (PBA).

Mana yang lebih bahagia diantara Hakim Yusmic dan Nadiem? Menurutku keduanya bahagia. Indikator paling sederhana mengukur kebahagiaan rumah tangga seseorang, menurutku, adalah perceraian.

Bersama dalam ikatan perkawinan belum tentu menunjukkan bahagia. Namun perceraian jelas mengekspresikan ketidakbahagiaan --ketidakbahagiaan sepakat untuk diakhiri.

Sunday, July 21, 2024

Kristen Ortodoks dan Pisang Rebus agak Gosong



"Mo, selamat datang. Mohon maaf, mau duduk di dalam atau luar? Di luar aja ya, agar aku bisa ngudud," ujarku menyambut Romo Stavros, Sabtu (20/7), sore hari.

Kami sudah janjian bertemu di rumahku. Setelah dari rumahku, ia berencana menjemput putrinya yang les bulutangkis di balai desaku.

Romo Stavros sudah lama aku tahu. Terakhir kali, aku mengundangnya saat buka bersama Bu Sinta Nuriyah ramadlan lalu. Ia berkenan memimpin doa lintas agama.

Ia adalah satu-satunya presbyter (pendeta/pastor/imam) Gereja Orthodoks Indonesia (GOI) di Jawa Timur. Ya, cum satu. Aku membayangkan betapa berat tugasnya merawat kedewasan spiritual ribuan jemaatnya.

Friday, July 19, 2024

Surat Untuk Muslimah Yang Tak Berjilbab


Saya mendapat banyak curhatan dari Muslimah yang mendapat cibiran, sindiran, risak, ancaman, bahkan dikucilkan karena memilih untuk tidak menutup kepala (jilbab atau sejenisnya). Banyak dari mereka yang tidak kuat, gentar dan surut, sehingga memilih “menyerah” pada kondisi seperti itu. Saya benar-benar prihatin dan simpati saya sepenuhnya untuk mereka.


Sebagai seorang Muslim, saya ingin mengatakan pada mereka bahwa tidak menutup kepala bukanlah tindak kejahatan (jarimah) yang bisa dipidana. Kalian sama sekali tidak melakukan apa pun yang merugikan orang lain. Jilbab sendiri adalah urusan yang masih diperdebatkan dalam hukum Islam. Ada yang mewajibkan, ada juga yang tidak. Keduanya punya argumentasi yang sama-sama kuat.

Featured Post

SILENTIUM INCARNATUM; Seputar Esa dan Kelahiran Gus Dur

Kata "esa" bisa dimaknai macam-macam. Namun kita harus sadar, pilihan pemaknaannya akan menimbulkan konsekuensi terhadap cara pand...