Pages

Thursday, February 2, 2017

Darah Promotheus di Warkop Tebuireng

Saya tersanjung dengan tulisan ini meski ada beberapa yang terasa berlebihan dan perlu dikoreksi. Terima kasih, Tessa.
Saya merasa hanyalah seorang santri kalong, bukan keluarga, apalagi pure blood Tebuireng. That's away of my league.

Khusus untuk urusan darah daging ini kita memang perlu hati-hati. Gara-gara darah, Nusron terpaksa perlu mengupload foto ijasah dan akte lahirnya --hanya untuk menegaskan kata "wahid' bukanlah kegenitannya agar dianggap trah Ciganjur. Gara-gara (garis) darah pula, kontestasi Sunni-Syiah yang bersimbah darah sepertinya akan terus langgeng hingga kiamat.

Saya memang kerap ke Tebuireng  untuk berbagai kebutuhan. Intensitas kunjungan saya meningkat karena sejak tiga bulan lalu, saya 'nyantri' di Univ. Hasyim Asy'ari.  Setiap Sabtu dan Minggu harus masuk kelas  Hukum Keluarga Islam untuk mendengar dosen dan berdiskusi dengan mereka

Harap juga diketahui, salah satu kesenangan saya adalah mengantar orang-orang berkunjung ke komplek pemakaman Tebuireng, khususnya ke Gus Dur. Saya menganggap aktifitas pengantaran itu bagian dari laku wajib sebagai orang Nahdliyyin marja' GUSDURian. 

Adalah kehormatan bisa mengajak banyak orang berkunjung ke Tebuireng, tentu saja sembari berlagak seperti tour-guide --membagi-bagi cerita Gus Dur agar bisa diteladani.

Dengan seperti itu, saya merasa seolah membawa obor layaknya Prometheus, seorang Titan yang meski dirantai oleh Zeus namun tidak membuatnya menyerah 'mengambi' obor dari surga untuk diberikan kepada manusia -begitulah Merriam Webster mendefinisikan Prometheus.

Kata 'promotheus' itulah yang agak menyentak saya ketika tahu kata ini dijadikan bagian dari nama blognya Tessa. Entah apa yang melatarbelakanginya memilih diksi itu. Bisa jadi ia mempunyai keinginan karyanya bisa dipublikasi Prometheus Publishing, penerbit kondang yang diinisiasi filosof Paul Krutz pada 1965.

Atau, jangan-jangan dia, sebagaimana halnya saya, telah jatuh cinta pada salah satu serial X-Files yang berjudul "The Post-Modern Prometheus". Namun agaknya saya tidak terlalu yakin dia juga menggandrungi 'Walking in Memphis', lagu yang menutup serial tersebut dengan indah.

Meski demikian ketidakyakinan itu tidak lantas membuat saya ragu mengatakan Tessa adalah sedikit kader HMI yang punya cita-cita indah membuat Negara ini menjadi lebih baik, seperti halnya Ahmad Wahib, Nurcholis Madjid maupun Syafii Maarif.

Ketiganya adalah Promotheus, yang meski kaki dan tangannya 'dirantai' namun menolak tunduk menjadi apa yang tidak mereka kehendaki. Mereka bertiga tetap membawa obor bagi kemanusiaan. And I hope you will be the fourth, Tessa!

No comments:

Post a Comment