Pages

Thursday, February 23, 2017

Dibawah Lindungan Dua Anjing

Hari ini, Kamis (23/2), merupakan akhir dari perjalanan saya. Sejak hari Minggu (19/2), saya keluar rumah menuju Lumajang dan Jember.

Pagi ini, saya memulai hari dengan menikmati secangkir kopi. Karena masih berstatus tamu, kopiku dibuatkan Mas Doni, suami Pdt. Nicky. Ritual ngopi menjadi semakin istimewa karena saya menikmatinya dengan penjagaan dua anjing di depan saya. Jaraknya 3-4 meter. Yang lebih kecil sekitar 7-8 meter. Entah siapa nama mereka.

"Biasane kalau ada orang asing masuk sini, pasti menyalak-nyalak keras, bersahutan. Namun kenapa tidak ke sampeyan ya Mas," kata Doni. Selama tinggal di komplek GKJW Sidoreno, aku melihat ada sekitar 3-4 anjing yang setia menjaga kawasan itu. Tadi malam ada tiga anjing yang 'ikut' jagongan saya dengan dua orang warga Sidoreno.

Kok tidak takut anjing? Ah, Siapa bilang. Sampai hari ini pun aku terus berusaha mengikis stigma yang ditempelkan ke binatang tersebut di memoriku. Buas, ancaman digigit, menjijikkan, perwujudan setan, dan lain-lain. Pembakuan ketakutan sebagian muslim --terutama Sunni madzah Syafi'i-- menjadi sempurna manakala anjing "diborgol" dengan status kenajisan paling berat; mugholladzoh.

Tidak hanya itu, di beberapa komunitas Islam --setidaknya di tempat saya dibesarkan, hanya ada satu kata jika ada anjing masuk ke desa kami; buru dan bunuh. Saya masih ingat betul saat masih di kelas 5 madrasah ibtidaiyyah, saya bergabung dengan puluhan orang dan anak memburu anjing yang masuk desa. Tentu saja kami membawa aneka senjata tajam! Kami punya senior yang dikenal kejam, ia yang memimpin perburuan itu.

Saya masih mengingat, betapa takutnya anjing itu saat tertangkap setelah persembunyiannya di barongan (kawasan pohon bambu) kami kepung berjam-jam. Mungkin ia terkencing-kencing saat mendengar sorak-sorai kami. "Pateni ae! Kepruki boto ae! Ayo diedel2!".

Saya ikut larut dalam gempita itu. Entah bagaimana menjelaskannya, namun ketakutan (paranoid) bisa membuat orang berubah menjadi sangat bengis. Saat mempelajari Peristiwa 65, saya menemukan diksi amuck atau amok, yakni paranoia terhadap PKI yang memicu orang tega melakukan pembantaian massal dengan cara-cara yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Meski saya belum menemukan teks al-Quran yang secara eksplisit menyuruh umat Islam membenci anjing, namun yang mengagetkan, ajaran kebencian kerap kita temukan dalam hadits yang kerap dinisbatkan kepada nabi. Misalnya, dalam kitab Muwatta' karya Imam Malik, atau Musnad milik Ibn Hanbal.

Abu Hurayra pernah dikutip Bukhari, Muslim, dan Musnad, ketika menyatakan batalnya shalat seseorang jika ada anjing, keledai, dan perempuan, yang melintas didepannya. Aishah, istri Nabi, pernah protes keras kepada Abu Hurayrah yang menyamakan perempuan dan anjing.

Entah benar atau tidak Nabi pernah mengucapkan hal-hal buruk mengenai anjing, saya tidak tahu. Yang saya ketahui, hikayat ashhab al-kahfi dengan anjingnya menghiasi al-Quran hingga sekarang. Yang saya tahu, paranoia terhadap anjing masih setia menjalari benak banyak Muslim. Termasuk dua pendekar FPI yang tunggang langgang didekati anjing pelacak polisi saat mereka mendemo Ahok 11 November 2014 lalu.

No comments:

Post a Comment