Pages

Saturday, March 25, 2017

Pluralisme Sarung dan Celana Pendek

Untuk kesekian kalinya saya menghadiri diskusi bedah film yang diselenggarakan Staramuda, sekitar dua minggu lalu. Kali ini film besutan Ari Sihasale, Di Timur Matahari, yang mendapat giliran.

Jika biasanya penyelenggaraan diskusi berada di tengah kota, kali ini cukup jauh bergeser. Yakni mengambil posisi di Kepanditan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno. Jaraknya sekitar 17 km dari pusat kota Jombang.

Mojowarno ini eksotik secara historis. Setelah 'ditaklukkan' oleh Ditrotuno (Kyai Abisai) -murid Coolen- sekitar akhir 1843, wilayah yang awalnya hutan lebat bernama Dagangan ini menjadi milestone penting dalam penyebaran kristen bumiputra di Jawa Timur.

Di Mojowarno inilah proses rekonsiliasi Kristen Jawa Timur terjadi pada 4-6 Agustus 1946. Setelah sebelumnya, GKJW terbelah menjadi dua kubu – Raad Pasamuan Kristen dan Majelis Agung GKJW- akibat perbedaan pandangan menyikapi politik kolonial saat penjajahan Jepang.

Entah sudah berapa judul film yang pernah dijadikan titik diskusi oleh Staramuda. Seingat saya ada beberapa. Agora, Long Walk to Freedom, Five Minarets in New York, "Tanda Tanya", 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Freedom Writer, cin(T)a, dan beberapa film lainnya.

Rata-rata adalah film berlatar belakang pluralisme dengan tarikan nafas anak muda. Romantis pelik, gairah dan perbedaan, serta kerumitan memilih merupakan beberapa kualifikasi yang kerap dijadikan instrument penapis film yang dipilih. Khas anak muda.

Maklumlah, Staramuda ini kumpulan individu yang mendaku dirinya sebagai anak muda dengan beragam latar belakang. Tak hanya agama serta etnis, mereka pun punya orientasi seksual dan identitas gender yang tidak tunggal. Islam, Kristen, Hindu, Budha, gay, straight, lesbian dan transgender ada di organisasi ini.

Dalam catatan saya, Staramuda merupakan satu-satunya organisasi yang berada di lingkar Jaringan GUSDURian dengan corak pelangi yang begitu kental.

Sungguhpun demikian, film dan perhelatan diskusinya bukanlah fokus yang ingin saya tulis. Namun, lebih kepada apa yang saya kenakan saat mendatangi event tersebut.

Sebenarnya tidak ada istimewanya dengan sarung yang membalut tubuh saya. Memakainya merupakan kelaziman, semacam pakaian dinas harian. Terutama saat menemui tuhan dan rapat resmi NU.

Pada perkembangan lanjutan, sarungan dalam kontinum-subyektif bagaimana saya membusanai tubuh telah menjelma sebagai titik kompromi; antara keengganan memakai celana panjang dan kerikuhan untuk terus-menerus berparade mengenakan celana pendek.

On the record, saya senang sekali memakai celana pendek dan berkaos. Rute terjauh yang pernah saya tempuh dengan memakai celana pendek, kaos plus ransel terjadi minggu lalu, Hotel Harris Tebet - Pancoran - Soetta- Juanda - Bungurasih - Jombang. Ini jalur keramat dalam memorabilia percelanapendekan saya.

Anda tidak perlu mengandaikan tokoh sekaliber Gus Sholah atau Gus Mus akan menapaktilasi rute bersejarah tersebut dengan bercelana pendek. Disamping ngoyo woro (percuma), membayangkan keduanya seperti itu bisa dianggap su'ul adab.

Sungguh, tak ada yang istimewa dengan bercelana pendek dan berkaos --selain hanya berpotensi mendegradasi status seseorang di hadapan publik.

Masih ingat cibiran miring sebagian orang saat Presiden Gus Dur melambaikan tangan -bersama anaknya Yenny- di hadapan para pendukungnya sesaat sebelum meninggalkan Istana Presiden?

Gus Dur dianggap telah mengalami disorientasi. Mentalitasnya dituduh oleng akibat kekuasaannya dilucuti. Lalu Gus Dur diyakini tidak lagi sanggup mengendalikan cara berbusananya.

Saya memilih tidak percaya cibiran itu.

Dia bukan sosok ambisius. Tidak mengharap jabatan namun tidak akan menolak jika diberi mandat. Gus Dur tidak pernah meniati dirinya menjadi presiden sehingga cukup naïf jika dia dituduh terpukul saat kekuasaannya dilucuti.

Gus Dur adalah simbol kemerdekaan dan keserderhanaan dalam banyak hal. Dia seringkali memilih tidak cerewet dalam berbagai urusan. Anda tahu, dia rela berjam-jam menunggu kerumitan staf rumgapres menyulap jas lusuhnya saat sesi foto kepresidenan, sampai akhirnya disetrika sendiri oleh Mbak Ratih – Sekretaris Presiden- di hadapan puluhan staff tersebut? Padahal, Gus Dur sangat punya otoritas dan alasan kuat memecat staf-staf tersebut karena ketidakprofesionalan mereka berdampak pada penelantaran presiden. Namun, jangankan dipecat, dimarahipun tidak.

Di jaman Pak Harto, seorang staff dipastikan akan suram nasibnya hanya karena dianggap gagal menginterpretasi dehem Pak Harto.
Jika bercelana pendek identik sebagai symbol kejelataan, maka Gus Dur sangat mungkin tengah melakukan apa yang didengungkan sebagai desakralisasi istana kepresidenan. Yakni penjebolan mitos aristokrasi Istana Presiden, tempat di mana harga seseorang akan sangat ditentukan oleh busana yang dikenakannya.

Atau jangan-jangan, celana pendek Gus Dur ini adalah sublimasi dari apa yang kerap disuarakan oleh Emha Ainun Najib; "gak dadi presiden, gak pathe'en".

Wallohu 'alam. Hanya Gus Dur dan Tuhan saja yang tahu soal misteri celana pendek itu.
**

Saya tak hendak menyejajarkan diri dengan Gus Dur. Berfikir ke arah sana pun tidak berani. Namun, sejarah celana pendeknya memberikan snapshot penting untuk diimani; pada beberapa hal, melepaskan diri dari kekaprahan dan keumuman terkadang penting.
Resiko berbanding lurus dengan dampak yang akan dihasilkan.

Saat para kiai memilih resisten dan diam atas tuntutan korban 65, Gus Dur malah melakukan pembelaan, dengan sepenuhnya sadar. Hujatan dan cacian menderanya. Alih-alih mendukung, semua fraksi di DPR berbalik menentang gagasan ini, termasuk "fraksi" Kramat Raya. Gus Dur pun bergeming, bahkan saat beberapa korban 65 malah menggugatnya ke pengadilan.

Gus Dur, bagi saya, telah mencatatkan dirinya dalam sejarah gerakan pembelaan peristiwa 65. Dampaknya, membincang isu ini tidak akan pernah bisa mengabaikan legasi yang telah ditanam Gus Dur.

Nyatapun demikian, keberanian Gus Dur bercelana pendek tidak mampu menginjeksi nyali saya meneruskan
laku-katho'an ke acara bedah film Staramuda. Sungkan jika harus bertemu Pdt. Wimbo, pendeta senior pemangku gereja setempat.

Bercelana panjang rasanya bukan opsi yang menarik hati. Pilihan rasional yang tersedia adalah memakai sarung. Jika acara selesai, sarung bisa dilipat, dimasukkan jok motor dan saya bisa kembali bercelana pendek lagi.

Tiba di GKJW Mojowarno, dari kejauhan saya melihat sekumpulan orang berjejer duduk di teras kepanditan. Dari posenya yang tertib, saya sudah menduga mereka bukan peserta bedah film.

Feeling saya benar. Deretan itu terisi oleh para pendeta dan beberapa majelis gereja yang hendak ke luar kota termasuk tuan rumah, pendeta Wimbo. Saya teramat sangat bersyukur kenapa akhirnya memilih memakai sarung.

Kasus sarung ini terus berlanjut paginya. Adalah seorang pendeta perempuan yang ikut berderet kemarin. Dia yg saya kenal progresif dan tengah intens bergumul dengan isu politik tubuh, menceritakan jemaatnya yang melihat saya di bedah film.

"Bu ndito, mas ingkang ndamel sarung sat wingi niku pendito (GKJW) pundi?"

Saya sendiri tidak menganggap pertayaan polos tersebut sebagai hal aneh. Pergulatan historis sejak pertengahan abad 19 menjadikan gereja ini kental dengan tradisi lokal.

Sebutan kiai cukup populer sebagai representasi ketokohan kristen kala itu. Kiai Sadrach atau Radin Abas adalah sosok yang tidak akan ditinggalkan jika membincang historisitas genre kekristenan ini.

Bangunan gereja berarsitektur menyerupai masjid juga dapat dengan mudah ditemukan. Meski tidak lagi lazim, aksi kontemporer bernuansa Islami sering dilakukan "kakak" saya, Mas Chrysta Andrea. Dia adalah pendeta senior GKJW yang memangku wilayah Sitiharjo, sebuah desa di ujung selatan Kabupaten Malang.

Mas Chrysta kerap memakai songkok hitam a la Islam-NU pada pertemuan-pertemuan lintas iman. Dengan jenggot yg dibiarkan tumbuh cukup lebat, performanya persis gus atau kiai, aristokrat muslim. Saya melihat adaptifitas GKJW menerima kultur yang berkembang secara dialektis mempengaruhi pendetanya menjadi lebih lentur dalam mengapresiasi simbol-simbol agama/kebudayaan lain.

Dia, kawan-pendeta saya yang ditanya jemaatnya tadi, menilai aksi sarungan saya saat itu terasa unik dan memberikan corak warna lain. Sarungan tersebut ia yakini telah mengintrodusir kembali kedamaian, utamanya saat digunakan dalam momen relijius-heterogenistik dengan semangat pluralisme dan kemanusiaan.

Refleksinya itu mendorong saya berefleksi balik. Mungkinkah dia sudah muak melihat simbol-simbol agama diparadekan sebagai alasan menghancurkan agama dan keyakinan liyan, seperti halnya pada Peristiwa Situbondo 1996?

Dia barangkali begidik membaca brutalitas invasi kelompok Wahabi ke tanah Batak Selatan sepanjang tahun 1816-1820 dimana darah tertumpah sangat atas nama agama. Atau bahkan, dia limbung akibat membayangkan pembantaian massal yang dialami oleh Suku Qurayza pada tahun 627 masehi.

Saya, pada titik ini berharap ia tidak sedang termangu galau karena berhasil menelusuri jejak amok 65 di Jawa Timur dan Bali, yang sebegitu dahsyat pembantaiannya hingga Sarwo Edhie harus turun tangan menghentikannya.

Laksana gangbang, kodrat agama sebagai wajah agung tuhan telah diperkosa sedemikian rupa. Dihinakan kesuciannya melampaui batas terendah yg bisa dinalar manusia waras. Mungkin kekagumannya atas aksi-sarungan saya hanya basa-basi. Sebatas etika berelasi antarkawan.

Namun siapa yang bisa menjamin dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya? Siapa yang bisa menggaransi dia - dan mungkin ratusan juta penduduk Indonesia lainnya- tidak sedang mendamba negeri ini terbebas dari kutukan kekerasan berbasis agama? Dia bisa saja menaruh asa pluralisme merekah melalui salah satu simbol penting Islam jawa; sarung.(**)

Thursday, March 23, 2017

Pelangi untuk KH. Hasyim Muzadi dan Yu Patmi

Bertempat di aula GKJW Jombang, puluhan aktifis lintas iman Kota Santri menggelar doa bersama menandai 7 hari KH. Hasyim Muzadi, Kamis, 22/3.

Kordinator acara, Aan Anshori, menegaskan warisan alm. KH. Hasyim Muzadi terhadap kehidupan pluralisme di Indonesia. Alm. merupakan jembatan antarumat beragama untuk menjaga keragaman sebagaimana mandat konstitusi dan ajaran Islam.

Menurut Sholeh, wakil dari GKJW, KH. Hasyim Muzadi mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan gerejanya. Beberapa kali Kiai Hasyim hadir dalam acara lintas iman yang diselenggarakan GKJW. "Terakhir kali ya dua bulan lalu di Sidoarjo. Pak Hasyim datang memakai kursi roda dengan tangan yang masih ada bekas infus. Kami berhutang jasa pada beliau," tegas guru injil ini dalam refleksinya.

Hal senada juga disampaikan Pdt. Kristian Muskanan, gembala Gereja Bethel Diaspora. Ia melihat Gus Dur dan Pak Hasyim sebagai sosok yang konsisten menyuarakan pentingnya hidup harmonis dalam keragaman. "Kami khusus mengadakan ini bagi beliau," ujarnya.

Tidak hanya untuk KH. Hasyim Muzadi, peserta yang hadir juga mendoakan Ibu Patmi, petani Kendeng yang meninggal dunia saat berjuang menolak pabrik semen. Patmi dan puluhan lain tengah melakukan aksi mengecor kakinya di depan istana.

Jaringan lintas iman Jombang, menurut Aan Anshori, mengajak seluruh warga Indonesia untuk tidak melupakan Ibu Patmi. "Patmi adalah simbol konsitensi keberanian rakyat melawan korporasi perusak lingkungan," tegas aktifis Jaringan GUSDURian ini.

Beberapa peserta lain yang hadir antara lain Pdt. Eddy Kusmayadi, Pdt. Eko dan perwakilan dari PMII, GKI, Gusdurian, GKJW, GBI Diaspora, dan mahasiswa S2 Univ. Hasyim Asyari Tebuireng.(aan)

Thursday, March 16, 2017

Kuasa Jahat tengah Mengincar Mata Air Kolondono?

Kawan2, ditangkapnya Taufik, kepala dusun Kolondono Grobogan Mojowarno Jombang, oleh Polres Jombang, 16/3, menyuguhkan dua fakta tak terbantahkan. _Pertama_, ada kekuatan jahat yang sedang mengincar kejernihan air Grobogan dan sekitarnya. Entah dengan cara bagaimana, saya mendengar kabar, kekuatan ini tengah mengincar lahan warga seluas hampir 5 hektar, demi pendirian pabriknya. Itu berarti lahan pertanian warga telah beralih fungsi ke industri.

_Kedua_, dalam menjalankan aksi joroknya tidak jarang kekuatan jahat ini memanfaatkan elit masyarakat. Sangat mungkin motivasinya adalah untuk melumpuhkan soliditas warga agar loyo saat menghadapi kekuatan jahat ini.

Perlu diketahui, Alloh SWT telah memberikan anugerah luar biasa bagi Grobogan dan Sumberboto, dalam bentuk sumber mata air berkualitas tinggi. Anugerah ini perlu dijaga dengan sungguh-sungguh.

Oleh karena itu, warga di sana perlu mempertimbangkan serius masuknya korporasi yang ingi mengkapitalisasi air . Hemat saya, penguasaan air secara sepihak oleh pemodal tidak hanya merugikan generasi saat ini saja, namun juga akan berimplikasi serius terhadap masa depan anak-cucu.

Dari mana warga akan memenuhi kebutuhan air mereka jika disedot secara rakus? Apalagi Jombang termasuk kawasan yang sangat rentan bencana kekeringan.

Saya berpandangan, warga perlu mendatangi DPRD dan Bupati untuk menolak cengkraman kekuatan pemodal di sana. Saya juga meyakini, akan lebih banyak mudlarat ketimbang manfaat ketika air Grobogan telah dikapitalisasi.

Mari kita selamatkan sumber air kita.

Aan Anshori

Wednesday, March 15, 2017

Kota Santri, Kota Jorok Korupsi?

Berita dugaan jual-beli jabatan di lingkungan pemkab Jombang  kembali menyeruak untuk kesekian kalinya. Saat ini ada 7 SKPD yang lowong dan sangat berpotensi dijual dengan harga ratusan juta rupiah. Saya sendiri pernah mendapat cerita dari sumber internal terkait mutasi di tempatnya bekerja. Saat itu ada sekitar tujuh posisi strategis yg lowong di 1 SKPD. Kabarnya, seluruh posisi tersebut dibeli borongan 2 miliar. Itu pun hanya sebatas Plt. Kepala.

Bagi saya, komersialisasi jabatan melalui mutasi merupakan modus lama untuk meraup keuntungan secara ilegal. Mutasi-panas akam semakin sering terjadi manakala kepala daerah telah menghaiskan banyak uang saat politik elektoral. Begitulah rumusnya.

Jombang terkenal jorok untuk masalah transparansi dan akuntabilitas. Rasan-rasan komersialisasi tak pernah mendapat respon serius dari Bupati, misalnya dengan membangun sistem yang bisa mencegah terjadinya hal ini. Bupati dan wabup tak pernah memberikan teladan bagi pejabat dan rakyatnya agar taat melaporkan LHKPN. Bupati  dan Wabup tak pernah berani menerapkan zona integritas bagi seluruh SKPD.

Bagaimana dengan tim saber pungli? Saya merasa tim ini hanyalah lipstik-politik agar pemkab masih 'punya muka" di hadapan Pusat. Meskipun kinerja tim ini masih sangat jauuuhh dari idealitas sebuah tim penyapu pungli beranggaran 300 juta.

Jangankan menangkap pejabat sekelas Camat seperti di Mojokerto, menangkap kades yang kerap dikeluhkan kinerjanya saja belum mampu. Agar tidak terlalu, maka ditangkaplah bawahan selevel penarik karcis retribusi pasar. Memang luar biasa tim saber pungli Jombang! Seharusnya, mereka bisa menangkap penjahat yang lebih kakap, misalnya pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan komersialisasi jabatan di pemkab.

Saya perlu mengingatkan kepada Bupati dan jajarannya agar berhati-hati, tidak terjebak dalam pusaran korupsi. Jangan sampai bernasib seperti Bupati Klaten yang terkena OTT KPK.

Tanpa komitmen antikorupsi yang jelas dan terukur, saya bisa katakan, duet maut Nyono-Munjidah telah sukses mencitrakan Jombang sebagai Kota Santri yang jorok oleh korupsi.

Warkop Seroja Jombang, 16 Maret 2017


Aan Anshori

Direktur LINK, Aktifis NU Jombang,
Relawan Santri Antikorupsi

Sunday, March 12, 2017

Kronologi Pemerkosaan Siswi SD di Wonosalam Jombang

Kronologi ini saya susun berdasarkan pemberitaan di media massa. Para jurnalis/redaktur yang saya kutip di sini merupakan sosok yang saya kenal secara personal selama bertahun-tahun.

Penyusunan ini merupakan ikhtiar menggalang solidaritas agar penegak hukum segera menangkap 4 pelaku yang masih buron hingga sekarang. Kasus ini, yang saya dengar, telah didampingi oleh beberapa kawan LSM di Jombang, misalnya LPA dan LP2A. Atas hal itu, kita patut mengapresiasi dan memberikan hormat  Saya sendiri tidak ikut mendampingi secara langsung karena keterbatasan yang saya miliki.

1. Kasus ini meledak di media massa sekitar 28 Juni 2016. Saat itu kandungan korban telah berusia 9 bulan. Berikut salah satu pemberitaan dari portal bangsaonline.com
----++----
JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Seorang bocah SD, Fara (bukan nama sebenarnya), 13, mengaku dihamili lima pemuda yang tak lain tetangganya sendiri. Usia kehamilan Warga Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang itu sudah mencapai 9 Bulan. Kini ia hanya bisa mengurung diri di rumahnya.
Dari keterangan Fara, tindakan para pemuda bejat itu bukan hanya dilakukan di rumahnya. Perbuatan layaknya suami istri itu juga dilakukan di sawah. Kelima pelaku secara beruntun melampiaskan nafsu syahwatnya dalam waktu yang berbeda.
Bocah malang itu tak ingat secara pasti, kapan hubungan terlarang itu dilakukan. Namun dia masih ingat dengan gamblang bahwa IM (19) orang pertama kali yang melakukan perkosaan. Remaja yang tidak lulus SMP tersebut tak lain tetangga korban.
"Saat itu, saya sedang sendirian di rumah. Bapak dan ibu sedang ke sawah untuk mencari rumput," katanya dengan polos di rumahnya, Selasa (28/6).
Ia melanjutkan, saat itulah tiba-tiba datang IM. Fara tak menaruh curiga, karena karena IM memang masih terhitung tetangga. Setelah berbasa-basi pelaku kemudian menyergap. Dia mengajak bocah yang masih bau kencur itu berhubungan badan. Fara meronta sekuat tenaga. Namun kalah kuat dari IM hingga akhirnya terjadilah perlakuan layaknya suami istri.
Puas melampiaskan nafsunya, IM meninggalkan korban. "Saat meninggalkan rumah, IM berpesan dengan nada mengancam agar saya tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun," tuturnya.
Awalnya, Fara mengira derita itu sudah berakhir. Namun ternyata beberapa hari kemudian dia bertemu dengan ARS (18), di ujung jalan desa. Saat bertemu itulah ARS mengajak korban melakukan hubungan badan. Ketika itu Fara menolak. Namun ARS mengancam akan membongkar hubungan terlarang antara korban dengan IM (pelaku pertama).
Mengetahui ancamannya mengena, pelaku kedua ini lantas menyeret korban ke sawah. Dalam rimbunan semak belukar, korban diperkosa hingga tak berdaya. "Saat itu, saya diperkosa di kebun atau sawah. Dia mengancam akan membongkar semua perbuatan yang saya lakukan dengan IM," kata Fara didampingi ibunya.
Pelaku ketiga adalah AR (19). Lagi-lagi, pelaku ini masih tetangga sekaligus teman dekat dua pelaku sebelumnya. AR melampiaskan nafsu bejatnya di rumah korban. Modusnya juga sama, AD mengancam akan membongkar hubungan Fara dengan IM jika dirinya tak dilayani berhubungan badan oleh korban.

Sebenarnya, pelaku ketiga ini sempat kepergok ibu korban, yakni EV (28). Betapa tidak, saat EV pulang dari pengajian, dia melihat AR keluar dari pintu belakang. Hanya saja, AR beralasan bahwa dirinya baru saja mengembalikan obeng. Alasan itu bisa diterima EV.
"Ternyata saya dikelabuhi. Dia beralasan mengembalikan obeng," tambah EV saat diwawancarai wartawan.
Dua pelaku terakhir adalah HR (18) dan UB (18). Dengan modus serupa dua remaja ini memperkosa Fara. Namun lokasinya di rumah nenek pelaku, yakni tetangga desa Kecamatan Wonosalam.
"IM, ARS, AR, HR, serta UB adalah teman sepermainan. Mereka semua tidak ada yang mau bertanggungjawab atas kehamilan anak saya. Makanya kami berharap polisi segera menangkap mereka," ujar MY (33), ayah korban. (jbg1/dio/rev) http://m.bangsaonline.com/berita/24224/biadab-bocah-kelas-vi-sd-di-jombang-digilir-5-pemuda-sekarang-hamil-9-bulan

2. Saya kemudian meresponnya di media online, menekan polisi agar segera menangkap dan memproses kasus ini.
-------
JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Mencuatnya kasus pemerkosaan yang dilakukan lima pemuda terhadap bocah kelas VI SD hingga hamil di Kabupaten Jombang menuai sorotan keras dari kalangan aktivis. Kali ini, Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Jombang mendesak kepolisian untuk menangkap kelima pelaku. Di samping itu, lembaga yang fokus pada bidang hukum tersebut mengancam akan melaporkan kasus tersebut kepada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).
Aan Anshori, Sekretaris LPBHNU Kabupaten Jombang mengatakan, kejahatan seksual terutama terhadap anak di Jombang sangat memprihatinkan. Hal ini tak lepas dari buruknya kebijakan Pemkab dalam melindungi perempuan dan anak.
"Saya dengar APBD untuk P2TP2A jauh lebih rendah dari biaya renovasi ruang ketua DPRD," katanya kepada Bangsaonline.com, Selasa (28/6).
Menurutnya, maraknya kejahatan ini juga tak lepas dari lemahnya penegakan hukum. Publik masih kecewa atas mangkraknya kasus pencabulan yang melibatkan oknum Satpol PP. Baginya, polisi Jombang terlihat sangat buruk komitmennya untuk menindak kejahatan seksual. (BACA:
)
Sudah Tiga Bulan, Oknum Satpol PP Jombang Terlapor Cabul Belum Ditetapkan Tersangka
"Saya menuntut Kapolres agar segera menangkap kelima pelaku kasus ini dalam 3x24 jam. Jika tidak, berarti Kapolres tidak bisa menunaikan tugasnya dan meminta Polda menghandle kasus ini," tegasnya.
Tak hanya itu, Aan juga menilai kondisi kejahatan seksual di kota santri sudah darurat. "Saya juga akan meminta KPAI untuk terus memantau penegakan hukumnya. Jombang sudah berada dalam fase darurat kejahatan seksual anak," tandasnya.
(BACA:
)
Oknum Guru Olah Raga Cabul di Jombang juga Paksa Siswinya Nonton Video Porno
Di tempat terpisah, Kasatreskrim Polres Jombang, AKP Herio Romadhona Chaniago menyatakan, pihaknya sudah menerima laporan atas kasus tersebut. Namun, polisi masih mencari keberadaan pelaku. "Iya, benar. Kami juga sudah mengantongi identitas lima pelaku," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Seorang bocah kelas VI SD, Fara (bukan nama sebenarnya), 13 tahun, mengaku dihamili lima pemuda yang tak lain tetangganya sendiri. Usia kehamilan Warga Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang itu sudah mencapai 9 Bulan. Kini ia hanya bisa mengurung diri di rumahnya.
(BACA:
)
Biadab, Bocah Kelas VI SD di Jombang Digilir 5 Pemuda, Sekarang Hamil 9 Bulan
Dari keterangan Fara, tindakan para pemuda bejat itu bukan hanya dilakukan di rumahnya. Perbuatan layaknya suami istri itu juga dilakukan di sawah. Kelima pelaku secara beruntun melampiaskan nafsu syahwatnya dalam waktu yang berbeda.
Kelima pelaku tersebut adalah Im, Ars, Ar, He, dan Ub. Semua pelaku masih teman sepermainan dan tetangga korban. (jbg1/dio/rev)
http://m.bangsaonline.com/berita/24237/lpbhnu-jombang-tuntut-polisi-tangkap-lima-pelaku-pemerkosaan-bocah-sd-di-wonosalam

3. Kira-kira tanggal 29 Juni 2016, satu pelaku, IM, tertangkap. Berikut pemberitaannya.

SURABAYA PAGI, Jombang – jajaran Polres Jombang akhirnya membekuk IM (19), salah satu pelaku perkosaan terhadap Kuntum (14), warga Kecamatan Wonosalam, yang kini tengah hamil sembilan bulan.
"Satu pelaku berinisial IM sudah kita tangkap tadi malam. Sedangkan empat pelaku lainnya masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang)," ujar Kapolres Jombang AKBP Agung Marlianto, Kamis (30/6).
Agung berharap, empat pelaku yang kabur tersebut agar segera menyerahkan diri. Karena korps berseragam cokelat terus melakukan perburuan. Bahkan menurut Kapolres, petugas sudah mengantongi sejumlah titik lokasi yang diduga kuat sebagai lokasi persembunyian.
Kapolres juga menegaskan bahwa para pelaku akan dikenakan pasal 81 Jo pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. "Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara," pungkas Agung.
Seperti diberitakan sebelumnya, seorang bocah kelas VI SD di Kecamatan Wonosalam, Jombang mengaku dihamili lima pemuda yang tak lain tetangganya sendiri. Usia kehamilan Warga Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang itu sudah mencapai 9 Bulan. Kini ia hanya bisa mengurung diri di rumahnya. Kelima pelaku masing-masing IM (19), ARS (18), AR (18), HE (18), dan UB (18). -jb. http://www.surabayapagi.com/read/139128/2016/07/01/Satu_Pelaku_Perkosaan_Siswi_SD_Diringkus.html

4. Masuk Persidangan
Setelah menjalani proses penyidikan di Polres Jombang, akhirnya satu orang pelaku berhasil dibawa ke persidangan pada 19 Juli 2016. Berikut ini pemberitaan yang saya kutip dari portal beritajatim.com ;
--------------
Jombang (beritajatim.com) - Pengadilan Negeri (PN) Jombang menggelar sidang perdana kasus perkosaan bocah SD berinisial ES (13) asal Kecamatan Wonosalam, Selasa (19/7/2016). Dalam sidang tertutup itu juga dihadiri HR (16), salah satu terdakwa yang juga warga Wonosalam.
Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan dan pemeriksaan saksi itu dipimpin oleh Hakim Yunita Hendrawati SH. "Pelaku didakwa pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara," ujar Yunita.
Dalam persidangan, hakim juga menghadirkan ES sebagai korban. Hanya saja, para pengunjung, termasuk wartawan, harus mengikuti sidang dari luar. Karena proses persidangan dilakukan secara tertutup. Itu karena baik korban maupun pelaku sama-sama di bawah umur.
Seperti diberitakan sebelumnya, seorang bocah kelas VI SD berinisial ES di Kecamatan Wonosalam, Jombang mengaku dihamili lima pemuda yang tak lain tetangganya sendiri. Kini bocah malang itu sudah melahirkan.
Sementara dari lima pelaku, polisi hanya berhasil membekuk satu orang, yakni HR (16). Sedangkan empat pelaku lainnya kabur. Mereka adalah IM (19), ARS (18), AR (18), dan UB (18). [suf/kun].
http://m.beritajatim.com/hukum_kriminal/271717/pelaku_perkosaan_bocah_sd_jalani_sidang_perdana.html

5. Sudah hampir setahun sejak ditangani kepolisian, 4 orang pelaku masih buron. Tidakkah seharusnya Polres Jombang perlu meminta bantuan Densus 88 untuk melacak keempatnya?
----------------
JOMBANG, FaktualNews.co – Kasus pemerkosaan terhadap Bulan (bukan nama sebenarnya), bocah kelas VI SD asal Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur hingga kini dikeluhkan keluarga korban. Orang tua bocah berusia 13 tahun itu menagih janji Kepolisian Resort Jombang untuk menangkap kelima pelaku.
Vr, ibu korban mengaku belum mendapat kabar dari kepolisian tentang penanganan kasus yang menimpa anaknya tersebut. Ia hanya mengetahui masih satu dari lima pelaku yang diamankan polisi, Rabu (29/6/2016) lalu. Sementara empat pelaku lainnya belum diketahui kabarnya.
Tak pelak, keluarga korban menyesalkan penanganan yang dianggap tidak serius dari pihak kepolisian. Padahal, kasus pemerkosaan yang mengakibatkan korban hamil hingga melahirkan anak itu sudah dilaporkan kepada polisi pada 17 Maret tahun 2016 lalu.
“Kasus ini sudah kami laporkan hampir setahun yang lalu, tapi sampai sekarang belum ada kabar lagi,” ujar Vr kepada FaktualNews.co, Minggu (12/3/2017).
Lamanya penanganan kasus ini membuat orang tua korban geram terhadap kinerja kepolisian. “Kami selalu diberikan janji oleh pihak kepolisian. Tapi tidak ada laporan hasil penanganannya sampai sekarang seperti apa, apa jangan-jangan empat pelaku itu sengaja tidak ditangkap. Ada apa,” tandasnya.
Vr pun kemudian menceritakan bahwa dirinya sempat dipanggil ulang ke Polres Jombang untuk dimintai keterangan. Meski sebelumnya sudah berulangkali dimintai keterangan oleh penyidik. “Saya dulu dipanggil ke polres jombang untuk menambah data, tapi sampai hari ini tidak ada lagi kelanjutannya. Setidaknya kami punya hak tahu perkembangan kasus ini,”bebernya.
Ia juga meminta agar semua empat pelaku yang sudah ditetapkan DPO (daftar pencarian orang) segera ditangkap oleh polisi. “Hampir satu tahun kami sekeluarga menunggu pelaku ditangkap. Saya orang desa tidak ingin aneh-aneh, sebab saya membawa beban mental yang berat. Yang penting pelaku ditangkap gitu aja,” pungkasnya.
Untuk diketahui, korban diperkosa lima pemuda yang tak lain tetangganya sendiri. Kini korban sudah melahirkan dan memiliki anak.
Dari keterangan Fara, tindakan para pemuda bejat itu bukan hanya dilakukan di rumahnya. Perbuatan layaknya suami istri itu juga dilakukan di sawah. Kelima pelaku secara beruntun melampiaskan nafsu syahwatnya dalam waktu yang berbeda.
Semua pelaku masih teman sepermainan dan tetangga korban. Dari kelima pelaku, satu diantaranya sudah ditangkap jajaran Reskrim Polres Jombang. Namun demikian, keempat pelaku sudah ditetapkan DPO.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi dari Satuan Reserse Kriminal, khusunya Unit Pelayanan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jombang. ( mjb1/oza ). http://faktualnews.co/setahun-empat-pelaku-pemerkosaan-bocah-sd-wonosalam-belum-ditangkap-orang-tua-korban-tagih-janji-polisi/

Demikian kronologi yang saya buat, agar senantiasa menjadi penjaga kewarasan kita sebagai manusia. Dua tahun lalu, ia yang menjadi Korban. Siapa yang bisa menjamin hal yang sama tidak menimpa orang-orang yang kita sayangi? Penegak hukum perlu kita dorong agar lebih serius menangani kasus kejahatan seksual anak.

Matur suwun.
Gusti paring berkah.

Warung Kopi Seroja Pasar Legi Jombang, 08:59, 13 Maret 2017.

Aan Anshori
GUSDURian
08155045039
Twitter @aananshori
http://www.aananshori.web.id

NB. Pernyataan dukungan penangkapan 4 buronan bisa langsung disampaikan ke:

1. Kapolres Jombang/ Agung Marlianto
2. Kasatreskrim/ Norman

Dan diCC ke:

1. Sutono (PWI, Harian Surya/Tribunnews) WhatsApp Call +62 815-5075-340

2. Yusuf Tumo (PWI, beritajatim) WhatsApp Call +62 856-4824-8121

3. Adi (PWI, Harian Bangsa) WhatsApp Call +62 812-1629-8777

4. Romza (PWI, Faktualnews) WhatsApp Call +62 813-3400-0115

5. Anggi (PWI, Radar Jombang Jawa Pos) WhatsApp Call +62 857-3333-0823

6. Agung (PWI, Harian Memorandum) WhatsApp Call +62 853-3553-5151

7. Inung Zen (PWI, Okezone) WhatsApp Call +62 856-4548-5689

8. Bajoel (PWI, metrotvnews) +62 822-2526-5611

9. Tritus Julan (PWI, Koran Sindo) WhatsApp Call +62 853-3081-7999

10. Nurul (PWI, Koran Duta Masyarakat) WhatsApp Call +62 812-3560-4267

11. Aan (PWI, Kabarjombang) WhatsApp Call +62 822-5754-5285

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...