Untuk kesekian kalinya saya menghadiri diskusi bedah film yang diselenggarakan Staramuda, sekitar dua minggu lalu. Kali ini film besutan Ari Sihasale, Di Timur Matahari, yang mendapat giliran.
Jika biasanya penyelenggaraan diskusi berada di tengah kota, kali ini cukup jauh bergeser. Yakni mengambil posisi di Kepanditan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno. Jaraknya sekitar 17 km dari pusat kota Jombang.
Mojowarno ini eksotik secara historis. Setelah 'ditaklukkan' oleh Ditrotuno (Kyai Abisai) -murid Coolen- sekitar akhir 1843, wilayah yang awalnya hutan lebat bernama Dagangan ini menjadi milestone penting dalam penyebaran kristen bumiputra di Jawa Timur.
Di Mojowarno inilah proses rekonsiliasi Kristen Jawa Timur terjadi pada 4-6 Agustus 1946. Setelah sebelumnya, GKJW terbelah menjadi dua kubu – Raad Pasamuan Kristen dan Majelis Agung GKJW- akibat perbedaan pandangan menyikapi politik kolonial saat penjajahan Jepang.
Entah sudah berapa judul film yang pernah dijadikan titik diskusi oleh Staramuda. Seingat saya ada beberapa. Agora, Long Walk to Freedom, Five Minarets in New York, "Tanda Tanya", 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Freedom Writer, cin(T)a, dan beberapa film lainnya.
Rata-rata adalah film berlatar belakang pluralisme dengan tarikan nafas anak muda. Romantis pelik, gairah dan perbedaan, serta kerumitan memilih merupakan beberapa kualifikasi yang kerap dijadikan instrument penapis film yang dipilih. Khas anak muda.
Maklumlah, Staramuda ini kumpulan individu yang mendaku dirinya sebagai anak muda dengan beragam latar belakang. Tak hanya agama serta etnis, mereka pun punya orientasi seksual dan identitas gender yang tidak tunggal. Islam, Kristen, Hindu, Budha, gay, straight, lesbian dan transgender ada di organisasi ini.
Dalam catatan saya, Staramuda merupakan satu-satunya organisasi yang berada di lingkar Jaringan GUSDURian dengan corak pelangi yang begitu kental.
Sungguhpun demikian, film dan perhelatan diskusinya bukanlah fokus yang ingin saya tulis. Namun, lebih kepada apa yang saya kenakan saat mendatangi event tersebut.
Sebenarnya tidak ada istimewanya dengan sarung yang membalut tubuh saya. Memakainya merupakan kelaziman, semacam pakaian dinas harian. Terutama saat menemui tuhan dan rapat resmi NU.
Pada perkembangan lanjutan, sarungan dalam kontinum-subyektif bagaimana saya membusanai tubuh telah menjelma sebagai titik kompromi; antara keengganan memakai celana panjang dan kerikuhan untuk terus-menerus berparade mengenakan celana pendek.
On the record, saya senang sekali memakai celana pendek dan berkaos. Rute terjauh yang pernah saya tempuh dengan memakai celana pendek, kaos plus ransel terjadi minggu lalu, Hotel Harris Tebet - Pancoran - Soetta- Juanda - Bungurasih - Jombang. Ini jalur keramat dalam memorabilia percelanapendekan saya.
Anda tidak perlu mengandaikan tokoh sekaliber Gus Sholah atau Gus Mus akan menapaktilasi rute bersejarah tersebut dengan bercelana pendek. Disamping ngoyo woro (percuma), membayangkan keduanya seperti itu bisa dianggap su'ul adab.
Sungguh, tak ada yang istimewa dengan bercelana pendek dan berkaos --selain hanya berpotensi mendegradasi status seseorang di hadapan publik.
Masih ingat cibiran miring sebagian orang saat Presiden Gus Dur melambaikan tangan -bersama anaknya Yenny- di hadapan para pendukungnya sesaat sebelum meninggalkan Istana Presiden?
Gus Dur dianggap telah mengalami disorientasi. Mentalitasnya dituduh oleng akibat kekuasaannya dilucuti. Lalu Gus Dur diyakini tidak lagi sanggup mengendalikan cara berbusananya.
Saya memilih tidak percaya cibiran itu.
Dia bukan sosok ambisius. Tidak mengharap jabatan namun tidak akan menolak jika diberi mandat. Gus Dur tidak pernah meniati dirinya menjadi presiden sehingga cukup naïf jika dia dituduh terpukul saat kekuasaannya dilucuti.
Gus Dur adalah simbol kemerdekaan dan keserderhanaan dalam banyak hal. Dia seringkali memilih tidak cerewet dalam berbagai urusan. Anda tahu, dia rela berjam-jam menunggu kerumitan staf rumgapres menyulap jas lusuhnya saat sesi foto kepresidenan, sampai akhirnya disetrika sendiri oleh Mbak Ratih – Sekretaris Presiden- di hadapan puluhan staff tersebut? Padahal, Gus Dur sangat punya otoritas dan alasan kuat memecat staf-staf tersebut karena ketidakprofesionalan mereka berdampak pada penelantaran presiden. Namun, jangankan dipecat, dimarahipun tidak.
Di jaman Pak Harto, seorang staff dipastikan akan suram nasibnya hanya karena dianggap gagal menginterpretasi dehem Pak Harto.
Jika bercelana pendek identik sebagai symbol kejelataan, maka Gus Dur sangat mungkin tengah melakukan apa yang didengungkan sebagai desakralisasi istana kepresidenan. Yakni penjebolan mitos aristokrasi Istana Presiden, tempat di mana harga seseorang akan sangat ditentukan oleh busana yang dikenakannya.
Atau jangan-jangan, celana pendek Gus Dur ini adalah sublimasi dari apa yang kerap disuarakan oleh Emha Ainun Najib; "gak dadi presiden, gak pathe'en".
Wallohu 'alam. Hanya Gus Dur dan Tuhan saja yang tahu soal misteri celana pendek itu.
**
Saya tak hendak menyejajarkan diri dengan Gus Dur. Berfikir ke arah sana pun tidak berani. Namun, sejarah celana pendeknya memberikan snapshot penting untuk diimani; pada beberapa hal, melepaskan diri dari kekaprahan dan keumuman terkadang penting.
Resiko berbanding lurus dengan dampak yang akan dihasilkan.
Saat para kiai memilih resisten dan diam atas tuntutan korban 65, Gus Dur malah melakukan pembelaan, dengan sepenuhnya sadar. Hujatan dan cacian menderanya. Alih-alih mendukung, semua fraksi di DPR berbalik menentang gagasan ini, termasuk "fraksi" Kramat Raya. Gus Dur pun bergeming, bahkan saat beberapa korban 65 malah menggugatnya ke pengadilan.
Gus Dur, bagi saya, telah mencatatkan dirinya dalam sejarah gerakan pembelaan peristiwa 65. Dampaknya, membincang isu ini tidak akan pernah bisa mengabaikan legasi yang telah ditanam Gus Dur.
Nyatapun demikian, keberanian Gus Dur bercelana pendek tidak mampu menginjeksi nyali saya meneruskan
laku-katho'an ke acara bedah film Staramuda. Sungkan jika harus bertemu Pdt. Wimbo, pendeta senior pemangku gereja setempat.
Bercelana panjang rasanya bukan opsi yang menarik hati. Pilihan rasional yang tersedia adalah memakai sarung. Jika acara selesai, sarung bisa dilipat, dimasukkan jok motor dan saya bisa kembali bercelana pendek lagi.
Tiba di GKJW Mojowarno, dari kejauhan saya melihat sekumpulan orang berjejer duduk di teras kepanditan. Dari posenya yang tertib, saya sudah menduga mereka bukan peserta bedah film.
Feeling saya benar. Deretan itu terisi oleh para pendeta dan beberapa majelis gereja yang hendak ke luar kota termasuk tuan rumah, pendeta Wimbo. Saya teramat sangat bersyukur kenapa akhirnya memilih memakai sarung.
Kasus sarung ini terus berlanjut paginya. Adalah seorang pendeta perempuan yang ikut berderet kemarin. Dia yg saya kenal progresif dan tengah intens bergumul dengan isu politik tubuh, menceritakan jemaatnya yang melihat saya di bedah film.
"Bu ndito, mas ingkang ndamel sarung sat wingi niku pendito (GKJW) pundi?"
Saya sendiri tidak menganggap pertayaan polos tersebut sebagai hal aneh. Pergulatan historis sejak pertengahan abad 19 menjadikan gereja ini kental dengan tradisi lokal.
Sebutan kiai cukup populer sebagai representasi ketokohan kristen kala itu. Kiai Sadrach atau Radin Abas adalah sosok yang tidak akan ditinggalkan jika membincang historisitas genre kekristenan ini.
Bangunan gereja berarsitektur menyerupai masjid juga dapat dengan mudah ditemukan. Meski tidak lagi lazim, aksi kontemporer bernuansa Islami sering dilakukan "kakak" saya, Mas Chrysta Andrea. Dia adalah pendeta senior GKJW yang memangku wilayah Sitiharjo, sebuah desa di ujung selatan Kabupaten Malang.
Mas Chrysta kerap memakai songkok hitam a la Islam-NU pada pertemuan-pertemuan lintas iman. Dengan jenggot yg dibiarkan tumbuh cukup lebat, performanya persis gus atau kiai, aristokrat muslim. Saya melihat adaptifitas GKJW menerima kultur yang berkembang secara dialektis mempengaruhi pendetanya menjadi lebih lentur dalam mengapresiasi simbol-simbol agama/kebudayaan lain.
Dia, kawan-pendeta saya yang ditanya jemaatnya tadi, menilai aksi sarungan saya saat itu terasa unik dan memberikan corak warna lain. Sarungan tersebut ia yakini telah mengintrodusir kembali kedamaian, utamanya saat digunakan dalam momen relijius-heterogenistik dengan semangat pluralisme dan kemanusiaan.
Refleksinya itu mendorong saya berefleksi balik. Mungkinkah dia sudah muak melihat simbol-simbol agama diparadekan sebagai alasan menghancurkan agama dan keyakinan liyan, seperti halnya pada Peristiwa Situbondo 1996?
Dia barangkali begidik membaca brutalitas invasi kelompok Wahabi ke tanah Batak Selatan sepanjang tahun 1816-1820 dimana darah tertumpah sangat atas nama agama. Atau bahkan, dia limbung akibat membayangkan pembantaian massal yang dialami oleh Suku Qurayza pada tahun 627 masehi.
Saya, pada titik ini berharap ia tidak sedang termangu galau karena berhasil menelusuri jejak amok 65 di Jawa Timur dan Bali, yang sebegitu dahsyat pembantaiannya hingga Sarwo Edhie harus turun tangan menghentikannya.
Laksana gangbang, kodrat agama sebagai wajah agung tuhan telah diperkosa sedemikian rupa. Dihinakan kesuciannya melampaui batas terendah yg bisa dinalar manusia waras. Mungkin kekagumannya atas aksi-sarungan saya hanya basa-basi. Sebatas etika berelasi antarkawan.
Namun siapa yang bisa menjamin dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya? Siapa yang bisa menggaransi dia - dan mungkin ratusan juta penduduk Indonesia lainnya- tidak sedang mendamba negeri ini terbebas dari kutukan kekerasan berbasis agama? Dia bisa saja menaruh asa pluralisme merekah melalui salah satu simbol penting Islam jawa; sarung.(**)