Ini adalah foto anakku Cecilia bersama tantenya. Saat SD, setahuku sangat mungkin ia adalah satu-satu siswi di kelasnya yang memanggul nama panggilan tidak islami; Cecil. Ia sekolah di SD Islam sesuai arahan bunda tercintanya.
Saat dalam kandungan, kami --aku dan pasanganku-- sepakat urunan nama untuknya. Aku awalnya menimang Abigail sebagai nama yang ingin aku sematkan padanya. Namun belakangan aku memilih Cecilia karena terdengar dan tertulis lebih sexy. *halah
Sedangkan bundanya memilih Vraza karena terinspirasi nama butik --entahlah. Ia waktu itu juga tidak tahu artinya. "Nggak ngerti, Mas, sing penting itu terasa indah menurutku," ujarnya.
Aku pun tak hendak mendebatnya.
Maka, jadilah anak sulungku bernama Vraza Cecilia --tanpa kami tahu apa arti sesungguhnya.
Saat ia berusia beberapa bulan, ia kami bawa ke Gresik, kampung bundanya. Semua menyambut gembira dengan kehadiran Cecil. Namun gumaman miring dari keluarga Gresik kami dengar setelah mereka tahu namanya. "Lha kok jenenge koyok wong Kristen gitu? Apa nggak sekalian ditambahi Mississipi Arizona?" kata salah satu keluarga dengan nada guyon. Kami pun tertawa sambil berargumentasi ringan.
Perlu diketahui, pasanganku lahir dari keluarga yang bisa dikatakan suangat santri. Ayahnya kiai kampung yang sangat keras mendidik warga dengan hukum islam yang ketat. Ia semakin disegani karena kemampuannya di bidang falak (astronomi). Ayahnya adalah penentu kapan orang sekampung bisa memulai dan mengakhiri puasa Ramadlan. Anda tahu, konon, almarhum mertuaku itu bisa meramalkan kapan sehelai daun akan jatuh dari pohonnya. Aku tahu karena beberapa penduduk di sana menyatakan demikian. "Hebat benar bapak mertuaku ini," gumamku.
Dengan seluruh kemampuan dan pengalaman yang ia miliki, maka bapak mertuaku itu sangat selektif memilih jodoh untuk putri2nya. Kriteria utamanya, tentu harus berpenampilan santri!
Itu sebabnya ia cukup kaget anak bungsunya membawaku ke rumah setelah kami 4 tahun pacaran, dan berani mengatakan 'Pak, iki Aan, koncoku" kata istriku. Ingatnya, dalam tradisi sana, jika ada laki-laki yang berani datang ke rumah itu artinya harus siap dikawinkan.
Almarhum mengecekku dari atas hingga bawah, tanpa berbicara sedikit pun. Aku tahu, ia tak suka denganku. Maksudnya, ia semacam tak rela bungsu yang ia sangat sayangi jatuh ke tangan laki-laki yang tidak ada sedikitpun jejak kesantrian menempel di tubuh. Apalagi berambut agak gondrong dengan jari kaki --salah satunya-- bercincin.
Kembali ke Cecil anakku. Kami merasa keluarga besar ingin nama Cecil diganti yang lebih islami, tapi kami enggan. Akhirnya jalan tengah diambil; namanya harus ditambahi dengan diksi islam. Kamipun mempertimbangkan itu dan menerima.
Akhirnya Cecil kami bawa ke Kauman Mojoagung -- menemui ibuku. Ia sangat bersuka cita dengan cucu pertamanya. Amiroh meminta agar mertuanya bisa menambahkan nama untuk cucunya itu --setelah kami menceritakan peristiwa di Gresik.
Ibuku tentu senang dan berjanji akan mencarikannya. Sedikit catatan, almarhum ibuku sering dimintai nama bayi oleh banyak orang. Relasi sosialnya cukup bagus mengingat ia adalah pedagang di pasar Mojoagung sejak lama. Puluhan tahun. Pendek kata, tak ada penghuni pasar yang tak kenal "Kaji Alfiyah".
"Tambahono Aida Zamzama, nduk. Kayaknya pas," katanya kepada pasanganku. Amiroh pun setuju. Maka jadilah anak sulungku bernama Vraza Cecilia Aida Zamzama.
Ia kini tumbuh dewasa. Mungkin suatu saat aku akan menjalani laku sebagaimana bapak mertuaku dulu; mengecek setiap laki-laki yang ngepoin anak gadisnya.