Pages

Wednesday, April 19, 2017

Lovely Cecilia: Tarik Ulur Kristen-Islam

Ini adalah foto anakku Cecilia bersama tantenya. Saat SD, setahuku sangat mungkin ia adalah satu-satu siswi di kelasnya  yang memanggul nama panggilan tidak islami; Cecil. Ia sekolah di SD Islam sesuai arahan bunda tercintanya.

Saat dalam kandungan, kami --aku dan pasanganku-- sepakat urunan nama untuknya. Aku awalnya menimang Abigail sebagai nama yang ingin aku sematkan padanya. Namun belakangan aku memilih Cecilia karena terdengar dan tertulis lebih sexy. *halah

Sedangkan bundanya memilih Vraza karena terinspirasi nama butik --entahlah. Ia waktu itu juga tidak tahu artinya. "Nggak ngerti, Mas, sing penting itu terasa indah menurutku," ujarnya.

Aku pun tak hendak mendebatnya.

Maka, jadilah anak sulungku bernama Vraza Cecilia --tanpa kami tahu apa arti sesungguhnya.

Saat ia berusia beberapa bulan, ia kami bawa ke Gresik, kampung bundanya. Semua menyambut gembira dengan kehadiran Cecil. Namun gumaman miring dari keluarga Gresik kami dengar setelah mereka tahu namanya. "Lha kok jenenge koyok wong Kristen gitu? Apa nggak sekalian ditambahi Mississipi Arizona?" kata salah satu keluarga dengan nada guyon. Kami pun tertawa sambil berargumentasi ringan.

Perlu diketahui, pasanganku lahir dari keluarga yang bisa dikatakan suangat santri. Ayahnya kiai kampung yang sangat keras mendidik warga dengan hukum islam yang ketat. Ia semakin disegani karena kemampuannya di bidang falak (astronomi). Ayahnya adalah penentu kapan orang sekampung bisa memulai dan mengakhiri puasa Ramadlan. Anda tahu, konon, almarhum mertuaku itu bisa meramalkan kapan sehelai daun akan jatuh dari pohonnya. Aku tahu karena beberapa penduduk di sana menyatakan demikian. "Hebat benar bapak mertuaku ini," gumamku.

Dengan seluruh kemampuan dan pengalaman yang ia miliki, maka bapak mertuaku itu sangat selektif memilih jodoh untuk putri2nya. Kriteria utamanya, tentu harus berpenampilan santri!

Itu sebabnya ia cukup kaget anak bungsunya membawaku ke rumah setelah kami 4 tahun pacaran, dan berani mengatakan 'Pak, iki Aan, koncoku" kata istriku. Ingatnya, dalam tradisi sana, jika ada laki-laki yang berani datang ke rumah itu artinya harus siap dikawinkan.

Almarhum mengecekku dari atas hingga bawah, tanpa berbicara sedikit pun. Aku tahu, ia tak suka denganku. Maksudnya, ia semacam tak rela bungsu yang ia sangat sayangi jatuh ke tangan laki-laki yang tidak ada sedikitpun jejak kesantrian menempel di tubuh. Apalagi berambut agak gondrong dengan jari kaki --salah satunya-- bercincin.

Kembali ke Cecil anakku. Kami merasa keluarga besar ingin nama Cecil diganti yang lebih islami, tapi kami enggan. Akhirnya jalan tengah diambil; namanya harus ditambahi dengan diksi islam. Kamipun mempertimbangkan itu dan menerima.

Akhirnya Cecil kami bawa ke Kauman Mojoagung -- menemui ibuku. Ia sangat bersuka cita dengan cucu pertamanya. Amiroh meminta agar mertuanya bisa menambahkan nama untuk cucunya itu --setelah kami menceritakan peristiwa di Gresik.

Ibuku tentu senang dan berjanji akan mencarikannya. Sedikit catatan, almarhum ibuku sering dimintai nama bayi oleh banyak orang. Relasi sosialnya cukup bagus mengingat ia adalah pedagang di pasar Mojoagung sejak lama. Puluhan tahun. Pendek kata, tak ada penghuni  pasar yang tak kenal "Kaji Alfiyah".

"Tambahono Aida Zamzama, nduk. Kayaknya pas," katanya kepada pasanganku. Amiroh pun setuju. Maka jadilah anak sulungku bernama Vraza Cecilia Aida Zamzama.

Ia kini tumbuh dewasa. Mungkin suatu saat aku akan menjalani laku sebagaimana bapak mertuaku dulu; mengecek setiap laki-laki yang ngepoin anak gadisnya.

Saturday, April 15, 2017

Jalan Salib --dari Tebuireng ke GKJW

Begitu mendapat undangan prosesi arakan salib Paskah di GKJW Jombang, aku langsung mencatat tanggalnya di kalender, Sabtu (15/4). Selama ini aku tak pernah melihat secara langsung bagaimana episode penting Yesus di Bukit Golgota. Paling-paling hanya bisa menyaksikannya melalui koran, internet atau saat film Passion of Christ-nya Mel Gibson diputar.

Itu sebabnya, aku sudah berencana memenggal kuliahku yang memang merendeng dari jam 8.30 - 16.00 hari ini. Memang berat mengkompromikan jadwal nonton prosesi dengan kewajiban masuk kelas --apalagi hari ini dimulainya matakuliah baru 'Filsafat Hukum Keluarga Islam'.

Tuhan ternyata masih berpihak padaku. Matakuliah Dr. Miftah diakhiri jam 15.30 setelah lelaki asal Lamongan ini menutupnya dengan membagi tugas presentasi.

"Antum coba bikin presentasi gegerannya Imam Ghazali vs Ibnu Rusyd ya. Dan jangan lupa menautkan implikasi filosofisnya terhadap formasi sistem hukum keluarga Islam," ujarnya sembari menunjuk kepadaku.

"Matek!" aku merutuk dalam hati. Namun demi percepatan bubarnya kelas maka aku iyain saja.

Segera aku memacu Shogun bututku ke arah kota, menjauhi Tebuireng, kampus Sabtu-Mingguku.

Aku tak mau kehilangan moment bersejarah ini. Bagi GKJW Jombang --gereja tempat banyak temanku berproses-- prosesi Paskah ini adalah yang pertama kalinya sejak gereja ini didirikan. Kalian tahu berapa usianya? 95 tahun! Dan baru kali ini mereka punya keberanian melakukan arakan.

Mereka selalu diliputi kecemasan antara menggelar atau tidak. Dan kecemasan itu telah menyandera mereka selama 94 tahun hingga hari ini.

Seperti aku duga, polisi telah berjaga-jaga menutup akses ke jalan Adityawarwan dari pertigaan Kartini. Ada beberapa tentara dan tentu saja cukup banyak intel berseliweran. Dari mana aku tahu mereka intel? Aku punya radar untuk itu:).

Segera aku hubungi kawanku di Jawa Pos agar meliput momentum bersejarah ini. Aku memang tak pernah mampu membayangkan arakan salib bisa dihelat di Kota Santri ini, apalagi ditengah mengamuknya badai intoleransi Pilkada Jakarta. Sungguh.

Bersyukur aku bisa menyaksikan dari awal hingga "Yesus" diturunkan dan acara bubar. Kalian tahu siapa yang berperan jadi Yesusnya? Dia adalah Nanda, calon pendeta yang tengah vikar di gereja tersebut. Nanda adalah pengisi Ngaji Gus Dur putaran III. Saat itu ia mempresentasikan skripsinya tentang Gus Dur dan pluralisme.

"Cuk, ternyata kamu to yang tadi disalib," sapaku tertawa saat usai acara dan ia menghampiriku yang sedang makan soto dengan Pendeta Chrysta Andrea --senior di GKJW.

Nanda hanya cengengas-cengenges saja, "Suwun rawuhipun, Gus".

Rasanya hanya aku saja undangan yang datang dari Muslim, tidak termasuk aparat keamanan yang menjaga prosesi itu.

Memang ada banyak perempuan berkerudung sebagaimana tampak di foto. Namun mereka bukanlah muslimah, melainkan jemaat perempuam GKJW yang tengah berbusana dalam konteks zaman Yesus hidup.

Sepanjang pengetahuanku, wafat atau tidaknya Yesus/Isa merupakan polemik yang tak berkesudahan. Ada banyak teori tentang kematian sosok penting bagi umat Kristiani. Jangankan antara Kristen dan Islam, di internal Islam sendiri saja belum ada kata sepakat. Para penafsir al-Quran yang hidup ratusan/ribuan tahun pasca Yesus masih bersitegang mengartikan diksi 'mutawaffika' di Surah Maryam. Beginilah jika aspek historis dan teologis diaduk-aduk tak karuan. Rumit.

Aku sendiri pernah menulis artikel pendek menyangkut misteri penyaliban Yesus dari perspektif Islam, judulnya "Kematian Berkabut; Refleksi Personal Menghormat Paskah". Anda mungkin akan menemukan sesuatu yang sangat mungkin tidak diajarkan selama anda di SD hingga kuliah di institusi Islam, termasuk di pesantren.

Aku benar-benar menikmati perayaan ini, sebagaimana aku larut bersama ratusan warga Hindu Senduro di kaki Gunung Semeru saat pawai ogoh-ogoh kemarin. Aku benar-benar merasakan bagaimana menjadi minoritas di tengah lautan manusia ---seberapa sering kita mendapat pengalaman seperti ini?

Maka, segera aku kirim impresi ke kawanku yang menjadi jurnalis, melalui whatsapp, "Sebagai umat Islam, aku mengapresiasi perayaan keagamaan ini, sebagaimana aku mengapresiasi perayaan Maulid, Nyepi, atau yg lain. Perayaan ini sekaligus makin mengokohkan Jombang sebagai Kota Santri sekaligus Kota Toleransi,"

Semoga beritanya bisa kalian nikmati di Radar Jombang Jawa Pos esok pagi, Minggu.

Happy Easter, fellas!

Saturday, April 8, 2017

Timun & Sindrom-Iri-Vagina (2)

Pak Tar ternyata sibuk melayani pembeli. Aku sendiri sudah cukup lama nongkrong di warung kopi itu. Saatnya membeli lombok dan telur --pesanan pasanganku-- ke pasar sebelah.

Sosok 'kejantanan egois' Pak Tar, mengingatkanku pada curhat colongan seorang teman aktifis saat kami ngobrol 8 tahun lalu, bersama banyak kawan. Ia ada di friend lists FBku.

"Dari 10 kali hubungan seksual dengan suamiku, aku hanya 'nyampe' sekali saja," katanya dengan derai tawa.

'Nyampek' adalah istilah lain dari 'mendapatkan kenikmatan seksual', istilah teknis operasionalnya, o-r-g-a-s-m-e.

Saat memfasilitasi workshop penarasian memori beberapa waktu lalu, aku juga iseng melontarkan pertanyaan yang di forum --pesertanya laki-laki dan perempuan. Seingatku ada dua perempuan yang menjawab.

'Kalau aku hanya 2-3, pak" kata Sita --bukan nama sebenarnya.

'Nek aku yo podo pak. Biasane bojoku nek "wis" yo langsung ngorok,' Detta menimpali. Juga nama samaran.

Harus diakui, laki-laki sangat dimanjakan oleh berbagai instrument sosial, lebih-lebih keagamaan, untuk bebas berkehendak di atas ranjang. Tentu saja ada konsep egaliter dalam al-Quranemyangkut relasi suami-istri, misalnya, wa'asyiruhunna bi al-ma'ruf (menggauli istri dengan baik) dan/atau hunna libasu al-lakum wa antum libasu al-lahun (istri adalah pakaian suami, pun sebaliknya).

Namun, terdapat teks Quranik benderang yang kerap menjadi basis legitimasi kesewenangan laki-laki atas pasangannya, misalnya saja, nisaukum khartsu al-lakum fa'tu khartsakum anna syi'tum --pasanganmu adalah ladangmu, maka datangilah ia dengan cara yang kamu suka.

Mungkin itu sebabnya, bagi laki-laki yang suka bergaya "aneh" di atas ranjang tanpa peduli consent pasangannya, kerap akan menggunakan jurus domestic-confidentiality untuk berkelit.

Dari sini, apakah Anda sudah paham dengan istilah 'consent' dan "domestic-confidentiality"? Jika belum, aku akan jelaskan.

Consent itu penerimaan yang didasarkan atas kepahaman akan dampak maupun resikonya. Masih belum paham? Kira-kira begini contohnya; "Mama, aku pengen WOT. Konsekuensinya, lututmu mungkin akan lebih mudah capek lututmu tapi bla...bla...bla... Gimana, boleh?"
Kalau istrimu ok, ya lanjut.

Sedangkan confidentiality-domestic adalah kerahasiaan keluarga. 'Awas lho ya, jangan diomongin ke tetangga  kalau aku habis mukul kamu. Ini aib, Ma, aib...." Kira-kira seperti itu contohnya.

Aku tidak sempat menanyai Pak Tar, berapa banyak gaya bercinta yang ia praktekkan. Itu sangat ditentukan oleh sejauhmana ia mengakses pengetahuan tentang itu. Jika ia membiarkanku 5 menit saja bersama gadgetnya, aku bisa tahu sedekat apa seseorang dengan pornografi; cek recent history browser, lihat folder gallery, dan masih ada trik lainnya. Sayangnya, Pak Tar tidak memakai smartphone.

Pak Tar mungkin akan sangat kecewa jika tahu memaksa pasangan (istri) berhubungan intim merupakan tindak pidana, menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pak Tar bisa jadi terkaget-kaget melihat betapa panasnya perdebatan legislatif atas UU a quo kala itu. Kabarnya, pernah ada anggota DPR yang mencak-mencak, "Ini negara model apa kok mau ngurusin ranjang seseorang!"

Mungkin legislator tersebut merasa terhina saat negara memasang 'cctv' di kamarnya untuk mengetahui apakah ada penindasan di atas kasur atau tidak. Ia sangat mungkin tidak sendirian karena bisa jadi puluhan juta laki-laki sepakat dengannya --tak rela kejantanan yang didedahkan dengan cara sewenang-wenang berujung pidana.

Saat polemik RUU tersebut mencuat, saya teringat, SCTV menggelar diskusi terbuka. Rosiana Silalahi sebagai hostnya, jika memoriku tak tergerus. Ada perempuan didatangkan ke acara itu dan ia berbicara di balik korden hitam.

Perempuan itu menceritakan pengalamannya. Setiap kali ingin berhubungan intim, suaminya selalu merebus timun terlebih dahulu, sejam sebelum ML. Besarnya kira2 seukuran timun yg sekilo isi tiga biji.  Setelah agak kenyal, timun itu didiamkan ke dalam air dingin beberapa menit, lalu dipasangi kondom.
"Trus gimana, bu?" tanya Rosi.
"Yaaa 'itunya' bapak masuk ke anu saya, timunnya masuk ke dubur," jawabnya enteng.
"Nggak sakit?' Rosi menimpali agak begidik
" Ya sakit sekali. Lebih dari sepuluh tahun seperti itu, Mbak"

Menurut perempuan tersebut, ia mau melakukan itu karena tugas istri adalah membahagiakan suami, meski sakit. "Nanti kalau nggak dituruti dan cari perempuan lain,

Aku miris sekali menyaksikan tayangan itu, sembari berfikir apa yang sebenarnya ada dalam benak suaminya. Is it love? Hatred? Or just one of symptoms of vagina-envy-syndrome?

Percayalah padaku, ada ribuan perempuan yang masih tersandera di ranjang suaminya. Jika tidak percaya, silahkan cek di Komnas Perempuan. Datanya melimpah ruah Cukup untuk membuat kita, para lelaki, berhenti semena-mena.

Aku kembali ingat Pak Tar. Besok pagi kami satu forum lagi di warkop pasar pithik.

Friday, April 7, 2017

Jeruk & Sindrom-Iri-Vagina

Lihatlah keranjang dengan tumpukan jeruk di atasnya. Itu adalah lapak milik Pak Tar, lelaki yang ada di depan saya saat cerita ini aku tulis. Ia bisa katakan salah satu jamaah kopi pagi di mana aku adalah anggotanya.

Pak Tar menurutku sangat cerdas, terutama ketika membaca pasar. Saat pepaya lagi booming, ia menggelar buah itu beberapa hari di lapaknya, sampai datang musim buah lain. Ingatan saya, selain pepaya dan jeruk, ia paling sering menjual pisang. Jika musim durian berlangsung, ia segera merotasi dagangannnya.

Saat pasar buah sedang letih bercampur lesu, ia mengambil 'sabbatical day' dengan cara ikut menjadi buruh bangunan di proyek perumahan milik developer atau individual.

Itu sebabnya, ia hampir tak pernah kesulitan dengan ketersedian uang. Pernah ia mengatakan, paling sedikit ia bisa mengumpulkan minimal 200 ribu dari jualan minimalis seperti itu. Kalikan angka itu dalam 20 hari, dan bandingkanlah dengan penghasilan kalian selama sebulan.

Aku meyakini penghasilan trtsebut menjadi faktor kunci konfidensi Pak Tar dalam berelasi, termasuk dengan pasangannya.

Dengan gayanya yang ceplas-ceplos terbuka, baru saja ia menceritakan sekelumit kehidupan seksualnya di hadapan kami, para jamaah pasar pitik.

"Aku menetapkan undang-undang pada istriku," ujarnya dengan suara menggelegar. "Setiap malam, istriku wajib menawariku berhubungam seksual, nggak peduli aku butuh atau tidak. Pokoknya harus ditawari," tambah laki-laki berkulit gelap ini.

Penawaran tersebut, menurutnya, harus disuarakan dalam keadaan telanjang. Pak Tar juga menerapkan prosedur ketat bagaimana mereka saat tidur. "Nggak boleh pakai underwear! Awas kalau ketahuan pakai celana dalam, aku gunting," ia tegas.

Iseng aku nanya bagaimana kalau istrinya capek atau sedang tidak berhasrat. Pak Tar langsung menimpaliku bahwa tugas istri adalah melayani, membuat suami puas di ranjang. "Mana berani ia melawanku? Apa dia ingin aku cari perempuan lain?" ia terkekeh-kekeh.

Memoriku langsung menggulung ke belakang, melacaki teks-teks keagamaan yang berpotensi menjadi basis argumentasi Pak Tar. Aku tentu saja tanpa kesulitan menemukan beberapa.

Dalam pandanganku, teks-teks keagamaan Islam --sepanjang menyangkut urusan persenggamaan masih terlalu berpihak kepada laki-laki. Kenikmatan derit kasur sangat kurang terkonsentrasi melayani syahwat perempuan. Entah kenapa, namun aku curiga teks-teks bernada demikian disusun dengan nalar yang mengidap semacam sindromada. Aku menamainya sindrom-iri-vagina --aku belum gugling apakah istilah ini sudah ada secara akademik.

Sindrom ini menggambarkan kecemburuan laki-laki yang rata-rata mengalami ejakulasi lebih cepat dibanding perempuan. Laki-laki terobsesi itu, ingin memilikinya, namun tidak cukup punya kemampuan mengetahuinya caranya.

Keirian ini selanjutnya menggumpal dan mendorong praktek dekstruktif terhadap obyek yang di-iri-i. Kalian paham dengan penjelasanku? Aku pakai analogi begini saja, jika ada warung yang menjual dagangan persis sama dengan milik kalian, dan ternyata jauh lebih ramai pengunjungnya, apa yang akan kalian lakukan? Jika pilihan kalian adalah melakukan sabotase atasnya --alih2 mencontoh praktek bisnisnya-- maka, begitulah kira  sindrom-iri-vagina itu.

Namanya juga iri hati, pengidapnya kerap tidak mampu mengendalikan  obsesinya. Setiap hari ia mengalami kedukaan mahahebat, meratapi 'kekurangan'nya itu. Dan pada akhirnya membuat serangkaian 'ajaran' untuk diterapkan.

Aku menduga sunat kepada perempuan adalah bagian reflektif atas sindrome itu. Perempuan dicurigai memiliki kadar syahwati berlebihan, yang oleh karenanya perlu "normalisasi". Caranya, ya dilukai organ reproduksinya, agar tidak binal. Dan masih ada ajaran-ajaran lainnya.

Agar ajaran ini langgeng, maka ia kemudian distempel dengan klaim agama dan membangun argumentasi sektoral-akademik untuk menjustifikasinya. I presume.

Kembali ke Pak Tar, ternyata ia sudah tidak di tempatnya saat aku menyelesaikan tulisan ini.