Begitu mendapat undangan prosesi arakan salib Paskah di GKJW Jombang, aku langsung mencatat tanggalnya di kalender, Sabtu (15/4). Selama ini aku tak pernah melihat secara langsung bagaimana episode penting Yesus di Bukit Golgota. Paling-paling hanya bisa menyaksikannya melalui koran, internet atau saat film Passion of Christ-nya Mel Gibson diputar.
Itu sebabnya, aku sudah berencana memenggal kuliahku yang memang merendeng dari jam 8.30 - 16.00 hari ini. Memang berat mengkompromikan jadwal nonton prosesi dengan kewajiban masuk kelas --apalagi hari ini dimulainya matakuliah baru 'Filsafat Hukum Keluarga Islam'.
Tuhan ternyata masih berpihak padaku. Matakuliah Dr. Miftah diakhiri jam 15.30 setelah lelaki asal Lamongan ini menutupnya dengan membagi tugas presentasi.
"Antum coba bikin presentasi gegerannya Imam Ghazali vs Ibnu Rusyd ya. Dan jangan lupa menautkan implikasi filosofisnya terhadap formasi sistem hukum keluarga Islam," ujarnya sembari menunjuk kepadaku.
"Matek!" aku merutuk dalam hati. Namun demi percepatan bubarnya kelas maka aku iyain saja.
Segera aku memacu Shogun bututku ke arah kota, menjauhi Tebuireng, kampus Sabtu-Mingguku.
Aku tak mau kehilangan moment bersejarah ini. Bagi GKJW Jombang --gereja tempat banyak temanku berproses-- prosesi Paskah ini adalah yang pertama kalinya sejak gereja ini didirikan. Kalian tahu berapa usianya? 95 tahun! Dan baru kali ini mereka punya keberanian melakukan arakan.
Mereka selalu diliputi kecemasan antara menggelar atau tidak. Dan kecemasan itu telah menyandera mereka selama 94 tahun hingga hari ini.
Seperti aku duga, polisi telah berjaga-jaga menutup akses ke jalan Adityawarwan dari pertigaan Kartini. Ada beberapa tentara dan tentu saja cukup banyak intel berseliweran. Dari mana aku tahu mereka intel? Aku punya radar untuk itu:).
Segera aku hubungi kawanku di Jawa Pos agar meliput momentum bersejarah ini. Aku memang tak pernah mampu membayangkan arakan salib bisa dihelat di Kota Santri ini, apalagi ditengah mengamuknya badai intoleransi Pilkada Jakarta. Sungguh.
Bersyukur aku bisa menyaksikan dari awal hingga "Yesus" diturunkan dan acara bubar. Kalian tahu siapa yang berperan jadi Yesusnya? Dia adalah Nanda, calon pendeta yang tengah vikar di gereja tersebut. Nanda adalah pengisi Ngaji Gus Dur putaran III. Saat itu ia mempresentasikan skripsinya tentang Gus Dur dan pluralisme.
"Cuk, ternyata kamu to yang tadi disalib," sapaku tertawa saat usai acara dan ia menghampiriku yang sedang makan soto dengan Pendeta Chrysta Andrea --senior di GKJW.
Nanda hanya cengengas-cengenges saja, "Suwun rawuhipun, Gus".
Rasanya hanya aku saja undangan yang datang dari Muslim, tidak termasuk aparat keamanan yang menjaga prosesi itu.
Memang ada banyak perempuan berkerudung sebagaimana tampak di foto. Namun mereka bukanlah muslimah, melainkan jemaat perempuam GKJW yang tengah berbusana dalam konteks zaman Yesus hidup.
Sepanjang pengetahuanku, wafat atau tidaknya Yesus/Isa merupakan polemik yang tak berkesudahan. Ada banyak teori tentang kematian sosok penting bagi umat Kristiani. Jangankan antara Kristen dan Islam, di internal Islam sendiri saja belum ada kata sepakat. Para penafsir al-Quran yang hidup ratusan/ribuan tahun pasca Yesus masih bersitegang mengartikan diksi 'mutawaffika' di Surah Maryam. Beginilah jika aspek historis dan teologis diaduk-aduk tak karuan. Rumit.
Aku sendiri pernah menulis artikel pendek menyangkut misteri penyaliban Yesus dari perspektif Islam, judulnya "Kematian Berkabut; Refleksi Personal Menghormat Paskah". Anda mungkin akan menemukan sesuatu yang sangat mungkin tidak diajarkan selama anda di SD hingga kuliah di institusi Islam, termasuk di pesantren.
Aku benar-benar menikmati perayaan ini, sebagaimana aku larut bersama ratusan warga Hindu Senduro di kaki Gunung Semeru saat pawai ogoh-ogoh kemarin. Aku benar-benar merasakan bagaimana menjadi minoritas di tengah lautan manusia ---seberapa sering kita mendapat pengalaman seperti ini?
Maka, segera aku kirim impresi ke kawanku yang menjadi jurnalis, melalui whatsapp, "Sebagai umat Islam, aku mengapresiasi perayaan keagamaan ini, sebagaimana aku mengapresiasi perayaan Maulid, Nyepi, atau yg lain. Perayaan ini sekaligus makin mengokohkan Jombang sebagai Kota Santri sekaligus Kota Toleransi,"
Semoga beritanya bisa kalian nikmati di Radar Jombang Jawa Pos esok pagi, Minggu.
Happy Easter, fellas!
Refleksi yang bernas Gus.
ReplyDeleteSalam persahabatan.