Pages

Friday, April 7, 2017

Jeruk & Sindrom-Iri-Vagina

Lihatlah keranjang dengan tumpukan jeruk di atasnya. Itu adalah lapak milik Pak Tar, lelaki yang ada di depan saya saat cerita ini aku tulis. Ia bisa katakan salah satu jamaah kopi pagi di mana aku adalah anggotanya.

Pak Tar menurutku sangat cerdas, terutama ketika membaca pasar. Saat pepaya lagi booming, ia menggelar buah itu beberapa hari di lapaknya, sampai datang musim buah lain. Ingatan saya, selain pepaya dan jeruk, ia paling sering menjual pisang. Jika musim durian berlangsung, ia segera merotasi dagangannnya.

Saat pasar buah sedang letih bercampur lesu, ia mengambil 'sabbatical day' dengan cara ikut menjadi buruh bangunan di proyek perumahan milik developer atau individual.

Itu sebabnya, ia hampir tak pernah kesulitan dengan ketersedian uang. Pernah ia mengatakan, paling sedikit ia bisa mengumpulkan minimal 200 ribu dari jualan minimalis seperti itu. Kalikan angka itu dalam 20 hari, dan bandingkanlah dengan penghasilan kalian selama sebulan.

Aku meyakini penghasilan trtsebut menjadi faktor kunci konfidensi Pak Tar dalam berelasi, termasuk dengan pasangannya.

Dengan gayanya yang ceplas-ceplos terbuka, baru saja ia menceritakan sekelumit kehidupan seksualnya di hadapan kami, para jamaah pasar pitik.

"Aku menetapkan undang-undang pada istriku," ujarnya dengan suara menggelegar. "Setiap malam, istriku wajib menawariku berhubungam seksual, nggak peduli aku butuh atau tidak. Pokoknya harus ditawari," tambah laki-laki berkulit gelap ini.

Penawaran tersebut, menurutnya, harus disuarakan dalam keadaan telanjang. Pak Tar juga menerapkan prosedur ketat bagaimana mereka saat tidur. "Nggak boleh pakai underwear! Awas kalau ketahuan pakai celana dalam, aku gunting," ia tegas.

Iseng aku nanya bagaimana kalau istrinya capek atau sedang tidak berhasrat. Pak Tar langsung menimpaliku bahwa tugas istri adalah melayani, membuat suami puas di ranjang. "Mana berani ia melawanku? Apa dia ingin aku cari perempuan lain?" ia terkekeh-kekeh.

Memoriku langsung menggulung ke belakang, melacaki teks-teks keagamaan yang berpotensi menjadi basis argumentasi Pak Tar. Aku tentu saja tanpa kesulitan menemukan beberapa.

Dalam pandanganku, teks-teks keagamaan Islam --sepanjang menyangkut urusan persenggamaan masih terlalu berpihak kepada laki-laki. Kenikmatan derit kasur sangat kurang terkonsentrasi melayani syahwat perempuan. Entah kenapa, namun aku curiga teks-teks bernada demikian disusun dengan nalar yang mengidap semacam sindromada. Aku menamainya sindrom-iri-vagina --aku belum gugling apakah istilah ini sudah ada secara akademik.

Sindrom ini menggambarkan kecemburuan laki-laki yang rata-rata mengalami ejakulasi lebih cepat dibanding perempuan. Laki-laki terobsesi itu, ingin memilikinya, namun tidak cukup punya kemampuan mengetahuinya caranya.

Keirian ini selanjutnya menggumpal dan mendorong praktek dekstruktif terhadap obyek yang di-iri-i. Kalian paham dengan penjelasanku? Aku pakai analogi begini saja, jika ada warung yang menjual dagangan persis sama dengan milik kalian, dan ternyata jauh lebih ramai pengunjungnya, apa yang akan kalian lakukan? Jika pilihan kalian adalah melakukan sabotase atasnya --alih2 mencontoh praktek bisnisnya-- maka, begitulah kira  sindrom-iri-vagina itu.

Namanya juga iri hati, pengidapnya kerap tidak mampu mengendalikan  obsesinya. Setiap hari ia mengalami kedukaan mahahebat, meratapi 'kekurangan'nya itu. Dan pada akhirnya membuat serangkaian 'ajaran' untuk diterapkan.

Aku menduga sunat kepada perempuan adalah bagian reflektif atas sindrome itu. Perempuan dicurigai memiliki kadar syahwati berlebihan, yang oleh karenanya perlu "normalisasi". Caranya, ya dilukai organ reproduksinya, agar tidak binal. Dan masih ada ajaran-ajaran lainnya.

Agar ajaran ini langgeng, maka ia kemudian distempel dengan klaim agama dan membangun argumentasi sektoral-akademik untuk menjustifikasinya. I presume.

Kembali ke Pak Tar, ternyata ia sudah tidak di tempatnya saat aku menyelesaikan tulisan ini.

No comments:

Post a Comment