Pak Tar ternyata sibuk melayani pembeli. Aku sendiri sudah cukup lama nongkrong di warung kopi itu. Saatnya membeli lombok dan telur --pesanan pasanganku-- ke pasar sebelah.
Sosok 'kejantanan egois' Pak Tar, mengingatkanku pada curhat colongan seorang teman aktifis saat kami ngobrol 8 tahun lalu, bersama banyak kawan. Ia ada di friend lists FBku.
"Dari 10 kali hubungan seksual dengan suamiku, aku hanya 'nyampe' sekali saja," katanya dengan derai tawa.
'Nyampek' adalah istilah lain dari 'mendapatkan kenikmatan seksual', istilah teknis operasionalnya, o-r-g-a-s-m-e.
Saat memfasilitasi workshop penarasian memori beberapa waktu lalu, aku juga iseng melontarkan pertanyaan yang di forum --pesertanya laki-laki dan perempuan. Seingatku ada dua perempuan yang menjawab.
'Kalau aku hanya 2-3, pak" kata Sita --bukan nama sebenarnya.
'Nek aku yo podo pak. Biasane bojoku nek "wis" yo langsung ngorok,' Detta menimpali. Juga nama samaran.
Harus diakui, laki-laki sangat dimanjakan oleh berbagai instrument sosial, lebih-lebih keagamaan, untuk bebas berkehendak di atas ranjang. Tentu saja ada konsep egaliter dalam al-Quranemyangkut relasi suami-istri, misalnya, wa'asyiruhunna bi al-ma'ruf (menggauli istri dengan baik) dan/atau hunna libasu al-lakum wa antum libasu al-lahun (istri adalah pakaian suami, pun sebaliknya).
Namun, terdapat teks Quranik benderang yang kerap menjadi basis legitimasi kesewenangan laki-laki atas pasangannya, misalnya saja, nisaukum khartsu al-lakum fa'tu khartsakum anna syi'tum --pasanganmu adalah ladangmu, maka datangilah ia dengan cara yang kamu suka.
Mungkin itu sebabnya, bagi laki-laki yang suka bergaya "aneh" di atas ranjang tanpa peduli consent pasangannya, kerap akan menggunakan jurus domestic-confidentiality untuk berkelit.
Dari sini, apakah Anda sudah paham dengan istilah 'consent' dan "domestic-confidentiality"? Jika belum, aku akan jelaskan.
Consent itu penerimaan yang didasarkan atas kepahaman akan dampak maupun resikonya. Masih belum paham? Kira-kira begini contohnya; "Mama, aku pengen WOT. Konsekuensinya, lututmu mungkin akan lebih mudah capek lututmu tapi bla...bla...bla... Gimana, boleh?"
Kalau istrimu ok, ya lanjut.
Sedangkan confidentiality-domestic adalah kerahasiaan keluarga. 'Awas lho ya, jangan diomongin ke tetangga kalau aku habis mukul kamu. Ini aib, Ma, aib...." Kira-kira seperti itu contohnya.
Aku tidak sempat menanyai Pak Tar, berapa banyak gaya bercinta yang ia praktekkan. Itu sangat ditentukan oleh sejauhmana ia mengakses pengetahuan tentang itu. Jika ia membiarkanku 5 menit saja bersama gadgetnya, aku bisa tahu sedekat apa seseorang dengan pornografi; cek recent history browser, lihat folder gallery, dan masih ada trik lainnya. Sayangnya, Pak Tar tidak memakai smartphone.
Pak Tar mungkin akan sangat kecewa jika tahu memaksa pasangan (istri) berhubungan intim merupakan tindak pidana, menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pak Tar bisa jadi terkaget-kaget melihat betapa panasnya perdebatan legislatif atas UU a quo kala itu. Kabarnya, pernah ada anggota DPR yang mencak-mencak, "Ini negara model apa kok mau ngurusin ranjang seseorang!"
Mungkin legislator tersebut merasa terhina saat negara memasang 'cctv' di kamarnya untuk mengetahui apakah ada penindasan di atas kasur atau tidak. Ia sangat mungkin tidak sendirian karena bisa jadi puluhan juta laki-laki sepakat dengannya --tak rela kejantanan yang didedahkan dengan cara sewenang-wenang berujung pidana.
Saat polemik RUU tersebut mencuat, saya teringat, SCTV menggelar diskusi terbuka. Rosiana Silalahi sebagai hostnya, jika memoriku tak tergerus. Ada perempuan didatangkan ke acara itu dan ia berbicara di balik korden hitam.
Perempuan itu menceritakan pengalamannya. Setiap kali ingin berhubungan intim, suaminya selalu merebus timun terlebih dahulu, sejam sebelum ML. Besarnya kira2 seukuran timun yg sekilo isi tiga biji. Setelah agak kenyal, timun itu didiamkan ke dalam air dingin beberapa menit, lalu dipasangi kondom.
"Trus gimana, bu?" tanya Rosi.
"Yaaa 'itunya' bapak masuk ke anu saya, timunnya masuk ke dubur," jawabnya enteng.
"Nggak sakit?' Rosi menimpali agak begidik
" Ya sakit sekali. Lebih dari sepuluh tahun seperti itu, Mbak"
Menurut perempuan tersebut, ia mau melakukan itu karena tugas istri adalah membahagiakan suami, meski sakit. "Nanti kalau nggak dituruti dan cari perempuan lain,
Aku miris sekali menyaksikan tayangan itu, sembari berfikir apa yang sebenarnya ada dalam benak suaminya. Is it love? Hatred? Or just one of symptoms of vagina-envy-syndrome?
Percayalah padaku, ada ribuan perempuan yang masih tersandera di ranjang suaminya. Jika tidak percaya, silahkan cek di Komnas Perempuan. Datanya melimpah ruah Cukup untuk membuat kita, para lelaki, berhenti semena-mena.
Aku kembali ingat Pak Tar. Besok pagi kami satu forum lagi di warkop pasar pithik.
No comments:
Post a Comment