Ada banyak yang belum bisa menerima potret Lady Sukayna dalam tulisan tersebut. "Mana mungkin cicit Nabi bisa sesembrono itu? Tidak patuh pada suami dan mempermalukan keluarga besarnya," kira-kira demikian. Faksi ini berusaha sekuat tenaga menolak citra-sungguh Sukayna karena berbeda dengan imajinasi idealitas perempuan/istri yang selama ini ada.
MADINAH KOTA RAMAH GENDER
Encyclopaedia of Islam tidak menyebut pasti di mana Sukayna lahir dan kapan. Ini agak aneh mengingat buku berjilid-jilid ini dikenal cukup komplit. Namun berpijak pada wilayah di mana keluarga Sukayna hidup sebelum Peristiwa Karbala, maka saya meyakini Sukayna lahir dan besar di Madinah.
Anda tahu, pada zaman Nabi, Madinah dikenal unik dan sangat kontras dengan Makkah dalam hal kuatnya kultur patriarkhal. Madinah lebih kosmopolit dan -katakanlah- relatif sensitif gender. Para perempuannya lebih ekspresif, laki-lakinya tidak bebal dan egois. Bahkan transgender bisa hidup berdampingan dan malahan
bersosialita dengan para istri nabi.
Sedangkan Makkah justru sebaliknya. "We men of Quraysh dominate our women," kata Umar bin Khattab. Itulah kenapa ia kaget dan gusar sekali mendapati perempuan Madinah yang dianggap suka membantah laki-laki dan protesan. Misalnya saja, dalam hal nusyuz atau seputar tarik-ulur kebolehan suami menyodomi istri.
"When we arrived in Medina we saw that Ansar let themselves be dominated by theirs. Then our women began to copy their habits," kritik Umar seperti direkam Sahih Bukhari dalam hadith panjang yang
dinarasikan Abdullah bin Abbas.
Umar memang pantas kuatir karena istrinya sendiri, yang diam-diam
ternyata mengagumi style perempuan Madina, sudah berani memprotesnya ketika merasa diperlakukan tidak adil. Umar juga dikenal resisten atas gaya egalitarian Nabi terhadap perempuan.
Kelak saat menjadi khalifah kedua, Umar dikenal memiliki kebijakan cukup represif terhadap perempuan.
Fetima Mernissi sendiri membungkus cara pandang Umar bin Khattab kira-kira demikian; Islam hanya mengatur urusan publik dan spiritualitas an sich. Sedangkan urusan privat --rumah tangga, tetap disandarkan sepenuhnya pada tradisi pra-Islam, yang misoginis
sebagaimana saat ini. Bagi saya, perspektif Umar ini merupakan langkah mundur.
Nah, Lady Sukayna hidup dalam sisa-sisa kejayaan feminisme awal Islam Madinah.
DIRAWAT AJARAN MUHAMMAD
Di samping itu, ia juga tumbuh dikelilingi komunitas ahl al-bayt yang terkenal pandai merawat warisan ajaran positif buyutnya, Muhammad SAW, termasuk dalam hal bagaimana memperlakukan perempuan.
Nabi diceritakan bukan tipikal suami yang antikritik dari para istrinya. A’isha, istri Nabi, pernah memprotes suaminya karena dianggap tidak sensitif gara-gara sering menceritakan mendiang Khadijah dihadapannya.
Hafsa, istri nabi yang lain, pernah merajuk pada suaminya. Ketika Umar bin Khattab, ayah Hafsah, meminta Nabi menggunakan cara laki-laki Quraisy untuk menundukkan istri-istrinya, Nabi hanya tersenyum, emoh mengikuti saran Umar. .
Nabi bahkan pernah dikabarkan meminta Umar berhenti memukul
perempuan-perempuan yang ikut takziyyah ke makam Ruqayya, putri Nabi. Umar rupanya tidak suka melihat perempuan menangis-duka di kuburan. "Let them weep, Umar. But beware of braying of Satan" cegah Nabi.
Lady Sukayna juga sangat mungkin tahu cerita betapa buyutnya, Muhammad SAW, membiarkan rombongan perempuan Madinah dan Makkah berjalan di depan rombongan laki-laki Anshar dan Muhajirin saat mengarak perkawinan nenek-kakeknya, Fatimah-Ali, menuju masjid Madinah.
Formasi perempuan di depan laki-laki, menurut saya, merupakan simbol 'sepele' yang punya makna serius dalam arus besar perubahan yang dinginkan Islam seputar relasi laki-laki dan perempuan, sebelum akhirnya dibonsai Umar. Pendek kata, Lady Sukayna tumbuh dan berkembang dengan hal-hal itu.
Disamping itu, saya meyakini ia secara khusus mewarisi keberanian dari bapak dan ibunya. Al-Husayn, bapaknya, dikenal sosok pemberani dan ekspresif dalam menyatakan ketidaksetujuannya pada rezim Umayyah, ketimbang kakaknya –al-Hassan- yang cenderung pacifis dan
kompromistis.
Meski ibunya meninggal dunia setahun pasca-Karbala, karena kedukaan mendalam ditinggal suaminya, namun darah seni ibunya mengalir deras di nadi Lady Sukayna. Itu pula yang menjelaskan alasan nama Sukayna terbakukan dalam A History of Arabian Music to the XIIIth Century karya George Farmer.
Di buku ini, ia tercatat sebagai sosok penting supporter kesenian, bersama-sama nama-nama lain, seperti A'isha bint Abu Bakar, al-Hasan, Sa'ad bin Abi Waqqas, A'isha bint Sa'd, Mus'ab bin al-Zubair, A'isha bint Talhah, dan Abdallah ibn Ja'far.
ANTARA ZAYNAB DAN KARBALA
Pelacakan saya menunjukkan Peristiwa Karbala tidak bisa diabaikan dalam pembentukan watak dan karakter Lady Sukayna. Karbala merupakan tragedi pembantaian massal keluarga Sukayna oleh rezim Umayyah yang dipimpin Yazid I.
Perbedaan pandangan politik menyebabkan lebih dari 70an orang terbunuh mengenaskan, termasuk ayahnya sendiri dan 17 orang saudara Sukayna. Ia sendiri ada di sana menyaksikan kekejaman itu.
Sukayna bersama yang selamat –kebanyakan perempuan—ditawan dan mengalami berbagai pengalaman yang tidak mengenakkan. Dengan tubuh terluka, mereka diarak menuju Kufah -170 km utara Baghdad Irak.
Tawanan perempuan dipaksa tidak mengenakan burqa untuk dipermalukan di hadapan publik. Yang lebih menyesakkan, mereka diarak bersama puluhan penggalan kepala milik ayah dan saudara-saudaranya.
Ada sosok penting yang juga ikut ditawan, yakni Lady Zaynab, tantenya Sukayna, cucu Nabi Muhammad. Zainab dikenal sebagai the heroine of Karbala mengingat jasa besarnya melindungi para tawanan. Dia tidak hanya seorang ibu rumah tangga handal namun juga seorang intelektual cum tukang debat handal dengan keberanian mengagumkan.
Historikus seperti Badr Shahin dan Ibrahim Muhammad Khalifeh mendeskripsikannya 'She was marvellous in intelligence and cleverness".
Kepiawaiannya berdebat dan orasi pernah ditulis oleh Ali Qa'emi,
sebagaimana dikutip Peter Chelkowski, "There was no other more eloquent woman than Zaynab; when she spoke, men held their breath. One person who heard her speak said, 'I swear to God that I have never heard a woman with such lucid, clear, and accurate language and such logical rhetoric in my life,"
Zaynab mendemonstrasikan kemampuan-kemampuannya ini untuk melindungi dan membebaskan para tawanan dari rezim Yazid I. Beberapa kali ia bentrok argumen dengan khalifah Yazid I dan lingkaran elitnya di
hadapan publik maupun pengadilan.
Sewaktu para tawanan dan yang tewas dihadapkan ke pengadilan, Khalifah Yazid hadir dan menginspeksi jejeran kepala di lantai sembari memukul-mukulkan tongkatnya ke kepala-kepala tersebut.
Rupanya Yazid terganggu saat mendengar ada yang keberatan atas tingkahnya itu. “Siapa perempuan arogan ini? “ Yazid bertanya keras ke kerumunan
perempuan yang juga hadir menyaksikan.
Lady Zaynab langsung berdiri, menghampiri Yazid face to face, "Kenapa tanya ke mereka? Tanya langsung ke aku dong. Aku kasih tahu; Aku adalah cucu Muhammad, anak Fatimah. Ayo mau tanya apa ke aku, Yazid?"
Pengunjung sidang sontak tercengang dengan keberanian Zaynab yang terus berorasi menyatakan sikapnya.
Zaynab juga sengit melawan petinggi anak buah Yazid yang meminta Fatimah bint Husayn, tawanan perempuan paling muda (dan cantik), saudari Lady Sukayna, untuk dijadikan selir/istri. “Orang Damaskus tidak pantas
(worthy) dan juga tidak punya otoritas untuk itu,” ketus jawabnya.
Mendengar hal tersebut, Yazid langsung berusaha membela anak buahnya dengan mengatakan dialah yang berwenang dan satu-satunya orang yang bisa menentukan semuanya di sidang. Namun dengan sinis, Lady Zaynab membalasnya, “You, a commander who has authority, are vilifying unjustly and oppress with your authority,"
Masih banyak sekuel indah perlawanan Lady Zainab pasca-Karbala yang saya yakini disaksikan para keponakannya, termasuk Lady Sukayna. Kita rasanya tidak akan kesulitan membayangkan betapa kuatnya pengaruh peristiwa-peristiwa ini menggurati pribadi Lady Sukayna saat dewasa .
Apalagi, setelah para tawanan dibebaskan, Lady Zaynab mengajak Sukayna menjelajahi Mesir dan menetap di sana beberapa tahun. Gubernur Mesir menjadikan Zainab sosok penting sebagai sumber pengetahuan bagikeluarga dan warganya.
ANTIBIOTIK POLIGINI
Dalam konteks poligini, saya punya hipotesis personal; semakin
perempuan punya posisi tawar --terutama dari aspek ekonomi atau status sosial, serta pendidikan dan keberanian, maka (harusnya) semakin kecil kemungkinan ia bersedia dimadu. Saya menyebutnya sebagai tiga
antibiotik poligini.
Beberapa perempuan kontemporer yang memiliki antibiotik ini ini, saya
kira, adalah Dewi Yull dan Maia Esthianti. Keduanya menolak tunduk
pada hasrat-kuno-laki-laki yang ditawarkan suami mereka; Ray Sahetapy dan Ahmad Dhani.
Dari mana Sukayna memiliki antibiotik ini? Harus diakui terdapat banyak versi kisah hidup Sukayna. Namun saya belum pernah menemukan cerita di mana ia hidup meringkuk di bawah rezim poligini. Belum pernah.
Dugaan saya, monogami adalah prinsip utama perempuan ahl al-bayt –yang mewarisi darah suku Quraish.
Perempuan Quraish dikenal tangguh, terhormat, dan punya self-esteem kuat.
Dengan kualifikasi mentereng seperti itu, amatlah wajar jika perempuan Quraysh punya kontrol penuh pada dirinya untuk menentukan; dengan siapa mereka menikah dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Beberapa dari mereka malah dikenal punya banyak suami (tidak dalam arti poliandri), misalnya Khadijah dan Sukayna.
Saya melacak dua perempuan Qurays yang kemungkinan besar menjadi patron Sukayna dalam monogami; Khadijah bint Khuwaylid –buyutnya, istri Muhammad SAW, dan Fatimah bint Muhammad –neneknya, istri dari Ali bin Abi Thalib.
Keduanya berhasil membangun keluarga monogami hingga akhir hayat. Lebih jauh, Khadijah malah justru terlihat sangat percaya diri menyatakan perasaan cintanya pada Muhammad. Beginilah ucapannya saat bertemu Muhammad atas jasa Nufaysa, teman Khadijah yang juga mak comblangnya.
"O son of my uncle! I love you for your kinship with me, and for that
you are ever in the center, not being a partisan among the people for
this or for that. And I love you for your trustworthiness, and for the
beauty of your character and the truth of your speech."
Saya kira, hanya perempuan pilih-tandinglah yang berani menyatakan
gejolak hatinya tanpa pernah merasa minder menerima resiko penolakan.
Prinsip “ogah-dimadu” juga diikuti oleh Fatimah, putri Khadija dan Nabi.
Saat mengarungi biduk rumah tangganya dengan Ali, Fatimah tidak
terima akan dipoligini, dan melaporkannya ke Muhammad SAW. Nabi kemudian mengatakan siapapun yang menyakiti Fatimah berarti menyakiti dirinya. Ali pun surut. Belakangan, setelah Fatimah tiada, Ali melakukan poligini.
Lady Sukayna –sebagaimana Khadijah, Fatimah dan tantenya, Lady Zainab- dikenal antipoligini. Ia bahkan terkesan melampaui zamannya dalam upaya melindungi hak-haknya dalam perkawinan.
Sulit membayangkan ada perempuan yang sukses bernegoisasi dengan laki-laki terkait monogami hingga level perjanjian pra-nikah. Tidak mudah juga menemukan perempuan di Semenanjung Arabia pada tahun 700an masehi yang berani membawa laki-laki ke pengadilan gara-gara kepergok selingkuh.
KABUT “TAK BER-CHADOUR"
Integritas, keberanian, dan intelektualitas Lady Sukayna bahkan mengilham berdirinya sebuah majlis taklim perempuan di Rawalpindi Pakistan, semacam forum khusus di mana anggotanya bisa bertukar
gagasan, menyanyikan pujian, bahkan menghelat perayaan bagi Lady Sukayna. Rata-rata mereka tidak memakai burqa, jilbab atau chadour -pakaian khas yang biasa dikenakan perempuan Iran.
Nmaun detil ringan yang belum terpecahkan hingga saat ini adalah Lady Zaynab digambarkan selalu memakai chadour, dan jika sosoknya begitu kuat memahat kepribadian keponakannya, kenapa Lady Sukayna memilih tidak
berchadour? Apakah ini berkaitan dengan pengalaman pahitnya saat
dipaksa tidak berhijab oleh tentara Yazid? Apakah ia tengah melawan
sesuatu dengan menjadi barza? Ikuti tulisan selanjutnya.
Wallohu a’lam.
-----
Bahan Bacaan
1. Mernissi, F., 1996. Women's rebellion & Islamic memory.
2. Mernissi, F., 1991. The veil and the male elite: A feminist
interpretation of women's rights in Islam. Basic Books.
3. A. Arazi, Sukayna bt. Al-husayn, Lewis, B. and Pellat, J.S., The
Encyclopedia of Islam, vol. VIII, (Leiden: EJ Brill & London:
Luzac&Co, 1971).
4. Bahrul Uloom, Mohammad, the Tale of the Martyrdom of Imam Hussain: "The Kerbala Epic", [translation by Najim al-Khafaji], London : AB Cultural Institute for Arabic, 1977.
5. Pinault, D., 1998. Zaynab Bint Ali and the Place of the Women of
the Households of the First Imams in Shi'ite Devotional Literature.
Women in the Medieval Islamic World, ed. Gavin RG Hambly (New York: St. Martin's, 1998), pp.80-81.
6. Hyder, S.A., 2006. Reliving Karbala: Martyrdom in South Asian
Memory. Oxford University Press.
7. Aisha Othman, Reflections of a Wayfarer: Poetry of Islamic
Excellence, 2010, ISBN: 9781452007472.
8. Abd al-Malik Ibn Hishām and Isḥāq, M.I., 1967. The life of
Muhammad. Pakistan Branch, Oxford University Press.
9. Talhami, G., "Sukayna". 2012. Historical dictionary of women in
the Middle East and North Africa. Scarecrow Press.
10. Farmer, H.G., Weir, R., MA, B. and GRATITUDE, I.T.O., 1929. A
History of Arabian Music to the XIIIth Century.
10. Hamdar, A., 2009. Jihad of Words: Gender and Contemporary Karbala Narratives. The Yearbook of English Studies, pp.84-100.
11. Chelkowski, Peter. "Iconography of the Women of Karbala: Tiles,
Murals, Stamps, and Posters." The Women of Karbala: Ritual Performance and Symbolic Discourses in Modern Shi'i Islam, ed. Kamran Scot Aghaie (Austin: U of Texas P, 2005)
12. Rowson, Everett K. "The Effeminates of Early Medina." Journal of the American Oriental Society 111, no. 4 (1991): 671-93.
13. Stowasser. B.F., 1994. Women in the Qur’an, Tradition, and Interpretation. Oxford University Press.
14. Abbas, Shemeem Burne, “Sakineh The Narrator of Karbala: An
Ethnographic Description of a Women's Majles Ritual in Pakistan”, in Aghaie, Kamran Scot, ed. The Women of Karbala: Ritual Performance and Symbolic Discourses in Modern Shi'i Islam. University of Texas Press,
2009.
15. W. Montgomery Watt, "Khadija", the Encyclopaedia of Islam,
Brill-Leiden, Vol.IV.
16. L. Veccia Vaglieri, "Fatima", the Encyclopaedia of Islam New
Edition, Vol.II. p.841-859, Brill-Leiden.
17. L. Veccia Vaglieri, "Husayn N. 'Ali B. Abi Talib", The Encyclopaedia of Islam New Edition, p.607-615, Brill-Leiden
18. Al-Mufid, S., 1981. Kitāb al-irshād: the Book of Guidance into the Lives of the Twelve Imams. Tahrike Tarsile Quran. Translated by I.K.A. Howard, University of Edinburgh
19. Hatab, Z., 1978. Evolution of the Structures of the Arab Family.
Al-Raida Journal, pp.8-9.
20. Dictionary, M.W.S.C., 1996. Merriam-Webster. Incorporated 10th
edition edition.
21. Aceh, A., 1971. Sekitar Masuknja Islam ke Indonesia. Ramadhani.
22. Hilloowala, Y., 1993. Women's role in politics in the medieval Muslim world.
23. Madelung, W., 2012. Husayn B.‘Ali: Life and Significance in Shi
‘ism. This is an edited version of an article originally published in the Encyclopedia Iranica on December 15, 2004 available at
http://www.
iranicaonline.org; print, 12, p.2.