Pages

Friday, June 30, 2017

Doa Fitri dari Pdt. Ari Mustyorini

Sudah dua kali rombongan Forum Masyarakat Gresik Pecinta Keberagaman (FORMAGAM) bersilaturahmi lebaran ke rumah mertua saya di Ngampel Manyar Gresik. Tahun kemarin dan lebaran barusan.

Formagam adalah motor gerakan toleransi di luar struktur negara, semacam FKUB swasta. Saat deklarasi beberapa tahun lalu, mereka memanfaatkan momentum kedatangan ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman dalam acara sahur bersama di Pemkab Gresik. Naskah deklasinya ditandatangani istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.

Saya masih ingat, kala itu, sempat dikritik paspampres gara-gara menyisipkan acara penandatangan deklarasi. Tidak sesuai rundown yang tertera. "Mas, harusnya kami diberitahu sejak awal supaya bisa lapor komandan," kata anggota paspampres sembari memfoto naskah deklarasi, 30 menit sebelum ditandatangani. Saya nyengir kuda. Panitia lokal berharap-harap cemas, kuatir nggak diloloskan.

Mungkin itu sebabnya, saya merasa sangat dekat dengan Formagam hingga sekarang. Saya merasa dipelakukan seperti saudara, termasuk oleh Pdt. Ari Mustyorini, pendeta di GKJW Gresik.

Pagi itu, Kamis (29/6) ia memimpin rombongan Formagam menuju rumah mertua saya. Ia datang bersama seluruh keluarganya, dan beberapa teman Formagam; Mbak Nunik, Mbak Christina Ariani, si mungil Febe, dan Pak Eko dari Paroki Gresik.

Saya sadar rute rumah mertua saya agak rumit karena harus membelah Pasar Sembayat yang super meliuk-liuk. Itu sebabnya, meski sudah saya kirimi koordinat dari GoogleMap,  saya tetap merasa perlu menyanggong rombongan di mulut desa. "Desa Ngampel Manyar. Masuk Pasar Sembayat 1 km. Nanti tanya saja desa Ngampel. Setelah sampai  Ngampel, nanya saja rumah Amiroh, Hj. Askonah / (alm) Kiai Adnan," begitu bunyi WA saya ke dia, disusul dengan "share location".

Saya tunggui mereka di Warkop Mat Seri yang letaknya di tanggul desa. Desa Ngampel memang punya tanggul besar untuk mencegah luberan banjir dari Bengawan Solo.

Datang ke rumah, rombongan lantas saya perkenalkan dengan keluarga besar the Adnans, termasuk pasangan saya, Amiroh. Sayang sekali hampir semua kakak ipar saya tidak bisa ikut  jagongi rombongan. Mereka harus melawat ke Bungah untuk bersilaturahmi dengan keluarga pesantren di sana. Riyayan ke Bungah adalah kewajiban bagi the Adnans. Dulu yang menikahkan saya dengan Amiroh adalah alm. Kiai Maimun Bungah, sebab alm. ayah mertua mengalami masalah kesehatan --sebelum akhirnya meninggal dunia sehari setelah akad nikah.

Rasanya, baik Amiroh maupun saya, telah dirawat oleh tradisi menghormati orang yang kami anggap punya integritas-relijius. Kepada mereka, kami kerap meminta barokah doa. Benar bahwa setiap orang bisa memanjatkan doanya langsung pada Alloh, namun secara sosiologis, tetap saja selalu ada aktor-aktor intermediari (bahasa prokemnya; makelar) antara Tuhan dan manusia.

"Mbak, sebelum pamit, tolong aku minta barokah doanya ya," kata saya ke Mbak Ari. Mungkin ia tidak menyangka diminta demikian, sehingga saya kembali memperkuatnya, "Iya, sampeyan doain saya dan keluarga di sini,"

Maka Mbak Ari pun memimpin doa bersama --doa yang saya pahami, dengan khitab yang jelas dlomirnya. Disamping saya ada Mas Bas, ia adalah menantu the Adnans, suami kakaknya Amiroh. Saya tidak tahu apakah ia ikut mengamini atau tidak. Saya tidak terlalu memperhatikannya karena terus menunduk khusyuk saat doa diluncurkan.

Setelah berdoa, kami melakukan ritual wajib; berfoto ria --di rumah dan di pinggir tambak.

No comments:

Post a Comment