Pages

Saturday, June 3, 2017

The Wiseman Sarkaman

Saya cukup kesulitan menemukan arti kata Sarkaman meski cukup banyak entrynya di Google. Nama ini terindeks bersama nama-nama ulama besar tanah Jawa dan Madura, utamanya dengan awalan mbah.

Sarkaman adalah nama orang yang telah lama saya kenal. Lelaki berusia 63 tahunan ini hidup di lereng perbukitan Wonosalam, tepatnya di wilayah Bareng. Saya beranikan diri mengirim sms ke dia hanya untuk mengetahui arti nama itu.

"Mboten wonten artosipun Mas," jawabnya melalui pesan pendek.
Sarkaman bukanlah orang sembarangan. Ia pernah cerita betapa dulu banyak perwira kepolisian level kabupaten dan propinsi berkunjung ke rumahnya yang sangat sederhana, terutama untuk tujuan karir profesi. Bukan, Sarkaman bukan dukun, cenayang, atau kiai khos. Jauh dari itu.

'Dulu saya ini dipasrahi oleh pak Kapolri untuk menjaga perkebunannya di wilayah sini," ujarnya. Barangkali faktor itulah yang menyebabkan ia dianggap dekat dengan orang nomor satu di Trunojoyo kala itu. Kalau ingin karir polisinya meroket, tambahnya, seseorang perlu berbaik-baik dengan pucuk pimpinan, termasuk orang dekatnya.

Sarkaman sendiri merupakan salah satu majelis gereja. Sebagai pribadi yang komunikatif, Sarkaman adalah sosok penting di Bareng, setidaknya dalam gerakan massa. Sudah bertahun-tahun ia memperjuangkan nasib puluhan penggarap lahan di desanya bersengketa melawan pemilik lahan seluas ratusan hektare.

"Kami telah puluhan tahun menggarap lahan milik negara tersebut. Entah bagaimana jluntrungannya tiba-tiba kepemilikan berpindah ke perseorangan," tuturnya. Ia dan ratusan warga tetap bersikukuh atas lahan tersebut.
Sarkaman tidak bisa dikatakan terdidik. Ayah empat anak ini hanya jebolan sekolah rakyat. Namun ia cukup mafhum dengan regulasi seputar pertanahan.

Ia tak pernah minder dengan statusnya sebagai minoritas Kristen. Di Ngampungan, jumlah KK Kristen hanya 15, sangat jauh jika dibandingkan dengan kuantitas umat Islam. Meski demikian, jangan tanya kapasitasnya di politik lokal pedesaan.

"Di Ngampungan ada sekitar 4 sumber mata air. Tiga dikelola oleh PDAM. Sedangkan yang satu saya urus," ujarnya bangga. Ia mengklaim mengalirkan sumber air "miliknya" itu ke hampir 200an KK. Belum termasuk mushalla dan masjid. Ratusan KK itu cukup membayar iuran yang sangat murah dan dikelola bersama untuk merawat peralatan distribusi air . Sebagian besar untuk penggantian pipa dan kran.

Kuasa atas air ini pada gilirannya menjadikan Sarkaman punya basis legitimasi politik di sektor informal. Baginya bukanlah hal sulit untuk memenangkan seorang calon saat pemilihan umum di sektor yang ia kuasai.

"Mereka, para pengguna air, sangat loyal kepada saya. Bukan karena takut namun lebih pada kejujuran dan penghormatan yang selama ini menautkan kami," katanya.

Kejujuran tersebut nampak, misalnya, dalam arena politik elektoral pemilihan DPRD. Suatu ketika ada salah satu calon legislatif yang memintanya mendongkrak elektabilitasnya.

Untuk hal itu sang calon berjanji akan memberi bantuan jika menang. Saat mempertemukan calon dan warga, politisi tersebut menyerahkan sejumlah uang sebagai bagian dari adanya komitmen tersebut. Namun oleh Sarkaman ditolak sebab cara seperti itu berpotensi merugikan calon. "Jika akadnya ada 200 suara untuknya, saya yakin bisa meraihnya. Namun hal itu tidak cukup etis menurut saya,"

Sarkaman mengajukan model rekening bersama seperti yang kerap dilakukan dalam bisnis. Calon cukup membeli bantuan, misalnya pipa, di toko dan memberikan copy nota ke warga.

Mereka bisa mencairkan copy nota tersebut sepanjang mampu menepati janji kuota suara. Namun jika tidak tercapai, bantuan itu hangus.

"Saya emoh curang, Mas. Ndak ilok (dosa). Itu bertentangan dengan ajaran cinta kasih," ujarnya. Barangkali atas dasar senioritas dan personalitynya, warga desa mempercayainya sebagai juru mbukak bumi.

Mbukak bumi merupakan salah satu ritual penting keagamaan yang berkaitan dengan penggalian kubur. Tidak peduli yang meninggal Islam atau Kristen, Sarkaman -dan adiknya yang juga Kristen- merupakan individu yang berhak mengayunkan cangkul pertama menandai penggalian.

Sarkaman dengan jujur mengakui masa mudanya penuh gelimang dosa. Premanisme dengan berbagai varian dunia gelap tidak bisa dipisahkan dari hidupnya saat itu. Ia bahkan terobsesi bisa menjadi pemuda yang sakti sundul langit, tak mempan bacok, punya kemampuan menggendam dan menghilang serta aneka kedigdayaan lain.

Dalam perjalanan untuk hal tersebut ia membaca banyak buku dan kisah orang-orang hebat, termasuk sejarah dan ajaran Nabi Isa.

"Kesaktian itu akhirnya saya dapatkan. Bentuknya adalah ajaran cinta kasih pada semua makhluk ciptaannya, bukan seperti yang saya bayangkan sebelumnya," tawanya berderai. Menurutnya, pedoman hidup yang terus ia ugemi adalah sastro hendro hayu aningrat; menebar hal yang berkaitan dengan surgawi.

"Perdamaian, paseduluran, kebaikan, adalah perbuatan surgawi," ia menjelaskan penuh percaya diri. Saya agak terperanjat tak percaya cara pandang tentang surga dan surgawi itu keluar dari mulut orang ndeso seperti Sarkaman -cucu aktifis BTI yang bahkan untuk menyimpan nomor telfon di hpnya saja sudah tidak kuasa karena problem penglihatan.

Saya memang belum pernah ke rumahnya memeriksa gunungan literatur yang nangkring di rak bukunya, jika ada. Namun demikian sebanyak apapun bacaannya, saya tetap sulit percaya ia kenal dengan Ibnu Sina, filusuf besar Islam abad 10, apalagi membaca magnum opus pendeknya Itsbat al-nubuwwah li Ibn Sina. Sebab di karya itu Ibnu Sina memapar interpretasinya tentang surga - dan simbol-simbol kenabian lainnya - sebangun dengan gagasan Sarkaman.

Tanggal 26 Mei nanti saya akan menemuinya lagi. Kali ini tidak di warung kopi Pasar Pitik tapi di gerejanya di Wungurejo. Di sana kami akan membahas persiapan acara Buka Bersama Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid tanggal 29 Juni di gereja tersebut.
Datang dan bergabunglah agar saya bisa mengenalkan kalian dengan The Wiseman Sarkaman.

No comments:

Post a Comment