Secara tak sengaja, saya bertemu sekte Kristen Menonite yang hampir semua jemaatnya adalah para diaspora Tionghoa di Philadelphia. Bagaimana kejadiannya?
Rasanya, hidup saya takkan jauh dari komunitas agama, terutama yang berstatus minoritas. Tak peduli di mana pun saya berada, naluri selalu menuntun untuk bertemu mereka.
Selama beberapa hari di Philadelphia untuk program IVLP, saya mengunjungi beberapa komunitas agama sebagaialmana yang telah ditentukan pihak penyelenggara, dalam hal ini Departement of State AS.
Di luar acara tersebut, saya berusaha menemui komunitas Indonesia yang terpusat di South Philly --salah satu bagian Philadelphia. Hari pertama tiba kota multikultur ini, saya bertemu dengan komunitas Muslim di Masjid Al-Falah. Memanfaatkan waktu sebaik-baiknya merupakan kunci perjalanan selama di Amerika --untuk menghirup sebanyak mungkin apa yang terjadi di sana. Saya ikut yasinan, shalat dan berdiskusi dengan mereka.
Adalah Henky Chiok, salah satu penerjemah kami, yang menjadi pintu masuk saya bertemu komunitas Menonite Indonesia di Philly. Saya baru tahu dari Faishal Aminuddin, salah satu peserta IVLP dari Surabaya, bahwa Hengky ternyata seorang pendeta.
"Mas, sampeyan nggak ada acara kebaktian di Philly hari ini? Kalau ada aku boleh ikut ya?" tanya saya ke lulusan master teologi Dallas ini.
Ia dengan antusias menginformasikan dirinya telah diminta melayani di gereja Menonite yang lokasinya di South Philly. "Nanti jam 16.30 aku dijemput Pdt. Kilat Lembong untuk memimpin di gerejanya. Seluruh jemaatnya warga Indonesia. Silahkan ikut jika mau," ujarnya.
Seperti halnya Masjid Al-Falah yang bangunannya tidak lebih seperti rumah biasa, begitu juga gereja ini. Jemaat Pdt. Kilat ini bernama Indonesia Menonite Church (IMC). Kalau di Indonesia denominasinya bernama Gereja Kristen Muria Indonesia, disingkat GKMI.
Kebanyakan gerejanya ada di sekitar kawasan Muria Jawa Tengah. Pdt. Kilat sendiri menamatkan S1 teologinya di kampus yang sudah lama saya dengar; SAAT Malang. Bagi pengamat pendidikan teologi, SAAT bisa dikatakan lebih konservatif dibanding -katakanlah- STT Jakarta, UKDW, UKSW atau Sanata Dharma.
Tiba di gereja Menonite, saya disambut dengan ramah oleh jemaat yang lebih dulu hadir. Mereka langsung mengajak saya bercakap bahasa Indonesia dan semenit kemudian berganti menjadi bahasa Jawa Suroboyoan.
Ada sekitar 15 orang yang ikut kebaktian, kebanyakan Tionghoa. Ibadah sore itu berjalan sebagaimana saya prediksi; in charismatic style definetly. Segera setelah Mbak Lily --sangat mungkin ia adalah penatua-- selesai memanaskan suasana dengan lagu dan doa di mimbar, Pdt. Hengky kemudian mulai beraksi.
Dari tempat duduk paling belakang, saya dengar ia mengurai intisari teologi kekristenan dengan mengambil cerita tentang Jonah dan Niniweh. Jonah dalam cerita Islam adalah Nabi Yunus yang terkenal nyentrik hingga diceburin laut dan sempat bertapa dalam perut ikan Hiu. Namun cerita dalam al-Kitab bisa dikatakan lebih lengkap.
Pdt. Hengky kemudian memperkenalkan saya dari atas mimbar. "Kita kedatangan tamu. Mas Aan namanya. Dia aktif di Jaringan Islam Antidiskriminasi Jawa Timur," katanya. Mendengar kata Islam, banyak orang langsung menatap saya sembari tersenyum. Saya merasa mata mereka seakan mengatakan "Oooo...Islam to.."
Setelah khutbah dan berdoa selesai, seperti saya duga, saya diminta Pdt. Kilat untuk maju ke mimbar untuk memperkenalkan diri, maju ke mimbar.
Tak banyak yang saya sampaikan selain ucapan terima kasih diperbolehkan hadir di forum ini dalam rangka melengkapi perjalanan saya di Philly. Betapa beruntungnya, saya menambahkan, mereka bisa merasakan iklim kebebasan beragama di kota ini, sebagaimana yang dicita-citakan William Penn, pendiri Negara Bagian Pennsylvania. Sebab di Indonesia, meski konstitusi telah menjamin hal yang sama, namun hidup sebagai Tionghoa dan non-Muslim tidaklah mudah dalam 10 tahun terakhir ini.
"Silahkan baca riset terbaru Tempo, PPIM UIN Jakarta, dan Wahid Foundation," kata saya. Kehidupan Tionghoa Kristen Menonite di Philly, tambah saya, akan melengkapi catatan perjalanan saya. Penting bagi orang di Indonesia mengetahui hal ini agar menjadi bagian dari refleksi kebangsaan yang saat ini tengah dalam tantangan.
Usai turun dari mimbar, kami kemudian berdiskusi gayeng dengan jemaat Pdt. Kilat. Saat asyik melayani berbagai pertanyaan, tiba-tiba ada perempuan Tiongho sepuh menghampiri saya dan menyatakan ia berasal dari Gudo Jombang.
"Wow, Gudo sebelah mana? Dekat dengan Klenteng Hong San Kiong? Di daerah Tukangan?" saya memberondong Oma ini dengan pertanyaan.
Entah kenapa saya sangat yakin perempuan ini ada kaitannya dengan klenteng paling sakti di Jawa Timur ini. Jujur saja, klenteng ini sudah saya anggap bagian dari hidup saya. Tak terhitung berapa kali saya datang dan membuat kegiatan di sini. Dua kali acara Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dihelat di sini.
Saking dekatnya, saya bisa mampir untuk minta makan, kopi, dan mandi kapanpun. Mas Toni, ketua klenteng, merupakan sosok yang sangat rendah hati dan pemurah. Begitu juga dengan pengurus yang lain.
"Oma punya kenalan di Klenteng itu?" saya menimpali lagi dengan pertanyaan.
"Oma punya anak. Namanya Nanik," jawabnya.
Saya memutar otak karena nama Nanik sangat familiar dalam memori saya.
"Oma, ada nama Nanik di Klenteng. Dia kerap saya minta untuk berdoa a la Khonghucu jika ada pertemuan lintas agama. Terakhir kali, Mbak Nanik memimpin doa dalam acara buka bersama istrinya Gus Dur ramadlan kemarin di klenteng. Apakah Nanik anak Oma adalah Mbak Nanik yang saya kenal itu?" saya tak mampu menyembunyikan rasa penasaran saya; benarkah oma ini mamanya Mbak Nanik.
"Iya, mungkin," jawabnya pendek.
Saya kemudian meminta izin untuk ber-wefie ria sebagai 'bukti' untuk mengabarkannya ke Gudo. Sesampai di hotel, saya langsung mengontak mbak Ayin, salah satu penggiat di klenteng. "Iya betul. Itu ibunya Mbak Nanik! Kok bisa ketemu Mas?" katanya mengkonfirmasi.
Persinggahan singkat gerejanya Pdt. Kilat ini juga telah mempertemukan saya dengan Mbak Diyah. Perempuan berambut panjang ini ternyata punya leluhur di Ngoro Jombang. Dari wajahnya yang njawani, saya bisa memastikan ia berasal dari GKJW. Dan dugaan saya benar. "Leluhurku GKJW di Ngoro, Mas!" ungkapnya berbinar saat aku menyatakan berasal dari Mojoagung, tetangga kecamatan.
Ia tinggal di Philly sudah cukup lama bersama keluarganya. "Mengko nek moleh Jombang tak kabari ya Mas," katanya. Di tengah kesibukannya bekerja, dia masih menyempatkan diri memasak soto daging dan mengundang saya makan malam bersama jemaat yang lain, termasuk Mbak Gita dan Ai Nani.
Saya tidak tahu pasti asal Mbak Gita, sepertinya dari Kalimantan. Dia adalah kawan Pdt. Hengky. Catatan saya; honestly perempuan muda ini punya style dalam mengendarai mobil. Dari caranya mengemudi, saya merasa dia pernah berkecimpung di dunia kebut-kebutan.
Bagaimana dengan Ai Nani? Ia adalah perempuan Tionghoa, single, paruh baya dengan logat ngapak yang sangat medok. "Pekalongan!" jawabnya saat saya taanya. Ia sudah lama tinggal di Philly, sekitar 10 tahunan.
Meski kami berjumpa relatif singkat namun ia begitu baik terhadap saya. Beberapa kardus pastel dihadiahkan kepada saya. Pastelnya sangat enak. Mungkin ia tahu psikologi saya sebagai perantau awal yang masih kangen dengan makanan Indonesia. "Iki gawenanku dewe lho An," ujarnya.
Pertemuan dengan komunitas Menonite di South Philly menyisakan perenungan atas beberapa hal. Pertama, kesamaan identitas menjadi faktor kunci berkumpulnya seseorang dan pada akhirnya membentuk komunitas. Kedua, selanjutnya, mereka berinteraksi dalam kerangka saling membantu. Sebab, tidak semua anggota komunitas hidup dalam level sosial dan ekonomi yang setara. Kesamaan identitas menjadi basis mereka dalam berelasi. (*)