Pages

Wednesday, August 30, 2017

Dari Klenteng hingga Pastel; Bertemu Kilat Menonite di Philadelphia

Secara tak sengaja, saya bertemu sekte Kristen Menonite yang hampir semua jemaatnya adalah para diaspora Tionghoa di Philadelphia. Bagaimana kejadiannya?

Rasanya, hidup saya takkan jauh dari komunitas agama, terutama yang berstatus minoritas. Tak peduli di mana pun saya berada, naluri selalu menuntun untuk bertemu mereka.

Selama beberapa hari di Philadelphia untuk program IVLP, saya mengunjungi beberapa komunitas agama sebagaialmana yang telah ditentukan pihak penyelenggara, dalam hal ini Departement of State AS.

Di luar acara tersebut, saya berusaha menemui komunitas Indonesia yang terpusat di South Philly --salah satu bagian Philadelphia. Hari pertama tiba kota multikultur ini, saya bertemu dengan komunitas Muslim di Masjid Al-Falah. Memanfaatkan waktu sebaik-baiknya merupakan kunci perjalanan selama di Amerika --untuk menghirup sebanyak mungkin apa yang terjadi di sana. Saya ikut yasinan, shalat dan berdiskusi dengan mereka.

Adalah Henky Chiok, salah satu penerjemah kami, yang menjadi pintu masuk saya bertemu komunitas Menonite Indonesia di Philly. Saya baru tahu dari Faishal Aminuddin, salah satu peserta IVLP dari Surabaya, bahwa Hengky ternyata seorang pendeta.

"Mas, sampeyan nggak ada acara kebaktian di Philly hari ini? Kalau ada aku boleh ikut ya?" tanya saya ke lulusan master teologi Dallas ini.

Ia dengan antusias menginformasikan dirinya telah diminta melayani di gereja Menonite yang lokasinya di South Philly. "Nanti jam 16.30 aku dijemput Pdt. Kilat Lembong untuk memimpin di gerejanya. Seluruh jemaatnya warga Indonesia. Silahkan ikut jika mau," ujarnya.

Seperti halnya Masjid Al-Falah yang bangunannya tidak lebih seperti rumah biasa, begitu juga gereja ini. Jemaat Pdt. Kilat ini bernama Indonesia Menonite Church (IMC). Kalau di Indonesia denominasinya bernama Gereja Kristen Muria Indonesia, disingkat GKMI.

Kebanyakan gerejanya ada di sekitar kawasan Muria Jawa Tengah. Pdt. Kilat sendiri menamatkan S1 teologinya di kampus yang sudah lama saya dengar; SAAT Malang. Bagi pengamat pendidikan teologi, SAAT bisa dikatakan lebih konservatif dibanding -katakanlah- STT Jakarta, UKDW, UKSW atau Sanata Dharma.

Tiba di gereja Menonite, saya disambut dengan ramah oleh jemaat yang lebih dulu hadir. Mereka langsung mengajak saya bercakap bahasa Indonesia dan semenit kemudian berganti menjadi bahasa Jawa Suroboyoan.

Ada sekitar 15 orang yang ikut kebaktian, kebanyakan Tionghoa. Ibadah sore itu berjalan sebagaimana saya prediksi; in charismatic style definetly. Segera setelah Mbak Lily --sangat mungkin ia adalah penatua-- selesai memanaskan suasana dengan lagu dan doa di mimbar, Pdt. Hengky kemudian mulai beraksi.

Dari tempat duduk paling belakang, saya dengar ia mengurai intisari teologi kekristenan dengan mengambil cerita tentang Jonah dan Niniweh. Jonah dalam cerita Islam adalah Nabi Yunus yang terkenal nyentrik hingga diceburin laut dan sempat bertapa dalam perut ikan Hiu. Namun cerita dalam al-Kitab bisa dikatakan lebih lengkap.

Pdt. Hengky kemudian memperkenalkan saya dari atas mimbar. "Kita kedatangan tamu. Mas Aan namanya. Dia aktif di Jaringan Islam Antidiskriminasi Jawa Timur," katanya. Mendengar kata Islam, banyak orang langsung menatap saya sembari tersenyum. Saya merasa mata mereka seakan mengatakan "Oooo...Islam to.."

Setelah khutbah dan berdoa selesai, seperti saya duga, saya diminta Pdt. Kilat untuk maju ke mimbar untuk memperkenalkan diri, maju ke mimbar.

Tak banyak yang saya sampaikan selain ucapan terima kasih diperbolehkan hadir di forum ini dalam rangka melengkapi perjalanan saya di Philly. Betapa beruntungnya, saya menambahkan, mereka bisa merasakan iklim kebebasan beragama di kota ini, sebagaimana yang dicita-citakan William Penn, pendiri Negara Bagian Pennsylvania. Sebab di Indonesia, meski konstitusi telah menjamin hal yang sama, namun hidup sebagai Tionghoa dan non-Muslim tidaklah mudah dalam 10 tahun terakhir ini.

"Silahkan baca riset terbaru Tempo, PPIM UIN Jakarta, dan Wahid Foundation," kata saya. Kehidupan Tionghoa Kristen Menonite di Philly, tambah saya, akan melengkapi catatan perjalanan saya. Penting bagi orang di Indonesia mengetahui hal ini agar menjadi bagian dari refleksi kebangsaan yang saat ini tengah dalam tantangan.

Usai turun dari mimbar, kami kemudian berdiskusi gayeng dengan jemaat Pdt. Kilat. Saat asyik melayani berbagai pertanyaan, tiba-tiba ada perempuan Tiongho sepuh menghampiri saya dan menyatakan ia berasal dari Gudo Jombang.
"Wow, Gudo sebelah mana? Dekat dengan Klenteng Hong San Kiong? Di daerah Tukangan?" saya memberondong Oma ini dengan pertanyaan.

Entah kenapa saya sangat yakin perempuan ini ada kaitannya dengan klenteng paling sakti di Jawa Timur ini. Jujur saja, klenteng ini sudah saya anggap bagian dari hidup saya. Tak terhitung berapa kali saya datang dan membuat kegiatan di sini. Dua kali acara Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dihelat di sini.

Saking dekatnya, saya bisa mampir untuk minta makan, kopi, dan mandi kapanpun. Mas Toni, ketua klenteng, merupakan sosok yang sangat rendah hati dan pemurah. Begitu juga dengan pengurus yang lain.

"Oma punya kenalan di Klenteng itu?" saya menimpali lagi dengan pertanyaan.
"Oma punya anak. Namanya Nanik," jawabnya.

Saya memutar otak karena nama Nanik sangat familiar dalam memori saya.

"Oma, ada nama Nanik di Klenteng. Dia kerap saya minta untuk berdoa a la Khonghucu jika ada pertemuan lintas agama. Terakhir kali, Mbak Nanik memimpin doa dalam acara buka bersama istrinya Gus Dur ramadlan kemarin di klenteng. Apakah Nanik anak Oma adalah Mbak Nanik yang saya kenal itu?" saya tak mampu menyembunyikan rasa penasaran saya; benarkah oma ini mamanya Mbak Nanik.
"Iya, mungkin," jawabnya pendek.

Saya kemudian meminta izin untuk ber-wefie ria sebagai 'bukti' untuk mengabarkannya ke Gudo. Sesampai di hotel, saya langsung mengontak mbak Ayin, salah satu penggiat di klenteng. "Iya betul. Itu ibunya Mbak Nanik! Kok bisa ketemu Mas?" katanya mengkonfirmasi.

Persinggahan singkat  gerejanya Pdt. Kilat ini juga telah mempertemukan saya dengan Mbak Diyah. Perempuan berambut panjang ini ternyata punya leluhur di Ngoro Jombang. Dari wajahnya yang njawani, saya bisa memastikan ia berasal dari GKJW. Dan dugaan saya benar. "Leluhurku GKJW di Ngoro, Mas!" ungkapnya berbinar saat aku menyatakan berasal dari Mojoagung, tetangga kecamatan.

Ia tinggal di Philly sudah cukup lama bersama keluarganya. "Mengko nek moleh Jombang tak kabari ya Mas," katanya. Di tengah kesibukannya bekerja, dia masih menyempatkan diri memasak soto daging dan mengundang saya makan malam bersama jemaat yang lain, termasuk Mbak Gita dan Ai Nani.

Saya tidak tahu pasti asal Mbak Gita, sepertinya dari Kalimantan. Dia adalah kawan Pdt. Hengky. Catatan saya; honestly perempuan muda ini punya style dalam mengendarai mobil. Dari caranya mengemudi, saya merasa dia pernah berkecimpung di dunia kebut-kebutan.

Bagaimana dengan Ai Nani? Ia adalah perempuan Tionghoa, single, paruh baya dengan logat ngapak yang sangat medok. "Pekalongan!" jawabnya saat saya taanya. Ia sudah lama tinggal di Philly, sekitar 10 tahunan.

Meski kami berjumpa relatif singkat namun ia begitu baik terhadap saya. Beberapa kardus pastel dihadiahkan kepada saya. Pastelnya sangat enak. Mungkin ia tahu psikologi saya sebagai perantau awal yang masih kangen dengan makanan Indonesia. "Iki gawenanku dewe lho An," ujarnya.

Pertemuan dengan komunitas Menonite di South Philly menyisakan perenungan atas beberapa hal. Pertama, kesamaan identitas menjadi faktor kunci berkumpulnya seseorang dan pada akhirnya membentuk komunitas. Kedua, selanjutnya, mereka berinteraksi dalam kerangka saling membantu. Sebab, tidak semua anggota komunitas hidup dalam level sosial dan ekonomi yang setara. Kesamaan identitas menjadi basis mereka dalam berelasi. (*)

Saturday, August 19, 2017

Al-Falah diantara Philadelphia dan Filadelfia

"Mas, aku jemput sekarang ya, mumpung aku senggang. Karena nanti malam kami ada yasinan di Masjid Al-Falah," pesan pendek masuk ke ponsel segera setelah aku mendapat free wifi hotel. Aku memang hanya mengandalkan internet gratisan selama di AS. Paket data di negeri ini lumayan mehong (mahal). Aku harus ngirit, hidup mengandalkan uang saku #IVLP yang tidak bisa dikatakan melimpah ruah. *hais

Pesan itu datang dari Mas Aditya, warga Suroboyo yang tinggal lama di Philly bersama istri dan seorang anak. "Aku melok Yasinan, Mas," sahutku tanpa berfikir panjang. Yasin adalah salah satu surat panjang yang wajib aku hapal jika ingin lulus Tsanawiyah di Tambakberas puluhan tahun lalu. Jangan tanya apakah aku paham artinya dan kandungannya, selain bahwa surat ini diyakini cukup ampuh mempermudah kepergian orang dari dunia ini.

Setelah acara keliling kota singkat, kami pun meluncur ke Masjid al-Falah. Jangan dibayangkan masjidnya seperti Istiqlal. Untuk ukuran musholla di kampungku Mojongapit saja, al-Falah masih lebih kecil.

Bangunan ini tidak lebih merupakan apartemen yang terintegrasi dengan deretan apartemen lain di South Philly. Letaknya bisa Anda temukan di Google Map dengan keyword "alFalah Philadelphia".

Setelah menunaikan sholat Maghrib, kami Yasinan dan Waqi'ahan sebentar, dilanjut shalat Isya' dan makan bersama ala pesantren. Selama di AS baru kali ini saya membaui aroma beras yang sangat saya kenal. "Dari baunya, ini jenis Bramu. Kalau di Indonesia, ini beras kelas atas," kataku tanpa ditanya.

Kewangian Bramu hanya bisa dikalahkan oleh jenis Menthik Wangi -- tolong jangan dikacaukan dengan Kuntilanak Wangi karya Saskia Eleanor Wieringa. Jamaah yang hadir ternyata tidak kenal dengan nama Bramu. "Iki beras Thailand, Mas," kata Hani White, salah satu aktifis masjid.

Hani yang datang malam itu bersama suaminya terbilang unik. Dia pakai celana panjang, kaosan dan tidak menutup kepala (jilbab) di acara tersebut. Dia ikut dari awal hingga akhir. Penerimaan al-Falah terhadap keragaman busana malam itu menggembirakanku.

"Di Jawa, kamu akan sulit bertahan dengan pilihan tanpa berkerudung saat ikut Yasinan dan Waqiahan. Aku senang itu tidak terjadi di sini. Keislaman perempuan tidak bisa sepenuhnya dilihat dari busananya," sahutku mengomentari sembari terus melahap gado-gado.

Aku senang sekali saat diminta menjelaskan apa itu Jaringan GUSDURian di forum itu. Tidak lupa, aku memberikan konteks kontemporer situasi intoleransi Indonesia. Pluralitas peserta yang hadir --dari NU dan Muhammadiyah, memberiku landasan realitas untuk menukik pada isu keragaman yang telah lama ada di belantara hukum Islam.

"Kamu tarawih 8, saya tarawih 20, mana sebenarnya yang benar-benar Islam?" tanyaku menggoda. Aku menegaskan hal ini untuk melucuti model berfikir biner "hanya satu Islam" yang kerap menyerimpung nalar sehat umat Islam Indonesia akhir-akhir ini.

Cara berfikir biner kerap menyandera kewajiban seseorang untuk mengedepankan respect terhadap liyan. Aku secara jujur menyampaikan betapa beruntungnya mereka yang hadir dirawat oleh kemajemukan Philadelphia. Sebab di Indonesia, nama Filadelfia justru menjadi ikon intoleransi atas sebuah gereja HKBP.(*)

*Logan Park, PA, August 19th, 7:49am.

Thursday, August 10, 2017

Patung itu Harus Tetap Berdiri

Pertemuan yang diadakan di Klenteng Boen Bio, Selasa (8/8/17) ini berlangsung secara rapi dengan Mas Aan Anshori, ketua JIAD sebagai moderatornya. Pertemuan ini memang diadakan khusus untuk membicarakan polemik patung Tuban.

Bangunan setinggi 30an meter yang disebut-sebut tidak nasionalis dan harus dirobohkan dalam waktu 7X24 jam itu menimbulkan beberapa perbincangan diantara masyarakat. Termasuk oleh aktivis lintas agama malam itu. “Hal ini bukan hanya menjadi masalah bagi masyarakat Tuban, tidak hanya masalah untuk etnis Tionghoa, atau umat klenteng Kwan Seng Bio, melainkan ini adalah masalah bangsa Indonesia”, ujar mas Aan.

Kalimat itulah yang berkali-kali disampaikan pria berkacamata itu sebagai bentuk persuasi membangun kesadaran bersama forum masalah-masalah kebangsaan. Masalah ini bisa jadi pemicu masalah lain yang serupa, yang memungkinkan akan muncul di waktu-waktu mendatang.

Untuk itulah ini masalah semua masyarakat, semua golongan, semua agama, bukan hanya kepentingan satu kelompok orang. Masalah yang dituding JIAD merupakan kasus yg dipengaruhi juga oleh benih-benih ISIS ini pun juga disepakati oleh beberapa jaringan yang datang dalam pertemuan kali ini.

Forum malam itu dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari JIAD, MATAKIN, CMARS, GUSDURian Surabaya, GUSDURian Sidoarjo, aktifis Roemah Bhineka, Perwakilan NU, aktifis Tionghoa, serta perwakilan agama Tao, serta beberapa alumni training penggerak Perdamaian Jombang.

Pertemuan ini dimulai dengan penyingkapan sejarah oleh Tjong Ping. Mantan pengurus Klenteng Kwan seng Bio itu (Teguh Prabowo) berkata “Polemik tidak lebih dari persoalan administratif pemberian Izin Penderian Bangunan (IMB) dikarenakan belum adanya pengesahan pengurus Yayasan Klenteng baru, yang berhak mengajukan IMB kepada pemerintah”.

Jadi klenteng pengurus yayasan yang lama sebenarnya sudah selesai masa tugasnya sejak 2012. Masalah ini memang menjadi besar denga adanya beberapa kelompok orang yang mempermasalahkan hal ini atas nama nasionalis Indonesia. Sehingga yang menjadi penting juga dalam pertemuan kali ini diungkapkan bahwa patung tersebut bukanlah patung jenderal perang biasa, melainkan salah satu dari dewa sembahan umat Konghucu.

Pjs. Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) Jawa Timur, bapak Ongky S.Kuncono mengatakan Dewa Kwan Kong bagi umat Khonghucu merupakan sosok yang sangat dihormati di seluruh dunia.

Kwan Kong adalah pribadi yang dianut dari sudut kebenaran dan keadilan yang dicerminkannya. Tak hanya dewa milik agama Khonghucu, dewa Kwan Kong juga merupakan junjungan penganut Tao.

Patung dewa ini memang tidak dapat disamakan dengan patung Jendral Sudirman yang notabenenya adalah pahlawan Nasionalis. Sedangkan Patung Dewa Kwan Seeng Tee (Kwan kong) merupakan patung dengan identitas agama tertentu.

Ongky menambahkan umat klenteng Kwan Seng Bio saat ini berharap agar pengurus baru segera dilantik sehingga bisa mengurus administrasi pendirian patung tersebut.

Dari segenap peserta yang hadir dalam pertemuan kali ini terlihat tidak ada satupun yang setuju jika patung tersebut dirobohkan. Semua peserta serempak dan bersehati mendukung berdirinya patung tersebut.

Tidak hanya masalah diskriminasi dan nasionalisasi, perobohan patung ini juga akan menimbulkan kepedihan bagi masyarakat karna sebagaimana diketahui bahwa patung tersebut telah tercatat MURI sebagai patung tertinggi se ASEAN, dengan tinggi 30 meter.

Acara ini ditutup dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan bersama seluruh peserta dengan khidmat. Dengan satu harapan keadilan dan persatuan benar-benar akan tercapai dimulai dari orang-orang peduli dan memilih untuk tinggal diam.(vivi)