Pages
Friday, October 27, 2017
Yang Terhormat Ibuku
Lihatlah perempuan yang aku lingkari. Itu adalah ibuku, Alfiyah. Ia putri kedua alm. Abdul Wahab, kiai kampung di Plemahan Sumobito Jombang yang pernah menjadi anggota DPR kabupaten dari Partai NU hasil Pemilu 1955.
Ibuku adalah kembang desa, suaranya merdu, dan sangat mandiri secara ekonomi. Ia bekerja menjaga toko pracangan yang ia bangun sejak dari nol di Pasar Mojoagung. Dalam aspek ekonomi, bapakku yang lebih fokus ngurusi politik dan perLSMan sangat beruntung mendapatkannya.
Entahlah, kenapa ibuku memilih dia dari sekian banyak laki-laki yang mengejarnya. Ibu tidak pernah bercerita padaku, kecuali bahwa hubungan mereka tidak direstui oleh ibu dari bapakku. Nenekku, disamping sudah punya calon istri untuk bapakku, nampak cukup terancam dengan kosmpolitanisme ibuku.
Ibuku itu sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Yang aku ingat, setiap kali berjalan, ia selalu menyapa orang yang dikenalnya -bahkan ketika yang disapa itu tidak sedang melihatnya sekalipun. Ia tidak segan berteriak hanya untuk mendapat perhatiaannya. Aku kadang sampai malu, "Nek wonge mboten semerap mbok nggih mboten usah diceluk, buk," kataku suatu ketika menahan malu.
Alfiyah muda juga merupakan vocalist grup samroh di kalangan perempuan NU di kecamatan Mojoagung. Grupnya manggung di mana-mana; dari Seketi hingga Suwaru, dari Jonggrong hingga Klampisan.
Saat beromantika dengan bapakku, ibuku adalah seorang janda. Ia dicerai suaminya karena dianggap mandul setelah perkawinan mereka berlangsung 12 tahun. Kata orang-orang yang sezaman dengan ibu, ibuku nangis tanpa henti, tak mau diceraikan.
Bapakku juga berstatus duda dengan dua orang anak; Agus Rifai dan Alifah. Saya menduga, keduanya bertemu melalui kakekku Abdul Wahab, karena bagaimanapun ayah ibuku dan bapakku sama-sama orang politik. Pasti nyambung lah kalau ngomongin Golkar. Aku bisa membayangkan.
Di tengah ketidaksetujuan ibu dari bapakku, bapak akhirnya melamar ibu. Jadilah mereka pasangan suami istri. Tidak lama kemudian lahirlah jabang bayi yang sedang menulis cerita ini.
Ibu dan bapakku saling mencintai, namun tetap saja mertua perempuan ibuku (nenekku) tidak kunjung bisa menerima ibu, bahkan ketika aku telah lahir sekalipun.
Bapakku benar-benar bingung dalam realitas yang bertabrakan ini. Ia begitu mencintai istri dan aku namun di sisi lain ia harus berbakti pada ibunya. Bisa dikatakan ibu adalah menantu yang tidak diinginkan.
Itu juga yang membuat ibu tidak hidup serumah dengan mertua. Hidup berpindah dari satu kos ke kos yang lain. Aku bisa membayangkan betapa stressnya bapakku kala itu. Pernah aku mendengar bapakku diminta menceraikan ibuku. I think you know who gave him the order, right? But he said no.
Ditengah relasi yang tidak ideal seperti itu, pernah suatu ketika ada laki-laki yang ingin bermain api dengan ibuku ---cantik dan supel memang terkadang bisa menjadi semacam kutukan. Mungkin maksud laki-laki itu sekedar berteman saja. Dia baik padaku, suka memberi uang jajan.
Mendengar hal itu, bapakku yang lebih sering ke rumah orang tuanya jadi naik pitam. Ia membawa senjata tajam dan datang ke kontrakan kami di daerah Pekunden, tetangga desa Kauman.
Otoritas daerah Pekunden pun jadi heboh dan berusaha menenangkan bapakku. Aku sendiri masih ingat diungsikan ke tetangga kontrakan, rumah wak polo (kadus).
Relasi ibu dan bapakku terus mengalami pasang surut hingga suasananya membaik pascawafatnya nenekku. Kami semua kemudian pindah ke rumah Kauman; berkumpul bersama dua kakakku. Keluarga kami semakin lengkap dengan kehadiran adikku, Lail, yang lahir saat aku berusia 8 tahun.
I love you!
*ditulis saat kehujanan di pos siskamling Nanggalan Watugaluh Diwek dan teras CU Semangat Warga
Thursday, October 26, 2017
Analisis Pendek Cawabup Jombang --untuk Anggi Radar
Jombang ke depan butuh kepemimpinan yang lebih baik dari duet Nyono-Munjidah karena kabupaten ini punya berbagai persoalan, terutama layanan publik di hampir semua sektor.
Realitas politik hari ini masih menempatkan Nyono Suharly sebagai figur sentral yang punya kesempatan memenangkan pilkada. Peluang yang sama juga dimiliki oleh Munjidah -sungguhpun harus diakui keduanya termasuk bagian dari rezim hari ini.
Keduanya selama lima tahun telah menunjukkan kelemahan fundamental, yakni tidak mampu mengelola birokrasi yang bekerja dalam koridor tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Bagi saya, keduanya perlu memikirkan secara serius siapa yang akan digandengnya dengan cara menempatkan kepentingan perbaikan kabupaten ini sebagai prioritas -bukan sekedar hitungan politik menang-kalah.
Cawabup yang harus mendampingi haruslah figur kuat yang mampu memperkuat soliditas birokrasi dalam melayani kepentingan publik dengan sensitifitas terhadap keberadaan Jombang sebagai Kota Toleransi. Sosok cawabup seperti ini haruslah yang bisa berdiri dan melayani semua golongan --tanpa diskriminasi.
Dari beberapa nama yang muncul di permukaan saat ini, saya melihat dua nama yang berpeluang untuk digandeng, yakni Subaidi dan Sumrambah. Keduanya sama-sama politisi yang punya latar belakangan nasionalisme dan rekam jejak aktif di gerakan mahasiswa kelompok Cipayung. Saya melihat mereka juga punya komitmen kuat membesarkan Jombang sebagai kabupaten yang mampu bersaing dengan kabupaten yg lain dalam hal ekonomi, sosial dan budaya.
Namun demikian keduanya masih perlu diuji secara terus-menerus komitmennya, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas kekayaannya, misalnya sejauhmana mereka taat melaporkan harta kekayaannya ke publik dan penegak hukum.
Parpol yang akan bertarung di pilbup nanti tidak seharusnya egois dalam upaya mengusung calonnya. Pengabaian aspirasi warga akan semakin membuat kabupaten ini lebih lama dalam cengkeraman oligarki politik yang tidak mensejahterakan mereka.
Sunday, October 22, 2017
Tembok Ratapan di GKI Krian Sidoarjo
Sekuat memori ini mengingat, sudah lebih dari lima tahun saya keluar-masuk gereja --sebuah aktifitas tidak biasa untuk ukuran komunitas Islam-Sunni-Jawa. Ketertarikan saya dalam isu lintas iman barangkali menjadi faktor utamanya. Setiap aktifis tentu punya fokus ketertarikan pada isu yang berbeda. Ada kawan yang menemukan chemistry-nya pada persoalan agraria dan sumberdaya alam, buruh migran, kemiskinan, antikorupsi, hingga isu popok bayi di Sungai Brantas.
Sebagai muslim sejak baby, saya melihat kekristenan merupakan entitas unik dan rumit dalam belantara memori yang ditancapkan dalam kontestasi keagamaan -Islam vs non-Islam. Saya merasa Islam menaruh perhatian khusus terhadap kekristenan. Yakni, alih-alih meletakkannya dalam kerangka persekawanan, Islam cenderung memposisikan agama ini sebagai seteru abadi, setidaknya di Indonesia.
Coba tunjukkan, di negara mayoritas Islam mana yang punya rekor melampaui Indonesia dalam hal persekusi rumah ibadah Kristen dalam 17 tahun terakhir ini? Saya ragu ada yang bisa mengalahkan negara ini.
Ini kenyataan pahit, apalagi refleksi seperti ini datang dari saya -orang dengan status Islam di KTP. Sebagian besar dari kami lebih suka tidak mengusik isu sensitif ini; just don't ask, don't tell.
Oleh karena itu, saya selalu kerap mendorong orang Islam bisa mengunjungi dan mengenal orang maupun ajaran Kristen -juga agama lain. Harapan saya, dengan mengenalnya lebih jauh, kita bisa melucuti prasangka dan sikap antipati.
Tadi pagi (22/10), saya mengajak puluhan peserta Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) Sidoarjo mengunjungi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Krian Sidoarjo. Mereka kebanyakan adalah santri dan santriwati. Ada banyak diantara mereka mengaku ini merupakan kunjungan pertama mereka ke gereja.
Saya tahu mereka tidak bohong. Wajah dan sikap mereka sangat kelihatan; muka agak tegang, ke mana-mana bergerombol dan bergandengan tangan kawan dekatnya -seakan takut diculik.
"Haloo Gus.. Apa kabar? Selamat datang di gereja kami," sapa Eliya, dan beberapa pengurus. Eliya, perempuan mungil ini, adalah seksi acara saat Bu Sinta menghelat sahur Ramadlan lalu di Klenteng Krian. Saya takkan lupa gadis ini karena pernah saya semprot gara-gara kerjaannya tidak tepat. Padahal saat itu saya nggak kenal dia. Itulah "keistimewaan" saya, bisa sangat judes saat ketegangan menghandle acara menjalari.
Kami lalu berkenalan satu dengan yang lain. Sebagai salah satu pemimpin rombongan, saya berusaha keras memastikan peserta didik saya merasa nyaman saat mengikuti sesi saya. "Saya bertanggung jawab penuh atas apa yang kalian rasakan selama kunjungan ini. Dzohiron wa batinan," kata saya.
Saya selalu memosisikan diri sebagai 'penjamin' atas nasib orang-orang yang saya bawa masuk ke gereja. Itu saya sadari sejak awal. Entah kenapa saya mau berposisi seperti itu. Mungkin hal ini didorong oleh keinginan kuat saya melihat prasangka mereka bisa terlucuti segera.
Kami lalu dipersilahkan masuk ke ruang ibadah GKI Krian. Sejak awal saya sudah katakan ke peserta bahwa pagi ini kita akan melihat bagaimana orang Kristen beribadah dan menjajal masuk gereja untuk pertama kalinya. "Nikmati pompaan adrenalin kalian. Jantung kalian akan memompa lebih cepat. Perasaan bersalah dan dosa akan menjalari sanubari. Itu hal wajar. Nikmati saja. Jika tidak kuat, angkatlah tangan kalian, dan saya akan mengevakuasi kalian keluar dari gedung ini," saya menjelaskan.
Alhamdulillah, saya tidak sampai harus menelpon ambulan karena mereka semua baik-baik saja. Tidak ada satupun yang pingsan. Kalimat tanya "are you all right?" selalu saya lontarkan kepada peserta yang terlihat resah. Saya benar-benar seperti gembala atas puluhan domba.
Anda yang membaca tulisan ini harusnya ikut menyaksikan; betapa rasa kaget bercampur senang sangat nampak terlihat di banyak raut muka jemaat GKI. Wajah mereka nampak seperti tengah bilang "It is too damn good to be true!" Gereja mereka tiba-tiba didatangi banyak orang dengan ciri muslim Jawa; peci, sarung, jilbab, dan wajah-wajah agak tegang.
Saya melihat banyak jemaat yang mengabadikan moment itu melalui smartphonenya. Ceprat-cepret.
Meski terbilang singkat, kami disambut dengan superhangat. Ada tiga peserta yang saya minta mengungkapkan perasaannya. Mereka bertiga baru pertama kali mengunjungi gereja. "Ndak nyangka, kalian ini ternyata baik banget ya," kata salah satu dari mereka.
Acara formal kemudian ditutup dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri secara berjamaah, dan diakhiri dengan makan nasi bungkus dan es krim. Mereka melayani kami dengan begitu bersemangat dan gembira.
Saat makan dalam posisi mengelilingi meja, ada seorang jemaat, ibu baya, yang duduk dalam jarak 4 meteran dari kami. Saya perhatikan dia terus melihat kami dengan pandang seperti tengah menemukan anaknya yang telah lama hilang. Raut mukanya mengatakan itu. Saya tahu.
"Guys, saya akan bagikan kertas dan spidol. Tulislah apa yang ingin kalian ungkapkan atas perasaan kalian. Masing-masing satu kertas. Sebelum pulang, kita akan tempelkan kertas tersebut ke tembok GKI. Anggap saja itu tembok ratapan," teriak saya kepada peserta. Mereka kemudian menuliskan perasaan masing-masing. Rata-rata seputar optimisme dan kegembiraan. Namun ada satu yang mengagetkan saya, yakni permintaan maaf yang ditulis oleh BeeBee. Saya tercenung agak lama saat membacanya.
"Saya mewakili Saudara-saudara Muslim lain ( yang mungkin pernah menyakiti Saudara Kristiani) memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kelak yang "salah pikiran" segera dipertemukan juga dengan orang-orang baik seperti saudara. Amin. #KPGSidoarjo @Bsofranita"
Puas rasanya menggembalakan mereka selama 1 jam di gereja itu.
@aananshori
Tembok Ratapan di GKI Krian Sidoarjo
Sekuat memori ini mengingat, sudah lebih dari lima tahun saya keluar-masuk gereja
Setiap aktifis tentu punya fokus ketertarikan pada isu yang berbeda. Ada kawan yang menemukan chemistry-nya pada persoalan agraria dan sumberdaya alam, buruh migran, kemiskinan, antikorupsi, hingga isu popok bayi di Sungai Brantas.
Sebagai muslim sejak baby, saya melihat kekristenan merupakan entitas unik dan rumit dalam belantara memori yang ditancapkan dalam kontestasi keagamaan
Coba tunjukkan di negara mayoritas Islam yang punya rekor melampaui Indonesia dalam hal persekusi rumah ibadah Kristen dalam 17 tahun terakhir ini? Saya ragu ada yang bisa mengalahkan negara ini.
Ini kenyataan pahit, apalagi disampaikan oleh seseorang yang beragama sama dengan pelaku persekusi tersebut. Kebanyakan dari kami lebih suka mendiamkannya; don't ask, don't tell.
Oleh karena itu, saya selalu kerap mendorong orang Islam bisa mengunjungi dan mengenal orang maupun ajaran Kristen
Tadi pagi (22/10), saya mengajak puluhan peserta Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) Sidoarjo mengunjungi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Krian Sidoarjo. Mereka kebanyakan adalah santri dan santriwati. Ada banyak diantara mereka mengaku ini merupakan kunjungan pertama mereka ke gereja.
Saya tahu mereka tidak bohong. Wajah dan sikap mereka sangat kelihatan; muka agak tegang, ke mana-mana bergerombol dan bergandengan tangan kawan dekatnya
"Haloo Gus.. Apa kabar? Selamat datang di gereja kami," sapa Eliya, dan beberapa pengurus. Eliya, perempuan mungil ini, adalah seksi acara saat Bu Sinta menghelat sahur Ramadlan lalu di Klenteng Krian. Saya takkan lupa gadis ini karena pernah saya semprot gara-gara kerjaannya tidak tepat. Padahal saat itu saya nggak kenal dia. Itulah "keistimewaan" saya, bisa sangat judes saat ketegangan menghandle acara menjalari.
Kami lalu berkenalan satu dengan yang lain. Sebagai salah satu pemimpin rombongan, saya berusaha keras memastikan peserta didik saya merasa nyaman saat mengikuti sesi saya. "Saya bertanggung jawab penuh atas apa yang kalian rasakan selama kunjungan ini. Dzohiron wa batinan," kata saya.
Saya selalu memosisikan diri sebagai 'penjamin' atas nasib orang-orang yang saya bawa masuk ke gereja. Itu saya sadari sejak awal. Entah kenapa saya mau berposisi seperti itu. Mungkin hal ini didorong oleh keinginan kuat saya melihat prasangka mereka bisa terlucuti segera.
Kami lalu dipersilahkan masuk ke ruang ibadah GKI Krian. Sejak awal saya sudah katakan ke peserta bahwa pagi ini kita akan melihat bagaimana orang Kristen beribadah dan menjajal masuk gereja untuk pertama kalinya. "Nikmati pompaan adrenalin kalian. Jantung kalian akan memompa lebih cepat. Perasaan bersalah dan dosa akan menjalari sanubari. Itu hal wajar. Nikmati saja. Jika tidak kuat, angkatlah tangan kalian, dan saya akan mengevakuasi kalian keluar dari gedung ini," saya menjelaskan.
Alhamdulillah, saya tidak sampai harus menelpon ambulan karena mereka semua baik-baik saja. Tidak ada satupun yang pingsan. Kalimat tanya "are you all right?" selalu saya lontarkan kepada peserta yang terlihat resah. Saya benar-benar seperti gembala atas puluhan domba.
Anda yang membaca tulisan ini harusnya ikut menyaksikan; betapa rasa kaget bercampur senang sangat nampak terlihat di banyak raut muka jemaat GKI. Wajah mereka nampak seperti tengah bilang "It is too damn good to be true!" Gereja mereka tiba-tiba didatangi banyak orang dengan ciri muslim Jawa; peci, sarung, jilbab, dan wajah-wajah agak tegang.
Saya melihat banyak jemaat yang mengabadikan moment itu melalui smartphonenya. Ceprat-cepret.
Meski terbilang singkat, kami disambut dengan superhangat. Ada tiga peserta yang saya minta mengungkapkan perasaannya. Mereka bertiga baru pertama kali mengunjungi gereja. "Ndak nyangka, kalian ini ternyata baik banget ya," kata salah satu dari mereka.
Acara formal kemudian ditutup dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri secara berjamaah, dan diakhiri dengan makan nasi bungkus dan es krim. Mereka melayani kami dengan begitu bersemangat dan gembira.
Saat makan dalam posisi mengelilingi meja, ada seorang jemaat, ibu baya, yang duduk dalam jarak 4 meteran dari kami. Saya perhatikan dia terus melihat kami dengan pandang seperti tengah menemukan anaknya yang telah lama hilang. Raut mukanya mengatakan itu. Saya tahu.
"Guys, saya akan bagikan kertas dan spidol. Tulislah apa yang ingin kalian ungkapkan atas perasaan kalian. Masing-masing satu kertas. Sebelum pulang, kita akan tempelkan kertas tersebut ke tembok GKI. Anggap saja itu tembok ratapan," teriak saya kepada peserta. Mereka kemudian menuliskan perasaan masing-masing. Rata-rata seputar optimisme dan kegembiraan. Namun ada satu yang mengagetkan saya, yakni permintaan maaf yang ditulis oleh BeeBee. Saya tercenung agak lama saat membacanya.
"Saya mewakili Saudara-saudara Muslim lain ( yang mungkin pernah menyakiti Saudara Kristiani) memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kelak yang "salah pikiran" segera dipertemukan juga dengan orang-orang baik seperti saudara. Amin. #KPGSidoarjo @Bsofranita"
Puas rasanya menggembalakan mereka selama 1 jam di gereja itu.
@aananshori
Warna-Warni Menggemaskan di Joglo Sinau Gereja Bethany Gudo Jombang
Oleh: Oktavia Kristika Sari
“Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali”
K.H. Abdurahman Wahid
Pertikaian, satu kata yang mampu memecah belah persahabatan, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa yang besar sekalipun, termasuk Indonesia. Munculnya berbagai macam paham dan gerakan-gerakan adalah karena pertikaian dan untuk memicu pertikaian selanjutnya. Ingatkah kita apa yang terjadi setelah Indonesia merdeka? Pertikaian. Dan lagi-lagi agama dan kepercayaan lah pemicunya.
Selama 14 tahun setelah reformasi setidaknya 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang ada di Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat dari jumlah itu paling banyak diskriminasi dilatarbelakangi keagamaan yaitu 65%. Konflik Maluku merupakan contoh konflik berlatar agama yang menimbulkan korban paling banyak yaitu 8000 - 9000 orang meninggal, 29.000 rumah terbakar, 47 masjid, 45 gereja, Ratusan toko, 48 gedung pemerintahan dan 4 bank hancur.
Kenapa terjadi konflik seperti itu? Berbagai analisis telah diproduksi banyak ilmuwan. Namun, “kurang ngopi bareng” , begitulah ungkapan yang sering dilontarkan seorang aktifis nasionalis di negara kita, Gus Aan Anshori.
Dan untuk alasan itulah kegiatan petang hari ini (21-10-17) di dusun Tukangan, Gudo diselenggarakan. Alasan riuhnya keadaan yang ada di pastorium gereja Bethany di daerah tersebut. Bukan karena keributan pertikaian antaragama namun karena semangat yang menggebu untuk mengakrabkan pakaian yang berbeda.
Melihat gadis kecil berjilbab bisa bergandengan tangan dan duduk berjajar bersama gadis kecil berkalung salib. Tidak mewah memang, dengan kesederhanaan namun hangat kegiatan tersebut dapat berlangsung.
Sekitar 60-70 orang yang terdiri dari orangtua dan anak-anak lintas keyakinan datang membangun keakraban di rumah dinas Pdt. Yehezkiel tersebut. Acara ini memang sengaja diselenggarakan bagi anak-anak kampung sekitar, yang dikelola oleh bidang pemuda Gereja Bethany Gudo.
Sepertinya tidak berat untuk meluangkan waktu bercerita, bercanda, dan bermain bersama di tengah perbedaan keagamaan. Anak-anak yang tak saling kenal sebelumnya terhanyut oleh suasana ceria dalam lagu-lagu permainan sehingga tak mengingat lagi apakah teman yang digandengnya menggunakan kerudung atau tidak. Tidak peduli lagi rekan di depannya pergi beribadah hari Minggu atau Jumat. Singkatnya tak ada yang berbeda, ketika semua berkumpul dan tertawa bersama.
Acara yang dimulai pukul 18.00 ini menjadi lebih istimewa dan semakin mengikis prasangka dari orang tua yang datang dengan hadirnya Gus Aan di tengah-tengah mereka. Betapa tidak, mereka melihat seorang yang biasanya aktif sebagai ketua JIAD ini datang dengan memakai sarung. Sangat kental dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Ada keinginan yang semakin dalam saya rasa di hati anak-anak kecil yang polos itu ketika mereka yang muslim melihat ada seorang Muslim dewasa juga yang berkunjung ke rumah beranjing banyak.
Tidak cukup hanya datang di tengah-tengah riuhnya dan ributnya celoteh khas anak-anak, Gus Aan juga memberikan beberapa kalimat yang memicu pikiran mereka untuk memahami bahwa perbedaan bukan untuk dipisahkan. “Semakin banyak teman yang berbeda maka kita akan semakin bahagia," tukasnya santai di depan anak-anak.
Beliau juga memimpin anak-anak muslim untuk berdoa makan malam bersama, sedangkan untuk anak-anak kristen dipimpin oleh Pdm.Yezdianda Petra.
Satu harapan bersama yang ingin diwujudkan adalah ketika mereka beranjak dewasa setidaknya mereka pernah mengingat bahwa mereka pernah makan makanan dari satu panci yang sama dengan mereka yang berbeda tempat ibadah.
Setidaknya mereka ingat bahwa teman berbeda agama lah yang menolong mereka saat jatuh ketika asyik dalam permainan. Setidaknya mereka akan tumbuh bukan menjadi generasi yang saling mengacungkan telunjuk di hadapan satu sama lain. Dan bukan juga senjata yang ditawarkan, tapi uluran tangan yang siap mengangkat dan menolong.
Tawa pecah mereka yang saling beradu, akan menjadi tawa bangsa Indonesia 10-15 tahun ke depan. Bergotong royong membangun rumah ibadah bukan bergotong royong saling menghancurkan rumah ibadah. Bersama-sama bangkit bukan lagi berkata saya kristen, saya muslim, saya Hindu, saya khonghucu, saya budha, saya penganut aliran kepercayaan, tapi berkata “Kami Indonesia”.
Friday, October 13, 2017
Siti Maryam yang Baru Aku Kenal
Beberapa hari lalu, saya diundang acara tujuh bulan kehamilan. Istilah kampungnya tingkeban. Dalam acara itu, para jamaah membaca al-Quran Surah Yusuf.
Tidak banyak yang baca karena panjang dan sangat jarang muslim yang hafal --tidak seperti Surah Yaasin atau Waqiah.
Dalam acara itu, napaknya hanya saya dan pemimpin upacara yang membaca Yusuf. Ini salah saru surah penting untuk dibaca saat kehamilan, lainnya adalah Surah Maryam.
Dalam tradisi santri, jika dua surah ini dibaca terus menerus maka diharapkan jabang bayi akan seperti Nabi Yusuf atau Siti Maryam (SM). Saat kehamilan Cecil dan Galang, saya juga membacanya berkali.
Nah, saat membaca Surah Maryam, saya agak kaget al-Quran ternyata menggambarkan berbeda dari apa yang saya persepsi tentang proses kehamilan SM. Yang saya percayai adalah SM hidup sendiri di pengasingan, lalu tuhan berbicara, hanya suara, lalu mengirim selarik sinar yang menuju ke perut SM --seperti di film2 fiksi.
Padahal, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran, Allah mengirim RuhNya (rukhana) dalam bentuk manusia utuh dan sempurna untuk menemui SM. Al-Quran terjemahan Depag, menafsirkan ruh itu adalah Jibril. Jadi, bisa dikatakan, Allah meminta Malaikat Jibril turun ke bumi dalam bentuk manusia untuk menemui SM.
Saya selalu percaya agama harus selaras dengan sains. Jika bertabrakan, hemat saya, sains yg lebih unggul. Misalnya, jika bumi --katakanlah-- menurut Kitab Suci adalah datar, dan sains menyatakan sebaliknya, maka sains yang lebih didahulukan.
Nah dalam konteks SM, saya sejak dulu mempercayai Isa lahir dari ibu yg masih perawan, tanpa campur tangan laki-laki. Kun fa yakun. Mak bedunduk hamil. Tentu hal ini terasa agak janggal secara sains. "Opo yo onok, wong wedok meteng tapi nggak ada yang ngetengi (laki2, maksudnya)?" begitu kira2 perkiraan omongan bakul lijo saat ada orang yang mengabarkan perempuan bisa hamil tanpa "sentuhan laki-laki".
Namun khusus SM, rasanya, kita kerap merasa kuasa Tuhan bisa membuat pengecualian, meski sekali lagi, agak bertabrakan dengan hukum alam soal reproduksi.
Nah, ayat tentang Ruh Allah (rukhana, Jibril, Gabriel) yang menjelma sebagai manusia utuh nan sempurna yang datang menemui SM ini, jujur saja, mengganggu pikiran saya. Bagaimana jika Gabriel versi manusia ini hetero dan SM juga hetero? Siapa yang berani menjamin keduanya tidak saling terpikat, atau memastikan Gabriel langsung balik kanab pulang setelah mengatakan kepada SM, "Innama anaa rasulu rabbiki, liahaba laki ghulaman zakiyya (Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang anak laki-laki yang suci)"?
Apakah tidak mungkin Tuhan, melalui teks tersebut, sebenarnya ingin memberi semacam kode bahwa proses kelahiran Isa tidak menabrak hukum alam?
Ah, Tuhan seperti tengah memainkan teka-teki.
*KRD berhenti di Stasiun Tarik