Pages
▼
▼
▼
Sunday, December 24, 2017
Dekri dan Eljibiti di Warkop Cak Cip
Jangan ngaku mahasiswa Univ. Darul Ulum (Undar) jika tidak kenal Cak Cip. Bagiku, ia adalah mahadosen semua jurusan untuk matakuliah kerendahan hati melalui secangkir kopi. Warkopnya tak pernah sepi meski kampus ini pernah sekarat gara-gara dualisme kepemimpinan.
Sedangkan Dekri? Ia adalah salah satu selebritis gerakan mahasiswa Undar pertengahan 90an saat aku masuk kampus ini. Nama lengkapnya Chalid Tualeka. Silahkan digoogling nama itu.
Kami beda jurusan. Jika ingatanku masih kuat, ia dulu sospol, sedangkan aku nyantri di menejemen informatika dan komputer, meski tidak rampung karena faktor ekonomi.
Dekri bukanlah orang lain bagiku meski kami beda organisasi ekstra kampus. Pasangannya, Pipit, punya dua almamater denganku; di PMII dan sama-sama pernah nyantri di Tambakberas.
Pagi tadi, Minggu (24/12), aku menemuinya di Cak Cip. Kebetulan tengah ada reuni akbar para alumni Undar. Aku sendiri meski tidak lulus D3 Mikom kampus ini tahun 95, namun aku kembali belajar pada 2010 di Fakultas Hukum, dan selesai. Tidak tanggung-tanggung, aku memegang dua ijazah, masing-masing ditandatangani Gus Luk dan Ning Eyik. Dualisme rektor yang berkepanjangan memaksaku menapaki rumitnya belantara politik warisan di tubuh keluarga pendiri Univ. Darul Ulum, Kiai Musta'in Romli.
Kerumitan ini nampaknya berimbas pada topik yang ingin dibincang Dekri denganku, apalagi kalau bukan soal eljibiti (LGBT). Mungkin ia menyaksikanku di ILC kemarin saat membahas isu ini. Maka dengan senang hati aku datang, meskipun tujuanku ketemu dengannya lebih karena kami sangat lama tidak bertemu, begitu juga dengan Pipit.
Aku sudah menduga nalar pikiran Dekri mengenai topik ini; tidak begitu berbeda dengan kebanyakan yang lain. Tidak ada argumentasi baru dari yang pernah aku dengar. Namun aku tetap menikmatinya sebagai _intellectual discourse_ berbalut kredo persekawanan antaraktifis jaman old.
Ia memintaku menunjukkan pijakan quranik yang aku percaya dalam isu ini. Aku tunjukkan satu, di al-Nuur 31. Ia pun langsung mengeceknya di androidnya, tidak membantah.
Aku kemudian menawarkan pembacaan alternatif menyangkut kisah Luth di al-Quran -bahwa peristiwa itu adalah hal yang sangat spesifik menyangkut percobaan perkosaan lelaki ke lelaki. "Itu perkosaan, Dek. Bukan hubungan seksual berbasis mutual consent. Kamu tahu to bedanya?" ujarku.
Namun ia tetap kekeuh soal Luth. Tetap dengan argumen yang sudah pernah aku dengar sebelumnya. "Mereka, Aan, tidak seharusnya mendemostrasikan relasinya di hadapan publik karena norma masyarakat tidak bisa menerima," ujarnya seingatku.
Aku manggut-manggut saja mendengarnya berapi-berapi bicara. Sungguh, sempat terlintas di benakku yang bicara ini adalah ustadz yang barusan dicekal oleh pemerintah Hongkong. Wajahnya mirip, sekilas.
Aku kemudian mengajaknya memahami persoalan ini dari sudut pandang idealitas kesetaraan antara mayoritas dan minoritas. Berkali-kali aku terpaksa harus gunakan analogi.
"Dek, jika dalam partaimu, jaringan Jawa menguasai seluruh elit dan mengharamkan politisi non-Jawa masuk di struktur, hal itu fair atau tidak? Jika tidak fair, kamu diam atau melawannya?" tanyaku. Aku sengaja menggesernya ke arah yang lebih personal karena tahu ia bermarga Tualeka. Darah muslim-Ambonnya kental.
"Kalau syarat agar bisa masuk elit partaimu adalah mengharuskan kamu mengganti identitas yang kamu yakini sebagai kebenaran, bersediakah kamu?" tanyaku menimpali.
Aku menjelaskan bahwa orientasi seksual itu _given_, tidak bisa berubah. Kalau ada yang pernah mengaku telah berhasil mengubahnya, itu harus dilihat sebagai proses menjadi dirinya, bukan sesuatu yang boleh dipaksakan, apalagi diancam penjara. "Yang nggak boleh itu adalah memaksa. Dalam konteks Luth adalah perkosaan," jelasku.
Namun Dekri adalah Dekri, kawan lamaku yang gigih mempertahankan pendapatnya. Aku salut terhadapnya. Mendengar penjelasannya adalah kehormatan bagiku.
Ia kemudian mendapat telpon. Entah dari siapa. Sangat mungkin dari Pipit, pasangannya. "An, kita geser yuk diskusinya ke Cempaka. Ada Pipit di sana," ajaknya. Kami pun selanjutnya menuju Cempaka, sebuah homestay elit tidak jauh dari kampus kami.
Di Cempaka, kami tidak terlalu meneruskan diskusi tentang LGBT. Aku ketemu Pipit dan Nella -anak PMII lawas yang dulu pernah satu angkatan di kawasan Gajayana, salah satu gang di Wersah tempat berkantornya Lakpesdam NU dan ICDHRE. Ia membantu di Lakpesdam, aku di lembaga satunya.
Kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul soal banyak hal, dari urusan GUSDURian di Riau hingga rumah tangga. Dekri sendiri sibuk riwa-riwi dan akhirnya menyodorkan 3 biji durian yang telah dikupas. "Durian, An," tawarnya.
Kami pun ngobrol, tetap menghindari soal eljibiti.
Namun tetap saja kami tak bisa menahannya. Ia kemudian menyerempet isu ini. Aku mendengarkannya sembari menikmati durian, di hadapan Pipit dan Ella.
"Jadi, LGBT itu penyakit yang perlu disembuhkan menurutmu, Dek" tanyaku.
"Tidaaaakkk... Itu bukan penyakit. Nggak perlu disembuhkan. Mereka punya hak yang sama dengan kita. Namun norma kita masih belum bisa menerimanya," ia selanjutnya menimpali panjang. Aku mendengarkan seperti sedia kala.
Tak seberapa lama, aku pamit karena harus ke Cukir berkunjung ke keluargaku yang merayakan Natal. Dekri juga harus berkemas karena akan berganti hotel.
Dari lantai 2 tempat kami berdiskusi, ia mengantarkanku hingga parkiran motor. Dekri memang kawan yang baik.
Thank Dekri, have a nice vacation!
Note. Thank to Yaya Zakiyah yang mengabadikan kami berdua.
No comments:
Post a Comment