SELASA 16 Juni lalu, saya diundang KONTRAS Surabaya menghadiri sebuah diskusi terbatas seputar Peristiwa 1965. Jika dihitung, sudah 50 tahun tragedi yang menewaskan ratusan ribu tertuduh PKI ini berlalu. Hampir semuanya dieksekusi tanpa melibatkan pengadilan. Lima kali ganti presiden tidak juga mampu menuntaskan persoalan ini secara bermartabat.
Kalau hendak disederhanakan, pertanyaan pendek menyangkut Peristiwa ini adalah apakah Tragedi paling kelam dan memalukan dalam sejarah modern Indonesia ini hendak diselesaikan atau dilupakan saja. Jika opsi pertama diamini, pertanyaan lanjutan telah menanti; dituntaskan melalui mekanisme hukum, atau cukup diselesaikan secara adat, misalnya memakai ritual potong kerbau atau bancakan jajan pasar. Problemnya selalu berputar-putar di dua pertanyaan tersebut.
Kabar terakhir, Pemerintahan Jokowi telah membentuk sebuah tim yang ditugasi menyelesaikan 6 kasus pelanggaran HAM berat selama ini, termasuk Peristiwa 65. Dengan berbagai argument, kemungkinan besar ritual potong kerbau akan dipilih untuk menyelesaikan Peristiwa tersebut.
Apakah ini memuaskan? Kita tentu bisa berdebat. Namun jika mau fair, Jokowi harusnya dengan rendah hati menemui para Korban atau keluarganya, menanyai dan berdialog dengan mereka menyangkut apa yang mereka kehendaki, sebagaimana yang pernah dilakukan Presiden Gus Dur.
Harus diakui, pengungkapan Peristiwa ini memang membuat banyak orang merasa sangat rikuh. Situasinya mirip seperti korban perkosaan berjamaah yang menuntut keadilan agar peristiwa itu diungkap. Sang Korban sadar jika pelakunya berserak; dari tukang tambal ban hingga komandan, dari preman hingga tokoh agama. Motif perkosaannya pun variatif. Ada yang sejak awal berencana menodai korban, namun tidak sedikit yang sekedar ikut-ikutan. Bahkan, banyak yang mengaku terpaksa ikut memerkosa karena takut diperkosa-balik jika tidak mau memerkosa. Jargon-heroiknya kala itu, ‘memerkosa atau diperkosa!”
SALAH PAHAM IPT 1965
Kembali ke acaranya KONTRAS. Diskusi sore itu terfokus pada rencana perhelatan International People’s Tribunal 65 (IPT) di Den Haag Oktober mendatang. IPT ini semacam sidang mahkamah rakyat internasional untuk “memeriksa dan mengadili” siapa yang bersalah dalam Peristiwa 65. Akan tetapi, bukankah Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma yang mengatur soal Pengadilan Pidana Internasional? Betul. Justru karena hal itu ‘persidangan’ ini dibuat.
Tujuan utamanya, untuk memecah kebuntuan hukum dan memberikan political pressure bagi pemerintah Indonesia, agar segera menuntaskan Peristiwa ini. Bagi yang aktif berkecimpung di dunia advokasi, tentu sangat memahami signifikansi stategi shaming and naming dalam memperjuangkan sebuah kasus.
Rencana IPT 1965 ini sempat jadi pembahasan serius di organisasi dimana saya menjadi pengurus dan mempunyai kartu anggota. Mungkin karena tidak mendapat informasi memadai mengenai IPT 1965, tidak sedikit elite organisasi saya yang memilih resisten. Mereka mempersepsi tribunal ini tidak hanya akan ‘mendakwa’ para leluhur yang memang terlibat aksi kekerasan 1965. Namun lebih jauh, IPT juga akan menyeret organisasi saya ke kursi pesakitan.
Minimnya informasi tentang IPT 65 pada gilirannya mendorong organisasi saya merespon terlalu jauh’. Dalam berbagai forum, selalu dikumandangkan bahwa IPT ini akan mendakwa para kiai, selain pemerintah. Kumandang ini pada sekian menit berubah menjadi ajakan berjihad manakala dikunci dengan satu kalimat heroik, ‘Apakah kita, sebagai santri, rela kiai kita –yang telah berkorban membela Negara dan kehormatan umat islam korban 1948- dipermalukan seperti itu oleh antek-antek PKI?!.”
Kesalahpahaman tentang IPT masih saya temukan, setidaknya dari paparan mas Mun’im Dz -saat beliau menjadi pembicara –bersama Gus Sholah- dalam bedah Buku Benturan NU-PKI, Kamis 7 Mei 2015. Waktu itu saya hadir –meski tidak sampai selesai- bersama ratusan santri dan mahasiswa dari BEM se-Jawa Timur di Gedung Yusuf Hasyim Tebuireng.
Yang saya tahu, IPT 65 akan mendakwa state-actor (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu. Panel ‘hakim’ nantinya akan memeriksa sejauh mana peran mereka berdasarkan bukti dan kesaksian yang dikumpulkan oleh prosecutor. IPT 1965 -sepanjang yang saya tahu- tidak akan menyeret dan menjadikan leluhur, tetua dan organisasi saya sebagai bagian dari Terdakwa. Jika salah satu sumber utama IPT, asumsi saya, adalah warisan penyelidikan pro yustisia Komnas HAM 2012 lalu, maka setidaknya ada 3 pihak dalam militer yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Pertama, komandan pembuat kebijakan, yakni Pangkopkamtib periode 1965 hingga 1969, dan Pangkopkamtib periode 19 September 1969 sampai setidaknya akhir 1978. Kedua, Komandan yang memiliki kontrol secara efektif (duty of control) terhadap anak buahnya, yakni para Penganda dan/atau Pangdam periode 1965 hingga 1969, dan periode 1969 sampai akhir 1978. Ketiga, individu/komandan/anggota kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan.[2]
EMPAT FAKSI
Dalam dinamikanya, terdapat 4 faksi besar di organisasi saya dalam menyikapi Peristiwa 65. Faksi pertama adalah kelompok antirekonsiliasi. Mereka setidaknya mempunyai beberapa pandangan. Pertama, PKI adalah satu-satunya dalang G30S. PKI dan pengikutnya harus terus dibelenggu dan diawasi gerakannya, termasuk juga keturunannya. Bahkan kelompok ini tidak merasa diskriminasi terhadap Korban merupakan hal penting untuk dibicarakan. apa yang Korban alami merupakan balasan setimpal atas perilaku mereka selama ini, terutama saat pecah Peristiwa Madiun 1948. Berbagai analisis/tafsir historis – seperti yang dikemukakan Anderson, McVey, Wertheim, Robinson, Cribb, dll- yang menunjukkan adanya kemungkinan dalang lain harus ditolak.
Kedua, pelaku (militer – sipil) telah melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan NKRI dan umat Islam waktu itu, yang bahkan mereka (pelaku) seharusnya mendapatkan penghargaan karena membela Negara. Oleh karenanya pelaku tidak perlu meminta maaf. Ketiga, mengkampanyekan antikebangkitan PKI merupakan tugas suci yang harus digelorakan terus menerus. Keempat, sejarah tidak perlu diluruskan karena dianggap sudah benar. Membincang ulang peristiwa 1965-66 dianggap membangkitkan memori lama yang bisa berujung pertumpahan darah lagi. Kelompok ini juga menuding para-pihak yang membantu Korban 65 sebagai bagian dari kospirasi yang digerakkan oleh luar negeri untuk menghancurkan Indonesia dan Islam. Para-pihak ini dianalogikan sebagai si Penebang kayu dalam cerita Penebang Kayu dan Serigala.[3]
Faksi kedua adalah pro-rekonsiliasi yang didalamnya terdapat 3 faksi; konservatif, moderat dan progresif. Faksi rekonsiliasi-konservatif meneguhkan keyakinannya pada hal-hal berikut. Pertama , menyesalkan terjadinya Peristiwa 1965, namun demikian masih meyakini PKI mengkhianati negara, dan sebagai satu-satunya dalang Peristiwa G30S. Sejarah tidak perlu diluruskan. Upaya hukum bagi pelaku tidak perlu dilakukan. Begitu juga dengan berbagai regulasi antikomunis; tidak perlu dicabut.
Kedua, Peristiwa 65-66 perlu dipahami sebagai konflik horizontal yang menempatkan PKI dan masyarakat sipil sebagai korban, oleh karenanya TIDAK PERLU DIBAHAS LAGI karena hanya akan membawa bangsa ini melangkah mundur. Ketiga , Negara tidak perlu minta maaf. Meski demikian jika PKI berkehendak minta maaf, organisasi saya –menurut faksi ini- siap memaafkan. Keempat , mempercayai rekonsiliasi di level akar rumput telah berjalan secara alami, dan tidak perlu diselebrasi karena justru akan menimbulkan dampak yang kontra-produktif bagi rekonsiliasi itu sendiri. Prinsipnya, silence will heal.
Kelima , upaya menggaungkan kembali Peristiwa 1965 dengan mencitrakan PKI seolah sebagai Korban merupakan bentuk provokasi[4] dan upaya mengadu domba, yang oleh karenanya perlu dilawan.
Faksi rekonsiliasi-moderat meyakini bahwa; 1) masalah utama Peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam jumlah amat besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan underbouw-nya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Organisasi saya dan PKI merupakan korban keadaan. Non-state-actors tidak dapat menghindar dari instruksi tentara. Opsi yang tersedia adalah membunuh (PKI) atau dibunuh (karena dianggap PKI). Mereka harus saling memaafkan. Meskipun keterlibatan PKI sangat jelas dalam Peristiwa G30S NAMUN mereka bukan satu-satunya dalang. Sejarah G30S perlu diluruskan berbasis fakta persidangan dan memberikan kesempatan masyarakat untuk menilainya sendiri. 2) Negara perlu meminta maaf kepada Korban BUKAN kepada PKI. 3) Proses rekonsiliasi harus terus dilakukan bertumpu pada ketulusan, kejujuran, keterbukaan, dan mensyaratkan luruhnya prasangka, serta dibincang secara terbuka dengan melibatkan semua pihak. Pada titik ini, Negara harus merehabilitasi para Korban dan memastikan tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. 4) Konstitusi memberikan jaminan hak kemerdekaan berpikir dan menyatakan pikiran. Oleh karenanya, Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dianggap tidak lagi compatible saat ini, meski pencabutannya perlu menuggu momen yang tepat. Namun demikian kelompok ini masih keberatan PKI berlaga kembali dalam kancah politik nasional. Keberatan ini juga berlaku terhadap munculnya partai baru yang akan melakukan cara-cara sebagaimana PKI, dan (5) penyelesaian secara hukum -dengan mendakwa state-apparatus saat itu- akan sia-sia, sebab banyak dari mereka yang sudah meninggal dunia. Upaya ini dianggap tidak sebanding dengan kegaduhan politik yang justru akan menimbulkan gelombang-balik menghantam para Korban.
Sedangkan yang terakhir adalah
Faksi rekonsiliasi-progresif. Kelompok ini dengan sadar mengakui keterlibatan militer dan organisasi saya. Oleh karenanya, kelompok ini secara terbuka mengakui kesalahan, meminta maaf dan ikut terlibat aktif menyuarakan keadilan bagi korban, sembari terus menggalang rekonsiliasi dengan semua pihak. Lebih jauh, bagi kelompok ini, jika Peristiwa G30S dibuka kembali maka akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. Banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Oleh karena itu biarlah pengadilan yang akan menentukan mana yang benar[5]. Pun, regulasi yang masih bersifat diskriminatif menyangkut Peristiwa ini perlu dicabut, tidak terkecuali TAP MPRS XXV/1966 MPRS.
Kelompok ini berpandangan konstitusi tidak melarang ideologi apa pun. Bahkan, kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak (para pemeluknya)[6]. Proses perumusan Tap MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. TAP tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga negara. Hak hukum seseorang tak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan jikapun ia secara politik bersalah[7]. Secara tajam, kelompok ini menuding TAP MPRS tersebut dibuat oleh “seseorang yang tengah berendam dalam nafsu (kekuasaan), dan takut dituduh sebagai salah seorang anggota PKI itu sendiri.”[8]
KELUAR DARI KEPUNGAN
Dalam konteks demokrasi, perbedaan pandangan menyangkut Peristiwa 65 merupakan hal lumrah, sepanjang tidak digunakan untuk membungkam yang lain, apalgi menghalangi siapapun menuntut apa yang menjadi haknya. Mencermati 4 peta kelompok di atas, sangat jelas IPT menghadapi tantangan serius dari kubu antirekonsiliasi, rekonsiliasi-konservatif, dan faksi rekonsiliasi-moderat. Ketiganya berpandangan IPT merupakan upaya lancang yang tidak hanya akan menambah kekacauan situasi yang sudah ‘kondusif’, namun juga secara nyata berintensi membangunkan macan tidur. Saya mebayangkan terdapat dua pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan oleh IPT 65. Pertama, meminimalisasi kesalahpahaman dengan kelompok-kelompok kontra-IPT 65, terutama tiga kelompok tersebut di atas. Kedua, meyakinkan mereka bahwa penyelesaian melalui jalur yudisial merupakan masa depan terjadinya rekonsiliasi yang sebenarnya.
Akan tetapi, bagaimana mungkin ketiga faksi ini bisa menerima gagasan IPT yang secara fundamental telah ditolak ketiganya sejak awal? Saya berpandangan terdapat celah yang bisa mempersatukan Korban 65 dengan-setidaknya dua dari tiga faksi tersebut (rekonsiliasi-moderat dan konservatif), yakni dengan cara terus menggali apa yang disebut ‘keduanya adalah korban’.
Begini, saya kerap mendengar dari banyak pihak di internal organisasi saya bahwa para pelaku (sipil) pembantaian juga merasa menjadi korban keadaan.
Mungkin perasaan ini dianggap mengada-ada dan terkesan apologetis. Namun jika mau ditelisik lebih jauh, kita tentu bisa memahami kondisi ini, setidaknya melalui jargon ‘ membunuh atau dibunuh’. Jargon ini merupakan mantra sakti yang sangat terkenal untuk mengeskalasi pembantaian, setidaknya dalam kurun Oktober-Januari 1966 di Jawa Timur.
Temuan saya, mantra tersebut digunakan militer memaksa organisasi-organisasi kontra PKI melalui dua jalur. Pertama, memprovokasi organisasi-organisasi tersebut agar “membunuh (PKI), atau (jika tidak membunuh, mereka yang akan) dibunuh (oleh PKI)’.[9] Kedua, mengintimidasi mereka dengan mengintrodusir pemahaman bahwa “(mereka harus) membunuh (PKI) atau (mereka akan) dibunuh (karena dianggap PKI).[10]
Beban psikologis ini perlu diapreasi dan didialogkan secara bersama, agar prasangka semakin terkikis, dan rekonsiliasi pun menjadi sesuatu yang lebih konkrit serta bertenaga. Ujungnya, penyatuan ini akan bergerak mendorong negara memenuhi keadilan yang telah lama raib secara lebih bermartabat, yakni meminta negara secara konkrit bertindak menyangkut tiga hal; mengungkap kejujuran sejarah 1965, menghentikan impunitas pelaku (militer) melalui upaya hukum, dan memberikan reparasi bagi Korban.
Harus disadari sejak awal, upaya ke arah sana bukanlah hal mudah. Kekuatan-kekuatan antirekonsiliasi akan terus bergerak memadamkan ikhtiar mulia tersebut, dengan dukungan faksi garis-keras di militer dan kelompok Islam radikal-kanan. Mereka bertiga akan menggunakan segala cara agar faksi rekonsiliasi -baik konservatif maupun moderat- tidak menyeberang ke kubu progresif. Dalam upaya berebut pengaruh ini, jujur saya katakan, tiga kelompok tadi bisa dikatakan relatif berhasil mengkarantina faksi konservatif dan moderat agar tetap resisten terhadap gagasan IPT. Bahkan saat ini, mereka telah mulai meransek ke faksi progresif, pelan-pelan melucuti pendukungnya agar tidak lagi setia terhadap tiga tuntutan tersebut.
Semakin kelompok rekonsiliasi-progresif memilih absen memperkuat komunikasi dengan 3 kelompok lain, maka peluang meraih dukungan akan semakin mengecil. Lantas, bagaimana cara membangun komunikasi dengan para elite di organisasi yang masih berciri feodal? Mudah. Kuncinya adalah silaturahmi, dalam rangka menjelaskan persoalan secara utuh, tanpa pretensi untuk saling menjatuhkan.
Memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dalam menggalang dukungan banyak pihak, diperlukan juga kekukuhan pendirian, serta keberimbangan dalam ngemong para pihak yang terlibat. Gus Dur -saya kira- merupakan contoh kecil dari sedikit yang bisa dijadikan marja’. Dalam pemerintahannya yang begitu cepat berlalu, dia telah meletakkan model dasar -ideal- dalam membangun kerangka kerja pembelaan Kasus 65 -dari perspektif pemimpin formal (presiden) yang berasal dari organisasi yang tangannya dianggap berlumuran darah.
Misalnya, dia kukuh bersetia pada kemanusiaan dan keadilan; mengakui kesalahan organisatorik dan mendukung upaya keadilan bagi siapa saja yang merasa jadi Korban. Terhadap TAP MPRS XXV/1966, Gus Dur menganggap regulasi tersebut layaknya slilit regulatif yang harus dicungkil. Pendirian tersebut tidak lantas menyurutkan langkah Gus Dur mengkomunikasikan gagasannya ke banyak pihak, termasuk kepada elit organisasinya sendiri, meski tidak banyak mendapat dukungan. Posisinya yang kurang menguntungkan tersebut nampak semakin ‘terpuruk’ tatkala -di lain pihak- dirinya mendapat cibiran keras dari Pram terkait permintaan maafnya, juga pada saat beberapa korban 65 malah justru menuntutnya ke pengadilan – bersama dengan para mantan presiden lainnya. Sikap Gus Dur? Dia tidak patah arang. Dua kali dia mengunjungi rumah Pram –dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI- untuk mencairkan kebekuan. Gus Dur juga meresmikan sebuah panti jompo yang dihuni oleh penyintas 65, dan memberikan kata pengantar pada bukunya Ribka Tjiptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI.
Saya melihat IPT 1965 merupakan upaya meneruskan apa yang dulu belum sempat diselesaikan oleh Gus Dur, terutama untuk menguji klaim kebenaran masing-masing pihak atas Peristiwa 65, melalui mekanisme hukum yang fair dan transparan. Yang saya heran, kenapa Gus Dur begitu percaya diri mendukung pengungkapan Peristiwa ini melalui ranah hukum –padahal semua tahu organisasinya ikut terlibat aktif, terutama di Jawa Timur? Bukankah secara politik langkah ini mengesankan ia tengah menyerahkan leher organisasinya untuk ditebas?
Saya menduga, terdapat dua kemungkinan kenapa Gus Dur memilih laku tersebut. Pertama, sangat mungkin dia tengah mempraktekkan apa yang pernah ia katakan, ‘melanggar hak hukum seseorang karena ia telah menyerang kita tidak mencerminkan pandangan hidup menjadi seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim yang baik harus mengatakan bahwa apa yang salah adalah salah dan apa yang benar adalah benar, terlepas dari kita menyukainya atau tidak.”
Kedua, barangkali Gus Dur meyakini jika mekanisme hukum justru akan membuktikan bahwa organisasinya memang dalam kategori korban. Lebih jauh, sangat terbuka kemungkinan dia tengah mempercayai bahwa rekonsiliasi hanya bisa terwujud jika ada kepastian hukum, yang secara simultan disusuli dengan pemaafan kolektif, pengungkapan kebenaran sejarah, penghentian diskriminasi, dan pemberian reparasi bagi korban. Wallohu a’lam.
Jombang, 11 Ramadhan 2015
---------
* dipublikasi pertama kali di
http://kontrassurabaya.org/diskursus/ipt-65-diantara-kepungan-4-kelompok/
Catatan kaki:
[1] Nahdliyin, No. Kartanu. 13.120612.0288.02
[2] Pernyataan Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966 tertanggal 23 Juli 2012
[3] Kisah Penebang Kayu dan Serigala bisa dibaca dalam tulisan Yusuf H berjudul Kenapa Kita Menentang Komunis, dimuat Republika 29 April 2000.
[4] Secara spesifik, kelompok ini keberatan dengan apa yang mereka sebut sebagai dramatisasi jumlah korban Pembantaian 1965-66. Menurut Mas Munim Dz, jumlah korban kurang dari 20.000 orang. Para pembela PKI dianggap memainkan statistik jumlah korban untuk mengglorifikasi kepentingan mereka.
[5] Rabu, 15 Maret 2000, Terhadap Korban G30S/PKI Gus Dur: Sejak Dulu Sudah Minta Maaf, Jakarta, Kompas
[6] Gus Dur menyatakan hal tersebut sebagaimana di harian Kompas, 5 April 2000.
[7] Kompas, 22 April 2000
[8] Kompas, 1 April 2000.
[9] Upaya adu domba-domba dengan model provokasi ini –misalnya- sangat tampat tersirat dari testimoni alm. Pak Ud, Killing Communists. Dalam beberapa paragraf akhir tulisan tersebut, Pak Ud menceritakan militer selalu menyodorkan daftar nama kiai yang katanya akan menjadi target ‘penculikan’ PKI. Pak Ud pada akhirnya meragukan list tersebut benar dibuat PKI. Dia menutup testimoninya dengan kalimat, ‘there are two possibilities: one is that PKI was trying to confront its political enemies. But now I’m not sure whether the level of awareness among PKI members could really have been that high”, lihat McGlynn. John H, Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incident & Images, 2007. Testimoni tentang daftar yang seolah-olah dibuat PKI – namun sebenarnya dibuat oleh militer untuk memojokkan PKI, juga diceritakan oleh Gus Sholah (Salahuddin Wahid) dalam tulisannya PKI dan Rekonsiliasi, Republika, Kamis 6 Nopember 2003.
[10] Dalam tulisannya, Gus Sholah menceritakan ada orang yang dipaksa menjadi eksekutor tertuduh-PKI, Jalan Mendaki Rekonsiliasi, Situs NUOnlline, 2 Oktober 2006. Penjelasan yang sama juga saya dengar dari beliau beberapa kali saat membincang persoalan ini, salah satunya pada 13 Januari 2015 di Tebuireng.