Pages

Friday, January 19, 2018

Kenapa Saya Tidak Bisa Ber-Tafsir LGBT di Aswaja Center?


Hari Rabu (17/1) jam 16:13, gadget saya berbunyi. Ada pesan WA masuk, dari Yusuf Suharto kawan saya:

"Mas Aan, atas nama panitia kami mengundang Mas Aan Ansori mengisi Seminar Tafsir LGBT pada Sabtu, 20 Januari 2018 ini. Semoga Mas Aan bisa nggih? Nanti ada Kiai Musta'in Syafii"

Pada pukul 17.14 di hari yang sama, saya balas.

"Wahh acara bagus. Aku senang ente mulai tertarik mengkaji isu ini. Sayangnya, aku terlanjur punya acara lain. Aku tunggu tulisannya ya.. Suwun."

Meski sudah menyatakan tidak bisa, sehari kemudian, Kamis (18/1) jam 11.20, ia tetap mengirimkan surat permohonan menjadi narasumber. Saya berfikir, kenapa tetap mengirimkan surat padahal saya tidak dapat hadir. Ini tentu agak di luar kelaziman. Akan tetapi saya melihat hal itu sebagai hasrat positif panitia yang menggebu-gebu.

Setelah saya baca, acara yang akan dilaksanakan nanti berbentuk "seminar" dengan judul "Tafsir LGBT dan Lintas Iman" Sayangnya, dalam surat tersebut tidak disebutkan dengan siapa saja saya akan dipanelkan, apalagi dalam perspektif lintas iman --yang pastinya akan melibatkan para tokoh agama lain.

Di luar itu semua, meski dipanel dengan siapa saja, saya tetap tidak bisa datang karena sudah terlanjur punya janji dengan kelompok lain, di hari dan jam yang sama.

Secara personal, saya sangat mengapresiasi kerja Aswaja Center yang telah begitu sigap merespon isu ini, tentu dengan harapan bisa meminimalisir perasaan LGBT-fobia.

Saya juga meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada panitia karena belum bisa memenuhi undangan terhormat tersebut. Namun demikian, saya akan berupaya sekuat tenaga untuk menulis gagasan saya terkait tema yang diusung agar bisa menjadi medium pembelajaran bagi khalayak umum, juga sebagai bentuk terima kasih saya kepada teman-teman Aswaja Center.

Jika berkenan, silahkan baca beberapa tulisan saya terkait LGBT, sebagai media saling belajar.

Perihal Lesbian dalam al-Quran

Mencambuki Homoseksual, Mencambuki Keislaman Kita

Why did Indonesia's most prominent moderate Islam group take a stance vs LGBT?

Hadits LGBT: Ikut Tifatul atau Muslim-Bukhari?

Warna-warni waria zaman Nabi: Dari Mak Comblang hingga pengusiran

A Gusdurian's oath vs the heteronormative credo,

Tuhan Pelangi di Mahkamah Konstitusi,

Apakah Homoseksual Masuk Surga?

Homofobia di Universitas Andalas


Matur suwun.

Aan Anshori

Wednesday, January 3, 2018

Yang Terhormat Ibuku


Lihatlah perempuan yang aku lingkari. Itu adalah ibuku, Alfiyah. Ia putri kedua alm. Abdul Wahab, kiai kampung di Plemahan Sumobito Jombang yang pernah menjadi anggota DPR kabupaten dari Partai NU hasil Pemilu 1955.

Ibuku adalah kembang desa, suaranya merdu, dan sangat mandiri secara ekonomi. Ia bekerja menjaga toko pracangan yang ia bangun sejak dari nol di Pasar Mojoagung. Dalam aspek ekonomi, bapakku yang lebih fokus ngurusi politik dan perLSMan sangat beruntung mendapatkannya.

Entahlah, kenapa ibuku memilih dia dari sekian banyak laki-laki yang mengejarnya. Ibu tidak pernah bercerita padaku, kecuali bahwa hubungan mereka tidak direstui oleh ibu dari bapakku.

Nenekku, disamping sudah punya calon istri untuk bapakku, nampak cukup terancam dengan kosmpolitanisme ibuku. Ibuku itu sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Yang aku ingat, setiap kali berjalan, ia selalu menyapa orang yang dikenalnya -bahkan ketika yang disapa itu tidak sedang melihatnya sekalipun.

Ia tidak segan berteriak hanya untuk mendapat perhatiaannya. Aku kadang sampai malu, "Nek wonge mboten semerap mbok nggih mboten usah diceluk, buk," kataku suatu ketika menahan malu.

Alfiyah muda juga merupakan vocalist grup samroh di kalangan perempuan NU di kecamatan Mojoagung. Grupnya manggung di mana-mana; dari Seketi hingga Suwaru, dari Jonggrong hingga Klampisan.

Saat beromantika dengan bapakku, ibuku adalah seorang janda. Ia dicerai suaminya karena dianggap mandul setelah perkawinan mereka berlangsung 12 tahun. Kata orang-orang yang sezaman dengan ibu, ibuku nangis tanpa henti, tak mau diceraikan.

Bapakku juga berstatus duda dengan dua orang anak; Agus Rifai dan Alifah. Saya menduga, keduanya bertemu melalui kakekku Abdul Wahab, karena bagaimanapun ayah ibuku dan bapakku sama-sama orang politik. Pasti nyambung lah kalau ngomongin Golkar. Aku bisa membayangkan.

Di tengah ketidaksetujuan ibu dari bapakku, bapak akhirnya melamar ibu. Jadilah mereka pasangan suami istri. Tidak lama kemudian lahirlah jabang bayi yang sedang menulis cerita ini. Ibu dan bapakku saling mencintai, namun tetap saja mertua perempuan ibuku (nenekku) tidak kunjung bisa menerima ibu, bahkan ketika aku telah lahir sekalipun.

Bapakku benar-benar bingung dalam realitas yang bertabrakan ini. Ia begitu mencintai istri dan aku namun di sisi lain ia harus berbakti pada ibunya. Bisa dikatakan ibu adalah menantu yang tidak diinginkan. Itu juga yang membuat ibu tidak hidup serumah dengan mertua. Hidup berpindah dari satu kos ke kos yang lain.

Aku bisa membayangkan betapa stressnya bapakku kala itu. Pernah aku mendengar bapakku diminta menceraikan ibuku. I think you know who gave him the order, right? But he said no.

Di tengah relasi yang tidak ideal seperti itu, pernah suatu ketika ada laki-laki yang ingin bermain api dengan ibuku --- cantik dan supel memang terkadang bisa menjadi semacam kutukan. Mungkin maksud laki-laki itu sekedar berteman saja.

Dia baik padaku, suka memberi uang jajan. Mendengar hal itu, bapakku yang lebih sering ke rumah orang tuanya jadi naik pitam. Ia membawa senjata tajam dan datang ke kontrakan kami di daerah Pekunden, tetangga desa Kauman.

Otoritas daerah Pekunden pun jadi heboh dan berusaha menenangkan bapakku. Aku sendiri masih ingat diungsikan ke tetangga kontrakan, rumah wak polo (kadus).

Relasi ibu dan bapakku terus mengalami pasang surut hingga suasananya membaik pascawafatnya nenekku. Kami semua kemudian pindah ke rumah Kauman; berkumpul bersama dua kakakku.

Keluarga kami semakin lengkap dengan kehadiran adikku, Lail, yang lahir saat aku berusia 8 tahun. I love you!

*ditulis saat kehujanan di pos siskamling Nanggalan Watugaluh Diwek dan teras CU Semangat Warga

NU Queer di Warung Daun

Saat usai perhelatan ngopi bareng di Warung Daun Kediri, Kamis (16/11), saya bilang ke Mas Sanusi, direktur LSM Suar, "Mas, kalau mau jujur, NU iki queer lho dalam isu LGBTIQ," ujar saya sembari terbahak-bahak. Queer itu istilah dalam dunia gender dan seksualitas yang merujuk pada sesuatu di luar kebiasaan, aneh, antik, unik, atau kontradiktif.

Contoh gampangnya begini, Bunda Maria dipercaya mengandung tanpa proses yang ghalib, nah itu aneh, queer namanya. Atau, ada mobil yang bisa jalan dengan bahan bakar air, bukan bensin, itu juga queer.

Atau, ada tiang listrik tetap kokoh berdiri sedangkan Fortunernya ringsek dan Setnov katanya benjol sebesar bakpao, itu juga queer, aneh bin ajaib. Dalam isu LGBTIQ, sikap PBNU sudah sangat tegas; menolak dan mengutuk keras. Bahkan merekomendasi Negara untuk aktif membantu rehabilitasi "penderitanya," Anda bisa cek pemberitaan sekitar 26 Februari 2016.

Sungguhpun demikian, yang menarik, sikap ini tidak serta merta diikuti oleh jajaran di bawahnya di banyak daerah. Beberapa badan otonom, lajnah maupun lembaga di level propinsi maupun kabupaten/kota, terlibat dalam berbagai kegiatan yang melibatkan kelompok LGBTIQ, terutama di isu penanggulangan HIV/AIDS.

Bagi saya, ini queer. Ke-queer-an juga terjadi kemarin di acara cangkrukan di Warung Daun Kediri. Yang datang sangat beragam; perwakilan pemkab, mahasiswa STAIN Kediri, gay, trangender, lesbian, pekerja seks, germo, aktivis, dan lain-lain.

Hampir semuanya pakai qunut kalau subuhan, atau setidaknya nyekar ke kuburan dan melaksanakan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari kematian. Saya yang didapuk memantik diskusi, ya wong NU, begitu juga moderatornya, Mas Sanusi. Yang berdoa malah ketua GP Ansor Kabupaten Kediri, Munasir Huda.

Ancen NU iki Queer kok...:)