Pages
▼
▼
▼
Wednesday, January 3, 2018
Yang Terhormat Ibuku
Lihatlah perempuan yang aku lingkari. Itu adalah ibuku, Alfiyah. Ia putri kedua alm. Abdul Wahab, kiai kampung di Plemahan Sumobito Jombang yang pernah menjadi anggota DPR kabupaten dari Partai NU hasil Pemilu 1955.
Ibuku adalah kembang desa, suaranya merdu, dan sangat mandiri secara ekonomi. Ia bekerja menjaga toko pracangan yang ia bangun sejak dari nol di Pasar Mojoagung. Dalam aspek ekonomi, bapakku yang lebih fokus ngurusi politik dan perLSMan sangat beruntung mendapatkannya.
Entahlah, kenapa ibuku memilih dia dari sekian banyak laki-laki yang mengejarnya. Ibu tidak pernah bercerita padaku, kecuali bahwa hubungan mereka tidak direstui oleh ibu dari bapakku.
Nenekku, disamping sudah punya calon istri untuk bapakku, nampak cukup terancam dengan kosmpolitanisme ibuku. Ibuku itu sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Yang aku ingat, setiap kali berjalan, ia selalu menyapa orang yang dikenalnya -bahkan ketika yang disapa itu tidak sedang melihatnya sekalipun.
Ia tidak segan berteriak hanya untuk mendapat perhatiaannya. Aku kadang sampai malu, "Nek wonge mboten semerap mbok nggih mboten usah diceluk, buk," kataku suatu ketika menahan malu.
Alfiyah muda juga merupakan vocalist grup samroh di kalangan perempuan NU di kecamatan Mojoagung. Grupnya manggung di mana-mana; dari Seketi hingga Suwaru, dari Jonggrong hingga Klampisan.
Saat beromantika dengan bapakku, ibuku adalah seorang janda. Ia dicerai suaminya karena dianggap mandul setelah perkawinan mereka berlangsung 12 tahun. Kata orang-orang yang sezaman dengan ibu, ibuku nangis tanpa henti, tak mau diceraikan.
Bapakku juga berstatus duda dengan dua orang anak; Agus Rifai dan Alifah. Saya menduga, keduanya bertemu melalui kakekku Abdul Wahab, karena bagaimanapun ayah ibuku dan bapakku sama-sama orang politik. Pasti nyambung lah kalau ngomongin Golkar. Aku bisa membayangkan.
Di tengah ketidaksetujuan ibu dari bapakku, bapak akhirnya melamar ibu. Jadilah mereka pasangan suami istri. Tidak lama kemudian lahirlah jabang bayi yang sedang menulis cerita ini. Ibu dan bapakku saling mencintai, namun tetap saja mertua perempuan ibuku (nenekku) tidak kunjung bisa menerima ibu, bahkan ketika aku telah lahir sekalipun.
Bapakku benar-benar bingung dalam realitas yang bertabrakan ini. Ia begitu mencintai istri dan aku namun di sisi lain ia harus berbakti pada ibunya. Bisa dikatakan ibu adalah menantu yang tidak diinginkan. Itu juga yang membuat ibu tidak hidup serumah dengan mertua. Hidup berpindah dari satu kos ke kos yang lain.
Aku bisa membayangkan betapa stressnya bapakku kala itu. Pernah aku mendengar bapakku diminta menceraikan ibuku. I think you know who gave him the order, right? But he said no.
Di tengah relasi yang tidak ideal seperti itu, pernah suatu ketika ada laki-laki yang ingin bermain api dengan ibuku --- cantik dan supel memang terkadang bisa menjadi semacam kutukan. Mungkin maksud laki-laki itu sekedar berteman saja.
Dia baik padaku, suka memberi uang jajan. Mendengar hal itu, bapakku yang lebih sering ke rumah orang tuanya jadi naik pitam. Ia membawa senjata tajam dan datang ke kontrakan kami di daerah Pekunden, tetangga desa Kauman.
Otoritas daerah Pekunden pun jadi heboh dan berusaha menenangkan bapakku. Aku sendiri masih ingat diungsikan ke tetangga kontrakan, rumah wak polo (kadus).
Relasi ibu dan bapakku terus mengalami pasang surut hingga suasananya membaik pascawafatnya nenekku. Kami semua kemudian pindah ke rumah Kauman; berkumpul bersama dua kakakku.
Keluarga kami semakin lengkap dengan kehadiran adikku, Lail, yang lahir saat aku berusia 8 tahun. I love you!
*ditulis saat kehujanan di pos siskamling Nanggalan Watugaluh Diwek dan teras CU Semangat Warga
No comments:
Post a Comment