Pages

Sunday, May 20, 2018

Cerita Dibalik Aksi Solidaritas di GKI Diponegoro


Tanggal 16 Mei, saat mengunjungi Paroki SMTB bersama kawan-kawan, sebuah pesan masuk ke nomorku,dari Andri Purnawan, pendeta GKI Darmo Satelit. Isinya, draft _broadcast_ undangan woro-woro kegiatan di GKI Diponegoro, salah satu lokasi pengeboman.

Aku agak kaget mengingat Andri bukanlah pendeta di GKI Dipo. Ia juga bukan pejabat struktural sinode wilayah yang punya kewenangan menjelajah di luar gereja yang diampunya. Namun aku memahami situasi saat ini, pascapemboman, butuh figur yang mau bergerak.

Adalah Michael Andrew yang terus memotivasi Andri agar GKI Dipo membuka pintunya untuk aksi solidaritas pascatragedi. Michael memang paling suka memprovokasi orang untuk berbuat baik. Dan nampaknya Andri terlecut olehnya. Aku tahu, tak mudah bagi Andri meyakinkan internal GKI.

Drat woro-woro aku kirim balik ke Pdt. Andri, dengan menambahkan beberapa narahubung selain dirinya. Ada tiga nama yang aku masukkan; Michael, Yuska dan Mas Irianto. Lengkap dengan nomor telponnya. "Nama-nama itu sudah dikonfirmasi?" tanya Andri via WA. Aku mengiyakan karena saat itu aku bersama ketiganya di SMTB.

Selanjutnya aku membuat poster sederhana untuk acara di GKI Dipo itu. Foto dua perempuan berjilbab yang salah satunya mencium mawar, hasil jepretan Andy Budiman. Aku memakai foto itu dengan intensi tunggal; menunjukkan betapa kami, umat Islam, ingin membayar dosa bom itu. Tak ada yang lain.

Tanggal 18 malam aku meluncur ke GKI Dipo motoran bersama Adi Acong. Aku melihat penjagaan cukup ketat di depan gereja. Situasi ini seakan menunjukkan betapa alotnya negoisasi psikologis pascapemboman. Aku menduga.

Di sana, sudah menunggu banyak teman dari berbagai elemen. Aku memeluk dan menyalami sebagian dari mereka, sebelum ranselku digeledah metal-detector dan disuruh membuka. "Ini kabel charger laptop, mas," karaku pada petugas yang agak melotot melihat kabel hitam menyembul dari ransel hitamku.

Masuk di halaman GKI Dipo, situasinya mirip pasar malam. Begitu banyak orang yang hadir. Campur bawur. Aku sangat senang sekaligus agak tersiksa. Tersiksa karena aku melihat tanda "No Smoking" di halaman. "Matek aku," rutukku.

Memang, sebagian besar gereja milik GKI ditata dengan konsep tidak ramah perokok. Aku bisa memahaminya. Betapa besar cinta-kasih mereka terhadap kami, para perokok. "Tubuhmu itu bait Allah. Jangan kau rusak dengan rokok," demikian yang kerap aku dengar.

Itu sebabnya, perokok bisa dikatakan hidup dalam ketertindasan. Dan menariknya, Yesus yang aku tahu justru bersama orang-orang yang tertindas. Aku menghibur diriku sendiri, sembari menuju ruang ibadah, tempat acara berlangsung.

Aku mengambil tempat duduk di lantai atas. Menjauhi kiri-kanan panggung yang sudah diisi ratusan orang. Ada yang ndoprok di lantai dan ada yang duduk di kursi. Ruang gereja itu benar-benar penuh sesak orang. _"Cuk, akehe wong sing teko,"_ batinku merasa senang.

Aku larut bersama ratusan dari mereka. Di balkon atas tempatku duduk, aku bisa dengan leluasa menikmati pemandangan di bawah. Suasananya begitu larut penuh emosi ketika beberapa orang mulai memberi kesaksian saat bom meledak. Aku tak bisa menyembuyikan rasa maluku. Sebelumnya, Andri sudah mengingatkanku bahwa sangat mungkin teman-teman Dipo akan sedikit ekspresif mengungkapkan kedukaannya. Dan itu memang benar-benar terjadi.

Aku menundukkan kepala. Guilty feeling. Rasanya aku tak berani menghadapi begitu banyak orang Kristen di ruangan itu. Malu. "Aku di sini saja," batinku.

Namun takdir berkehendak lain. Pdt. Andri yang sudah naik panggung dekat mimbar memanggil namaku dengan mikrofon. "Saya minta kawan saya dari Jombang maju bersama saya di sini," ucapnya keras sembari memanggil namaku.

Aku pun turun dari balkon dituntun ratusan pasang mata. Kami berdua kemudian mulai menjadi jenderal panggung mengorkestrasi acara selama beberapa jam.

_The pain will make us much stronger._

I love you, GKI Dipo!

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...