Pages

Sunday, August 26, 2018

GEREJA "KURANG IMAN" DI TITIK 30


Kurang Iman adalah olokan-mesra yang pernah aku dengar dari teman-temanku pendeta di GKI. Olokan itu kabarnya sering dilontarkan oleh denominasi kekristenan lain yang, katakan, lebih kharismatik dan let's just say pietis. Olokan seperti ini juga pernah aku dapat saat beberapa orang memlesetkan PMII, almamaterku; dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menjadi Pergerakan Mahasiswa Insyaalloh Islam.

GKI sendiri kepanjangan dari Gereja Kristen Indonesia. Salah satu sinode Protestan terkemuka yang bercikal dari gereja etnis Tionghoa. Ia selanjutnya tumbuh menjadi denominasi terbuka dengan identitas Keindonesiaan yang sangat kuat. Kiprahnya dalam menjaga keragaman identitas Indonesia sudah tidak lagi bisa saya pertanyaan.

Olokan "kurang iman" barangkali muncul oleh karena wajah GKI yang dianggap tidak lagi "konsisten" menghidupi nilai klasik kekristenan. Nilai ini bertumpu pada semangat penginjilan dalam koridor konversi iman. Dalam Islam sendiri, harus aku akui, nilai klasik seperti ini masih kuat melekat sebagai tujuan dakwah, bahkan hingga sekarang. Entahlah.

Aku pribadi sudah lama melucuti nilai klasik itu dari diriku. Malu. Islamisasi selanjutnya aku pahami sebagai kewajiban menjadi rahmat bagi semesta, bukan mengubah agama seseorang. Mengubah agama orang adalah hal yang menjijikkan sebab setiap individu bisa tumbuh menjadi baik dalam imannya masing-masing, teorinya.

Saya merasa sangat dekat dengan GKI, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tidak terhitung berapa banyak temanku yang kini menjadi pendeta maupun teolog di sinode tersebut; Andri, Yoses, Andreas, Boy, Samuel, Anang, Leo, Virgo, Adon, Dinna, Dimas, Sigit, Novi, Himawan, Ida Sianipar, Steve Suleeman, Gidyon, Pelangi, Sutrisno, Susan, Sandy, Florentia, Agustina, Iwan, Agus, Stefanus, Novarita, Michael, Bonnie, dan Simon Filantropa. Itu hanya beberapa saja. Masih banyak yang lain.

Saking dekatnya, aku tidak hanya pernah makan, minum, numpang tidur bersama salah satu dari mereka, namun juga berproses lebih jauh; menjadikan gereja GKI sebagai tempat mendadar penguatan relasi antariman bagi banyak muslim muda. Ya, gereja mereka sering aku gunakan sebagai laboratorium pengasahan sensitifitas keislaman mereka agar semakin tajam dan toleran--bukan sejenis keislaman yang tumpul-intoleran yang malah bisa menyakitkan liyan.

Di GKI Jombang, misalnya, untuk pertama kalinya aku ajak Cecil dan Galang ikut menghadiri perayaan Natal tiga tahun lalu sembari menikmati pagelaran wayang Potehi di dalam gereja. Gereja itu menjadi saksi puluhan anak muda Islam asal Puger Jember yang terlibat dalam program inklusi sosial milik Lakpesdam NU Jawa Timur.

Begitu dekatnya aku, aku bahkan bisa mengusulkan agenda kegiatan lintas iman di program kerja tahunan GKI, baik di level kabupaten, klasis, maupun sinode wilayah. Aku memang benar-benar tidak tahu malu; bukan jemaat tapi ikut ngusulin program kerja.

Tanpa rasa malu pula, saat penahbisan Yoses di GKI Sidoarjo, aku mengatakan bahwa adikku ini bukan "hanya milik" GKI. Ia sejatinya putra Indonesia yang pengasuhannya "dititipkan" ke GKI, namun tanggung jawabnya tidak terbatas pada komunitas GKI, namun pada Indonesia.

Ya betul, aku ikut menumpangkan tanganku, bersama para pendeta GKI dan perwakilan lintas agama, di atas kepala Yoses saat ia ditahbiskan 21 November 2016 lalu. Aku juga ikut duduk di atas, dekat mimbar, bersama puluhan pendeta dari berbagai sinode, ketika Bonnie Andreas diteguhkan menjadi imam baru GKI Pondok Indah, digeser dari Cileduk.

Dengan potret seperti ini, sebagai serpihan kecil dalam percaturan gerakan Jaringan GUSDURian yang hingga kini aku geluti, aku bisa katakan, GKI adalah "our strong ally," selain Katolik, GKJW dan kelompok lain.

Jadi, jika olokan "kurang iman" adalah salib yang harus kalian panggul untuk menjaga keragaman NKRI bersama kami, just be it!

Happy 30th Anniversary, GKI!

*Aan Anshori*