Meski sama-sama bisa dikategorikan sebagai generasi millenial, namun dua kelompok beda agama di dua kota merespon isu LGBT secara kontras.
Di Payakumbuh, Rabu (7/11), ratusan anak-anak muda bersama orang dewasa turun ke jalan mengecam LGBT dengan segala argumentasinya. Mereka berdemonstrasi dalam rangka deklarasi perang terhadap apa yang dianggapnya sebagai penyakit masyarakat. LGBT disejajarkan dengan minuman keras, perjudian serta perzinahan.
Penyejajaran ini sungguh problematik mengingat ada pemaksaan logika di dalamnya. Sejak kapan transgender, lesbian, homoseksual maupun biseksual adalah kejahatan? Jangankan masuk dalam dalam aktifitas pidana, terkategorisasi sebagai penyakit mental pun tidak, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Tampak sangat jelas anak-anak millenial Payakumbuh tersebut belum mendapatkan edukasi tentang konsep dasar gender dan seksualitas dalam diri manusia.
Sungguhpun demikian, mereka tidak bisa disalahkan karena guru-guru mereka juga terlalu malas belajar. Padahal guru-guru ini telah menikmati gurihnya 400an triliun dana pendidikan dalam APBN 2018.
Saat berdemo, ada sesorang anak yang mengangkat poster berbunyi "Seanjing-anjingnya anjing jantan tidak akan kawin dengan anjing jantan," Poster ini menunjukkan betapa katroknya mereka yang menganggap absennya homoseksualitas di dunia binatang.
Padahal, buku hasil riset Bruce Bagemihl berjudul "Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity," telah menjelaskan panjang soal itu. Di dalam risetnya, Bagemihl menggambarkan secara gamblang homoseksualitas terdeteksi pada ratusan spesies.
Anak-anak millenial Payakumbuh bisa jadi tidak pernah menemui dan berdialog secara rendah hati dengan teman-teman LGBT. Kiranya anak-anak tak berdosa ini seperti telah terjangkiti virus homofobia dari guru-guru mereka. Virus ini menjadi sangat mematikan karena biasanya bercampur dengan ekstrak agama yang terkenal sangat ampuh efeknya.
Situasi yang kontras terjadi di sekolah SMA Katolik St. Louis (baca Sinlui) Surabaya. Anak-anak millenial sekolah itu malah justru diperbolehkan gurunya mengundang Eky, kawan saya yang gay, untuk berbagi pengetahuan seputar dirinya dan pengalamannya, Rabu (7/11).
Saya menebak, sejak awal sangat mungkin ada preteks negatif dalam benak mereka terkait LGBT. Namun tampak jelas hal itu disikapi secara dewasa dan rendah hati dengan cara mencari tahu. Apa yang lebih rendah hati ketimbang memosisikan dirinya sebagai pihak yang belum tahu atas hal tertentu dan belajar langsung dari yang bersangkutan?
Ya, Eky yang homo itu, alih-alih dipersepsi sebagai pendosa dan "berpenyakitan," malah justru diposisikan dalam strata terhormat di kelas itu; menjadi "sang guru," --sebutan formal bagi siapapun yang diundang dalam kelas resmi sekolah tersebut.
Terlepas dari sikap yang akan diambil anak-anak Sinlui nantinya, perjumpaan langsung dengan "sang guru" akan memberi mereka bekal yang cukup untuk menemukan bagaimana "wajah tuhan" terimplementasi di diri mereka menyangkut kelompok LGBT.
Pastinya akan sangat berbeda dengan para milenial Payakumbuh yang lebih dulu memilih citra Tuhan yang menghujat, koersif dan intimidatif. Pencitraan yang muncul akibat kurangnya pengetahuan seperti ini juga pernah terjadi 53 tahun lalu saat politik Islam merespon Pembantaian 65-66.
Kala itu, hampir semua organisasi politik Islam bersikap sangat keras terhadap PKI dan siapapun yang dianggap pengikutnya, terutama kelompok abangan. Mereka mengintimidasi dan mempersekusi kelompok ini dengan berbagai motif, salah satunya menambah pengikut melalui konversi agama.
Namun sayangnya, hal itu tidak sepenuhnya berhasil. Catatan Ukur dan Cooley tahun 1979 dalam "Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia," menunjukkan ratusan ribu orang, kebanyakan di pulau Jawa,. justru memilih Kristen dan Katolik sebagai cangkang baru relijiusitas. Mereka merasa dua agama ini lebih akomodatif terhadap situasi psikologis yang dialaminya saat itu.
Dalam hal penyikapan terhadap LGBT, milenial Islam Payakumbuh dan Katolik Sinlui telah menawarkan dua model yang sangat kontras, seperti langi dan bumi. Dan yang menggelisahkan, Islam Payakumbuh ini merupakan satu-satunya model yang diterapkan oleh institusi pendidikan Islam di Indonesia yang jumlahnya mencapai hampir satu juta lebih dengan topangan puluhan triliun dana APBN tiap tahun.
Kita butuh lebih banyak model pengajaran seperti Sinlui agar Indonesia lebih beradab terhadap warganya yang punya identitas gender dan orientasi seksual berbeda dengan kebanyakan.
Di Payakumbuh, Rabu (7/11), ratusan anak-anak muda bersama orang dewasa turun ke jalan mengecam LGBT dengan segala argumentasinya. Mereka berdemonstrasi dalam rangka deklarasi perang terhadap apa yang dianggapnya sebagai penyakit masyarakat. LGBT disejajarkan dengan minuman keras, perjudian serta perzinahan.
Penyejajaran ini sungguh problematik mengingat ada pemaksaan logika di dalamnya. Sejak kapan transgender, lesbian, homoseksual maupun biseksual adalah kejahatan? Jangankan masuk dalam dalam aktifitas pidana, terkategorisasi sebagai penyakit mental pun tidak, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Tampak sangat jelas anak-anak millenial Payakumbuh tersebut belum mendapatkan edukasi tentang konsep dasar gender dan seksualitas dalam diri manusia.
Sungguhpun demikian, mereka tidak bisa disalahkan karena guru-guru mereka juga terlalu malas belajar. Padahal guru-guru ini telah menikmati gurihnya 400an triliun dana pendidikan dalam APBN 2018.
Saat berdemo, ada sesorang anak yang mengangkat poster berbunyi "Seanjing-anjingnya anjing jantan tidak akan kawin dengan anjing jantan," Poster ini menunjukkan betapa katroknya mereka yang menganggap absennya homoseksualitas di dunia binatang.
Padahal, buku hasil riset Bruce Bagemihl berjudul "Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity," telah menjelaskan panjang soal itu. Di dalam risetnya, Bagemihl menggambarkan secara gamblang homoseksualitas terdeteksi pada ratusan spesies.
Anak-anak millenial Payakumbuh bisa jadi tidak pernah menemui dan berdialog secara rendah hati dengan teman-teman LGBT. Kiranya anak-anak tak berdosa ini seperti telah terjangkiti virus homofobia dari guru-guru mereka. Virus ini menjadi sangat mematikan karena biasanya bercampur dengan ekstrak agama yang terkenal sangat ampuh efeknya.
Situasi yang kontras terjadi di sekolah SMA Katolik St. Louis (baca Sinlui) Surabaya. Anak-anak millenial sekolah itu malah justru diperbolehkan gurunya mengundang Eky, kawan saya yang gay, untuk berbagi pengetahuan seputar dirinya dan pengalamannya, Rabu (7/11).
Saya menebak, sejak awal sangat mungkin ada preteks negatif dalam benak mereka terkait LGBT. Namun tampak jelas hal itu disikapi secara dewasa dan rendah hati dengan cara mencari tahu. Apa yang lebih rendah hati ketimbang memosisikan dirinya sebagai pihak yang belum tahu atas hal tertentu dan belajar langsung dari yang bersangkutan?
Ya, Eky yang homo itu, alih-alih dipersepsi sebagai pendosa dan "berpenyakitan," malah justru diposisikan dalam strata terhormat di kelas itu; menjadi "sang guru," --sebutan formal bagi siapapun yang diundang dalam kelas resmi sekolah tersebut.
Terlepas dari sikap yang akan diambil anak-anak Sinlui nantinya, perjumpaan langsung dengan "sang guru" akan memberi mereka bekal yang cukup untuk menemukan bagaimana "wajah tuhan" terimplementasi di diri mereka menyangkut kelompok LGBT.
Pastinya akan sangat berbeda dengan para milenial Payakumbuh yang lebih dulu memilih citra Tuhan yang menghujat, koersif dan intimidatif. Pencitraan yang muncul akibat kurangnya pengetahuan seperti ini juga pernah terjadi 53 tahun lalu saat politik Islam merespon Pembantaian 65-66.
Kala itu, hampir semua organisasi politik Islam bersikap sangat keras terhadap PKI dan siapapun yang dianggap pengikutnya, terutama kelompok abangan. Mereka mengintimidasi dan mempersekusi kelompok ini dengan berbagai motif, salah satunya menambah pengikut melalui konversi agama.
Namun sayangnya, hal itu tidak sepenuhnya berhasil. Catatan Ukur dan Cooley tahun 1979 dalam "Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia," menunjukkan ratusan ribu orang, kebanyakan di pulau Jawa,. justru memilih Kristen dan Katolik sebagai cangkang baru relijiusitas. Mereka merasa dua agama ini lebih akomodatif terhadap situasi psikologis yang dialaminya saat itu.
Dalam hal penyikapan terhadap LGBT, milenial Islam Payakumbuh dan Katolik Sinlui telah menawarkan dua model yang sangat kontras, seperti langi dan bumi. Dan yang menggelisahkan, Islam Payakumbuh ini merupakan satu-satunya model yang diterapkan oleh institusi pendidikan Islam di Indonesia yang jumlahnya mencapai hampir satu juta lebih dengan topangan puluhan triliun dana APBN tiap tahun.
Kita butuh lebih banyak model pengajaran seperti Sinlui agar Indonesia lebih beradab terhadap warganya yang punya identitas gender dan orientasi seksual berbeda dengan kebanyakan.