Pages

Tuesday, November 13, 2018

DARI PAYAKUMBUH KE SINLUI; LGBT DAN WAJAH MILENIAL

Meski sama-sama bisa dikategorikan sebagai generasi millenial, namun dua kelompok beda agama di dua kota merespon isu LGBT secara kontras.

Di Payakumbuh, Rabu (7/11), ratusan anak-anak muda bersama orang dewasa turun ke jalan mengecam LGBT dengan segala argumentasinya. Mereka berdemonstrasi dalam rangka deklarasi perang terhadap apa yang dianggapnya sebagai penyakit masyarakat. LGBT disejajarkan dengan minuman keras, perjudian serta perzinahan.

Penyejajaran ini sungguh problematik mengingat ada pemaksaan logika di dalamnya. Sejak kapan transgender, lesbian, homoseksual maupun biseksual adalah kejahatan? Jangankan masuk dalam dalam aktifitas pidana, terkategorisasi sebagai penyakit mental pun tidak, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Tampak sangat jelas anak-anak millenial Payakumbuh tersebut belum mendapatkan edukasi tentang konsep dasar gender dan seksualitas dalam diri manusia.

Sungguhpun demikian, mereka tidak bisa disalahkan karena guru-guru mereka juga terlalu malas belajar. Padahal guru-guru ini telah menikmati gurihnya 400an triliun dana pendidikan dalam APBN 2018.

Saat berdemo, ada sesorang anak yang mengangkat poster berbunyi "Seanjing-anjingnya anjing jantan tidak akan kawin dengan anjing jantan," Poster ini menunjukkan betapa katroknya mereka yang menganggap absennya homoseksualitas di dunia binatang.

Padahal, buku hasil riset Bruce Bagemihl berjudul "Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity," telah menjelaskan panjang soal itu. Di dalam risetnya, Bagemihl menggambarkan secara gamblang homoseksualitas terdeteksi pada ratusan spesies.

Anak-anak millenial Payakumbuh bisa jadi tidak pernah menemui dan berdialog secara rendah hati dengan teman-teman LGBT. Kiranya anak-anak tak berdosa ini seperti telah terjangkiti virus homofobia dari guru-guru mereka. Virus ini menjadi sangat mematikan karena biasanya bercampur dengan ekstrak agama yang terkenal sangat ampuh efeknya.

Situasi yang kontras terjadi di sekolah SMA Katolik St. Louis (baca Sinlui) Surabaya. Anak-anak millenial sekolah itu malah justru diperbolehkan gurunya mengundang Eky, kawan saya yang gay, untuk berbagi pengetahuan seputar dirinya dan pengalamannya, Rabu (7/11).

Saya menebak, sejak awal sangat mungkin ada preteks negatif dalam benak mereka terkait LGBT. Namun tampak jelas hal itu disikapi secara dewasa dan rendah hati dengan cara mencari tahu. Apa yang lebih rendah hati ketimbang memosisikan dirinya sebagai pihak yang belum tahu atas hal tertentu dan belajar langsung dari yang bersangkutan?

Ya, Eky yang homo itu, alih-alih dipersepsi sebagai pendosa dan "berpenyakitan," malah justru diposisikan dalam strata terhormat di kelas itu; menjadi "sang guru," --sebutan formal bagi siapapun yang diundang dalam kelas resmi sekolah tersebut.

Terlepas dari sikap yang akan diambil anak-anak Sinlui nantinya, perjumpaan langsung dengan "sang guru" akan memberi mereka bekal yang cukup untuk menemukan bagaimana "wajah tuhan" terimplementasi di diri mereka menyangkut kelompok LGBT.

Pastinya akan sangat berbeda dengan para milenial Payakumbuh yang lebih dulu memilih citra Tuhan yang menghujat, koersif dan intimidatif. Pencitraan yang muncul akibat kurangnya pengetahuan seperti ini juga pernah terjadi 53 tahun lalu saat politik Islam merespon Pembantaian 65-66.

Kala itu, hampir semua organisasi politik Islam bersikap sangat keras terhadap PKI dan siapapun yang dianggap pengikutnya, terutama kelompok abangan. Mereka mengintimidasi dan mempersekusi kelompok ini dengan berbagai motif, salah satunya menambah pengikut melalui konversi agama.

Namun sayangnya, hal itu tidak sepenuhnya berhasil. Catatan Ukur dan Cooley tahun 1979 dalam "Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia," menunjukkan ratusan ribu orang, kebanyakan di pulau Jawa,. justru memilih Kristen dan Katolik sebagai cangkang baru relijiusitas. Mereka merasa dua agama ini lebih akomodatif terhadap situasi psikologis yang dialaminya saat itu.

Dalam hal penyikapan terhadap LGBT, milenial Islam Payakumbuh dan Katolik Sinlui telah menawarkan dua model yang sangat kontras, seperti langi dan bumi. Dan yang menggelisahkan, Islam Payakumbuh ini merupakan satu-satunya model yang diterapkan oleh institusi pendidikan Islam di Indonesia yang jumlahnya mencapai hampir satu juta lebih dengan topangan puluhan triliun dana APBN tiap tahun.

Kita butuh lebih banyak model pengajaran seperti Sinlui agar Indonesia lebih beradab terhadap warganya yang punya identitas gender dan orientasi seksual berbeda dengan kebanyakan.

Sunday, November 4, 2018

Satu Melawan Enam; Ada Tionghoa di Gereja Jawa


Setelah sempat jeda cukup lama, bedah buku narasi memori "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia," kembali disulut lagi. Penyelenggaranya, gabungan beberapa organisasi dengan tim kecil dari GUSDURian Klaten dan GKJ Karangdowo, Sabtu (3/11), di Aula Klasis Klaten Timur dekat stasiun Klaten.

Kerja kilat beberapa hari membuahkan forum diskusi yang gayeng dengan Pak Yahya Yusuf dari UKDW sebagai pembedahnya. Ya, Tionghoa dibincang di gereja Jawa.

Enam penulis yang semuanya bukan-Tionghoa hadir memberi kesaksian atas apa yang mereka tulis. Gus Jazuli Klaten hadir memberikan sambutan dan mengikuti bedah buku sampai selesai.

Kerennya buku ini, aku kira, terletak dari kejujuran para penulis menarasikan kisah hidupnya ketika bersinggungan dengan kelompok Tionghoa. Lail, salah satu penulis misalnya, perlu menapaktilasi kembali persahabatannya dengan Lily, teman Tionghoanya, yang telah terputus 25 tahun agar tulisannya selesai. "Saya bersusah payah mencarinya kembali agar bisa menyelesaikan tulisan," ungkapmya.

Cerita Doni sungguh dramatis. Pendeta gereja GKJ di wilayah Ambarawa ini sejak awal memang punya ketidaksukaan dengan kelompok Tionghoa. Hingga pada suatu ketika ada rombongan mahasiswa/i teologi yang belajar di gerejanya. "Bajigur, lha kok Cino kabeh. Matek aku," ungkapnya yang disambut gelak tawa peserta bedah buku. Namun justru di sanalah titik baliknya.

Buku ini keren, terlepas dari masih perlunya perbaikan-perbaikan minor. Jika boleh jujur, belum ada yang bisa menandingi buku setebal 435 halaman ini, yang berisi cerita nyata 73 penulis saat bergulat dengan ketionghoaan. Sebagian besar penulisnya bukanlah Tionghoanya, dan semuanya menulis secara sukarela.


Kalau kamu tertarik mengadakan bedah bukunya, aku akan kasih 2 buku gratis dan mengupayakan 1-2 penulis hadir dalam acara tersebut.

Tak perlu berharap ada dukungan finansial untuk penyelenggaraan acara tersebut karena aku percaya kamu mampu mengupayakannya sendiri.

Jika berminat, jangan sungkan menghubungiku ya. Seluruh keuntungan penjualan buku ini digunakan untuk mencetaknya kembali.

*** Thank to Dhyana, Ilham, dan semua pihak. Upahmu besar di Surga.

Friday, November 2, 2018

Kafir dan Ogah Masuk Gereja: Upayaku Memuaskan Yuli


Seorang perempuan muda, Yuli namanya, berdiri untuk bertanya pada sesi kedua seminar nasional Sumpah Pemuda bersamaan dengan ulang tahun ke-70 Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Lucas Surabaya, Minggu (28/11), di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

Setelah menceritakan sedikit pergumulan keluarganya, dia menyodorkan dua pertanyaan kepadaku. "Anak saya berumur 4 tahun pernah bertanya kenapa saya dan kakaknya memilih kafir dan tidak masuk Islam. Bagaimana menjelaskan persoalan keyakinan pada anak seusia dia?" katanya.

Lalu ia dengan masygul menceritakan ayahnya yang tidak mau masuk ke dalam gereja saat ia menerima pemberkatan perkawinan. Yuli nampak masih sangat heran bagaimana hal itu bisa terjadi pada seorang ayah ketika putrinya melangsungkan salah satu momen terpenting dalam hidupnya.

"Mbak, saya bukan psikolog dan belum pernah mengalami hal itu. Tapi saya percaya dua peristiwa yang kamu alami pasti sangat berat," aku mulai menjawabnya dengan keterbatasan yang nyata.

Menjelaskan konsep kekafiran pada anak usia empat tahun agar ia bisa paham tanpa kuatir terjebak logika binerik salah-benar rasanya cukup menantang. Sama menantangnya dengan menjawab pertanyaan; kamu lebih suka ayah atau ibu.

"Yul, katakanlah pada anakmu, kekafiran adalah 'emoh menyayangi orang lain,' Setelah itu, kamu tanya balik ke dia apakah kakaknya menyayanginya atau tidak. Dengan demikian, tandaskan juga bahwa kekafiran tidak ada hubungannya dengan agama yang dianut orang," tambahku.

Keberanianku merevisi konsep kekafiran klasik sepenuhnya berpijak pada ijtihad Ibn Asyur, syaikh al-Islam asal Tunisia yang beraliran Sunni-Maliki. Ia berpandangan kemerdekaan beragama dijamin dalam Islam merujuk pada QS. 2:256.

Menurutnya, berbagai ayat bernuansa permusuhan terhadap non-Muslim, misalnya QS. 9:73; 66:9; 2:193, bersifat spesifik karena saat itu kelompok non-Muslim menyerang umat Islam pasca penaklukan Makkah.

Itu sebabnya, ayat-ayat permusuhan tersebut berlaku khusus dan tidak bisa mengalahkan ayat universal seperti ayat tentang jaminan kemerdekaan beragama. Asyur nampak ingin menyatakan semua agama mengajarkan kebaikan. Jika ada orang berbuat jelek atas nama agama maka yang salah adalah interpretasinya, bukan agamanya.

Menganggap orang lain jelek atau jahat hanya karena perbedaan agama merupakan hal yang kurang tepat dan perlu dikoreksi. "Jelek itu perilakunya, bukan agamanya," kataku menambahkan.

Kini, aku harus menjawab pertanyaan kedua Yuli terkait penolakan ayahnya masuk gereja saat pemberkatan perkawinannya. aku meyakinkan Yuli bahwa setiap orang punya keterbatasan. Tidak elok seandainya kita memaksakan kehendak. "Tugas kita adalah menyayangi seseorang dengan tulus sembari terus bersabar memberinya pengertian," kataku.

Kala itu, sangat mungkin ayah Yuli, menurutku, berfikir keimanannya akan bergeser jika harus memasuki gereja. Ia semacam menghadapi dilema; melihat dari dekat pemberkatan anaknya, atau harus "menggadaikan" imannya. Dan ia memilih yang kedua --pilihan yang nampanya melukai Yuli.

"Mungkin ceritanya akan lain, Yul, jika aku hadir dan ikut masuk ke gereja. Anggap saja beliau sungkan mau masuk karena nggak ada kawannya," selorohku disambut tawa beberapa peserta seminar.

Yuli barangkali satu dari sekian banyak orang yang mengalami peristiwa seperti itu. Ya, peristiwa tersebut muncul akibat model edukasi keagamaan Islam yang bersifat literal dan klasikal.

Ia sangat mungkin telah menyimpan pertanyaan itu sejak lama dan bingung hendak ditanyakan kepada siapa. Atau bisa jadi ia telah mendapat jawaban namun kurang memuaskan dirinya.

Semoga ia terpuaskan olehku.(*)