Hbbb
Thursday, January 24, 2019
Wednesday, January 9, 2019
Muslimah Lesbian di antara Dua GUSDURian
"Gus, saya berbeda," ia bersuara lirih tanpa menatap
Saya kaget, "Maksudnya?"
......
Kami baru bertemu dan berinteraksi sekitar dua jam ketika saya mengantarkan 150an kader PMII Jawa Timur berkunjung ke gereja GPdI Junrejo Batu, Minggu (6/1) Ia sendiri ikut membaur di acara tersebut. Bahkan membantu kami menjadi fotografer dadakan.
Wajahnya tergolong manis. Dibalut busana Islami yang sangat longgar dengan celana gombrong model Aladdin. Ia memakai sepatu sport besar, menjauhi kesan feminin sebagaimana perempuan kebanyakan yang saya tahu.
Dari caranya berbusana, ia nampak sangat ingin menutupi sesuatu dalam dirinya. Entah apa. Namun sejak menit pertama bertemu, dari busananya, sudah terasa ada yang berbeda. Saya merasakan itu.
"Saya lesbian, gus" ia menyeruput es kopi sama dengan yang saya pesan di salah satu food court dekat TMP Batu. Sesekali ia membetulkan letak jilbabnya yang nampak kedodoran. Ia sekali lagi terlihat mencoba begitu tenang saat mengatakan itu. Meskipun bagi saya kentara sekali perasaan bersalah terus menjalarinya.
Saya baru mengerti kenapa ia berbusana kedodoran dengan jilbab tak terpasang anggun untuk ukuran wajah seimut dia; ia tak ingin terlihat menawan dan seksi, yang pada akhirnya bisa membuat para pria jatuh hati padanya. Bagi lesbian, disukai cowok hetero bisa berarti bencana.
Namanya, sebut saja, Zaynab. Mahasiswi sosiologi penerima beasiswa di salah satu perguruan tinggi Malang. Bagiku, ia adalah lesbian berwajah feminin (femme) ketiga yang saya temui dalam kurun waktu dua bulan ini.
Sebelumnya, saya berjumpa Shirley Lam, seorang pendeta di Hongkong, di pertemuan internasional Gender Interfaith Network for SOGIE di Bangkok. Satu lagi, kawan saya, dosen salah satu perguruan tinggi terkenal di Jombang.
Zaynab mengaku sudah lama ingin bertemu saya, sejak saya nongol di ILC TVOne membahas isu LGBT. Namun ia belum tahu caranya. Secara kebetulan, ia bertemu teman saya, aktifis GUSDURian Batu, yang mengisi seminar di kampusnya. Dengan bantuan teman itu, kami bertiga akhirnya bertemu hari itu.
Zaynab bercerita kegalauannya seputar jatidirinya. Ia mengaku merasa berbeda saat SMP. Ia telah berusaha berlaku "normal" dengan mencoba menjalin relasi heteroseksual.
Namun, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ketertarikannya pada perempuan jauh lebih besar ketimbang terhadap laki-laki. "Tersiksa rasanya, gus. Saya kok begini," suaranya bergetar. Butiran airmata meleleh di pipinya. Ia buru-buru mengusapnya saat teman saya mendatangi meja kami, bergabung.
"Menurutku Gusti tidak pernah salah dalam penciptaan. Jika ada kekurangan, maka menjadi tugas pemilik tubuh untuk menyempurnakannya," tanggapku. Jika kita memotong rambut, kuku, pergi ke salon, ngegym, operasi jantung dan lainnya, tidak berarti kita tidak mensyukuri pemberian Tuhan. Sebaliknya, kita merawatnya karena demikianlah kewajiban kita.
Kodrat manusia, tambah saya, adalah menjadi manusia seutuhnya. Orientasi seksual adalah bagian dari ciptaanNya yang utuh. Memang benar, Tuhan biasanya menciptakan pemilik vagina berpasangan dengan pemilik penis. Namun itu tidak berarti Dia tidak mampu menciptakan pasangan di luar itu.
Tuhan, menurutku, sangat mampu memberikan siapa saja kepada siapa saja, baik sebagai pasangan maupun dalam aspek berketurunan. Tuhan juga sangat sanggup membuat orang tidak bereproduksi, baik dalam perspektif tidak mempunyai hasrat seksual maupun mandul, sebagaimana QS. 42:49-50.
لِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۗ يَهَبُ لِمَنْ يَّشَآءُ اِنَاثًا وَّيَهَبُ لِمَنْ يَّشَآءُ الذُّكُوْرَ
"Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki,"
اَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَّاِنَاثًا ۚ وَيَجْعَلُ مَنْ يَّشَآءُ عَقِيْمًا ۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ قَدِيْر
ٌ
"atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa."
"Rasanya kok tidak tepat kalau kamu terus-menerus menganggap dirimu tidak normal, apalagi pendosa. Kamu tuh limited edition!" kata saya dan tawa kami pun pecah. Saya melihat wajahnya pelan-pelan mulai tenang kembali.
Jujur saja, jejak perempuan-suka-perempuan, yang pada titik tertentu kerap disebut lesbianisme, dalam sejarah Islam tidaklah bisa dianggap sepi, meskipun tidak semelimpah kisah laki-laki-suka-laki-laki.
Dalam catatan Stephen O Murray, "Woman-woman love in Islamic Society," terdapat berbagai informasi terkait tribadism (sihaq). Misalnya, Khalifah Musa al-Hadi dikabarkan pernah memenggal dua perempuan haremnya yang kedapatan tengah berasik-masyuk. Relasi percintaan perempuan-perempuan kerap terjadi di kaputren, istana tempat para selir dikumpulkan, sebagaimana yang ditulis Richard Burton dalam "The Book of the thousand nights and a night,"
Di kalangan suku Bedouin, perempuan maskulin (butchi) cenderung lebih mencemburui teman perempuan pasangannya ketimbang terhadap laki-laki. Kehidupan seperti ini juga terekam dalam berbagai puisi Arab-Sappho karya Walladah bint al-Mustakfi.
"in praise of her of her female lover poetess Muhjah was lost because most authors refused to cite them due to their explicit sexual language," tulis As'ad AbuKhalil dalam "A note on the study of homosexuality in the Arab/Islamic civilization,"
Mengutip Sharif Idris (1100-66), Khalil juga mengemukakan banyak butchi yang berasal dari kalangan terdidik dan cerdik pandai. Mereka yang kerap berprilaku layaknya laki-laki ini bertindak sebagai pihak yang aktif dalam percintaan.
...
"So, apa rencanamu ke depannya?" saya bertanya ke Zaynab. Ia hanya menggeleng dan tersenyum sambil terus mengaduk-aduk gelas kopinya. "Nggak tahu. Saya ingin hidup di pesantren. Menyendiri dan mengabdikan diri," ujarnya.
Saya mengapresiasi hal itu sembari terus meyakinkan tidak ada yang perlu dikuatirkan. Ada banyak orang-orang sepertinya di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Ramadlan tahun lalu, saya bertemu tak kurang dari 30 orang lesbian di Surabaya. Mereka mengundang saya untuk memberikan "siraman rohani" sebelum berbuka puasa.
"Percayalah. Kamu tidak sendirian. Setidaknya masih ada kami berdua dan teman-teman GUSDURian lain yang siap menerimamu apa adanya," saya kembali menyemangatinya. Dia pun tersenyum sembari mengucapkan terima kasih.
Hujan lebat tak henti-hentinya mengguyur Kota Batu siang itu. Kami terus ngobrol tentang banyak hal hingga akhirnya kami harus berpisah.
Saat di bis menuju Jombang, saya baru tersadar belum menanyakan tipe cewek idealnya seperti apa; apakah seperti Shirley Lam, Mitha the Virgin, Jodie Foster, atau Ira Koesno.
"Mas, mau turun mana?" tanya kondektur membuyarkan lamunanku.
---
Monday, January 7, 2019
Mewahnya Gender di Bioskop XXI
Mungkin tidak banyak mahasiswa/i dari kampus Islam yang dapat menikmati tempat duduk ruangan belajar a la bioskop XXI; menjorok ke bawah dengan dosen di posisi terendah.
Model yang umum berlaku dalam pengajaran klasikal Islam adalah sebaliknya; guru di atas, sedangkan murid harus dlosoran di bawah; kiai/bu nyai di atas panggung, jamaahnya klesetan di tanah.
Model kedua inilah yang sebetulnya ditawarkan kepada saya saat mengampu sesi pengantar gender dan Islam, dalam Sekolah Gender dan Islam PMII Universitas Islam Malang, Minggu (6/1).
Saya menolak model ini karena ingin mencoba sesuatu yang baru. Kebetulan lokasi acaranya, di salah satu villa kawasan Junrejo Batu,mempunyai topologi tanah dengan kemiringan yang cukup asyik.
"Kita di luar saja. Aku di posisi bawah. Tolong taruh sepeda motor di sampingku dan papan tulis kecil untuk menempelkan metaplan yang aku buat," pintaku ke panitia.
Forum serasa seperti pengajian pagi yang dibatasi oleh waktu dan keterbatasan perangkat mengajar. Itu sebabnya saya harus ekstra selektif dalam dua hal; memilih apa saja yang ingin saya "dogmakan" ke mereka, dan berikut strateginya.
Saya mulai mengenalkan konsep gender dan sex dalam diskursus identitas "jenis kelamin".
"Seandainya ada orang yang bertanya pada kalian 'What is your sex?" dan 'What is your gender?' Adakah di antara kalian yang bisa mengidentifikasi perbedaannya? Sebab keduanya bisa diartikan 'Apa jenis kelaminmu?'" tanya saya.
Pertanyaan pertama merujuk pada jenis kelamin yang didasarkan pada indikator organ reproduksi yang kalian punyai. Jika kalian memiliki vagina, tambah saya, maka sangat mungkin seluruh Malang akan menyebutmu perempuan. Namun benarkah pemilik vagina akan selalu mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai perempuan?
"Belum tentuuuuuuuuu," jawab sebagian besar dari mereka.
"Cerdas!" jawab saya di mikrofon.
Gender adalah pengakuan personal pemilik tubuh atas "jenis kelaminnya" sendiri yang bisa jadi tidak sesuai dengan ornamen reproduksi yang dimilikinya.
Maka jika ada yang bertanya "What is your gender?" itu berarti kalian diberi kemerdekaan untuk menentukan siapa dirimu sesungguhnya; jenis kelaminmu. Pertanyaan "What is your gender?" lebih elegan untuk diucapkan karena lebih akomodatif, apresiatif dan memerdekakan.
Gender juga berarti pembedaan peran, status, dan fungsi seseorang berdasarkan organ reproduksi yang ia miliki. Dulu, yang punya penis dianggap atau merasa lebih superior dan berhak mendapatkan lebih ketimbang pemilik vagina. Sekarang tidak lagi sepenuhnya demikian.
Pembedaan status, peran dan fungsi di atas bersifat dinamis, tidak statis, dan selalu mengikuti perkembangan jamannya.
"Anyway, bagi perempuan, melahirkan itu kodrat atau pilihan?" tanya saya.
"Kodraaaaaaaaattt" jawab mereka serempak.
"Belum tentu," tiba-tiba ada suara lirih perempuan menyeruak di depan saya. Lirih karena ia nampak di selimuti kekuatiran atas pandangannya yang minor di forum tersebut.
Saya memintanya menjelaskan pandangan "nyelenehnya" itu dan direspon. Menurutnya, kodrat adalah situasi di mana orang tidak bisa memilih. Melahirkan bagi perempuan adalah pilihan karena ia bisa memutuskan apakah menggunakan rahimnya atau tidak.
"Punya rahim itu kodrat. Menggunakannya bereproduksi itu pilihan. Itu dua hal yang berbeda. Perempuan tetaplah bisa menjadi perempuan meski tidak melahirkan," ungkapnya. Forum terasa sepi.
"Adakah yang punya pandangan lain?" tanya saya lagi.
Forum semakin senyap.
"Jadi, melahirkan itu kodrat atau pilihan?" saya mengecek ulang
"Pilihaaaaaaaann," mereka serempak.
"Kalau kepemilikan rahim?" tanya saya melengking.
"Kodraaaaaat,"
"Pinteerr," saya mengapresiasi.
Saya melanjutkan. Tujuan dasar penciptaan manusia dalam alQuran, selain untuk mengabdikan diri sesuai nilai-nilai ketuhanan (liya'budun), adalah untuk saling mengenal. Semua ciptaan adalah setara tanpa memedulikan identitas gendernya. Ketakwaan ilahiyah, menurut saya, adalah satu-satunya yang membedakan mereka di hadapan Gusti.
"Menurutku, terdapat lima prinsip universal dalam al-Quran yang menjadi patokan utama dalam merumuskan hukum Islam," kata saya meneruskan.
Kelimanya adalah keesaan (tauhid), keadilan ('adl), memperlakukan orang lain dengan lebih baik (ihsan), kemanusiaan (karamah), dan cinta kasih (mawaddah wa rahmat.
Maka, jika ada siapapun yang mencoba menghukumi sesuatu atas nama Islam, maka kalian perlu mengeceknya dengan kelima prinsip tadi. Jika ada satu prinsip yang tidak terpenuhi maka kalian perlu mengkritisinya.
"Apakah permaduan perempuan memenuhi kriteria lima tadi?"
"Tidaaaaaak" serempak mereka menjawab.
"Jika perempuan punya kualitas agama lebih baik ketimbang laki-laki, apakah kalian setuju ia lebih berhak menjadi imam shalat laki-laki?" tanya saya.
Forum senyap.
Namun lagi-lagi, saya mendengar suara lirih perempuan di depanku. Lirih sekali.
"Setuju,"
Wednesday, January 2, 2019
Nisan Salib; Mengurai Nalar "Kenapa Kami Ogah Mati Berdekatan dengan Kalian"
SETELAH kasus penggergajian nisan salib di Kotagede mencuat beberapa waktu lalu, belasan lagi dirusak di Makam Girilaya Magelang, Rabu (2/1). Polisi yang tengah menyelidiki kasus ini menduga peristiwa ini berkaitan dengan vandalisme.
Girilaya sendiri adalah makam umum (TPU), yang artinya semua jenazah bisa dibumikan di sana. Tak peduli apapun agamanya.
Pengrusakan ini akan sangat sulit dicerna jika dilakukan kalangan Kristen sendiri atau non-Muslim lainnya. Bisa jadi pelakunya ateis, agnostik, atau seorang Muslim.
Tulisan ini hendak menyusuri kemungkinan warisan nalar keengganan sebagian besar Muslim melihat jenazah Islam-Kristen dicampur dalam satu komplek kuburan.
Hipotesis saya; sangat mungkin Pakta Umar (644 M) punya andil signifikan membentuk nalar segregatif umat Islam dalam mengatur pemakamannya bersama non-muslim, sehingga Peristiwa Kotagede mencuat. Namun, bagaimana hal ini bisa terjadi?
Girilaya sendiri adalah makam umum (TPU), yang artinya semua jenazah bisa dibumikan di sana. Tak peduli apapun agamanya.
Pengrusakan ini akan sangat sulit dicerna jika dilakukan kalangan Kristen sendiri atau non-Muslim lainnya. Bisa jadi pelakunya ateis, agnostik, atau seorang Muslim.
Tulisan ini hendak menyusuri kemungkinan warisan nalar keengganan sebagian besar Muslim melihat jenazah Islam-Kristen dicampur dalam satu komplek kuburan.
Hipotesis saya; sangat mungkin Pakta Umar (644 M) punya andil signifikan membentuk nalar segregatif umat Islam dalam mengatur pemakamannya bersama non-muslim, sehingga Peristiwa Kotagede mencuat. Namun, bagaimana hal ini bisa terjadi?
Saat Peristiwa Kotagede ramai di media sosial, aku tengah dalam perjalanan menuju Surabaya untuk menghadiri perayaan Natal GPPS Bethlehem di aula UK Petra, Selasa (18/12). Aku duduk di gerbong 5 kursi 3A kereta KRD. Di depanku, ada dua santriwati kelas 1 Aliyah, setingkat SMA. Mereka yang sedang liburan ke rumah temannya mengaku nyantri di dua pesantren dekat kampusku di Tebuireng. Aku kenal para pengasuhnya.
"Dik, bolehkah aku tahu pendapatmu? Jika sebuah desa dihuni warga Islam dan Kristen, dan mereka hanya punya satu pemakaman, setujukah kalian orang Kristen dikubur campur dengan orang Islam?" tanyaku.
"Tidak setuju. Mereka tidak boleh dicampur. Harus punya makam sendiri," kata salah satu dari mereka dan diamini teman sebelahnya.
"Kenapa bisa seperti itu? Apa alasanmu?" tanyaku agak mendesak dengan ramah tentunya.
Mereka berdua saling berpandangan dan tetap tersenyum.
"Ya pokoknya begitu. Nggak boleh," kata yang berjilbab pink.
"Apakah kalian pernah diajarkan berpendapat seperti ini di pondok, atau ini murni hasil pemikiran kalian sendiri?" aku terus menyelidik.
"Pemikiran sendiri," lagi-lagi yang berbaju pink angkat bicara.
Saya berfikir keras dari mana gagasan ini menghinggapi mereka. Hipotesis saya, hal ini sangat mungkin karena kuncian dogma kebenaran tunggal Islam di antara agama lain tanpa diimbangi penjelasan bahwa misi Islam sebenarnya adalah rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil muslimin.
Karena wataknya yang superior seperti ini maka menjadi "wajar" jika Islam terasa egois, melihat agama-agama lain sebagai yang inferior. Bagi Islam model ini, keselamatan hanya milik superior, dan yang paling penting harus ada tembok tebal yang mensegregasi keduanya; gelap dan terang tak bisa bersatu, meminjam istilah Alkitab.
Penolakan makam Katolik di Jogja adalah bagian dari implikasi atas model Islam yang terus-terusan merawat prasangka negatif terhadap agama lain, termasuk Katolik.
PAKTA UMAR
Secara khusus, jika mau dilacak jauh ke belakang, penolakan di Jogja 1tidak bisa dilepaskan dari preseden historik saat Umar bin Khattab menginvasi Sham (Syiria) yang dihuni oleh komunitas Kristen/Katolik sekitar tahun 644 M.
Setelah diinvasi, seluruh penduduk non-Muslim di wilayah tersebut berstatus "dhimmi" yang artinya "dilindungi," dalam artian dibiarkan hidup menjalani keyakinannya dengan berbagai macam limitasi hak serta beban kewajiban lebih ketimbang muslim. Umar kemudian menetapkan serangkaian aturan yang diskriminatif terhadap para dhimmi yang dikenal sebagai Pact of Umar (al-'uhdat al-Umariyyah).
Anda boleh tidak percaya, namun sebagaimana tulisan Mark A Cohen, "What was the Pact of 'Umar ? A Literary-Historical Study," jenazah para dhimmi memang dilarang dikubur dalam satu areal pemakaman dengan Muslimkarena mereka dianggap tidak beriman. Mereka yang hidup juga tidak boleh berdoa dengan suara keras ketika ada yang meninggal.
Pemisahan ini merupakan bagian dari penghukuman karena mereka tidak mau mengubah keyakinan menjadi Islam. Tidak hanya saat mati, ketika hidup para dhimmi juga menanggung beban diskriminasi yang sangat berat di bawah pemerintahan Islam.
Mereka dilarang membangun, memugar, merenovasi gereja, atau memperlihatkan salib di tempat umum yang dilalui warga Islam. Namun lonceng gereja tetap bisa dibunyikan meski harus dengan sangat lirih.
Non-muslim tidak boleh mengajak muslim masuk agamanya namun tidak boleh melarang jika ada yang masuk Islam. Mereka juga wajib membuka lebar pintu rumahnya untuk menampung orang Muslim dan menyediakan akomodasi. Non muslim tidak diperbolehkan meniru umat Islam, termasuk pakaian, dialek maupun nama. Al-Quran terlarang dipelajari non-muslim. Jika ada muslim yang menghendaki tempat duduk di sebuah tempat padahal telah diduduki dhimmi, maka mereka harus menyingkir.
Dhimmi juga dilarang menyalakan lampu di jalan milik muslim atau di pasar. Budak yang telah menjadi hak muslim terlarang dimiliki non-muslim. Dan, rumah non-muslim tidak boleh lebih tinggi dari milik muslim. Mereka juga dilarang mengukir, melukis atau menulis simbol-simbol yang bisa dikaitkan dengan " milik" muslim.
Umar bin Khattab kemudian menambah tiga klausul lagi yang harus dipatuhi Kristen Syiria, yakni larangan menyerang muslim, larangan menebus seseorang yang ditawan orang muslim, dan klausul; siapa saja yang menyerang umat Islam dengan sengaja maka nyawanya tidak akan dilindungi.
Pakta ini menurut Milka Levy-Rubin dalam Non-Muslims in the Early Islamic Empire, juga dimplementasikan secara variatif oleh Khalifah Umar bin Abd Aziz (717-720 M), al-Manshur (754-775 M), Harun al-Rashid (786-809 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Saat para bawahannya tidak lagi tertib mengawasi pelaksanaan pakta ini, Umar bin Abdul Aziz kabarnya memberikan instruksi agar aparatusnya tidak teledor mengawasi para dhimmi.
"Mengenai masalah ini, kalian tidak diperbolehkan membiarkan munculnya tanda salib dalam bentuk apapun. Harus dihancurkan atau dihapus," katanya. Ia juga menambahkan warga Yahudi dan Kristen tidak diperkenankan duduk di pelana, namun harus di tempat barang (pack-saddle). Perempuan non-muslim juga tidak boleh memakai pelana dari kulit dan harus duduk di tempat barang kalau naik kuda atau keledai.
"Laksanakan tugas ini segera. Larang mereka mengenakan gaun panjang (qaba'), baju sutra dan surban. Awasi mereka yang berada dalam wilayah kalian untuk tidak melanggar hal ini," tegas Umar bin Abdul Azis.
Pakta Umar ini mirip surat pernyataan yang disodorkan dan wajib ditandatangani oleh keluarga almarhum di Kotagede. Seolah-olah inisiatif keluarga almarhum padahal mereka tidak punya pilihan lain.
MENJADI RUJUKAN
Sudah dapat diduga, dokumen pakta ini selanjutnya menjadi semacam yurisprudensi dan dicecap para sarjana muslim yang hidup belakangan, misalnya oleh Imam Syafii (w. 820 M), madzhab fiqh paling populer di kalangan muslim Indonesia, dalam magnum opus Kitab al-Umm. Pakta Umar juga dikutip oleh al-Mawardi (w. 153 M) dalam kitab fiqh politik al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, serta Ibn Kathir (w. 1373 M) dalam Tafsir al-Quran al-'Adzim.
Ketiga karya tersebut hingga saat ini masih dianggap sebagai rujukan penting diskursus hukum dan politik Islam dalam sistem pendidikan Islam Indonesia, termasuk pesantren. Dan belum ada karya intelektual yang berani menganulir "keabsahan" ketiganya.
ABSENNYA ARGUMENTASI
Namun, apakah memisahkan kuburan Muslim dan pemeluk agama lain punya dasar kuat secara tekstual? Sejauh yang saya pelajari, tidak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang memerintahkan pemisahan, penggergajian simbol agama lain di kuburan, atau pelarangan ritual di dalamnya.
Juga, belum saya temukan hadits berstatus mutawattir -level tertinggi keotentikan sebuah hadits- terkait hal itu.
Satu-satunya hadits yang berhasil saya temukan berkaitan dengan kuburan non-muslim (mushrik) adalah cerita perjalanan Nabi bersama Bashir yang melewati kuburan Muslim dan non-Muslim sebagaimana direkam dalam Nasai, Abu Dawud, Majah dan Ahmad. Dengan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim dalam kitab Ta'liqat, Dr. Ahmad Shafaat dalam Burying a non-Muslim in a Muslim Cemetery and Vice Versa, menyatakan hadits ini berstatus dlaif (lemah) karena dipersoalkan kevalidannya oleh para ahli hadits
Dengan demikian, aksi pemisahan kuburan muslim dan non-muslim sebenarnya tidak cukup punya basis quranik maupun justifikasi praktek kenabian yang jelas dan tegas. Namun demikian upaya kekerasan terhadap makam Katolik di Kotagede adalah bagian tak terpisah dari paket besar sikap antagonistik Islam klasik terhadap dua agama pendahulunya, Kristen dan Yahudi.
Sikap ini, harus diakui, mendapat porsi sangat besar dalam al-Quran terutama ayat-ayat yang turun saat Nabi di Madinah bersama kekuatan politiknya yang menguat.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan kitab (Yahudi dan Nasrani), hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."
(QS. 9:29).
Terhadap ayat di atas yang masih berstatus aktif (belum dianulir/mansukh) terdapat dua kubu yang berselisih dalam penafsiran. Kubu Islam-ideologis; memaknai ayat ini secara literal dan wajib dikobarkan dalam berbagai bentuk; dari yang paling ekstrim model ISIS hingga yang moderat --memperjuangkan tegaknya negara Islam Indonesia melalui jalur konstitusional. Perusak simbol salib Kota Gede masuk dalam kategori ini.
Di sisi lain, ada kubu Islam substantif yang digawangi oleh alm. Gus Dur. Kubu ini cenderung memaknai ayat ini dalam konteks yang sangat spesifik, yakni situasi perang yang tidak lagi dijumpai saat ini di Indonesia. Umat Islam boleh berperang, menurut kubu ini, jika dan hanya jika diusir dari negerinya secara melawan hukum. Islam substantif takkan melarang percampuran kuburan apalagi tega menggergaji dan menghancurkan salib.(*)
Aan Anshori, kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), studi S2 Hukum Keluarga Islam Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. IG @gantengpolnotok
"Dik, bolehkah aku tahu pendapatmu? Jika sebuah desa dihuni warga Islam dan Kristen, dan mereka hanya punya satu pemakaman, setujukah kalian orang Kristen dikubur campur dengan orang Islam?" tanyaku.
"Tidak setuju. Mereka tidak boleh dicampur. Harus punya makam sendiri," kata salah satu dari mereka dan diamini teman sebelahnya.
"Kenapa bisa seperti itu? Apa alasanmu?" tanyaku agak mendesak dengan ramah tentunya.
Mereka berdua saling berpandangan dan tetap tersenyum.
"Ya pokoknya begitu. Nggak boleh," kata yang berjilbab pink.
"Apakah kalian pernah diajarkan berpendapat seperti ini di pondok, atau ini murni hasil pemikiran kalian sendiri?" aku terus menyelidik.
"Pemikiran sendiri," lagi-lagi yang berbaju pink angkat bicara.
Saya berfikir keras dari mana gagasan ini menghinggapi mereka. Hipotesis saya, hal ini sangat mungkin karena kuncian dogma kebenaran tunggal Islam di antara agama lain tanpa diimbangi penjelasan bahwa misi Islam sebenarnya adalah rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil muslimin.
Karena wataknya yang superior seperti ini maka menjadi "wajar" jika Islam terasa egois, melihat agama-agama lain sebagai yang inferior. Bagi Islam model ini, keselamatan hanya milik superior, dan yang paling penting harus ada tembok tebal yang mensegregasi keduanya; gelap dan terang tak bisa bersatu, meminjam istilah Alkitab.
Penolakan makam Katolik di Jogja adalah bagian dari implikasi atas model Islam yang terus-terusan merawat prasangka negatif terhadap agama lain, termasuk Katolik.
PAKTA UMAR
Secara khusus, jika mau dilacak jauh ke belakang, penolakan di Jogja 1tidak bisa dilepaskan dari preseden historik saat Umar bin Khattab menginvasi Sham (Syiria) yang dihuni oleh komunitas Kristen/Katolik sekitar tahun 644 M.
Setelah diinvasi, seluruh penduduk non-Muslim di wilayah tersebut berstatus "dhimmi" yang artinya "dilindungi," dalam artian dibiarkan hidup menjalani keyakinannya dengan berbagai macam limitasi hak serta beban kewajiban lebih ketimbang muslim. Umar kemudian menetapkan serangkaian aturan yang diskriminatif terhadap para dhimmi yang dikenal sebagai Pact of Umar (al-'uhdat al-Umariyyah).
Anda boleh tidak percaya, namun sebagaimana tulisan Mark A Cohen, "What was the Pact of 'Umar ? A Literary-Historical Study," jenazah para dhimmi memang dilarang dikubur dalam satu areal pemakaman dengan Muslimkarena mereka dianggap tidak beriman. Mereka yang hidup juga tidak boleh berdoa dengan suara keras ketika ada yang meninggal.
Pemisahan ini merupakan bagian dari penghukuman karena mereka tidak mau mengubah keyakinan menjadi Islam. Tidak hanya saat mati, ketika hidup para dhimmi juga menanggung beban diskriminasi yang sangat berat di bawah pemerintahan Islam.
Mereka dilarang membangun, memugar, merenovasi gereja, atau memperlihatkan salib di tempat umum yang dilalui warga Islam. Namun lonceng gereja tetap bisa dibunyikan meski harus dengan sangat lirih.
Non-muslim tidak boleh mengajak muslim masuk agamanya namun tidak boleh melarang jika ada yang masuk Islam. Mereka juga wajib membuka lebar pintu rumahnya untuk menampung orang Muslim dan menyediakan akomodasi. Non muslim tidak diperbolehkan meniru umat Islam, termasuk pakaian, dialek maupun nama. Al-Quran terlarang dipelajari non-muslim. Jika ada muslim yang menghendaki tempat duduk di sebuah tempat padahal telah diduduki dhimmi, maka mereka harus menyingkir.
Dhimmi juga dilarang menyalakan lampu di jalan milik muslim atau di pasar. Budak yang telah menjadi hak muslim terlarang dimiliki non-muslim. Dan, rumah non-muslim tidak boleh lebih tinggi dari milik muslim. Mereka juga dilarang mengukir, melukis atau menulis simbol-simbol yang bisa dikaitkan dengan " milik" muslim.
Umar bin Khattab kemudian menambah tiga klausul lagi yang harus dipatuhi Kristen Syiria, yakni larangan menyerang muslim, larangan menebus seseorang yang ditawan orang muslim, dan klausul; siapa saja yang menyerang umat Islam dengan sengaja maka nyawanya tidak akan dilindungi.
Pakta ini menurut Milka Levy-Rubin dalam Non-Muslims in the Early Islamic Empire, juga dimplementasikan secara variatif oleh Khalifah Umar bin Abd Aziz (717-720 M), al-Manshur (754-775 M), Harun al-Rashid (786-809 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Saat para bawahannya tidak lagi tertib mengawasi pelaksanaan pakta ini, Umar bin Abdul Aziz kabarnya memberikan instruksi agar aparatusnya tidak teledor mengawasi para dhimmi.
"Mengenai masalah ini, kalian tidak diperbolehkan membiarkan munculnya tanda salib dalam bentuk apapun. Harus dihancurkan atau dihapus," katanya. Ia juga menambahkan warga Yahudi dan Kristen tidak diperkenankan duduk di pelana, namun harus di tempat barang (pack-saddle). Perempuan non-muslim juga tidak boleh memakai pelana dari kulit dan harus duduk di tempat barang kalau naik kuda atau keledai.
"Laksanakan tugas ini segera. Larang mereka mengenakan gaun panjang (qaba'), baju sutra dan surban. Awasi mereka yang berada dalam wilayah kalian untuk tidak melanggar hal ini," tegas Umar bin Abdul Azis.
Pakta Umar ini mirip surat pernyataan yang disodorkan dan wajib ditandatangani oleh keluarga almarhum di Kotagede. Seolah-olah inisiatif keluarga almarhum padahal mereka tidak punya pilihan lain.
MENJADI RUJUKAN
Sudah dapat diduga, dokumen pakta ini selanjutnya menjadi semacam yurisprudensi dan dicecap para sarjana muslim yang hidup belakangan, misalnya oleh Imam Syafii (w. 820 M), madzhab fiqh paling populer di kalangan muslim Indonesia, dalam magnum opus Kitab al-Umm. Pakta Umar juga dikutip oleh al-Mawardi (w. 153 M) dalam kitab fiqh politik al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, serta Ibn Kathir (w. 1373 M) dalam Tafsir al-Quran al-'Adzim.
Ketiga karya tersebut hingga saat ini masih dianggap sebagai rujukan penting diskursus hukum dan politik Islam dalam sistem pendidikan Islam Indonesia, termasuk pesantren. Dan belum ada karya intelektual yang berani menganulir "keabsahan" ketiganya.
ABSENNYA ARGUMENTASI
Namun, apakah memisahkan kuburan Muslim dan pemeluk agama lain punya dasar kuat secara tekstual? Sejauh yang saya pelajari, tidak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang memerintahkan pemisahan, penggergajian simbol agama lain di kuburan, atau pelarangan ritual di dalamnya.
Juga, belum saya temukan hadits berstatus mutawattir -level tertinggi keotentikan sebuah hadits- terkait hal itu.
Satu-satunya hadits yang berhasil saya temukan berkaitan dengan kuburan non-muslim (mushrik) adalah cerita perjalanan Nabi bersama Bashir yang melewati kuburan Muslim dan non-Muslim sebagaimana direkam dalam Nasai, Abu Dawud, Majah dan Ahmad. Dengan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim dalam kitab Ta'liqat, Dr. Ahmad Shafaat dalam Burying a non-Muslim in a Muslim Cemetery and Vice Versa, menyatakan hadits ini berstatus dlaif (lemah) karena dipersoalkan kevalidannya oleh para ahli hadits
Dengan demikian, aksi pemisahan kuburan muslim dan non-muslim sebenarnya tidak cukup punya basis quranik maupun justifikasi praktek kenabian yang jelas dan tegas. Namun demikian upaya kekerasan terhadap makam Katolik di Kotagede adalah bagian tak terpisah dari paket besar sikap antagonistik Islam klasik terhadap dua agama pendahulunya, Kristen dan Yahudi.
Sikap ini, harus diakui, mendapat porsi sangat besar dalam al-Quran terutama ayat-ayat yang turun saat Nabi di Madinah bersama kekuatan politiknya yang menguat.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan kitab (Yahudi dan Nasrani), hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."
(QS. 9:29).
Terhadap ayat di atas yang masih berstatus aktif (belum dianulir/mansukh) terdapat dua kubu yang berselisih dalam penafsiran. Kubu Islam-ideologis; memaknai ayat ini secara literal dan wajib dikobarkan dalam berbagai bentuk; dari yang paling ekstrim model ISIS hingga yang moderat --memperjuangkan tegaknya negara Islam Indonesia melalui jalur konstitusional. Perusak simbol salib Kota Gede masuk dalam kategori ini.
Di sisi lain, ada kubu Islam substantif yang digawangi oleh alm. Gus Dur. Kubu ini cenderung memaknai ayat ini dalam konteks yang sangat spesifik, yakni situasi perang yang tidak lagi dijumpai saat ini di Indonesia. Umat Islam boleh berperang, menurut kubu ini, jika dan hanya jika diusir dari negerinya secara melawan hukum. Islam substantif takkan melarang percampuran kuburan apalagi tega menggergaji dan menghancurkan salib.(*)
Aan Anshori, kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), studi S2 Hukum Keluarga Islam Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. IG @gantengpolnotok
Subscribe to:
Posts (Atom)
Featured Post
SEPUTAR LOKASI KELAHIRAN YESUS; MENYINGKAP KLAIM AL-QURAN
Sebelum aku menemukan tulisan Mustafa Akyol, "Away in a Manger... Or Under a Palm Tree?" terbit 7 tahun lalu di The New York Times...
-
Dalam tradisi Islam, sosok Maryam (mamanya Yesus/Isa) sangatlah mentereng. Pangkatnya; perempuan terbaik sejagad raya ( was thofaki ‘ala nis...
-
Buya Syukur telah gugur di medan laga bangsa yang tidak baik-baik saja. Serangan intoleransi atas nama kemegahan agama seperti tak pernah su...
-
Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya di Facebook, mengisi acara seminar di sekolah menengah pertama (SMP) merupakan pengalaman pertamaku...