Pages

Wednesday, January 9, 2019

Muslimah Lesbian di antara Dua GUSDURian


"Gus, saya berbeda," ia bersuara lirih tanpa menatap
Saya kaget, "Maksudnya?"
......

Kami baru bertemu dan berinteraksi sekitar dua jam ketika saya mengantarkan 150an kader PMII Jawa Timur berkunjung ke gereja GPdI Junrejo Batu, Minggu (6/1) Ia sendiri ikut membaur di acara tersebut. Bahkan membantu kami menjadi fotografer dadakan.

Wajahnya tergolong manis. Dibalut busana Islami yang sangat longgar dengan celana gombrong model Aladdin. Ia memakai sepatu sport besar, menjauhi kesan feminin sebagaimana perempuan kebanyakan yang saya tahu.

Dari caranya berbusana, ia nampak sangat ingin menutupi sesuatu dalam dirinya. Entah apa. Namun sejak menit pertama bertemu, dari busananya, sudah terasa ada yang berbeda. Saya merasakan itu.

"Saya lesbian, gus" ia menyeruput es kopi sama dengan yang saya pesan di salah satu food court dekat TMP Batu. Sesekali ia membetulkan letak jilbabnya yang nampak kedodoran. Ia sekali lagi terlihat mencoba begitu tenang saat mengatakan itu. Meskipun bagi saya kentara sekali perasaan bersalah terus menjalarinya.

Saya baru mengerti kenapa ia berbusana kedodoran dengan jilbab tak terpasang anggun untuk ukuran wajah seimut dia; ia tak ingin terlihat menawan dan seksi, yang pada akhirnya bisa membuat para pria jatuh hati padanya. Bagi lesbian, disukai cowok hetero bisa berarti bencana.

Namanya, sebut saja, Zaynab. Mahasiswi sosiologi penerima beasiswa di salah satu perguruan tinggi Malang. Bagiku, ia adalah lesbian berwajah feminin (femme) ketiga yang saya temui dalam kurun waktu dua bulan ini.

Sebelumnya, saya berjumpa Shirley Lam, seorang pendeta di Hongkong, di pertemuan internasional Gender Interfaith Network for SOGIE di Bangkok. Satu lagi, kawan saya, dosen salah satu perguruan tinggi terkenal di Jombang.

Zaynab mengaku sudah lama ingin bertemu saya, sejak saya nongol di ILC TVOne membahas isu LGBT. Namun ia belum tahu caranya. Secara kebetulan, ia bertemu teman saya, aktifis GUSDURian Batu, yang mengisi seminar di kampusnya. Dengan bantuan teman itu, kami bertiga akhirnya bertemu hari itu.

Zaynab bercerita kegalauannya seputar jatidirinya. Ia mengaku merasa berbeda saat SMP. Ia telah berusaha berlaku "normal" dengan mencoba menjalin relasi heteroseksual.

Namun, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ketertarikannya pada perempuan jauh lebih besar ketimbang terhadap laki-laki. "Tersiksa rasanya, gus. Saya kok begini," suaranya bergetar. Butiran airmata meleleh di pipinya. Ia buru-buru mengusapnya saat teman saya mendatangi meja kami, bergabung.


"Menurutku Gusti tidak pernah salah dalam penciptaan. Jika ada kekurangan, maka menjadi tugas pemilik tubuh untuk menyempurnakannya," tanggapku. Jika kita memotong rambut, kuku, pergi ke salon, ngegym, operasi jantung dan lainnya, tidak berarti kita tidak mensyukuri pemberian Tuhan. Sebaliknya, kita merawatnya karena demikianlah kewajiban kita.

Kodrat manusia, tambah saya, adalah menjadi manusia seutuhnya. Orientasi seksual adalah bagian dari ciptaanNya yang utuh. Memang benar, Tuhan biasanya menciptakan pemilik vagina berpasangan dengan pemilik penis. Namun itu tidak berarti Dia tidak mampu menciptakan pasangan di luar itu.

Tuhan, menurutku, sangat mampu memberikan siapa saja kepada siapa saja, baik sebagai pasangan maupun dalam aspek berketurunan. Tuhan juga sangat sanggup membuat orang tidak bereproduksi, baik dalam perspektif tidak mempunyai hasrat seksual maupun mandul, sebagaimana QS. 42:49-50.

لِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۗ يَهَبُ لِمَنْ يَّشَآءُ اِنَاثًا وَّيَهَبُ لِمَنْ يَّشَآءُ الذُّكُوْرَ


"Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki,"

اَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَّاِنَاثًا  ۚ وَيَجْعَلُ مَنْ يَّشَآءُ عَقِيْمًا ۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ قَدِيْر
ٌ
"atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa."

"Rasanya kok tidak tepat kalau kamu terus-menerus menganggap dirimu tidak normal, apalagi pendosa. Kamu tuh limited edition!" kata saya dan tawa kami pun pecah. Saya melihat wajahnya pelan-pelan mulai tenang kembali.

Jujur saja, jejak perempuan-suka-perempuan, yang pada titik tertentu kerap disebut lesbianisme, dalam sejarah Islam tidaklah bisa dianggap sepi, meskipun tidak semelimpah kisah laki-laki-suka-laki-laki.

Dalam catatan Stephen O Murray, "Woman-woman love in Islamic Society," terdapat berbagai informasi terkait tribadism (sihaq). Misalnya, Khalifah Musa al-Hadi dikabarkan pernah memenggal dua perempuan haremnya yang kedapatan tengah berasik-masyuk. Relasi percintaan perempuan-perempuan kerap terjadi di kaputren, istana tempat para selir dikumpulkan, sebagaimana yang ditulis Richard Burton dalam "The Book of the thousand nights and a night,"

Di kalangan suku Bedouin, perempuan maskulin (butchi) cenderung lebih mencemburui teman perempuan pasangannya ketimbang terhadap laki-laki. Kehidupan seperti ini juga terekam dalam berbagai puisi Arab-Sappho karya Walladah bint al-Mustakfi.

"in praise of her of her female lover poetess Muhjah was lost because most authors refused to cite them due to their explicit sexual language," tulis As'ad AbuKhalil dalam "A note on the study of homosexuality in the Arab/Islamic civilization,"

Mengutip Sharif Idris (1100-66), Khalil juga mengemukakan banyak butchi yang berasal dari kalangan terdidik dan cerdik pandai. Mereka yang kerap berprilaku layaknya laki-laki ini bertindak sebagai pihak yang aktif dalam percintaan.
...

"So, apa rencanamu ke depannya?" saya bertanya ke Zaynab. Ia hanya menggeleng dan tersenyum sambil terus mengaduk-aduk gelas kopinya. "Nggak tahu. Saya ingin hidup di pesantren. Menyendiri dan mengabdikan diri," ujarnya.

Saya mengapresiasi hal itu sembari terus meyakinkan tidak ada yang perlu dikuatirkan. Ada banyak orang-orang sepertinya di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.

Ramadlan tahun lalu, saya bertemu tak kurang dari 30 orang lesbian di Surabaya. Mereka mengundang saya untuk memberikan "siraman rohani" sebelum berbuka puasa.

"Percayalah. Kamu tidak sendirian. Setidaknya masih ada kami berdua dan teman-teman GUSDURian lain yang siap menerimamu apa adanya," saya kembali menyemangatinya. Dia pun tersenyum sembari mengucapkan terima kasih.

Hujan lebat tak henti-hentinya mengguyur Kota Batu siang itu. Kami terus ngobrol tentang banyak hal hingga akhirnya kami harus berpisah.

Saat di bis menuju Jombang, saya baru tersadar belum menanyakan tipe cewek idealnya seperti apa; apakah seperti Shirley Lam, Mitha the Virgin, Jodie Foster, atau Ira Koesno.

"Mas, mau turun mana?" tanya kondektur membuyarkan lamunanku.
---

No comments:

Post a Comment