*Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi Jawa Timur terkait Aksi Kekerasan Oknum Warga kepada Nurul Chakim, salah satu aktifis KontraS Surabaya, saat Mediasi Polemik Kuburan Kristen alm. Nunuk di Ngares Kidul Gedeg Mojokerto.*
*"LINDUNGI KEHORMATAN YANG HIDUP DAN YANG MATI!"*
Baru saja saya menelpon Fatkhul Khoir (Juir), Kontras Surabaya, yang ikut dalam rapat mediasi penyelesaian sengketa makam Kristen alm. Nunuk di Ngares Kidul Gedeg Mojokerto. Rapat mediasi dilaksanakan di balai desa Ngares, Kamis (28/2).
Juir tidak sendirian. Dia ditemani Chakim, kordinator Kontras Pos Jombang-Mojokerto, dan keluarga alm. Nunuk. Keluarga memang menunjuk Kontras Surabaya sebagai kuasa hukum keluarga dalam kisruh ini.
"Kim, kamu baik-baik saja?" saya mengirim pesan ke Chakim karena Juir mengaku sedang sibuk menulis kronologis kejadian yang menimpa Chakim baru saja.
"Agak pusing kepala iki, Kang Aan," balasnya. Lalu saya telpon dia.
Darinya, saya mendapat kabar bahwa rapat berjalan cukup lancar. Juga adanya informasi ada warga yang mendesak agar kuburan bisa dibongkar hari ini. Selanjutnya mayat alm. Nunuk dimasukkan plastik dan ditaruh di atas tanah kuburan tersebut sampai pihak desa menyediakan lahan kuburan bagi alm. Nunuk.
"Yang penting tidak dikubur di tanah itu," kata Chakim menirukan argumentasi warga. Chakim tidak menjelaskan alasan warga namun sejauh yang saya tahu, terdapat dua kemungkinan alasan tersebut.
Pertama, alm. Nunuk yang Kristen telah dianggap mengotori "kesucian" makam Islam. Nalar hukum Islam versi klasik memang melarang tegas pencampuran makam, terutama karena ada keyakinan makam muslim adalah tempat yang dirahmati, sedangkan makam non-Islam merupakan tempat azab dan murka. Dua kondisi tersebut tidak bisa disatukan. Hal ini bisa dicek dalam buku "Ahkam al-Maqabir Fi al-Syari’at al-Islamiyah," karya Dr. Abdullah bin Umar bin Muhammad as-Suhaibani.
Alasan kedua, sangat mungkin karena penolak makam alm. Nunuk berpandangan pekuburan tersebut merupakan tanah wakaf khusus orang Islam.
Keluarga dan kuasa hukum keberatan atas permintaan tersebut. Menurut Chakim, dalam pertemuan tersebut dirinya tidak melihat ada pihak yang dapat menunjukkan dokumen wakaf yang berisi kekhususan makam tersebut.
Pada saat Chakim meminta kembali surat kuasa yang dipinjam salah satu warga untuk keperluan difotokopi, terjadilah aksi kekerasan terhadap dirinya. "Iya kang, ini masih divisum," pesan WA dari Chakim masuk ke ponsel saya.
Atas hal ini, JIAD menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mengecam aksi kekerasan yang menimpa Chakim dan meminta agar polisi segera memproses hukum aksi tersebut;
2. Meminta agar setiap pihak mengedepankan dialog dalam menyelesaikan polemik makam dan TIDAK MEMAKSAKAN KEHENDAK, apalagi dengan menggunakan kekerasan;
3. Mendukung pemerintah desa segera menyiapkan lahan yang sah untuk tempat pemakaman umum (TPU) desa yang juga bisa digunakan oleh alm. Nunuk dan warga non-muslim desa Ngares lainnya;
4. Mendukung Kepolisian Kota Mojokerto agar senantiasa berpijak pada Pancasila, UUD 1945 dan hukum yang berlaku;
5. Menyerukan kepada tokoh-tokoh Islam Mojokerto agar bisa berperan dalam memberikan pemahaman yang benar terkait Islam Rahmatan lil 'Alamin kepada para pihak yang terlibat, terutama para penolak. Keinginan untuk membongkar makam, mengeluarkan jenasah di dalamnya, serta memasukkannya dalam kantong plastik untuk selanjutnya dibiarkan di atas tanah sampai waktu yang tidak bisa ditentukan SUNGGUH bertentangan dengan kemanusiaan dan akal sehat.
Hemat saya, pandang hukum Islam atas kuburan non-Islam sebagaimana dijelaskan di atas lahir dalam konteks situasi perang, bukan situasi damai. Non-muslim kala itu dianggap memusuhi orang Islam. Cara pandang ini tidaklah cukup tepat diterapkan dalam situasi sekarang di mana non-Muslim bisa hidup damai dengan orang Islam.
6. Mendukung keputusan keluarga yang menyatakan kesediaan makam alm. Nunuk dipindah ke TPU Desa Ngares oleh tim ahli dari pemerintah.
Jombang, 28 Februari 2019.
Aan Anshori
08155045039
Untuk kepentingan konfirmasi:
1. Fatkhul Khoir, S.H. +62 812-3059-3651
2. Nurul Chakim 0858-5611-6662
Wednesday, February 27, 2019
Monday, February 11, 2019
UAS, TAQIYYA DAN NAHDLATUL ULAMA
Betapa senangnya mengetahui Ustadz Abdus Somad (UAS) melakukan safari panjang, mengunjungi kiai-kiai NU, bahkan ke makam para pendiri NU di Jombang. Bahkan gelar ustadz yang disandang, kabarnya "dinaikkan," menjadi "syekh," --sebuah status relijius yang cukup tinggi ketimbang, katakanlah, "kiai," apalagi "gus,"
Kini UAS berubah menjadi SAS. Selamat.
Teman (T): Cak, UAS sowan kiai-kiai NU. Sampeyan seneng kan?
Saya (S): Biasa saja. Fulitik. Isuk dele, bisa jadi sore tempe.
T: Sampeyan meragukan ketulusan UAS?
S: Aku senang persowanan itu. Namun, hanya dia dan Gusti yang tahu tentang ketulusan itu. Terasa agak aneh saja melihat orang yang belum lama begitu bersemangat menggaungkan tegaknya negara Islam dan mencela keras rezim saat ini tiba-tiba berbalik 180 derajat. Namun jika Tuhan berkehendak seperti itu, siapa yang akan mampu menahanNya.
Sejujurnya, memoriku kembali mencoba menjumputi remahan tulisan menyangkut doktrin taqiyya dalam politik Islam beberapa hari lalu. Taqiyya dalam bahasa sederhana bisa diartikan "takut (atas sesuatu yang membahayakan dirinya), berhati-hati,"
Dalam penggunaan sehari-hari, kata tersebut bisa digunakan untuk menunjukkan seseorang yang tengah berpura-pura agar jiwanya selamat. Misalnya, seseorang berpura-pura mati agar selamat dari tangkapan musuh.
Posisi taqiyya sangatlah fundamental dalam Islam. Hampir semua golongan Islam sepakat atas hal itu dan mempraktekkannya. Sami Mukaram, dalam "At-Taqiyya fi ' l-Islam," sebagaimana diterjemahkan Raymond Ibrahim, menyatakan;
"Taqiyya is of fundamental importance in Islam. Practically every Islamic sect agrees to it and practices it … We can go so far as to say that the practice of taqiyya is mainstream in Islam, and that those few sects not practicing it diverge from the mainstream … Taqiyya is very prevalent in Islamic politics, especially in the modern era,"
Dalam diskursus politik Islam awal, taqiyya erat kaitannya dengan persekusi kelompok Sunni terhadap Syiah sebagai dampak perang saudara pertama (first Fitnah) dalam sejarah Islam tahun 656-661 masehi. Kelompok Syiah yang terus diburu dan coba dihancurkan oleh rezim Sunni di banyak negara berupaya agar tetap hidup dengan berbagai cara, salah satunya dengan menerapkan taqiyya.
Bisa dikatakan strategi ini erat kaitannya dengan upaya minoritas agar terlepas dari jerat persekusi mayoritas. Minoritas merasa perlu, bahkan wajib, untuk "berpura-pura," agar tetap hidup.
Contoh penggunaan strategi ini, saya kira, dilakukan banyak teman-teman saya yang LGBT ketika menghadapi keluarga dan lingkungannya yang tak jarang mengancam jiwa mereka.
Dalam urusan konversi agama, saya pernah mendengar ada anak yang harus bertaqiyya, menyembunyikan agama barunya, karena takut dibunuh keluarganya.
Doktrin taqiyya di al-Quran nampak sangat kuat dalam konteks melindungi keyakinan serta keselamatan. Seorang Muslim dimungkinkan bertaqiyya seandainya dipaksa pindah keyakinan, apalagi jika sampai membahayakan jiwanya.
مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖۤ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَئِنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰـكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
"Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar." (QS. An-Nahl 16:106)
Dalam politik modern saat ini, konsep taqiyya lazim digunakan sebagian Muslim untuk menggangsir rezim politik yang dianggap tidak mencerminkan "syariat Islam," dengan harapan bisa sesegera mungkin menegakkan Negara Islam.
Siapapun yang melakukan taqiyya dengan motif tersebut sangat mungkin telah menginstal asumsi-asumsi dalam benaknya, salah satunya "perintah" al-Quran untuk tidak menjadikan Kafir sebagai pemimpin mereka, atau mendukung rezim Muslim yang rela "mengotori" pemerintahannya dengan mengakomodasi Kafir sebagai pembantunya.
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّاۤ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰٮةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗ ۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ
"Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali." (QS. Ali 'Imran 3:28).
Anda boleh tidak percaya, namun ayat ini di mana beberapa ahli tafsir al-Quran klasik di kalangan Sunni, mendorong mereka perpandangan seorang muslim boleh menunjukkan persahabatannya di hadapan publik namun hatinya tidak boleh "bersahabat,"
Jarir al-Tabari (838-923 M) konon memaknai QS. 3:28 sebagai berikut.
"If you [Muslims] are under their [infidels'] authority, fearing for yourselves, behave loyally to them, with your tongue, while harbouring inner animosity for them... Allah has forbidden believers from being friendly or on intimate terms with the infidels in place of believers – except when infidels are above them [in authority]. In such a scenario, let them act friendly towards them,"
Ibn Kathir berpandangan, jika Muslim merasa terancam jiwanya oleh rezim yany dianggap zalim dan bersekutu dengan kafir, maka "...such believers are allowed to show friendship to the disbelievers outwardly, but never inwardly,"
Dia juga mengutip pendapat Abu Darda' yang ada di Bukhari, "We smile in the face of some people although our hearts curse them," Kathir juga mengamini pandangan al-Hasan bahwa taqiyya diperbolehkan sampai Kiamat tiba.
Para pengusung Khilafah di Indonesia memang pantas kuatir. Setelah keputusan politik Jokowi yang dengan berani membubarkan HTI, satu per satu aktifis yang punya kedekatan ideologis dengannya berurusan dengan hukum, sebut saja HRS, RS, AD, dan terakhir SM, ketua Alumni 212 wilayah Solo. Tiarap untuk sementara waktu, atau bahkan "berpura-pura bergabung" dengan rezim yang akan didongkel merupakan hal jamak dalam peperangan politik.
Peperangan merupakan salah satu dari tiga situasi di mana seorang Muslim bisa melakukan taqiyyah. Dua yang lain adalah ketika ia terlibat dalam merekonsiliasi konflik, dan pertikaian domestik (suami-istri).
Apakah Indonesia berada dalam situasi perang? Tentu tidak. Indonesia baik-baik saja secara umum. Peperangan dilakukan pemerintahan Jokowi terhadap korupsi dan ketidakadilan yang masih menganga di berbagai sektor.
Namun dalam perspektif kelompok pengusung Negara Islam, baik versi radikal maupun moderat, Indonesia adalah medan laga peperangan, sampai kelompok ini berhasil mengislami semua struktur sosial yang ada. Berbagai cara dilakukan untuk hal itu, dari pilihan mengangkat senjata hingga model taqiyya.
Merle Ricklefs dalam "Islamisation and Its Opponents in Java c. 1930 to the present," menggambarkan aktifitas kelompok ini sebagai berikut; "influencing, infiltrating and taking over state, semi-state and civil society organisations, in which they are having considerable success. …Dakwahism [proselytism] continues powerfully at grass-roots level, supporting deeper Islamisation in all its forms,"
Kelompok ini juga tentunya terlibat dalam kontestasi menjelang pilpres. Peta politik organisasi-organisasi Islam sudah tergambarkan secara jelas. Semua tahu siapa merapat ke mana dan apa motivasinya.
Nahdlatul Ulama sendiri secara institusional bukanlah organisasi politik praktis, meskipun merestui rais aamnya menjadi calon wakil presidennya Jokowi. Secara kultural, organisasi ini ibarat samudera yang bisa menampung aneka air dari berbagai jenis dan kategori, dari radikal hinggal progresif.
Itu sebabnya NU sangatlah berwarna, termasuk munculnya tiga faksi dalam NU menyangkut aspirasi negara Islam. Pertama, kelompok konservatif, yakni mereka yang setuju Negara Islam. Kedua, kelompok moderat, tidak setuju negara Islam model ISIS dan HTI namun tidak keberatan dengan perda-perda bernuansa Islam. Dan ketiga, kelompok progresif, mereka yang menginginkan negara demokrasi yang menjamin kesetaraan seluruh keragaman identitas di dalamnya.
"Lha kalau UAS kelompok endi, Cak?" tanya kawanku.
"Embuh, takokno dewe!"
"Nek sampeyan?" ia bertanya kepo.
"Progresif lah...." jawabku
"Gak percoyo. Jangan-jangan sampeyan taqiyya,"
"Oooo..asuuuuu,"
(*)
Kini UAS berubah menjadi SAS. Selamat.
Teman (T): Cak, UAS sowan kiai-kiai NU. Sampeyan seneng kan?
Saya (S): Biasa saja. Fulitik. Isuk dele, bisa jadi sore tempe.
T: Sampeyan meragukan ketulusan UAS?
S: Aku senang persowanan itu. Namun, hanya dia dan Gusti yang tahu tentang ketulusan itu. Terasa agak aneh saja melihat orang yang belum lama begitu bersemangat menggaungkan tegaknya negara Islam dan mencela keras rezim saat ini tiba-tiba berbalik 180 derajat. Namun jika Tuhan berkehendak seperti itu, siapa yang akan mampu menahanNya.
Sejujurnya, memoriku kembali mencoba menjumputi remahan tulisan menyangkut doktrin taqiyya dalam politik Islam beberapa hari lalu. Taqiyya dalam bahasa sederhana bisa diartikan "takut (atas sesuatu yang membahayakan dirinya), berhati-hati,"
Dalam penggunaan sehari-hari, kata tersebut bisa digunakan untuk menunjukkan seseorang yang tengah berpura-pura agar jiwanya selamat. Misalnya, seseorang berpura-pura mati agar selamat dari tangkapan musuh.
Posisi taqiyya sangatlah fundamental dalam Islam. Hampir semua golongan Islam sepakat atas hal itu dan mempraktekkannya. Sami Mukaram, dalam "At-Taqiyya fi ' l-Islam," sebagaimana diterjemahkan Raymond Ibrahim, menyatakan;
"Taqiyya is of fundamental importance in Islam. Practically every Islamic sect agrees to it and practices it … We can go so far as to say that the practice of taqiyya is mainstream in Islam, and that those few sects not practicing it diverge from the mainstream … Taqiyya is very prevalent in Islamic politics, especially in the modern era,"
Dalam diskursus politik Islam awal, taqiyya erat kaitannya dengan persekusi kelompok Sunni terhadap Syiah sebagai dampak perang saudara pertama (first Fitnah) dalam sejarah Islam tahun 656-661 masehi. Kelompok Syiah yang terus diburu dan coba dihancurkan oleh rezim Sunni di banyak negara berupaya agar tetap hidup dengan berbagai cara, salah satunya dengan menerapkan taqiyya.
Bisa dikatakan strategi ini erat kaitannya dengan upaya minoritas agar terlepas dari jerat persekusi mayoritas. Minoritas merasa perlu, bahkan wajib, untuk "berpura-pura," agar tetap hidup.
Contoh penggunaan strategi ini, saya kira, dilakukan banyak teman-teman saya yang LGBT ketika menghadapi keluarga dan lingkungannya yang tak jarang mengancam jiwa mereka.
Dalam urusan konversi agama, saya pernah mendengar ada anak yang harus bertaqiyya, menyembunyikan agama barunya, karena takut dibunuh keluarganya.
Doktrin taqiyya di al-Quran nampak sangat kuat dalam konteks melindungi keyakinan serta keselamatan. Seorang Muslim dimungkinkan bertaqiyya seandainya dipaksa pindah keyakinan, apalagi jika sampai membahayakan jiwanya.
مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖۤ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَئِنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰـكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
"Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar." (QS. An-Nahl 16:106)
Dalam politik modern saat ini, konsep taqiyya lazim digunakan sebagian Muslim untuk menggangsir rezim politik yang dianggap tidak mencerminkan "syariat Islam," dengan harapan bisa sesegera mungkin menegakkan Negara Islam.
Siapapun yang melakukan taqiyya dengan motif tersebut sangat mungkin telah menginstal asumsi-asumsi dalam benaknya, salah satunya "perintah" al-Quran untuk tidak menjadikan Kafir sebagai pemimpin mereka, atau mendukung rezim Muslim yang rela "mengotori" pemerintahannya dengan mengakomodasi Kafir sebagai pembantunya.
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّاۤ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰٮةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗ ۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ
"Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali." (QS. Ali 'Imran 3:28).
Anda boleh tidak percaya, namun ayat ini di mana beberapa ahli tafsir al-Quran klasik di kalangan Sunni, mendorong mereka perpandangan seorang muslim boleh menunjukkan persahabatannya di hadapan publik namun hatinya tidak boleh "bersahabat,"
Jarir al-Tabari (838-923 M) konon memaknai QS. 3:28 sebagai berikut.
"If you [Muslims] are under their [infidels'] authority, fearing for yourselves, behave loyally to them, with your tongue, while harbouring inner animosity for them... Allah has forbidden believers from being friendly or on intimate terms with the infidels in place of believers – except when infidels are above them [in authority]. In such a scenario, let them act friendly towards them,"
Ibn Kathir berpandangan, jika Muslim merasa terancam jiwanya oleh rezim yany dianggap zalim dan bersekutu dengan kafir, maka "...such believers are allowed to show friendship to the disbelievers outwardly, but never inwardly,"
Dia juga mengutip pendapat Abu Darda' yang ada di Bukhari, "We smile in the face of some people although our hearts curse them," Kathir juga mengamini pandangan al-Hasan bahwa taqiyya diperbolehkan sampai Kiamat tiba.
Para pengusung Khilafah di Indonesia memang pantas kuatir. Setelah keputusan politik Jokowi yang dengan berani membubarkan HTI, satu per satu aktifis yang punya kedekatan ideologis dengannya berurusan dengan hukum, sebut saja HRS, RS, AD, dan terakhir SM, ketua Alumni 212 wilayah Solo. Tiarap untuk sementara waktu, atau bahkan "berpura-pura bergabung" dengan rezim yang akan didongkel merupakan hal jamak dalam peperangan politik.
Peperangan merupakan salah satu dari tiga situasi di mana seorang Muslim bisa melakukan taqiyyah. Dua yang lain adalah ketika ia terlibat dalam merekonsiliasi konflik, dan pertikaian domestik (suami-istri).
Apakah Indonesia berada dalam situasi perang? Tentu tidak. Indonesia baik-baik saja secara umum. Peperangan dilakukan pemerintahan Jokowi terhadap korupsi dan ketidakadilan yang masih menganga di berbagai sektor.
Namun dalam perspektif kelompok pengusung Negara Islam, baik versi radikal maupun moderat, Indonesia adalah medan laga peperangan, sampai kelompok ini berhasil mengislami semua struktur sosial yang ada. Berbagai cara dilakukan untuk hal itu, dari pilihan mengangkat senjata hingga model taqiyya.
Merle Ricklefs dalam "Islamisation and Its Opponents in Java c. 1930 to the present," menggambarkan aktifitas kelompok ini sebagai berikut; "influencing, infiltrating and taking over state, semi-state and civil society organisations, in which they are having considerable success. …Dakwahism [proselytism] continues powerfully at grass-roots level, supporting deeper Islamisation in all its forms,"
Kelompok ini juga tentunya terlibat dalam kontestasi menjelang pilpres. Peta politik organisasi-organisasi Islam sudah tergambarkan secara jelas. Semua tahu siapa merapat ke mana dan apa motivasinya.
Nahdlatul Ulama sendiri secara institusional bukanlah organisasi politik praktis, meskipun merestui rais aamnya menjadi calon wakil presidennya Jokowi. Secara kultural, organisasi ini ibarat samudera yang bisa menampung aneka air dari berbagai jenis dan kategori, dari radikal hinggal progresif.
Itu sebabnya NU sangatlah berwarna, termasuk munculnya tiga faksi dalam NU menyangkut aspirasi negara Islam. Pertama, kelompok konservatif, yakni mereka yang setuju Negara Islam. Kedua, kelompok moderat, tidak setuju negara Islam model ISIS dan HTI namun tidak keberatan dengan perda-perda bernuansa Islam. Dan ketiga, kelompok progresif, mereka yang menginginkan negara demokrasi yang menjamin kesetaraan seluruh keragaman identitas di dalamnya.
"Lha kalau UAS kelompok endi, Cak?" tanya kawanku.
"Embuh, takokno dewe!"
"Nek sampeyan?" ia bertanya kepo.
"Progresif lah...." jawabku
"Gak percoyo. Jangan-jangan sampeyan taqiyya,"
"Oooo..asuuuuu,"
(*)
Tuesday, February 5, 2019
PERANG PUNK DAN BIROKRASI JOMBANG
Jika kamu berpenampilan a la anak punk; terlihat tidak intelektual, berbau lebus (nggak mandi 2-3 hari) dan berkeliaran di jalan-jalan protokol Kota Santri, maka siap-siap saja digaruk Satpol PP Jombang, seperti Fredi --bukan nama sebenarnya.
Dia teman ngopiku dua hari lalu, Minggu (3/2). Ia bercerita pengalamannya digelandang Satpol PP Jombang kemarin. Saat itu ia tengah ngopi di sekitar Ngrandu karena lelah setelah habis kulakan jeruk di sekitar lokasi itu.
Fredi ditangkap karena ikut-ikutan lari saat terjadi penggerebekan pengamen berpenampilan a la punk. "Pas enak-enak ngopi, aku ndelok arek-arek akeh sing mlayu. Aku yo melok mlayu sisan. Wedi onok opo-opo," katanya sembari menghisap Lucky Strike-nya dalam-dalam.
Fredi memang berpenampilan nyentrik. Rambut tipis samping dan membiarkan bagia atas serta belakangnya panjang. Tak lupa, ia juga mengecatnya. Sepatunya kets dipadu celana ketat agak kumal dengan atasan kaos Persebaya. Kulitnya hitam. Sekilas memang seperti anak punk.
Ia mengaku dibawa ke kantor Satpol PP untuk diinterogasi. Dirinya menolak tuduhan sebagai bagian dari kelompok punk. "Lha ambumu lebus (badanmu bau)," kata Fredi menirukan alasan yang disampaikan salah satu petugas.
Lebus adalah bahasa suroboyoan untuk mengidentifikasi bau badan yang tidak mandi selama berhari-hari.
Fredi akhirnya dilepas setelah salah satu perangkat desanya dihadirkan untuk memverifikasi kebenaran pengakuan Fredi.
Entah salah apa dengan berpenampilan a la punk, namun dalam beberapa hari terakhir ini, rezim Munjidah-Sumrambah melakukan razia besar-besaran terhadap mereka. Yang ditangkap kemudian dimasukkan ke panti-panti untuk "diperbaiki," dan "dididik,"
Punk dicitrakan sebagai sampah masyarakat, tukang buat onar dan mengganggu keindahan. Sudah sejak lama kelompok ini "dicekal" untuk menyelenggarakan pentas musik oleh otoritas keamanan setempat.
Bagi saya, kelompok punk adalah sasaran empuk rasa frustasi Satpol PP yang tidak mampu menjalankan fungsinya dengan optimal menegakkan aturan di Jombang. Mereka tidak kuasa menindak supermarket tidak berijin yang menjamur, pabrik-pabrik yang melanggar aturan pembuangan limbah. Padahal mereka harusnya mampu melakukan itu.
Kekuasaan selalu menindas yang lemah untuk membuktikan dirinya masih berkuasa, meskipun acapkali terasa absurd. Sangat mirip dengan strategi yang dilakukan rezim Kota Santri ini.
Keduanya baru saja melakukan ritual mutasi besar-besar birokrasi Jombang. Dengan itu, mereka ingin membuktikan dirinya berkuasa dan mampu. Namun sejauhmana proses mutasi dilakukan dengan transparan dan akuntabel? Itulah masalahnya.
Mutasi kemarin hanyalah urusan geser-menggeser saja, tanpa disertai reasoning yang jelas kenapa seseorang harus menempati posisi tertentu. Publik juga tidak dilibatkan untuk sekedar ikut menakar rekam jejak birokrat yang menggeser maupun digeser. Mungkin hanya di kota ini saja, peringkat kedua seleksi Sekda bisa mengalahkan peringkat pertama. Itupun setelah ia kabarnya pernah tidak lolos seleksi administrasi.
Tak pelak, proses gelap mutasi ini memunculkan aroma tak sedap. Benarkah tidak ada komersialisasi jabatan? Terus terang saja saya ragu. Sejak awal, bupati dan wabup tidak pernah menunjukkan ketegasan komitmen transparansi dan antipungli dalam mutasi.
Di sisi lain, saya mendengar sayup-sayup mengenai praktek transaksional tak terpuji. Bahkan konon, salah satu transaksinya dilakukan di tempat yang sangat sakral bagi kami warga Nahdliyyin. Entah benar, entah tidak.
Sudah waktunya KPK bertindak agar warga tidak terus-terusan dirugikan dalam pelayanan publik. Fredi mengalami kerugian akibat aparat yang salah identifikasi. Kelompok punk terjengkang dan meradang karena kualitas birokrasi yang timpang.
Hayati lelah, Bang.
at Wijaya Kusuma yang transit di Gubeng menuju Jombang
Dia teman ngopiku dua hari lalu, Minggu (3/2). Ia bercerita pengalamannya digelandang Satpol PP Jombang kemarin. Saat itu ia tengah ngopi di sekitar Ngrandu karena lelah setelah habis kulakan jeruk di sekitar lokasi itu.
Fredi ditangkap karena ikut-ikutan lari saat terjadi penggerebekan pengamen berpenampilan a la punk. "Pas enak-enak ngopi, aku ndelok arek-arek akeh sing mlayu. Aku yo melok mlayu sisan. Wedi onok opo-opo," katanya sembari menghisap Lucky Strike-nya dalam-dalam.
Fredi memang berpenampilan nyentrik. Rambut tipis samping dan membiarkan bagia atas serta belakangnya panjang. Tak lupa, ia juga mengecatnya. Sepatunya kets dipadu celana ketat agak kumal dengan atasan kaos Persebaya. Kulitnya hitam. Sekilas memang seperti anak punk.
Ia mengaku dibawa ke kantor Satpol PP untuk diinterogasi. Dirinya menolak tuduhan sebagai bagian dari kelompok punk. "Lha ambumu lebus (badanmu bau)," kata Fredi menirukan alasan yang disampaikan salah satu petugas.
Lebus adalah bahasa suroboyoan untuk mengidentifikasi bau badan yang tidak mandi selama berhari-hari.
Fredi akhirnya dilepas setelah salah satu perangkat desanya dihadirkan untuk memverifikasi kebenaran pengakuan Fredi.
Entah salah apa dengan berpenampilan a la punk, namun dalam beberapa hari terakhir ini, rezim Munjidah-Sumrambah melakukan razia besar-besaran terhadap mereka. Yang ditangkap kemudian dimasukkan ke panti-panti untuk "diperbaiki," dan "dididik,"
Punk dicitrakan sebagai sampah masyarakat, tukang buat onar dan mengganggu keindahan. Sudah sejak lama kelompok ini "dicekal" untuk menyelenggarakan pentas musik oleh otoritas keamanan setempat.
Bagi saya, kelompok punk adalah sasaran empuk rasa frustasi Satpol PP yang tidak mampu menjalankan fungsinya dengan optimal menegakkan aturan di Jombang. Mereka tidak kuasa menindak supermarket tidak berijin yang menjamur, pabrik-pabrik yang melanggar aturan pembuangan limbah. Padahal mereka harusnya mampu melakukan itu.
Kekuasaan selalu menindas yang lemah untuk membuktikan dirinya masih berkuasa, meskipun acapkali terasa absurd. Sangat mirip dengan strategi yang dilakukan rezim Kota Santri ini.
Keduanya baru saja melakukan ritual mutasi besar-besar birokrasi Jombang. Dengan itu, mereka ingin membuktikan dirinya berkuasa dan mampu. Namun sejauhmana proses mutasi dilakukan dengan transparan dan akuntabel? Itulah masalahnya.
Mutasi kemarin hanyalah urusan geser-menggeser saja, tanpa disertai reasoning yang jelas kenapa seseorang harus menempati posisi tertentu. Publik juga tidak dilibatkan untuk sekedar ikut menakar rekam jejak birokrat yang menggeser maupun digeser. Mungkin hanya di kota ini saja, peringkat kedua seleksi Sekda bisa mengalahkan peringkat pertama. Itupun setelah ia kabarnya pernah tidak lolos seleksi administrasi.
Tak pelak, proses gelap mutasi ini memunculkan aroma tak sedap. Benarkah tidak ada komersialisasi jabatan? Terus terang saja saya ragu. Sejak awal, bupati dan wabup tidak pernah menunjukkan ketegasan komitmen transparansi dan antipungli dalam mutasi.
Di sisi lain, saya mendengar sayup-sayup mengenai praktek transaksional tak terpuji. Bahkan konon, salah satu transaksinya dilakukan di tempat yang sangat sakral bagi kami warga Nahdliyyin. Entah benar, entah tidak.
Sudah waktunya KPK bertindak agar warga tidak terus-terusan dirugikan dalam pelayanan publik. Fredi mengalami kerugian akibat aparat yang salah identifikasi. Kelompok punk terjengkang dan meradang karena kualitas birokrasi yang timpang.
Hayati lelah, Bang.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Featured Post
JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN
Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...
-
Dalam tradisi Islam, sosok Maryam (mamanya Yesus/Isa) sangatlah mentereng. Pangkatnya; perempuan terbaik sejagad raya ( was thofaki ‘ala nis...
-
Buya Syukur telah gugur di medan laga bangsa yang tidak baik-baik saja. Serangan intoleransi atas nama kemegahan agama seperti tak pernah su...
-
Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya di Facebook, mengisi acara seminar di sekolah menengah pertama (SMP) merupakan pengalaman pertamaku...