Pages

Tuesday, February 5, 2019

PERANG PUNK DAN BIROKRASI JOMBANG

Jika kamu berpenampilan a la anak punk; terlihat tidak intelektual, berbau lebus (nggak mandi 2-3 hari) dan berkeliaran di jalan-jalan protokol Kota Santri, maka siap-siap saja digaruk Satpol PP Jombang, seperti Fredi --bukan nama sebenarnya.

Dia teman ngopiku dua hari lalu, Minggu (3/2). Ia bercerita pengalamannya digelandang Satpol PP Jombang kemarin. Saat itu ia tengah ngopi di sekitar Ngrandu karena lelah setelah habis kulakan jeruk di sekitar lokasi itu.

Fredi ditangkap karena ikut-ikutan lari saat terjadi penggerebekan pengamen berpenampilan a la punk. "Pas enak-enak ngopi, aku ndelok arek-arek akeh sing mlayu. Aku yo melok mlayu sisan. Wedi onok opo-opo," katanya sembari menghisap Lucky Strike-nya dalam-dalam.

Fredi memang berpenampilan nyentrik. Rambut tipis samping dan membiarkan bagia atas serta belakangnya panjang. Tak lupa, ia juga mengecatnya. Sepatunya kets dipadu celana ketat agak kumal dengan atasan kaos Persebaya. Kulitnya hitam. Sekilas memang seperti anak punk.

Ia mengaku dibawa ke kantor Satpol PP untuk diinterogasi. Dirinya menolak tuduhan sebagai bagian dari kelompok punk. "Lha ambumu lebus (badanmu bau)," kata Fredi menirukan alasan yang disampaikan salah satu petugas.

Lebus adalah bahasa suroboyoan untuk mengidentifikasi bau badan yang tidak mandi selama berhari-hari.

Fredi akhirnya dilepas setelah salah satu perangkat desanya dihadirkan untuk memverifikasi kebenaran pengakuan Fredi.

Entah salah apa dengan berpenampilan a la punk, namun dalam beberapa hari terakhir ini, rezim Munjidah-Sumrambah melakukan razia besar-besaran terhadap mereka. Yang ditangkap kemudian dimasukkan ke panti-panti untuk "diperbaiki," dan "dididik,"

Punk dicitrakan sebagai sampah masyarakat, tukang buat onar dan mengganggu keindahan. Sudah sejak lama kelompok ini "dicekal" untuk menyelenggarakan pentas musik oleh otoritas keamanan setempat.

Bagi saya, kelompok punk adalah sasaran empuk rasa frustasi Satpol PP yang tidak mampu menjalankan fungsinya dengan optimal menegakkan aturan di Jombang. Mereka tidak kuasa menindak supermarket tidak berijin yang menjamur, pabrik-pabrik yang melanggar aturan pembuangan limbah. Padahal mereka harusnya mampu melakukan itu.

Kekuasaan selalu menindas yang lemah untuk membuktikan dirinya masih berkuasa, meskipun acapkali terasa absurd. Sangat mirip dengan strategi yang dilakukan rezim Kota Santri ini.

Keduanya baru saja melakukan ritual mutasi besar-besar birokrasi Jombang. Dengan itu, mereka ingin membuktikan dirinya berkuasa dan mampu. Namun sejauhmana proses mutasi dilakukan dengan transparan dan akuntabel? Itulah masalahnya.

Mutasi kemarin hanyalah urusan geser-menggeser saja, tanpa disertai reasoning yang jelas kenapa seseorang harus menempati posisi tertentu. Publik juga tidak dilibatkan untuk sekedar ikut menakar rekam jejak birokrat yang menggeser maupun digeser. Mungkin hanya di kota ini saja, peringkat kedua seleksi Sekda bisa mengalahkan peringkat pertama. Itupun setelah ia kabarnya pernah tidak lolos seleksi administrasi.

Tak pelak, proses gelap mutasi ini memunculkan aroma tak sedap. Benarkah tidak ada komersialisasi jabatan? Terus terang saja saya ragu. Sejak awal, bupati dan wabup tidak pernah menunjukkan ketegasan komitmen transparansi dan antipungli dalam mutasi.

Di sisi lain, saya mendengar sayup-sayup mengenai praktek transaksional tak terpuji. Bahkan konon, salah satu transaksinya dilakukan di tempat yang sangat sakral bagi kami warga Nahdliyyin. Entah benar, entah tidak.

Sudah waktunya KPK bertindak agar warga tidak terus-terusan dirugikan dalam pelayanan publik. Fredi mengalami kerugian akibat aparat yang salah identifikasi. Kelompok punk terjengkang dan meradang karena kualitas birokrasi yang timpang.

Hayati lelah, Bang.

at Wijaya Kusuma yang transit di Gubeng menuju Jombang

No comments:

Post a Comment