Pages

Saturday, March 30, 2019

PENDETA LGBTIQ; STEVE (CLEMENT) SULEEMAN

Ia adalah alasanku ke Jakarta hari ini.
...

Baru kali ini berkereta menuju Jakarta di pagi hari. Baru kali ini pula aku harus ganti dua kereta untuk mencapainya. Beginilah enaknya hidup dekat 3 persimpangan jalur raksasa kereta api pulau Jawa; Babat, Jombang, dan Kertosono.

Di Jakarta nanti aku akan menghadiri acara emeritasi kependetaan seorang teman. Ia berbaik hati mengundangku meski aku bukan jemaatnya. Sungguh ini merupakan kehormatan bagiku. Jika ditelisik lagi, acara nanti akan menggenapi keterlibatanku dalam prosesi kependetaan di GKI. Maksudku, aku pernah diundang dalam 1 kali penahbisan, 3 kali peneguhan, dan (akan) sekali emeritasi.

Stephen Suleeman adalah satu-satunya pendeta yang akan masuk masa emeritus, yang aku kenal di GKI, yang aku panggil "Mas," Dua lain yang aku tahu; Pdt.Simon Filantropa dan Pdt. Budi GKI Gurah, masih aku panggil "Pak," Begitu pula dengan dua yang telah lulus emeritasi; Pak Stefanus dan (jika tidak salah) Pak Abdi -pendeta yang berani mesoh dengan presisi akurat dan pitch control hebat di hadapan ratusan orang saat acara di GKI Dipo.
Nama-nama yang aku sebut di atas semuanya keturunan Tionghoa dengan segala keunikan masing-masing.

Mungkin yang paling unik adalah mas Steve. Ia yang beberapa tahun ini cukup tergantung dengan rutinitas perawatan medis sangat concern dengan isu gender dan seksualitas minor, padahal statusnya, sepanjang yang aku tahu, "hanyalah," ally. Dalam kamus gerakan advokasi, ally adalah pendamping, bukan yang-didampingi.

Sebagai pendamping, bisa dikatakan, ia memberikan dedikasi dan totalitasnya pada isu ini. Di tempatnya mengajar, ia sanggup melaksanakan event akademik berstatus internasional yang tidak ada satu pun perguruan tinggi yang sanggup. Hanya STT Jakarta yang mampu menghelat forum LGBTIQ dengan kepala tegak, bukan model gerilya dan taqiyah yang kerap aku dkk. lakukan.

Dulu aku berfikir, "Cuk, sakti banget wong iki. Who the hell is this guy? Apa yang ia taruh di meja para tetua GKI dan STTJ sehingga tidak sampai dihempaskan dari dua institusi itu, terutama yang pertama?" Aku mencoba mencari tahu dan menyimpulkan ia berasal dari keluarga "ningrat" GKI. Ningrat dengan tanda kutip adalah penyebutanku untuk merujuk pada kontribusi keluarga Suleeman bagi GKI. Ayahnya, Clement Suleeman, rasanya bukan orang sembarang. Pemikiran dan kiprahnya pernah dibahas khusus dalam sebuah seminar kebangsaan pada tahun 2013 di sinwil Jabar.

"Bapakne iku ampuh, gus" kata Yoses Rezon saat aku tanya siapa sebenarnya Steve Suleeman. Ia, Clement Suleeman, adalah salah satu sosok penting bagi penyatuan 3 GKI menjadi sebuah sinode am. Gerejanya Clement yang dikenal sebagai GKI Kelinci adalah tempat persidangan pertama penyatuan tersebut pada tahun 1962. Clement jelas bukan orang main-main.

Batinku, ia pasti model lelaki Tionghoa "kepala batu," di atas rata-rata sehingga mampu meyakinkan tiga raksasa GKI untuk bersatu. Menyatukan Tionghoa adalah satu perkara pelik tersendiri sejauh aku mengamati gerakan Tionghoa di Indonesia kontemporer.

Nama Clement terasa menjadi lebih historik manakala ia meninggal dunia pada kecelakaan lalu lintas 1988 tepat saat ia akan menghadiri "penyatuan," jilid 2 di Bogor; dari Sinode Am menjadi GKI yang sekarang kita kenal.

Mas Steve jelaslah bukan Clement meski sama-sama ada nama Suleeman-nya. Ia tidak pernah bercerita tentang leluhurnya meski kami terlibat dalam beberapa kali kegiatan di Area 51 -sebutanku untuk isu LGBTIQ. Ia nampak ingin menjadi dirinya sendiri, dikenal atas karya dan dedikasinya di sirkuit yang sama dengan ayahnya.

Mas Steve, aku kira, mewarisi keteguhan Clement ayahnya. Ia teguh menyatakan LGBTIQ adalah bagian dari ciptaaan Tuhan yang tidak boleh didiskriminasi. Ketidaktahuan dan keacuhan merupakan penyebab utama kenapa diskriminasi terus terjadi.

Bapak dan anak ini sepertinya berada dalam sirkuit yang sama dengan kerumitan persoalan yang mengemuka di zamannya. Aku sendiri cukup penasaran bagaimana respon Pdt. Clement saat tahu anaknya membela LGBT dengan mengacungkan simbol suci (salib) yang juga dihunus oleh para penolak isu ini.

Kini mas Steve akan masuk masa emeritus, masa pensiun. Persis seperti yang dilakoni Clement 34 tahun lalu. Tiga tahun setelahnya, Clement masih terus saja aktif dalam kerja-kerja oikumenik hingga akhirnya gugur dalam perjalanan ke Wisma Kinasih.

Aku percaya mas Steve akan terus bersetia memanggul salibnya yang sangat berat agar LGTIQ bisa diterima semakin banyak orang, terutama oleh para penerusnya di GKI.

Semoga.

-- at Lempuyangan with Singasari.