Pages

Saturday, May 18, 2019

CERITA SERU DI KINIBALU EMPAT SATU

Kinibalu 41 adalah markas Yayasan Kasih Bangsa Surabaya, tempat bedah buku "Mengeja Cahaya," pada Sabtu (18/5). Kinibalu 41 identik dengan tarekat CM (Congregatio Missionis), sama seperti halnya SMA Sinlui dan 6 paroki lainnya di Surabaya. CM berbeda dengan Pr, atau projo. Biasanya, Pr datang belakangan ke suatu wilayah setelah tarekat CM atau tarekat SJ (Jesuit) masuk terlebih dahulu.

Oleh panitia bedah buku, aku didudukkan di kursi sebelah Rm. Robertus Wijanarko, akrab dipanggil Romo Jack. Dia adalah orang  penting dalam tarekat CM seluruh Indonesia. Dua romo lain yang hadir, Rm. Parno dan Rm. Novan, keduanya sama-sama dari tarekat CM, tampak hormat sekali pada Romo Jack.

Rm. Jack adalah pengajar senior di STFT Widya Sasana Malang. Aku pernah tidur selama seminggu di sekolah ini saat mengikuti kuliah singkat filsafat tahun 2001 ketika masih di PMII Jombang. Itu merupakan pengalaman pertama dalam hidupku tidur di luar rumah selain masjid, surau dan pesantren. Ibuku sangat terkejut mendengar ceritaku tidur di tempat itu, apalagi aku mengabarkannya dengan senang hati.

"Ten nggene tilem wonten salibe guedeeee, buk. Kulo tilem pas ten ngandape soale konco-konco wedi tilem mriku. Lha mboten wonten nggon maleh'e," ceritaku

"Lhooohh..." Ibuku tampak cemas, dan memintaku mengucapan syahadat lagi. Tidak tanggung-tanggung; tiga kali!

Aku keberatan karena aku tidak merasa telah mengkhianati agamaku. Namun aku tak ingin membuat ibuku, Hj. Alfiyah, terus dipelintir kekuatiran. Maka aku pun membaca syahadat lagi di depan orang yang sangat aku hormati ini.

Perkembangan dalam hidupku selanjut berlaku sebaliknya. Jika aku baru berani masuk gereja saat kuliah dan Amiroh malah baru tahun 2012 lalu, maka Galang dan Cecil lebih awal. Keduanya sudah aku kenalkan masuk gereja sejak mereka SD. Pernah aku ajak natalan di GKI Jombang.

Perjumpaan yang tulus adalah kunci melepaskan belenggu dogma yang sudah pasti berwatak bias dan mengandung anasir negative-stereotype terhadap identitas lain, terutama Kristen dan Tionghoa. Seringkali kita berada dalam garis dilema; apakah tetap berada di belakang garis demarkasi ataukah berani melampaui dan menghirup nikmatnya merdeka dari prasangka.

Aku belajar dari para kontributor buku "Mengeja Cahaya," yang menulis kisah-kisahnya. Mereka terlibat dan berhasil menuliskan pergulatan itu untuk publik. Narasi memori mereka adalah senjata paling dahsyat untuk melakukan perubahan, sepanjang dituliskan dan dimemorialisasikan.

"Mbak, aku penasaran dengan cerita anak Madura-Muslim yang kamu bantu. Sejauhmana relasi kalian? Apakah ia datang saat natal dan paskah? Tulislah juga pengalaman-pengalaman getir yang kamu alami bersama mendiang suami dari kakak-kakak iparmu. Almarhum suami mbak dicoret ya daftar penerima waris keluarga? Tulislah mbak," demikianlah banyak pintaku pada mbak Wike, salah satu kontributor buku.

Di forum bedah buku kemarin, aku membuat presentasi pendek berjudul "Mengubah dengan Narasi Memori," Dalam presentasi tersebut,baku sedikit menceritakan pengalamanku bergelut dengan dunia penulisan dan narasi memori; mengajak orang mengalami sesuatu dan memintanya menuliskan apapun tentang hal itu.

"Bacalah cerita yang ditulis Fina ketika untuk pertama kalinya ia masuk ke gereja dan makan di bangunan tersebut. Lucu dan sangat orisinil. Ia melakukan pengakuan dosa dalam tulisan tersebut," kataku sembari memunculkan slide tulisan Fina yang berjudul "Termenung di hadapan salib GKJW Banyuwangi,"

Aku benar-benar suka dengan forum kemarin yang berjalan gayeng dari jam 16.00-19.30. Selain itu, aku  menjadi lebih ngerti tentang tarekat lain di Katolik Surabaya. Sebab selama ini aku biasanya nongkrong dengan para romo dari tarekat projo saja.

"Mo, tak ambilken bubur sruntul ya?" tawarku pada romo Jack. Ia menolaknya dengan halus sembari mengucapkan terima kasih. Aku kemudian mengambil bubur manis dan menyantapnya dekat Romo Jack.

"Mo, ini lho enak banget. Sumpah Mo. Ayolah.." aku menawarinya lagi.
Dia tetap menolak sembari mengatakan ada problem gula darah dalam tubuhnya.

"Justru karena saya tahu ada itu (gula darah) makanya saya terus menggoda romo untuk makan bubur manis ini. Biar gulanya kambuh," tawa kami pun pecah.

*5 menit kemudian

"Eh tapi yakin Mo nggak mau bubur ini?" tanyaku sembari berjanji akan mengunjungi Romo ini dan kembali numpangg tidur di Widya Sasana.

Saturday, May 4, 2019

JEJAK SUCINYA CINTA TERLARANG DAN KONSILI VATIKAN II DI FILM NOVITIATE

Novitiate (bacanya: novisyiet) artinya calon biarawan/wati atau suster dalam tradisi Katolik Roma. Aku mengetahui film ini dari Trisno Madia. Ulasannya cukup membuatku tergerak ingin menonton film Hollywood tahun 2017 yang menceritakan pengembaraan seorang calon suster di lingkungan biara.

Lebih khusus, rasa penasaranku tersulut oleh informasi adanya aktifitas seksual sesama jenis. Sensasinya seperti akan menyaksikan film tentang fenomena mairil (amraad) di pesantren tertentu. Hasratku pada Novitiate makin bergolak saat tahu Rotten Tomatoes, situs yang terkenal sangat pelit memberi rating film, malah justru mengganjar Novitiate dengan nilai 83,7% sebuah jaminan mutu atas karya film.

"Seheboh apa sih film ini?" Aku menggumam dalam hati sembari membayangkannya dengan Ave Maryam. Kupacu motorku ke warkop berwifi gratis. Setelah memesan Javanesse-Americano coffee -- campuran kopi tubruk 2k dan es batu 1k -- aku segera mencarinya di dunia maya non-torrent. Sebagaimana aku duga sebelumnya, pencarianku sia-sia.

Aku kemudian mengarahkan navigasiku ke area torrent. Yes! Nemu berbagai versi. Aku pilih file yang seednya tinggi dan kapasitas mendekati 1 Gb. Biar cepet downloadnya. Aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk membereskannya. Itu pun dengan cara "menyetop," secara diam-diam puluhan pengguna wifi di warkop tersebut. Maafkan daku.

Tidak sia-sia usahaku dua jam ke warkop berwifi gratis untuk menyedot film superapik ini. Dalam durasi singkat, penggambaran erotisisme suci dua calon biarawati, Cathleen dan Emanuela, begitu sempurna kekenyalannya. Begitu mendebarkan. Katakan padaku; apakah ada yang lebih menggetarkan ketimbang melakukan percintaan terlarang di tengah tekanan waktu? Ini seperti dua orang pengurus mahasiswa yang sama-sama terkurung birahi cinta dan akhirnya memutuskan "mengeksekusinya" di toilet dekat lokasi teman-temannya yang tengah rapat.

Cathleen dengan segenap kenekatan dan keputusasaannya menanti "jamahan balik," Yesus yang tiap detik ia agungkan sebagai calon pasangannya, masuk ke kamar l Emanuel. Ia begitu menghiba kepada Emanual agar mau mewakiliNya menjamah tubuhnya, mencumbuinya, menebus semua cinta dan kesetiaan yang ia persembahkan setiap detik padaNya.

"Comfort me, please...please..please," ratap Cathleen terus mengulang-ulang permintaan itu di sebelah Emanuela. Ia seperti seekor kuda sekarat yang memohon-mohon tuannya agar segera membunuhnya; agar penderitaannya berakhir. Cathleen seperti lelaki-laki yang meratap pada pasangannya dengan sorot mata mupeng level dewa "Cinta, sebentaaaaaaaarrr aja. Boleh ya? Pleaseeeee,"

Aku benar-benar menahan nafas menikmati setiap detik yang dibeber sutradaranya dalam scene di atas ranjang ini.

Emanuela memahami betul kebutuhan temannya ini, meski ia sendiri terlihat sangat galau dengan ajakan "dosa" ini.

"Okey..okey... stop talking," katanya agak gemas sembari mendaratkan bibirnya ke bibir Cathleen yang berisik meracaukan "comfort me please..." terus menerus. Aku ikut adem-panas mengikutinya dari layar 10 inchi laptopku.

Tidak ada aksi lanjutan kecuali hangatnya ciuman Cathleen dan Emanuela dalam hitungan detik. Memang, menurutku, hal itu tidak perlu dilanjutkan karena Novitiate bukan film kelas Xhamster atau Youjizz.

Sang sutradara begitu jujur menggambarkan aksi sensual suci sesama jenis ini. Namun, apakah ini bisa dikategorikan sebagai lesbianisme? Aku ragu.

Dalam kajian modern, lesbian merujuk pada sebuah konsep yang solid, yang tidak bisa diketahui hanya dari gejala permukaannya saja. Sederhananya begini, jika penyakit DBD kerap ditandai oleh meningkatnya suhu badan (panas) maka tidak setiap panas yang diderita seseorang adalah DBD.

Kebirahian yang didemontrasikan oleh Cathleen dan kemudian dibantu oleh Emanuel, berakar dari penantian sangat panjang yang dideritanya sebagai konsekuensi dogma institusional kala itu. Setiap biarawati adalah "bride of Jesus" di mana "kehadiranNya" yang adikodrati dinarasikan sedemikian rupa kepada setiap biarawati --yang belum tentu semuanya bisa menerima kemayaan "suami," mereka.

Situasinya sangat mirip LDR yang tak berkesudahan tenggatnya. Maka, pada saat Chathleen begitu merindukan sentuhan fisikNya ia selanjutnya meminta bantuan kepada siapapun yang terdekat, dan memproyeksikannya sebagai Nya.

Yang tampak secara fisik adalah percumbuan dua orang perempuan. Namun dibalik itu, di balik pikiran Cathleen, apakah Emanuela adalah Emanuela? Ataukah ia sebenarnya Yesus yang menjelma dalam daging dan darah Emanuela?

Kajian modern memisahkan secara tegas bahwa yang tampak tidak selalu mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi. Awam akan menandai relasi yang tampak itu sebagai lesbianisme. Namun yang sebenarnya terjadi hanyalah hubungan seksual perempuan dan perempuan. Jika yang ada dibenak Cathleen adalah Yesus yang bertransformasi ke dalam tubuh Emanuela maka sebenarnya ia bisa dikatakan menyukai lawan jenis pada saat itu.

Jika masih bingung, barangkali peribahasa "tidak ada rotan, akar pun jadi," bisa jadi analogi. Saat bertemu akar karena tidak ada rotan, maka akar difungsikan sebagai rotan. Jika rotan tersedia, akar akan ditinggalkan, atau bahkan digunakan keduanya.

Praktek seksual adalah yang tampak. Sedangkan orientasi seksual bersemayam dalam pikiran masing-masing. Praktek seksual belum tentu mencerminkan orientasi seksual. Pemilik tubuh merupakan pihak yang paling tahu.

Lazimnya, praktek seksual sejenis (sekali lagi, belum tentu homoseksual) --baik laki-laki maupun perempuan
kerap terjadi di lingkungan di mana akses terhadap lawan jenis terbatas. Semakin terbatas, semakin tinggi kemungkinan praktek relasi sejenis.

Itu sebabnya, jejak relasi sejenis kerap terdeteksi di penjara, barak militer, istana harem, asrama pendidikan (keagamaan), dunia asketisme, dan lingkungan yang menerapkan segregasi ketat berbasis gender. Jejak relasi sesama jenis perempuan di lingkungan biara Katolik sendiri pernah dikaji beberapa orang, misalnya Hannah Steinkopf-Frank, Judith Brown, Marta Trzebiatowska, dan lainnya.

Namun setelah aksi malam itu, Emanuela nampak begitu biasa-biasa saja saat berpapasan dengan Cathleen di lorong biara. Cuek. Melihat pun tidak. Berbeda dengan Cathleen yang menyapanya, seperti ingin mendiskusikan lebih jauh.

Cathleen memang nampak dirundung kesunyian, persis seperti kesunyian yang menjadi ciri dasar biara dalan film itu. Berbicara ada jamnya. Nggak boleh sembarangan seperti di kost-kostan. Jika melanggar, bisa-bisa disuruh merangkak, tengkurap di lantai dengan posisi seperti di salib, hingga "diminta" mencabuki dirinya sendiri dengan penance.

Saat Cathleen memilih jujur mengatakan "dosa malam itu," di hadapan sejawatnya dan suster kepala, nama yang disebut terakhir ini nampak begitu berang.

"But I don't think it was a sin," Cathleen terbata-bata.

Cathleen makin merasa berdosa, menangis menghiba agar segera dikenakan hukuman penance. Namun suster kepala justru menyuruhnya merangkak ke satu per satu biarawati yang hadir sembari meminta hukuman.

Biara tersebut memang dicitrakan sangat ketat mendidik anggotanya. Hal ini sangat mungkin karena biarawati dianggap bukan sembarang perempuan di kalangan Katolik Roma. Mereka adalah perempuannya perempuan, intinya inti, pengantinnya pengantin (Yesus). Hingga kemudian konsili Vatikan II mereformasi banyak hal, termasuk institusi kebiarawatian.

"Regarding the culture of more extreme abnegation and self-punishment still prevalent in many communities today,
please be advised that according to the council, this is no longer understood to be the appropriate path to follow for all those seeking greater union with Christ. It is no longer acceptable to view any acts of extreme sacrifice as an act of love," kata Suster Kepala sembari terisak ketika membacakan surat dari Uskup Agung di hadapan suster lainnya. Isakannya makin parau di paragraf terakhir.

"Finally, from here forward, in the eyes of both the holy church and god, the status of all nuns shall be reduced as equal to that of any regular practicing catholic. While the choice to enter the convent remains one's own, this does not necessarily make nuns any more beloved or special in the eyes of god,"

Tak pelak, surat Uskup Agung terkait hasil Konsili Vatikan II ini kabarnya menyebabkan sekitar 90.000 ribu biarawati memilih eksodus dari institusi ini. Pada tahun 1985, terbit sebuah buku testimonial "coming-out" para mantan biarawati, karya Rosemary Curb dan Nancy Manahan. Judulnya Lesbian nuns: Breaking silence. Dugaan saya bisa jadi ada diantara mereka yang eksodus tadi adalah narasumbernya.

Apakah termasuk Cathleen? Saya ragu.

Di akhir film itu, Cathleen terlihat bersimpuh di altar untuk ditahbiskan. Namun ia merasa gamang apakah akan meneruskan statusnya sebagai biarawati permanen atau tidak. Lalu, masihkah ia terus berelasi dengan Emanuela? Saya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja layar laptopku menjadi gelap. Film usai. (*)