Pages

Saturday, May 4, 2019

JEJAK SUCINYA CINTA TERLARANG DAN KONSILI VATIKAN II DI FILM NOVITIATE

Novitiate (bacanya: novisyiet) artinya calon biarawan/wati atau suster dalam tradisi Katolik Roma. Aku mengetahui film ini dari Trisno Madia. Ulasannya cukup membuatku tergerak ingin menonton film Hollywood tahun 2017 yang menceritakan pengembaraan seorang calon suster di lingkungan biara.

Lebih khusus, rasa penasaranku tersulut oleh informasi adanya aktifitas seksual sesama jenis. Sensasinya seperti akan menyaksikan film tentang fenomena mairil (amraad) di pesantren tertentu. Hasratku pada Novitiate makin bergolak saat tahu Rotten Tomatoes, situs yang terkenal sangat pelit memberi rating film, malah justru mengganjar Novitiate dengan nilai 83,7% sebuah jaminan mutu atas karya film.

"Seheboh apa sih film ini?" Aku menggumam dalam hati sembari membayangkannya dengan Ave Maryam. Kupacu motorku ke warkop berwifi gratis. Setelah memesan Javanesse-Americano coffee -- campuran kopi tubruk 2k dan es batu 1k -- aku segera mencarinya di dunia maya non-torrent. Sebagaimana aku duga sebelumnya, pencarianku sia-sia.

Aku kemudian mengarahkan navigasiku ke area torrent. Yes! Nemu berbagai versi. Aku pilih file yang seednya tinggi dan kapasitas mendekati 1 Gb. Biar cepet downloadnya. Aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk membereskannya. Itu pun dengan cara "menyetop," secara diam-diam puluhan pengguna wifi di warkop tersebut. Maafkan daku.

Tidak sia-sia usahaku dua jam ke warkop berwifi gratis untuk menyedot film superapik ini. Dalam durasi singkat, penggambaran erotisisme suci dua calon biarawati, Cathleen dan Emanuela, begitu sempurna kekenyalannya. Begitu mendebarkan. Katakan padaku; apakah ada yang lebih menggetarkan ketimbang melakukan percintaan terlarang di tengah tekanan waktu? Ini seperti dua orang pengurus mahasiswa yang sama-sama terkurung birahi cinta dan akhirnya memutuskan "mengeksekusinya" di toilet dekat lokasi teman-temannya yang tengah rapat.

Cathleen dengan segenap kenekatan dan keputusasaannya menanti "jamahan balik," Yesus yang tiap detik ia agungkan sebagai calon pasangannya, masuk ke kamar l Emanuel. Ia begitu menghiba kepada Emanual agar mau mewakiliNya menjamah tubuhnya, mencumbuinya, menebus semua cinta dan kesetiaan yang ia persembahkan setiap detik padaNya.

"Comfort me, please...please..please," ratap Cathleen terus mengulang-ulang permintaan itu di sebelah Emanuela. Ia seperti seekor kuda sekarat yang memohon-mohon tuannya agar segera membunuhnya; agar penderitaannya berakhir. Cathleen seperti lelaki-laki yang meratap pada pasangannya dengan sorot mata mupeng level dewa "Cinta, sebentaaaaaaaarrr aja. Boleh ya? Pleaseeeee,"

Aku benar-benar menahan nafas menikmati setiap detik yang dibeber sutradaranya dalam scene di atas ranjang ini.

Emanuela memahami betul kebutuhan temannya ini, meski ia sendiri terlihat sangat galau dengan ajakan "dosa" ini.

"Okey..okey... stop talking," katanya agak gemas sembari mendaratkan bibirnya ke bibir Cathleen yang berisik meracaukan "comfort me please..." terus menerus. Aku ikut adem-panas mengikutinya dari layar 10 inchi laptopku.

Tidak ada aksi lanjutan kecuali hangatnya ciuman Cathleen dan Emanuela dalam hitungan detik. Memang, menurutku, hal itu tidak perlu dilanjutkan karena Novitiate bukan film kelas Xhamster atau Youjizz.

Sang sutradara begitu jujur menggambarkan aksi sensual suci sesama jenis ini. Namun, apakah ini bisa dikategorikan sebagai lesbianisme? Aku ragu.

Dalam kajian modern, lesbian merujuk pada sebuah konsep yang solid, yang tidak bisa diketahui hanya dari gejala permukaannya saja. Sederhananya begini, jika penyakit DBD kerap ditandai oleh meningkatnya suhu badan (panas) maka tidak setiap panas yang diderita seseorang adalah DBD.

Kebirahian yang didemontrasikan oleh Cathleen dan kemudian dibantu oleh Emanuel, berakar dari penantian sangat panjang yang dideritanya sebagai konsekuensi dogma institusional kala itu. Setiap biarawati adalah "bride of Jesus" di mana "kehadiranNya" yang adikodrati dinarasikan sedemikian rupa kepada setiap biarawati --yang belum tentu semuanya bisa menerima kemayaan "suami," mereka.

Situasinya sangat mirip LDR yang tak berkesudahan tenggatnya. Maka, pada saat Chathleen begitu merindukan sentuhan fisikNya ia selanjutnya meminta bantuan kepada siapapun yang terdekat, dan memproyeksikannya sebagai Nya.

Yang tampak secara fisik adalah percumbuan dua orang perempuan. Namun dibalik itu, di balik pikiran Cathleen, apakah Emanuela adalah Emanuela? Ataukah ia sebenarnya Yesus yang menjelma dalam daging dan darah Emanuela?

Kajian modern memisahkan secara tegas bahwa yang tampak tidak selalu mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi. Awam akan menandai relasi yang tampak itu sebagai lesbianisme. Namun yang sebenarnya terjadi hanyalah hubungan seksual perempuan dan perempuan. Jika yang ada dibenak Cathleen adalah Yesus yang bertransformasi ke dalam tubuh Emanuela maka sebenarnya ia bisa dikatakan menyukai lawan jenis pada saat itu.

Jika masih bingung, barangkali peribahasa "tidak ada rotan, akar pun jadi," bisa jadi analogi. Saat bertemu akar karena tidak ada rotan, maka akar difungsikan sebagai rotan. Jika rotan tersedia, akar akan ditinggalkan, atau bahkan digunakan keduanya.

Praktek seksual adalah yang tampak. Sedangkan orientasi seksual bersemayam dalam pikiran masing-masing. Praktek seksual belum tentu mencerminkan orientasi seksual. Pemilik tubuh merupakan pihak yang paling tahu.

Lazimnya, praktek seksual sejenis (sekali lagi, belum tentu homoseksual) --baik laki-laki maupun perempuan
kerap terjadi di lingkungan di mana akses terhadap lawan jenis terbatas. Semakin terbatas, semakin tinggi kemungkinan praktek relasi sejenis.

Itu sebabnya, jejak relasi sejenis kerap terdeteksi di penjara, barak militer, istana harem, asrama pendidikan (keagamaan), dunia asketisme, dan lingkungan yang menerapkan segregasi ketat berbasis gender. Jejak relasi sesama jenis perempuan di lingkungan biara Katolik sendiri pernah dikaji beberapa orang, misalnya Hannah Steinkopf-Frank, Judith Brown, Marta Trzebiatowska, dan lainnya.

Namun setelah aksi malam itu, Emanuela nampak begitu biasa-biasa saja saat berpapasan dengan Cathleen di lorong biara. Cuek. Melihat pun tidak. Berbeda dengan Cathleen yang menyapanya, seperti ingin mendiskusikan lebih jauh.

Cathleen memang nampak dirundung kesunyian, persis seperti kesunyian yang menjadi ciri dasar biara dalan film itu. Berbicara ada jamnya. Nggak boleh sembarangan seperti di kost-kostan. Jika melanggar, bisa-bisa disuruh merangkak, tengkurap di lantai dengan posisi seperti di salib, hingga "diminta" mencabuki dirinya sendiri dengan penance.

Saat Cathleen memilih jujur mengatakan "dosa malam itu," di hadapan sejawatnya dan suster kepala, nama yang disebut terakhir ini nampak begitu berang.

"But I don't think it was a sin," Cathleen terbata-bata.

Cathleen makin merasa berdosa, menangis menghiba agar segera dikenakan hukuman penance. Namun suster kepala justru menyuruhnya merangkak ke satu per satu biarawati yang hadir sembari meminta hukuman.

Biara tersebut memang dicitrakan sangat ketat mendidik anggotanya. Hal ini sangat mungkin karena biarawati dianggap bukan sembarang perempuan di kalangan Katolik Roma. Mereka adalah perempuannya perempuan, intinya inti, pengantinnya pengantin (Yesus). Hingga kemudian konsili Vatikan II mereformasi banyak hal, termasuk institusi kebiarawatian.

"Regarding the culture of more extreme abnegation and self-punishment still prevalent in many communities today,
please be advised that according to the council, this is no longer understood to be the appropriate path to follow for all those seeking greater union with Christ. It is no longer acceptable to view any acts of extreme sacrifice as an act of love," kata Suster Kepala sembari terisak ketika membacakan surat dari Uskup Agung di hadapan suster lainnya. Isakannya makin parau di paragraf terakhir.

"Finally, from here forward, in the eyes of both the holy church and god, the status of all nuns shall be reduced as equal to that of any regular practicing catholic. While the choice to enter the convent remains one's own, this does not necessarily make nuns any more beloved or special in the eyes of god,"

Tak pelak, surat Uskup Agung terkait hasil Konsili Vatikan II ini kabarnya menyebabkan sekitar 90.000 ribu biarawati memilih eksodus dari institusi ini. Pada tahun 1985, terbit sebuah buku testimonial "coming-out" para mantan biarawati, karya Rosemary Curb dan Nancy Manahan. Judulnya Lesbian nuns: Breaking silence. Dugaan saya bisa jadi ada diantara mereka yang eksodus tadi adalah narasumbernya.

Apakah termasuk Cathleen? Saya ragu.

Di akhir film itu, Cathleen terlihat bersimpuh di altar untuk ditahbiskan. Namun ia merasa gamang apakah akan meneruskan statusnya sebagai biarawati permanen atau tidak. Lalu, masihkah ia terus berelasi dengan Emanuela? Saya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja layar laptopku menjadi gelap. Film usai. (*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...