Pages

Wednesday, June 12, 2019

Yesus Garis Lengkung atau Isa Garis Lurus?

Setelah membikin "keributan," di GKI Jombang, aku kini berangkat menuju Purwokerto. Di kota tersebut aku diajak Pdt. Maria dan Pdt. Dimas untuk bikin goro-goro; memperkuat relasi Kristen-Islam dengan cara mendiskusikan topik yang agak-agak nyrempet bahaya, yakni menyangkut kenaikan Yesus/Isa.

Aku harus mencatat, topik polemis antara Islam-Kristen biasanya cenderung dihindari. Takut nanti malah gegeran. Ketakutan itu aku kira wajar karena sangat mungkin muncul dari model pemikiran yang sejak awal bias dan cenderung kaku dalam melihat sebuah persoalan. Bias dalam arti; pemikiran tertentu selalu lebih dianggap lebih unggul ketimbang lainnya, dan kebiasan ini, lebih jauh, diterapkan kaku tidak hanya secara murni, namun juga sepenuhnya konsekuen.

Jadinya ya mesti gegeran, ilok-ilokan, krayah-krayahan, dan cokotan-cokotan. Apalagi hingga saat ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi belum punya kewenangan untuk menangani perselisihan pandangan, misalnya, "Apakah Yesus/Isa dinaikkan setelah atau sebelum ia mati?" Bagi Kristen, jawabannya sudah sangat jelas. Namun bagi hampir semua Muslim Indonesia, pertanyaan itu akan ditimpali dengan pertanyaan lain, "Memang kata siapa Isa sudah mati? Ia masih hidup kok sampai sekarang,"

Biasanya, Diskusi  kemudian akan sepenuhnya bergeser pada lorong gelap seputar tiga hal menyangkut dirinya; kematian, penyaliban, dan, yang paling penting adalah, aspek keilahiannya.

Dalam pengajaran Islam tentang Isa/Yesus, kami tidak dididik mengetahui model lain memahami sosok ini, selain dari yang kami miliki, yakni sejenis keyakinan yang merupakan penggabungan dari unsur Gnostik, Arian, Jullian of Hellicarnasus Menophysite Seven Antioch dan unsur Nestorian. Bagi kalian yang tidak cukup paham, ini mungkin mirip resep membuat margarita atau mojito.

Nah, akibat dari absennya pengajaran model pemahaman lain tentang Isa maka kami  kerap sedikit gelagapan dan terseok-seok memahami Isa, misalnya, dari sudut pandang trinitarian yang terkenal highly sophisticated, canggih, meliuk-liuk, dan berlapis-lapis. Bandingkan dengan cara pandang unitarian ala rata-rata Muslim yang cenderung straight-forward; nek ijo yo ijo, nek abang yo abang, bukan ijo yang abang atau abang yang ijo.

Lalu mana yang benar dari cara pandang tersebut? Menurutku, pertanyaan itu justru tidak tepat karena sama artinya dengan mempertanyakan; antara MU dan Barcelona, mana yang disebut sepakbola.

Pemain MU akan sedikit kesulitan dengan tiki-taka a la Barca jika ditransfer ke sana. Pun, tidak mudah bagi pemain Barca untuk menerima kick-and-rush model premier league.

Pemain garis lengkung akan bersabar dan beradaptasi dengan dua model iklim permainan tadi. Baginya, mempelajari tiki-taka dan kick-n-rush justru malah memudahkannya menentukan strategi memenangkan pertandingan. Baginya, semakin banyak stok strategi, semakin baik.

Namun bagi pemain-garis-lurus, pilihan tiki-taka atau kick n rush adalah harga mati. Baginya, fanatik pada strategi tertentu --dan menutup pintu mempelajari strategi lain-- merupakan cara terbaik menyelamatkannya dan komunitasnya dari kekalahan.

Anda pemain yang mana?

Thursday, June 6, 2019

MERAGUKAN AGAMA SENDIRI, BOLEHKAH?

Matahari sudah membumbung cukup tinggi. Makin lama sinarnya membuat wajahku panas. Aku pun terbangun. Begitulah alarm natural di kamarku.

Aku melihat whatsapp, puluhan pesan telah masuk. Hampir semuanya seputar urusan hari permaafan formal internasional. Namun ada satu yang menarik; urusan meragukan iman.

Oh ha, Mentari bukanlah nama sebenarnya. Kami tidak pernah bertemu fisik, hanya di FB saja.

---

Mentari: Assalamualaikum Gus.
Minal Aidin wal Faizin
Maaf lahir batin..🙏
Gus, saya boleh curhat dikit Ndak? Beberapa bulan lalu saya baca tulisan seorang fisikawan, bahwa bumi ini sudah terbentuk jutaan tahun. Manusia pertama sendiri diperkirakan 250 ribu tahun. Tapi agama baru hitungan 8-9 ribu tahun.

Ditambah lagi sy melihat ada banyak bentuk kekurangan dalam agama. Soal poligami dan perbudakan misalnya. Setelah membaca itu jujur sy menjadi agnostik.

Sebenarnya sy masih percaya Tuhan, tapi saya ragu pada agama. Mohon pencerahannya Gus. Bantu saya kembali yakin pada agama ini. Sy fakir ilmu, sy tidak tahu bacaan apa yg bisa mengembalikan keyakinan saya pada agama. Mohon petunjuk Gus 🙏

Aan: Hai Mentari.. Selamat menikmati liburan lebaran ya...
Waaahh kereen bacaanmu. Begini.
Menurutku, kita selalu punya ruang untuk meragukan apapun, termasuk agama. Aku melihatnya hal itu bagian dari pendewasaan imani.

Perbudakan, perang, poligami, aahh.... Kamu tahu, betapa sulitnya aku sendiri menghadapi hal2 tersebut dalam konstelasi keimanan dan keislamanku.

Aku tidak tahu apakah aku harus bersedih atau gembira dengan situasimu saat ini. Namun menurutku tugas utama manusia adalah menjadi manusia; memanusiakan manusia --tak peduli ia punya agama atau tidak; berpoligami atau tidak; percaya kuburan atau tidak, atau yang lain ya...

Intinya, tugas kita adalah BERBUAT BAIK (menjadi rahmat bagi semuanya) sebagaimana tugas Gusti.

Maka, aku sangat bersedih manakala situasimu saat ini memengaruhimu menjalankan tugas sebagai manusia.

Teruslah meragukan keimananmu NAMUN jangan pernah RAGU sedetikpun untuk menjalankan misimu sebagai manusia ya.

Thank youuu

Mentari: Terharu sy bacanya gus..
Makasih banyak pencerahannya..🙏

Aan: :)

---

Lamat-lamat aku dengar Nirwana dari Gigi. Rupanya Amiroh tengah bekerja keras dengan berkas-berkasnya.

Tuesday, June 4, 2019

TEMANI KAMI MENJADI DEWASA

MAAFKAN KAMI, selama hampir sebulan penuh telah membuat republik ini menjadi panggung bagaimana kesalehan kami tercitrakan.
Jika boleh jujur, ingin rasanya menutup mukaku ini karena rasa malu. Betapa tidak, tigapuluh hari kalian harus menenggang manifestasi praktek spiritualitas yang menurutku kurang dewasa. Istirahat kalian tidak cukup nyaman karena loud speaker masjid dan musalla menyalak lebih lama. Belum lagi tradisi patrol membangunkan sahur yang tak pernah absen sejak dini hari.
Yang paling memilukan barangkali tayangan-tayangan di layar televisi. Ceramah agama kerap didominasi konten yang  mengunggul-unggulkan produk sendiri tanpa intensi merangkul produk lain. Itu belum seberapa. Penayangan artis-artis muallaf menghiasi televisi sungguhlah sebuah hal yang tidak bisa dikatakan toleran. Coba bayangkan, bagaimana perasaan kita jika misalnya pada saat menjelang natal, televisi menayangkan para artis yang berpindah keyakinan dari Islam dan bangga dengan hal itu. Piye perasaanmu? Baguslah jika biasa-biasa saja meski aku yakin stasiun TV itu akan digeruduk dan disomasi sesegera mungkin.
Maafkan kami, selama Ramadlan ini layanan publik, seperti biasa, beroperasi setengah hati karena alasan puasa. Itupun kami minta agar dimaklumi. Kami juga memaksa halus kalian untuk praktek pemerintahan kabupaten/kota yang dengan entengnya menutup warung, restoran, karaoke, dan lokasi-lokasi yang dituding sebagai sumber maksiat. Bahkan terkadang penutupan itu dilakukan dengan paksa. "Khusus untuk non-Muslim," begitu bunyi spanduk yang susah payah dipasang depan rumah makan di wilayah Sumatera.
Maafkan kami karena sempat membuat Republik ini geger dengan peristiwa 21-22 Mei lalu. Ramadlan senyatanya tidak cukup membuat kami kuat menahan amarah dan akal sehatnya. Begitu banyak yang ditangkap karena jutaan hoax dimuntahkan dan selalu saja simbol-simbol agamaku muncul di sana. Itu belum termasuk bom gagal di pospam Kartasura Solo kemarin.
Maafkan kami yang tak pernah meminta maaf atas hal itu. Sungguh.
Rasa bersalah semakin membuncah manakala, seperti biasanya, kalian tetap baik pada kami. Gereja, klenteng, vihara, dan bangunan-bangunan suci kalian buka dengan hati bersuka-cita sembari menyediakan takjil, sahur bahkan bingkisan lebaran, untuk kami. Sungguh sebuah level kebaikan yang nyaris tak mungkin kami balas. Mungkinkah kami, orang Islam, membuka rumah dan komplek tempat ibadah kami agar kalian bisa merayakan hari suci kalian? Mungkin saja, namun teologi kami tidak pernah diarahkan ke sana. Kami mungkin terlalu jaim dan kuatir untuk itu. Kami takut terlihat rapuh ketika hendak mencintai
Maafkan kami, karena dipastikan seluruh hal di atas akan terulang lagi tahun depan. Entah sampai kapan.
Terima kasih, jangan lelah menemani kami menjadi dewasa.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 2019.
-at Kauman Mojoagung Jombang

Monday, June 3, 2019

NU dan Pancasila; Membayar Hutang Sejarah Yang Tidak Mudah

SELAMA ini, NU dikenal sangat getol menyuarakan pembelaannya terhadap Pancasila. Keberpihakannya semakin mencolok saat gelombang khilafah berusaha melumat Bangsa ini, dilumat untuk tunduk pada Islam politik.
Sangat sulit untuk tidak melihat NU tampil sebagai satu-satunya ormas Islam "ivy league," yang membabati gerogotan kanker tersebut saat lainnya diam dan malas. Kenapa NU bisa sedemikian ngototnya membela Pancasila, vis a vis melawan tubuh Islamnya sendiri? Menurut saya, NU sedang membayar hutang sejarahnya.
Sejak menit pertama perumusan Pancasila Juni 1945, melalui wakilnya, Wahid Hasyim, NU mendukung ideologi Islam sebagai platform utama Pancasila. Bersama-sama wakil Muslim-Nasionalisnya, ia setuju Piagam Jakarta tercantum dalam sila pertama, presiden haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam.
Dua hal penting ini adalah cerminan betapa elit Islam kala itu menganggap kelompoknya punya jasa lebih besar, jumlah lebih banyak, ketimbang kelompok lainnya. Seandainya pada saat itu HTI ada, bisa dipastikan NU akan bahu-membahu dengannya mengegolkan gagasan Indonesia bersyariah. Namun alur sejarah berkata lain, dalam sebuah momentum singkat sekitar 18 Agustus 1945, dua hal krusial itu hilang bersama dengan digunakannya kata "Pembukaan," mengganti diksi "mukaddimah," dalam pembukaan UUD 1945.
Tidak cukup jelas apa yang sebenarnya terjadi pada pertemuan antara seluruh wakil Islam di PPKI dan Hatta ketika Latuharhary dkk. mengancam wilayah Indonesia timur akan berpisah jika Islam ngotot dipaksakan. Namun yang pasti, anasir-anasir simbolik Islam politik benar-benar dikepras pada rapat tersebut.
Wahid Hasyim memang tidak sengotot Ki Bagus Hadikusumo, satu-satunya yang tetap kukuh agar tiga hal di atas dipertahankan. Saking ngototnya, Soekarno merasa perlu meminta tolong khusus kepada Kasman Singodimejo agar melunakkan hati wakil Muhammadiyah ini, dan berhasil. Meskipun belakang Kasman merasa sangat bersalah atas keberhasilan tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, meski telah berpisah dengan Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri pada pemilu 1956, NU tetaplah seperti yang dulu. Wakil-wakilnya di Konstituante tetap satu suara dengan wakil Islam lainnya; menuntut agar piagam Jakarta dimasukkan kembali.
Faisal Ismail dalam disertasinya mencatat wakil-wakil NU seperti Ahmad Zaini, KH. Masjkur, KH. Saifuddin Zuhri maupun Ahjak Sosrosugondo mengkritik keras Pancasila sebagai slogan kosong yang tidak memberikan muatan konkrit bagi bangsa.
Bagi yai Zuhri, ayah Menteri Agama Lukman Saifuddin, maupun yai Masjkur, sila pertama akan menyebabkan problem teologis karena bisa diinterpretasikan berbeda-beda. "Bagi yang percaya batu adalah tuhan, maka Tuhan adalah batu. Bagi penyembah pohon, maka Tuhan di sila tersebut adalah pohon," tegas KH. Masjkur.
Sila pertama, menurut Ahjak, juga bermasalah karena juga masih mengadoposi Komunisme yang dianggap tidak bertuhan. "Tidak ada konsep alternatif kecuali menjadikan Islam sebagai dasar negara karena kesempurnaannya," tawar KH. Zuhri.
Mereka sangat ngotot mengusung Islam sebagaimana juga Natsir, Isa Anshary dan Otman Raliby dari Partai Masyumi, Sjamsijah Abbas dari Perti maupun MT. Abubakar dari PSII.
Tiga kali voting dalam sidang Konstituante, tiga kali pula NU tetap konsisten pada pendiriannya; syariat Islam. Titik.
Meski pengusung Piagam Jakarta kalah tipis beruntun tiga kali, sidang perumusan dasar negara tetap tidak memenuhi kuorum sehingga, presiden Soekarno tidak punya pilihan lagi kecuali mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Salah satu isinya;  mengembalikan UUD 1945 tanpa Piagam Jakarta. Para pengusung syariat Islam semakin kecewa, terutama kepada Soekarno yang telah mengalahkan mereka 2-0.
Pancasila rasa Demokrasi-Terpimpinnya Soekarno kemudian dijalankan pascadekrit. Poros agama dalam Nasakom diisi oleh Nahdlatul Ulama. Betul, NU akhirnya bisa duduk bersama dengan PKI dan, saya kira, mulai belajar melihat lawan politik yang ia hajar habis-habisan selama sidang Konstituante.
Pilihan NU untuk "membelot" ke kelompok Nasionalis bisa dipahami dalam rangka ingin membuktikan bahwa dirinya jauh lebih progresif ketimbang Masyumi, kompetitor sekaligus rumah politik lama penuh derita bagi Nahdliyyin.
Memang, NU dibawah kepemimpinan rais aam Yai Wahab Chasbullah sejak 1947 hingga 1971 bisa dikatakan cukup progresif dan terbuka. Dia adalah satu-satunya kiai papan atas NU, kala itu, yang cukup dekat dengan lingkar studi dan politiknya HOS Cokroaminoto di Surabaya ketika Soekarno masih relatif muda. Pemikiran out of the box kiai cum pengusaha ini adalah jejak awal yang sangat penting di tengah tradisionalisme Nahdliyyin yang masih cukup dekat dengan blok-Islamnya Masyumi dkk.
Pada kelanjutannya, blok-Islam ini, dengan sokongan militer, dan Amerika Serikat, akhirnya berhasil membalaskan dendam pada Soekarno dengan cara melengserkannya, berbarengan dengan sekutu terkuat; PKI.
Dalam soal Tragedi 65-66, penting diketahui bahwa terdapat dua kelompok di tubuh NU saat itu; faksi mbah Wahab-Idham Chalid yang cukup moderat, dan faksi militan-tradisionalis yang lebih dekat dengan Masyumi. Saya menulis agak panjang kiprah keduanya dalam "Kemenangan Faksi Militan; Jejak Kelam Elit Nahdlatul Ulama akhir September-Oktober 1965,"
Yang menarik, selama proses transisi awal Orde Lama ke Orde Baru, dalam kurun 1967-1970, sebagai imbas dari penggayangan ratusan ribu Tertuduh PKI, terdapat fakta mencengangkan, yakni banyak orang pindah agama ke Kristen/Katolik. Jumlahnya mencapai mendekati satu juta orang. Mereka menemukan salib sebagai “jalan spiritualitas baru” pelipur duka gara-gara Tragedi 1965.
Kenyataan ini tak pelak membuat  blok-Islam makin membenci kelompok Kristen, rival abadi mereka dalam perumusan dasar negara ini. Sikap ini pada gilirannya akan mempertebal kecurigaan mereka dalam perjalanan Pancasila.
Di tangan Soeharto, Pancasila berubah menjadi teks suci untuk melegitimasi ketakutannya terhadap dua yang dianggap musuh; komunisme dan Islam-Politik. Seluruh aspirasi politik aliran (Islam) dikanalisasi menjadi satu pintu partai politik melalui PPP, agar mudah dikontrol kemudian ditundukkan.
Faksi di dalam Nahdlatul Ulama yang dekat dengan Blok Islam kembali bersatu dengan blok tersebut untuk memperjuangkan aspirasi syariat melalui partai tersebut dalam bingkai Pancasila dan NKRI, hingga kemudian Nahdlatul Ulama dinakhkodai dua tokoh utamanya; Yai Akhmad Shiddiq sebagai rais aam dan Gus Dur sebagai ketua umum. Keduanya memutuskan NU menerima asas tunggal Pancasila sebagai dasar organisasi menggantikan narasi Islam yang telah diugemi sejak lama oleh organisasi ini.
Dua orang ini kemudian mengambil sikap politik yang tak kalah penting, yakni menarik NU keluar dari arena politik praktis di mana selama ini NU adalah lokomotif utama PPP.
Khusus Gus Dur, ia begitu sangat serius memberikan arah baru dalam NU, terutama bagaimana Islam bisa sejalan dengan Pancasila untuk merawat kebhinnekaan yang ada. Sungguh. Ia memberikan segalanya agar NU bisa menjadi lebih moderat, termasuk mempertaruhkan previlese darah birunya dengan menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta dan  membuka acara malam puisi Yesus Kristus.
Itu hanya contoh kecil dari langkah-langkah "nyleneh" Gus Dur mengaplikasikan Pancasila dalam semangat ke-NU-annya yang membuatnya tidak hanya diboikot kiai Asad Syamsul Arifin, kiai sangat senior di kalangan NU, namun juga membuat suami Sinta Nuriyah ini harus menghadapi "sidang" ratusan kiai di Pesantren Arjawinangun Cirebon 1989.
Secara khusus terkait luka masa lalu Kristen-Islam, Gus Dur yang merupakan "santo" di kalangan jutaan Nahdliyyin terasa benar-benar memberikan antibiotik agar luka itu sembuh dan sekaligus membuat ikatan Islam-Kristen jauh lebih kuat, sebagaimana keinginan asasi Pancasila. Hal ini tercermin dari penggalan pidato Presiden Gus Dur 27 Desember 1999 pada sebuah perayaan Natal.
".... Suka cita ini bukanlah hanya monopoli Anda-anda yang beragama Kristen saja, tapi adalah kegembiraan kita semua. Ini tertuang baik dalam kitab suci kaum Kristiani maupun di dalam Al-Quranul Karim yang saya percayai, karena di sana diterangkan adanya seorang Juru Selamat yang datang ke dunia. Dari semua penafsiran Al-Quran menyatakan, bahwa Sang Juru Selamat itu adalah Isa al Masih,"
NU dibawah komando Gus Dur pelan-pelan bermetamorfosis menjadi kekuatan baru pembela Pancasila yang sesungguhnya. Bukan pengusung Pancasila yang munafik; mulutnya menyatakan Pancasila namun hatinya menginginkan tegaknya syariat Ialam.
Dalam pikiran saya, NU seperti tengah membayar hutang masa lalunya terhadap Pancasila. Pembayaran itu tidaklah mudah karena hingga detik ini, masih ada tiga kelompok dalam NU terkait penerimaan Pancasila; menolak, lamis, dan menerima sepenuhnya.
Saya ada di kelompok terakhir. Entah Anda.(*)

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...