Setelah membikin "keributan," di GKI Jombang, aku kini berangkat menuju Purwokerto. Di kota tersebut aku diajak Pdt. Maria dan Pdt. Dimas untuk bikin goro-goro; memperkuat relasi Kristen-Islam dengan cara mendiskusikan topik yang agak-agak nyrempet bahaya, yakni menyangkut kenaikan Yesus/Isa.
Aku harus mencatat, topik polemis antara Islam-Kristen biasanya cenderung dihindari. Takut nanti malah gegeran. Ketakutan itu aku kira wajar karena sangat mungkin muncul dari model pemikiran yang sejak awal bias dan cenderung kaku dalam melihat sebuah persoalan. Bias dalam arti; pemikiran tertentu selalu lebih dianggap lebih unggul ketimbang lainnya, dan kebiasan ini, lebih jauh, diterapkan kaku tidak hanya secara murni, namun juga sepenuhnya konsekuen.
Jadinya ya mesti gegeran, ilok-ilokan, krayah-krayahan, dan cokotan-cokotan. Apalagi hingga saat ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi belum punya kewenangan untuk menangani perselisihan pandangan, misalnya, "Apakah Yesus/Isa dinaikkan setelah atau sebelum ia mati?" Bagi Kristen, jawabannya sudah sangat jelas. Namun bagi hampir semua Muslim Indonesia, pertanyaan itu akan ditimpali dengan pertanyaan lain, "Memang kata siapa Isa sudah mati? Ia masih hidup kok sampai sekarang,"
Biasanya, Diskusi kemudian akan sepenuhnya bergeser pada lorong gelap seputar tiga hal menyangkut dirinya; kematian, penyaliban, dan, yang paling penting adalah, aspek keilahiannya.
Dalam pengajaran Islam tentang Isa/Yesus, kami tidak dididik mengetahui model lain memahami sosok ini, selain dari yang kami miliki, yakni sejenis keyakinan yang merupakan penggabungan dari unsur Gnostik, Arian, Jullian of Hellicarnasus Menophysite Seven Antioch dan unsur Nestorian. Bagi kalian yang tidak cukup paham, ini mungkin mirip resep membuat margarita atau mojito.
Nah, akibat dari absennya pengajaran model pemahaman lain tentang Isa maka kami kerap sedikit gelagapan dan terseok-seok memahami Isa, misalnya, dari sudut pandang trinitarian yang terkenal highly sophisticated, canggih, meliuk-liuk, dan berlapis-lapis. Bandingkan dengan cara pandang unitarian ala rata-rata Muslim yang cenderung straight-forward; nek ijo yo ijo, nek abang yo abang, bukan ijo yang abang atau abang yang ijo.
Lalu mana yang benar dari cara pandang tersebut? Menurutku, pertanyaan itu justru tidak tepat karena sama artinya dengan mempertanyakan; antara MU dan Barcelona, mana yang disebut sepakbola.
Pemain MU akan sedikit kesulitan dengan tiki-taka a la Barca jika ditransfer ke sana. Pun, tidak mudah bagi pemain Barca untuk menerima kick-and-rush model premier league.
Pemain garis lengkung akan bersabar dan beradaptasi dengan dua model iklim permainan tadi. Baginya, mempelajari tiki-taka dan kick-n-rush justru malah memudahkannya menentukan strategi memenangkan pertandingan. Baginya, semakin banyak stok strategi, semakin baik.
Namun bagi pemain-garis-lurus, pilihan tiki-taka atau kick n rush adalah harga mati. Baginya, fanatik pada strategi tertentu --dan menutup pintu mempelajari strategi lain-- merupakan cara terbaik menyelamatkannya dan komunitasnya dari kekalahan.
Anda pemain yang mana?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Featured Post
JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN
Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...
-
Dalam tradisi Islam, sosok Maryam (mamanya Yesus/Isa) sangatlah mentereng. Pangkatnya; perempuan terbaik sejagad raya ( was thofaki ‘ala nis...
-
Buya Syukur telah gugur di medan laga bangsa yang tidak baik-baik saja. Serangan intoleransi atas nama kemegahan agama seperti tak pernah su...
-
Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya di Facebook, mengisi acara seminar di sekolah menengah pertama (SMP) merupakan pengalaman pertamaku...
No comments:
Post a Comment