Pages

Wednesday, July 24, 2019

Indonesia dan Misteri Kresek Hitam di Klasis Jakarta I

Kira-kira dua jam setelah sesi, panitia memberiku kresek hitam, isinya sungguh sangat mengagetkanku.

**

"Saya heran dan merenung; ribuan kali kalian didiskriminasi, dipersekusi, dihinakan, kok masih saja tetap krasan bergaul dengan kami di Indonesia. Masih tetap rela dan baik kepada kami. Ini menjadi perenungan teologis bagi saya," aku berkata pada puluhan pendeta dan majelis gereja GKI Klasis Jakarta I di salah satu hotel di kawasan Kramat Raya, Jumat (19/7).

Aku diminta secara khusus untuk menghantar sesi diskusi selama 2 jam. Topiknya "Merumuskan ulang suka cita dalam kepelbagaian," Mungkin aku satu-satunya orang Islam yang diundang berbicara di forum agung itu.

Di hadapan mereka aku bicara blak-blakan menyangkut dua aspek penting penyulut kekerasan dan intoleransi terhadap kekristenan di Indonesia.

Pertama adalah menyangkut doktrin teologis Islam yang hingga sekarang tidak bisa move on perihal klaim keselamatan dan kebenaran. Lebih dari 1430 tahun telah berlalu namun tidak ada perubahan signifikan menyangkut perumusan ulang atasnya. Kafir, kafir dan kafir selalu dihujankam kepada penganut selain Islam beserta konsekuensi logis kehidupan bermasyarakat.

Kedua, menyangkut kekuatiran banyak orang Islam Indonesia akan dijadikannya negara ini menjadi negara Kristen. Kekuatiran ini tentu agak menggelikan namun sayangnya hal ini tak pernah secara serius dibincang dan diurai lebih dalam hingga memunculkan kesalahpahaman.

Padahal apa yang selama ini dilakukan gereja dalam konteks NKRI, menurutku, justru ingin memastikan NKRI tidak jatuh menjadi negara Islam, namun kelompok Islam malah menganggapnya sebagai penghalang terbentuknya imperium Islam di Indonesia.

"Saya ingin melihat sejarah dari perspektif yang katakanlah antimainstream, bahwa selalu dikatakan kelompok Islam merupakan yang paling berjasa atas NKRI. Saya katakan, faktanya tidak sesederhana itu," aku kembali menandaskan.

Melihat lini masa sejarah, setidaknya ada 3 kali keberhasilan penggagalan Islamisasi NKRI di mana gereja (kelompok Kristen, juga Katolik) berperan sangat penting. Pertama, saat Piagam Jakarta coba diajukan pada tahun 1945. Kedua, pada saat kelompok Kristen bersama kalangan Nasionalis berhasil mengungguli faksi Islam di Konstituante saat perumusan dasar negara baru paruh akhir tahun 1955. Ketiga, saat Pilpres yang baru saja kita lalui.

"Ini adalah modalitas besar bagi konfidensi gereja untuk mengambil peran lebih aktif dalam merespon  situasi kontemporer intoleransi. Saya ingin ibu/bapak di sini bisa bercerita ke anak-cucu betapa gereja punya reputasi mentereng dalam soal ini," lanjutku, "agar mereka tahu sejarah agamanya dalam mempertahankan NKRI,"

Aku meminta peserta agar menjadikan gerejanya lebih militan lagi, bersatu padu dengan kelompok nasionalis dan Islam Progresif untuk menjaga kepelbagaian di Indonesia. "Ini perjalanan berat bagi kami orang Islam. Jangan pernah patah semangat dan menyerah pada kenakalan kami," aku agak memelas dan memohon. Entah apa yang ada di benak mereka. Aku tidak peduli.

Pak Sani, professor teknik dari Univ. Parahyangan Bandung, yang menjadi moderatorku membuka dua sesi pertanyaan. Banyak sekali yang merespon, hingga waktunya lebih dari dua jam. Jika tidak dihentikan, diskusinya mungkin bisa berlarut-larut.

"Okay mari kita akhiri sampai di sini," kata Pak Sani. Namun aku buru-buru menginterupsinya agar diberikan kesempatan mengucapkan kalimat penutup.

"Nganu.. Jika boleh, saya meminta forum ini ditutup dengan doa yang dipimpin pendeta paling senior di forum ini" ungkapku. Permintaanku diloloskan. Pak Sani kemudian meminta Pdt. Anton Pardosi memimpin. Doa dilarung dengan khidmat.

Setelah acara selesai, Loudy, salah satu panitia, tiba-tiba menanyai warna kesukaanku. "Aku lebih suka merah ketimbang hitam," jawabku pendek. Aku berfikir kaos acara ini akan terbuat dari kain adem dan nyaman. Lumayan untuk ganti baju selama perjalanan panjang.

Sejam kemudian bang Pontas, ketua panitia acara, menyerahkan kresek hitam berisi kotak. "Supaya Gus Aan bisa segera berkomunikasi dengan keluarga di rumah. Terimalah, gus," katanya dengan logat Batak kental.

Ternyata isinya bukan kaos yang aku kira sebelumnya.(*)