Pages

Wednesday, August 28, 2019

SAAT NAHDLIYYIN MENJADI SAKSI PERKAWINAN GKI dan HKBP

Hampir 50 tahun beragama Islam dengan rekam jejak 19 tahunan bergerak di isu lintas iman, baru kali ini aku terlibat dalam urusan administrasi perkawinan Kristen.

Aku dijadikan salah satu saksi perkawinan Lia dan Erwin. Saksi lainnya adalah Susi Indraswari, penggerak GUSDURian Jombang. Keterlibatanku sebagai saksi di sana bukanlah sekedar sebagai saksi sebagaimana orang yang menyaksikan karnaval atau perpindahan ibukota.

Kesaksiaanku formal. Nama dicatat. KTP diverifikasi. Orangnya juga harus hadir. Kesaksiaanku adalah by law. Tertera jelas nama dan agamaku; Moh. Anshori, S.H. - Islam (notok). Dibacakan di hadapan forum sembari diakhiri, "Benar demikian?" kata petugas.

https://www.facebook.com/1561443699/posts/10219307753075534/?app=fbl

Lia adalah ....

dosen UC, Tionghoa, pernah Perkantas, jemaat GKI Jombang dan alumni Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) pertama di kota Santri. Sedang Erwin; Batak dan bergereja di HKBP. Marganya Bagariang yang konon terlarang kawin dengan Situmeang, Marbun, Simanungkalit, Hutahuruk, dan Sitohang. Untuk kepentingan perkawinan, Lia mendapat marga Manalu.

Pemberkatan keduanya dilakukan di HKBP ressort Pasar Minggu oleh Pdt. Ruth Betty Agustina br Pandjaitan, setahun lalu kira-kira. Aku tahu karena pegang dokumennya.

Aku masih ingat mengajak banyak teman-teman GUSDURian Jombang datang ke perayaan perkawinan mereka, bersamaan dengan halal bi halal tahun lalu. Perayaan semakin meriah karena teman-teman waria Jombang juga datang. Aku ajak mereka.

Tiba di Dispendukcapil Jombang, kami langsung antri. Dapat urutan ketiga dari total empat pasangan yang akan dilayani pagi ini. Setelah dipanggil, kami semua masuk ke dalam ruangan mirip persidangan. Tiga orang petugas duduk di depan, bangkunya lebih tinggi.

"Saya baru pertama kali mengalami hal seperti ini, sebagai muslim berusia hampir 50 tahun. Saya kira perjumpaan seperti ini penting untuk mengajarkan toleransi. Terima kasih," tiba-tiba saya nyerocos menerobos keheningan saat tanda tangan kehadiran diedarkan.

Dalam hukum Islam (fikih) klasik, keterlibatanku di perkawinan ini pasti agak bermasalah. Aku akan dianggap mempercayai sekaligus meneguhkan perkawinan dalan agama yang dianggap musyrik -- menyembah selain Allah yang Esa. Aku akan dilabeli sebagai pendosa.

Akan tetapi sebagai orang yang tidak hanya berkecimpung dalam hukum Islam namun juga bergaul dan sedang mempelajari kekristenan, juga agama lain, aku merasa Kristen jauh dari status musyrik, apalagi kafir. Mereka adalah orang beriman.

Perkawinan Rasulullah Muhammad dan Khadijah tidak diselenggarakan dalam instrumen keislaman ketat seperti sekarang. Mereka berdua tunduk dalam perkawinan adat yang tidak menyinyiri perempuan dengan status sosial dan ekonomi melebihi pasangannya.

Saksi-saksi mereka juga beragama lokal dan Kristen Timur. Khadijah sendiri, perempuan terhormat dan menjunjung tinggi feminisme, besar dan dididik dalam kultur non-Islam. Sedikit cerita menarik perkawinan Khadijah dan Rasulullah bisa diakses dalam tulisanku https://locita.co/esai/seandainya-khadijah-ikut-women-march

Maka sesungguhnya, jika mau merujuk pada imaji perkawinan awal Rasulullah, apa yang aku lakukan di Dispendukcapil tergolong masih "ringan,"  Sayangnya, kultur pendidikan klasik Islam di Indonesia masih terpenjara dalam dogma belakangan yang sangat kuat. Tidak mendidik pengikutnya mengeksplorasi berbagai hal untuk kebaikan peradaban. Ah, tak mengapa.

"Apakah perkawinan ini atas kehendak sendiri atau orang lain," tanya petugas pencatat perkawinan, seperti seorang hakim.
"Kemauan sendiri," jawab Erwin.
Pertanyaan serupa juga dilawatkan ke Lia. Jawabnya juga sama " Kehendak sendiri,"

Perkawinan Kristen hari ini memperlihatkan padaku betapa sistem ini memberikan kemerdekaan kepada mempelai, utamanya perempuan, untuk berbicara atas namanya sendiri. Menjawab sendiri, tidak dimakelari oleh orang lain.

Dalam perkawinan Islam Sunni yang aku pernah ikuti dan alami, mempelai perempuan dimanjakan sistem; ia tidak akan ditanya atau berhak berbicara selama proses. Ayahnyalah, atau wali, yang membereskan semuanya, termasuk meminta bantuan petugas KUA untuk mengadakan akad "transaksi," Mempelai perempuan dicomblangi oleh dua agen; ayah dan penghulu. Sedang hal itu tidak berlaku bagi mempelai laki-laki.

Setiap agama dan keyakinan punya sistem nilai dan ritual tersendiri. Itu sebabnya kita bisa dianalisa secara terbuka, termasuk untuk menemukan; mana aspek pinggiran dan mana inti; mana yang harus ada (tsabit), mana yang boleh berubah (mutahawwil).

Lia dan Erwin telah memberiku, seorang Nahdliyyin, kesempatan melihat dari dekat sekaligus terlibat dalam etape penting dalam kehidupan mereka. Aku belajar banyak dari proses ini dan merasa terhormat. Itu sebabnya aku menggunakan baju yang sangat jarang aku pakai; seragam pengurus NU saat Muktamar NU Makassar 2010.

I am happy for both of you Muliasari Kartikawati Manalu & Erwin Bagariang.

Friday, August 16, 2019

SALIB SOMAD; MENJADI DRAKULA ATAU MANUSIA?

Teman-teman Kristianiku yang terkasih,

Konten video Ustadz A. Somad (UAS)  sungguh tidak sensitif terhadap simbol suci kalian. Meski disampaikan dalam forum tertutup, namun melihat lelaki ini memaparkan opininya disertai mimik merendahkan dan disambut tawa meremehkan dari pendengarnya membuatku pilu.

Aku tahu pasti banyak di antara kalian yang kuat mendengar ocehan sinis UAS, namun tetap saja aku membayangkan akan sangat banyak warga Kristen mendidih darahnya dan terluka saat simbol dan junjungannya diolok.

UAS telah secara tepat mengcopy-paste pandangan para Islamist klasik menyangkut salib. Sangat mungkin mereka dan dirinya pernah punya pengalaman kelam berkaitan dengan salib. Barangkali mereka pernah kesurupan, susah tidur, atau mendadak adem panas ketika melihatnya.

Atau, bisa juga mereka memang melihat jin "kafir," raksasa muncul mengiringi salib. Jika demikian halnya, kita malah justru harus mengasihani dan mendorong mereka; agar mau belajar mengetahui lebih banyak lagi, agar tidak kesurupan lagi.

Tapi, namanya juga orang kesurupan, mereka pasti tidak ingat jika Alloh SWT. telah mewanti-wanti umat Islam agar tidak menghina sesembahan agama lain.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 6:108)

Bayangkan jika junjungan Islam, Allah dan Nabi Muhammad, direndahkan setara dengan apa yang dilakukan UAS terhadap salib dan Yesus. Rasanya pasti sangat melukai.

Namun aku harus jujur kepada kalian. Apa yang UAS sampaikan merupakan doktrin mainstream di kalangan Islam Indonesia, setidaknya yang beraliran Sunni. Sangat banyak orang Islam yang mengikuti doktrin tersebut, tidak hanya pengikut mantan 02 namun juga eks 01.

Kita tak perlu menjadi seorang ilmuwan untuk mampu menyatakan bahwa doktrin seperti ini akan merawat cara pandang bias dan prasangka Islam terhadap kekristenan dengan implikasi yang sangat serius; perendahan, diskriminasi, intoleransi dan, yang paling menakutkan, tegaknya negara Islam di Indonesia.

Sayangnya, hingga hari ini, rasanya belum ada satu pun sarjana Islam Indonesia yang berani mengajukan wacana tanding atas konservatisme hukum Islam (fiqh) menyangkut salib. Ini agak menyedihkan manakala kita tahu Negara kita, melalui pajak yang kita bayar, telah mengeluarkan triliunan rupiah guna membiayai beasiswa ribuan Muslim agar lebih rasional dan berani bertindak adil.

Konservatisme pandangan Islam atas salib senyata telah menjadikan banyak muslim bak drakula dan vampire dalam film-film Hollywood. Keduanya kerap lari terbirit-terbirit ketika salib disorongkan ke muka mereka berdua. Menggelikan.

Aku berdosa jika mengatakan aku tidak pernah dirawat dalam konservatisme tersebut. Benarlah adanya, aku memang pernah dijaga dan dirawat sangat lama olehnya, hingga kemudian bisa mengkonfirmasi keberadaan "jin kafir," sebagaimana tuduhan UAS.

Lebih dari 15 tahun terakhir ini aku, dengan segenap keislaman dan kesantrianku, blusukan ke gereja, kuburan Kristen, paroki, rumah warga Kristen, maupun pastori. Bahkan, tak jarang aku menginap, membuat acara dan makan bersama orang-orang Kristen. Aku pasti menemukan banyak salib dalam berbagai ragam.

Yang mengejutkanku, tak pernah sekalipun aku bertemu jin kafir --baik dalam arti metafisik maupun metaforik. Metafisik merujuk pada perwujudan bentuk gendruwo atau aneka reinkarnasi makhluk jahat adi-kodrati. Sedangkan metaforik bermakna simbolisasi kejahatan dan keangkaramurkaan yang dianggap melekat pada siapa saja yang mengimaninya.

Justru sebaliknya aku menjumpai hangatnya persahaban dan tulusnya persaudaraan. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Tidak sekalipun mereka berupaya mengkonversiku masuk agamanya. Malahan tak sedikit yang cukup gigih mengingatkanku saat waktu shalat tiba.

Saat berjumpa dengan mereka, aku belajar banyak hal positif dalam Alkitab, utamanya menyangkut budi pekerti, kemanusiaan dan cinta kasih serta keadilan. Sungguh benarlah adanya firman Alloh SWT. yang meminta Muslim untuk menaruh perhatian serius (mengimani) kitab-kitab suci sebelum alQuran, sebagaimana disinggung QS. 2:1-4. Bagiku, ayat itu sangat sakti; bisa memprosesku dari drakula menjadi manusia.

UAS mungkin tidak memiliki teman Kristen yang cukup sehingga tidak pernah mencecap pengalaman itu. Sekali lagi, ia harus dikasihani. Usulku, lawatlah dia. Ajak ngopi dan undang dia berbicara di gereja, semoga ia cukup berani.

Aku sepenuhnya menyadari ketakutan banyak umat Islam terhadap salib lebih dikarenakan dogma klasik berbasis pengalaman masa lalu. Bagiku, satu-satunya cara mematahkan dogma tersebut adalah melalui perjumpaan Islam-Kristen secara terus menerus. Harus ada keberanian untuk melakukan hal itu.

Berbekal pengalaman yang aku punyai, dalam kurun waktu 3 tahun ini, aku telah mengajak ratusan anak muda Islam berhijrah; mengunjungi gereja, bertemu salib dan mempersilahkan mereka memandanginya.

Alhamdulillah, mereka tidak hanya tetap muslim namun justru semakin teguh pada iman barunya; iman yang memahami, bukan menyalahpahami. Dengan demikian berarti mereka sudah sembuh, tidak lagi seperti drakula yang kelimpungan ketika menjumpai salib. ِMaka nikmat Tuhan kami yang manakah yang kami dustakan?

Teman-temanku Katolik dan Protestan, ampunilah UAS meski aku tahu ini sangat tidak mudah. Percayalah, hanya sosok rendah hati yang akan mewarisi bumi Indonesia. Bukan para drakula.

Kami, para GUSDURian, bersama kalian.