Heroik itu seperti apa? Bagiku; siapapun yang berani mengambil resiko menghadapi ketakutannya, maka aksi tersebut adalah heroik. Persis seperti yang dialami oleh adik-adikku; Indah, Rahma dan Latief kemarin, Rabu (26/12).
Setelah selesai mengisi acara di Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) Bojonegoro, aku balik ke Jombang diantar mobil kampus. Dikawal 5 orang, termasuk ketiganya. Aku harusnya diantar ke Pasar Babat untuk selanjutnya ngebis ke Jombang.
Namun aku meminta mereka mengantarku ke GKJW Sumbergondang Bluluk Lamongan. Jaraknya dari Bojonegoro sekitar 60an kilometer.
"Eh ada nggak diantara kalian yang belum pernah ke gereja?" tanyaku di mobil.
"Saya gus," kata Rahma.
"Aku juga belum pernah, gus" kata Indah.
Aku agak kaget mendengar pengakuan mereka, mengingat mereka cukup dekat dengan PMII --Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia-- organisasi mahasiswa yang dikenal cukup moderat. Aku kemudian mewartakan kabar gembira bahwa perjalanan ini menuju gereja.
"Ini akan menjadi momen bersejarah dalam hidup kalian," timpalku.
"Saya juga belum pernah, gus" kata Latief sang sopir. Menurutnya gereja dalam dogma yang ia terima adalah tempat yang mengerikan; seseorang (muslim) akan diberi minum, dihipnotis, dan dikristenkan.
Aku tak kuat menahan tawaku mendengar hal tersebut. Namun buru-buru aku minta maaf karena aku merasa tidak sopan menertawakan hal ini.
Keinginanku untuk mematahkan doktrin tersebut semakin meluap. Aku memang paling sebal melihat orang dibohongi apalagi jika dimaksudkan agar ia membenci orang lain. Mengutip omongan Cinta le Rangga; itu jahat!
**
Setelah berkendaraan sekitar satu jaman, akhirnya kami tiba di pasar Tanjung Ngimbang. Kami harus menempuh perjalanan melalui jalan kampong sejauh 6-7 kilometer hingga tiba di GKJW Sumbergondang.
“Kita mampir dulu ke rumah pendetanya ya,” kataku sembari meminta Latief memarkir mobil di rumah depan gereja, rumah Pdt. Nugroho. Raut kelaparan sangat tampak di muka mereka. “Nanti ada makanannya, gus?” Aku jadi teringat pertanyaan salah satu dari mereka saat di mobil.
Setelah memperkenalkan mereka dengan Pdt. Nugroho, Mbak Menik dan putri tunggal mereka, Ruth, aku mengajak mereka menuju gereja. Berjalan kaki. Pdt. Nugroho sendiri yang memandu kami, membuka gerbang dan pintu gereja.
Aku melihat dekorasi sisa perayaan Natal masih terpasang di altar dan tergantung di langit-langit gereja. “Ah masih saja tidak berplavon gereja tua ini,” gumamku dalam hati. Gereja ini memang tak memakai plavon sehingga gentingnya terlihat.
Aku langsung duduk santai di kursi panjang paling depan.Mencoba beristirahat sejenak. Aku biarkan anak-anak PMII berjalan-jalan di dalam gereja. Mata mereka terus mengamati setiap sudut gereja, seakan ingin memastikan diri mereka akan baik-baik saja.
“Ayo, duduklah di sini. Dekatku. Biar kalian lebih tenang,” teriakku.
Beberapa wajah mereka memang tampak sedikit tegang. Maklum ini pengalaman mereka pertama kali.Rahma dan Indah duduk di dekatku. Mata mereka masih saja menscan apa saja yang ada dalam gereja.
Tak seberapa lama Mbak Menik dan Ruth bergabung dengan kami. Obrolan meluncur kemana-mana, utamanya seputar sejarah gereja yang usianya lebih dari 125 tahun ini. Pelan-pelan, ketegangan mulai mencair dari raut muka mereka.
Aku harus berterima kasih pada Ruth. Anak kelas 4 SD ini punya jasa besar melumerkan ketegangan Rahma dan Indah. Ia menempel terus keduanya, mengajaknya bermain. Ruth seperti sedang menemukan kakak perempuan baru. Wajarlah karena ia anak tunggal.
Tiba-tiba ia mengambil boneka berselimut kain putih. “Itu replika bayi Yesus untuk drama kemarin ya, Ruth?” tebakku. Dia mengangguk sembari langsung menuju Rahma dan Indah. Ditunjukkannya boneka tersebut. Rahma ikut menggendongnya, Ruth tampak senang. Mereka pun tertawa-tawa.
“Ayo balik ke rumah tadi. Kita makan,” ajakku ke rombongan.
Mbak Menik memang telah menyiapkan makanan untukku. Ia memasak belut. Masakannya ditambah karena aku mengabari akan membawa beberapa anak PMII yang ingin main ke gereja. Ia sangat senang mendengar hal itu. Aku dan anak-anak PMII membantu menyiapkan makan malam di ruang tamu. “Jangan dimakan dulu ya. Kita berdoa,” kataku saat melihat tangan-tangan mereka begitu aktif mendekati makanan yang tersedia.
Setelah Pdt. Nugroho memimpin doa makan, barulah kami menyantap tanpa komentar. Lima menit saat kami makan, aku berseloroh “Guys, kalian yakin makanan ini tidak mengandung babi?” Sontak mereka agak terkejut. Aku tertawa-tawa meneruskan makan. Mereka pun ikut tertawa.
**
Sore itu aku melihat aksi heroik yang jauh dari kesan kepahlawan a la narasi mainstream. Rahma, Latief dan Indah tidak malu mengakui kelemahan dan ketakutannya serta, yang lebih penting, berani dengan gagah menghadapinya.
Bagiku itu heroik.
-- warkop JokTing