Pages

Saturday, December 28, 2019

HEROIK A LA RAHMA, LATIEF DAN INDAH


Heroik itu seperti apa? Bagiku; siapapun yang berani mengambil resiko menghadapi ketakutannya, maka aksi tersebut adalah heroik. Persis seperti yang dialami oleh adik-adikku; Indah, Rahma dan Latief kemarin, Rabu (26/12).

Setelah selesai mengisi acara di Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) Bojonegoro, aku balik ke Jombang diantar mobil kampus. Dikawal 5 orang, termasuk ketiganya. Aku harusnya diantar ke Pasar Babat untuk selanjutnya ngebis ke Jombang. 

Namun aku meminta mereka mengantarku ke GKJW Sumbergondang Bluluk Lamongan. Jaraknya dari Bojonegoro sekitar 60an kilometer. 

"Eh ada nggak diantara kalian yang belum pernah ke gereja?" tanyaku di mobil.
"Saya gus," kata Rahma.
"Aku juga belum pernah, gus" kata Indah.

Aku agak kaget mendengar pengakuan mereka, mengingat mereka cukup dekat dengan PMII --Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia-- organisasi mahasiswa yang dikenal cukup moderat. Aku kemudian mewartakan kabar gembira bahwa perjalanan ini menuju gereja. 

"Ini akan menjadi momen bersejarah dalam hidup kalian," timpalku.

"Saya juga belum pernah, gus" kata Latief sang sopir. Menurutnya gereja dalam dogma yang ia terima adalah tempat yang mengerikan; seseorang (muslim) akan diberi minum, dihipnotis, dan dikristenkan. 

Aku tak kuat menahan tawaku mendengar hal tersebut. Namun buru-buru aku minta maaf karena aku merasa tidak sopan menertawakan hal ini. 

Keinginanku untuk mematahkan doktrin tersebut semakin meluap. Aku memang paling sebal melihat orang  dibohongi apalagi jika dimaksudkan agar ia membenci orang lain. Mengutip omongan Cinta le Rangga; itu jahat!

**
Setelah berkendaraan sekitar satu jaman, akhirnya kami tiba di pasar Tanjung Ngimbang. Kami harus menempuh perjalanan melalui jalan kampong sejauh 6-7 kilometer hingga tiba di GKJW Sumbergondang. 

“Kita mampir dulu ke rumah pendetanya ya,” kataku sembari meminta Latief memarkir mobil di rumah depan gereja, rumah Pdt. Nugroho. Raut kelaparan sangat tampak di muka mereka. “Nanti ada makanannya, gus?” Aku jadi teringat pertanyaan salah satu dari mereka saat di mobil. 

Setelah memperkenalkan mereka dengan Pdt. Nugroho, Mbak Menik dan putri tunggal mereka, Ruth, aku mengajak mereka menuju gereja. Berjalan kaki. Pdt. Nugroho sendiri yang memandu kami, membuka gerbang dan pintu gereja. 

Aku melihat dekorasi sisa perayaan Natal masih terpasang di altar dan tergantung di langit-langit gereja. “Ah masih saja tidak berplavon gereja tua ini,” gumamku dalam hati. Gereja ini memang tak memakai plavon sehingga gentingnya terlihat. 

Aku langsung duduk santai di kursi panjang paling depan.Mencoba beristirahat sejenak. Aku biarkan anak-anak PMII berjalan-jalan di dalam gereja. Mata mereka terus mengamati setiap sudut gereja, seakan ingin memastikan diri mereka akan baik-baik saja. 

“Ayo, duduklah di sini. Dekatku. Biar kalian lebih tenang,” teriakku. 

Beberapa wajah mereka memang tampak sedikit tegang. Maklum ini pengalaman mereka pertama kali.Rahma dan Indah duduk di dekatku. Mata mereka masih saja menscan apa saja yang ada dalam gereja. 

Tak seberapa lama Mbak Menik dan Ruth bergabung dengan kami. Obrolan meluncur kemana-mana, utamanya seputar sejarah gereja yang usianya lebih dari 125 tahun ini. Pelan-pelan, ketegangan mulai mencair dari raut muka mereka. 

Aku harus berterima kasih pada Ruth. Anak kelas 4 SD ini punya jasa besar melumerkan ketegangan Rahma dan Indah. Ia menempel terus keduanya, mengajaknya bermain. Ruth seperti sedang menemukan kakak perempuan baru. Wajarlah karena ia anak tunggal. 

Tiba-tiba ia mengambil boneka berselimut kain putih. “Itu replika bayi Yesus untuk drama kemarin ya, Ruth?” tebakku. Dia mengangguk sembari langsung menuju Rahma dan Indah. Ditunjukkannya boneka tersebut. Rahma ikut menggendongnya, Ruth tampak senang. Mereka pun tertawa-tawa.

“Ayo balik ke rumah tadi. Kita makan,” ajakku ke rombongan. 

Mbak Menik memang telah menyiapkan makanan untukku. Ia memasak belut. Masakannya ditambah karena aku mengabari akan membawa beberapa anak PMII yang ingin main ke gereja. Ia sangat senang mendengar hal itu. Aku dan anak-anak PMII membantu menyiapkan makan malam di ruang tamu. “Jangan dimakan dulu ya. Kita berdoa,” kataku saat melihat tangan-tangan mereka begitu aktif mendekati makanan yang tersedia. 

Setelah Pdt. Nugroho memimpin doa makan, barulah kami menyantap tanpa komentar. Lima menit saat kami makan, aku berseloroh “Guys, kalian yakin makanan ini tidak mengandung babi?” Sontak mereka agak terkejut. Aku tertawa-tawa meneruskan makan. Mereka pun ikut tertawa. 

**
Sore itu aku melihat aksi heroik yang jauh dari kesan kepahlawan a la narasi mainstream. Rahma, Latief dan Indah tidak malu mengakui kelemahan dan ketakutannya serta, yang lebih penting, berani dengan gagah menghadapinya. 

Bagiku itu heroik.

-- warkop JokTing

Wednesday, December 25, 2019

MELUNASI JANJI DI GKI DAN GKJW KOTA SANTRI


Kemarin aku menulis status panjang. Status tentang janjiku pada muslimah milenial perempuan untuk mendampinginya masuk gereja, pertama kali dalam hidupnya. Perempuan itu bernama Jihan. Ia yang memakai jilbab di sampingku.

Aku tunaikan janjiku malam ini padanya, di GKI Jombang.

"You are gonna be fine, with me. I will not let you walk alone," aku mengucapkan padanya.

Jihan dan Ainur --yang berkopiah- datang menjemputku di rumah. Keduanya ikut menata roti yang aku pegang. Meletakkan lilinnya dan mengiris roti. 

Roti itu aku beli di toko sebelah rumah bersama Cecil siang hari. Cecil pula yang memilih warna roti dan lilinnya. "Merah aja, Yah. Warna natal," katanya di toko roti. Penjaga toko, ABG perempuan Islam, sempat heran saat Cecil ngomong seperti itu. 


Keheranannya mungkin disebabkan Cecil mengucap "alhamdulillah" dengan keras saat bersin di hadapannya, sebelum ngomong soal Natal. "Mbaknya tadi wajahnya berubah saat aku ngomong Natal. Mungkin ia pikir 'anak ini Islam kok beli kue untuk Natal'" katanya tertawa-tawa saat aku bonceng menuju Stasiun tadi.

Kepada Jihan, aku meminta agar ia mau menuliskan pengalaman pertama kalinya masuk gereja. Pasti menyenangkan. Kepadanya pula aku mengingatkan agar ia siap-siap dirisak karena pilihannya ini. 

"Dibully itu menyenangkan lho kalau dinikmati," kataku di mobil. Keduanya tertawa terbahak-bahak.

Kami tak sampai selesai di GKI Jombang. Aku harus berada di tempat lain. WAku terus berbunyi mengingatkanku agar segera merapat ke GKJW Bongsorejo. Aku harus memberi sambutan di sana. 

"Ayo ndang mrene. Dienteni Wabup," kata Pdt. Ridha.

Maka GKJW Bongsorejo menjadi natalan kedua bagi Jihan dan Ainur malam ini. Bagaimana perasaan yang berkecamuk di dada keduanya? Entahlah. Namun Jihan sempat ngomong pendek di mobil. "Kulo mbrabak, gus," 

Mbrabak adalah bahasa jawa untuk melukiskan wajah yang sedang menahan air mata agar tidak ambrol. Situasi ini biasanya dipicu oleh perasaan trenyuh, takjub, senang, atau sejenisnya.

Aku terus mendengar ceritanya sembari membatin "Janjiku telah terlunasi."

Inilah ceritaku kemarin malam. #natalangusdurian #gusduriannatalan

Sunday, December 22, 2019

MENUKAR DOA DI GKI BONDOWOSO


Rekor terbaikku dimintai doa lintas agama adalah ketika menghantar emeritasi Pdt. Prof. Gerrit di GPIB Malioboro beberapa bulan lalu. Sebelumnya, saya kerap memimpin doa umum lintas agama, mewakili orang Islam. 

Namun kemarin malam, Sabtu (21/12), ada permintaan agak unik dari kawanku, Pdt. Martin, yang melayani di GKI Bondowoso. 

"Aku nang grejo, gus. Persiapan natalan. Tak tunggu ndek sana ya. Tolong arek-arek diberi doa agar persiapan natal kami lancar," begitu kira-kira tulinya di WA. Aku hanya ngakak saja. 

Hari itu, aku sudah niatkan untuk mampir ke GKI Bondowoso. Tiga kali aku ke Bondowoso namun belum pernah ke gerejanya Marti. Padahal aku berkali-kali bekerja bersamanya di banyak event. Maka, setelah mengisi acara BAMAG setempat di GPIB Bondowoso, aku meminta Afif, kordinator GUSDURian setempat, mengantarku. 

"Nggak pakai helm, Fif," tanyaku.
Ia hanya meringis. "Aman mas,"

Aku pun tiba di gereja mungil. Martin menyambutku dan mengantarkan ke dalam. Aku melihat beberapa remaja sedang berlatih menyanyi. Yang lainnya sibuk menata dekorasi. 

Orang Kristen itu seperti film India. Kawinan, nyanyi. Berduka, nyanyi. Pokoknya tidak ada satupun ritual yang meninggalkan nyanyian. "Pantas kalian terlihat tegar meski kerap dipersekusi," godaku. Mereka tertawa.


Saya kemudian ngobrol dengan nonik-nonik yang ada di sana. Mereka bercerita tentang persekusi yang dialami saat di sekolah. "Dulu pas aku ikut pelajaran agama, guruku tiba-tiba menyuruhku syahadat. Yo tak jawab; yak apa nek bapak ae sing masuk Kristen," ujarnya disambut tawa kami.

Martin selanjutnya meminta pemain musik melakukan perform lagu di hadapanku. Saya tahu, ia ingin menghormatiku dan Afif sebagai tamu. Ia suguhkan sebuah lagu. Ia sendiri yang menyanyi. Suaranya bagus sekali. Membuatku iri.

"Opo iku judule?" tanyaku setengah berbisik kepada nonik yang duduk di belakangku. 
"Atas Bumi nan Permai," jawabnya pendek.

Waktu semakin larut. Aku harus bergeser ke Library Cafe di pinggiran kota untuk memantik diskusi seputar Gus Dur dan Natal. Puluhan anak-anak GUSDURian sudah menunggu. Aku berharap Pdt. Martin segera menerima pamitku dan tidak menagih doaku. 

Ternyata aku salah.

"Rek..rek.. Ayo ngumpul mrene. Kita minta Gus Aan berdoa untuk kelancaran persiapan natal kita," ujarnya sembari memegang mic.

Aku berfikir keras, apa yang harus aku sampaikan dalam doa ini. Aku tidak mau doa biasa-biasa saja. Berbahasa Arab, membiarkan mereka tidak paham dan aku langsung bisa pergi secepatnya. "Tidak. Aku tak mau seperti itu. Aku ingin doaku berkesan dan dipahami," batinku. 

"Bro, iki serius tah?" aku mengkonfirmasi lagi.
"Lho serius iki," ujarnya
"Cara Islam?" aku memastikan
"Cara Islam," Martin menjawab mantap.

Ia serahkan mic ke aku. Memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kananku membuka al-Quran. Aku pilih satu ayat, membaca potongan tiap kata berbahasa Arab dan langsung aku terjemahkan Indonesia, seperti orang yang sedang membaca kitab kuning.

"Idz qolati malaikatu/ ketika malaikat berkata. Ya maryamu/hai Maryam. Inna alloha/sesungguhnya Gusti, yubassiruki/memberimu kabar gembira, bikalimatihi/dengan kehadiran KalimatNya..." aku mulai membacakan firman Al-Quran menyangkut narasi kehadiran Yesus. 

Aku sengaja demikian untuk memberikan konteks doa yang aku akan naikkan. 

"Gusti, mereka ini, Pdt. Martin dan jemaatnya adalah orang-orang baik. Aku bersaksi untuk itu. Mereka bekerja siang malam untuk merayakan kelahiran seseorang yang telah Engkau firmankan dalam al-Quran. Berilah mereka kekuatan agar acara Natal mereka lancar. Aku dan Afif senang diterima mereka dengan baik. Sebagai ciptaanMu kami berdua juga merasa senang atas Natal tahun ini. Semoga perayaan ini dan perayaan lainya semakin menguatkan relasi Islam-Kristen,"

Itu salah satu potongan doa yang aku ingat. Selebihnya tersimpan dalam CCTV GKI. Mungkin. 

Pdt. Martin selanjutnya gantian mendoakan kami berdua. Aku mengamini secara khusyu', sekhusyuk waktu aku mengamini doa kiaiku.

Setelah bertukar doa. Aku pamit. 

"Gak sido turu pastoriku?" ia bertanya.
"Kapan-kapan ae yo. Aku tak nerusno turu nang Ijen," jawabku.

Aku dan Afif berlalu. Memacu motor membelah dinginnya Bondowoso menuju arena pengajian lainnya.(*)

Saturday, December 21, 2019

PERNYATAAN SIKAP JARINGAN ISLAM ANTIDISKRIMINASI (JIAD) TERKAIT PELARANGAN NATAL DI SUMATERA BARAT DAN HIMBAUAN MUI JAWA TIMUR


JIAD bersyukur peristiwa pelarangan Natal di dua kabupaten di Sumbar mencuat ke publik setelah sekian lama luput pengamatan. Pelarangan ini tidak bisa diterima, baik secara nalar maupun konstitusi. Keduanya menjamin kemerdekaan beragama/berkeyakinan sekaligus ekspresinya. 

JIAD sangat menyayangkan respon Negara yang terkesan lembek menghadapi masalah ini. Negara dan aparatusnya perlu belajar lagi tentang Pancasila dan Konstitusi; bahwa apapun perikatan/perjanjian/kesepakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi tidaklah bisa dibenarkan. 

Dulu ada kasus, seorang Katolik dilarang tinggal di pemukiman Muslim di Bantul atas dasar tradisi dan kesepakatan. Namun Negara hadir dan senyatanya menyelesaikan masalah itu. Kuncinya ada di aparat negara. Keengganan mereka justru menimbulkan spekulasi sejauhmana radikalisme menelusup di tubuh negara? 


Negara perlu segera turun tangan ikut memastikan umat Kristiani di dua kabupaten tersebut terpenuhi hak-haknya. Biarlah Natal tahun ini menjadi Natal tragis terakhir kali yang tidak boleh terulang lagi ke depannya.

Sebagai bagian dari masyarakat Islam Indonesia, JIAD menyerukan agar umat Islam berhenti menghentikan segala persekusi dan diskriminasi terhadap Kekristenan dan pemeluk agama lain. Islam tidak bisa lagi disandera untuk memuntahkan narasi egoistik penuh kebencian terhadap anak bangsa yang berbeda agama/keyakinan. Berhentilah merongrong Pancasila dan kebhinnekaan dengan membawa-bawa Islam. 

Perongrongan Pancasila lainnya muncul di Jawa Timur dalam bentuk himbauan MUI yang melarang orang Islam mengucapkan selamat Natal. Himbauan ini sangat berpotensi memecah belah keluarga besar Indonesia. Tidak ada manfaatnya sama sekali dan malah justru menimbulkan kemudlaratan. Itu sebabnya himbauan ini tidak perlu diikuti. 

Sebaliknya JiAD menyerukan kepada setiap muslim agar tidak perlu takut mengucapkan "Selamat Natal," dan menghadiri undangan perayaannya sebagaimana yang pernah dicontohkan almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan ribuan pengikutnya (GUSDURian). Dalam konteks ini, JIAD mengamini dawuh Gus Dur; semakin tinggi kadar keislaman seseorang, harusnya, semakin besar pula rasa toleransinya.



Makam Gus Dur, 22 Desember 2019.

Aan Anshori
Kordinator JIAD
085780314559 (WA)

Friday, December 20, 2019

DRAMA PEMBEBASAN DI JAZZ


Doktrin kelima dari 9 nilai utama Gus Dur adalah pembebasan. Kata ini dalam bahasa Inggris bisa dipadankan dengan "to liberate," artinya, menurut Webster, " to free (someone or something) from being controlled by another person, group, etc."

Doktrin ini, dengan demikian, mendorong setiap kader GDian untuk senantiasa bekerja melakukan pembebasan dalam hal apa saja. Misalnya, jika kamu melihat ada salah satu dari pasangan yang hidup menderita dalam relasi pacaran, maka tugasmu adalah memerdekakan salah satunya dari penderitaan. 



"Kenapa kamu tetap bersamanya padahal menderita?" tanya kader kepada Korban. 
"Aku suka dia, mas," katanya menunduk.
"Aku tahu, namun seyakin apa rasa sukamu padanya pantas dibalas dengan penderitaan seperti ini? Lihatlah, ia sedang bergandengan dengan orang lain," tambah kader.
"Duuhh mas.. Sesak dada ini," ia membuang muka.

"Kenapa kamu tidak memilih orang lain yang jelas lebih menyayangimu?" Kader terus memburu.
"Emang ada yang seperti itu?" Korban setengah tak percaya.
"Ada dong... Dia lho nggak jauh darimu. Selalu ada untukmu. Mungkin kamu tak merasakan," Kader mulai menjelaskan.
"Mas, aku tahu siapa dia namun aku tak yakin dia seperti itu. Apalagi ia telah menjadi milik orang lain," segera Korban membuang muka dari hujaman tatapan Kader.



Hujan pun mulai turun, persis yang aku alami di Warkop Kulit dekat IAIN Kediri saat ini. 

Atas budi baik Yuska, aku nebeng mobilnya menuju IAIN Kediri. Sebagai salah satu presidium GDian Jawa Timur, ia memang berencana hadir di IAIN Kediri. Dengan mengendari Jazz, kami menuju Kediri, pusat sinode denominasi "Gudang Garam" di mana aku menjadi salah satu dari jutaan jemaatnya.

Di mobil itulah aku terjebak dalam drama singkat pembebasan. Kisahnya sebagaimana gambar percakapan yang aku unggah.

Friday, December 13, 2019

AMNESIA MAKELAR NATAL


"Hai mas.. Apa kabar?" 

Tiba-tiba punggungku dicolek perempuan. Aku langsung menoleh ke belakang, melihatnya. Cantik dan bermuka teduh. 

"Hai.. Apa kabar? Selamat Natal ya," aku membalasnya dengan hangat sembari langsung berdiri. Aku masih terus berfikir siapa perempuan ini. Sejenak aku meyakini ia adalah salah jemaat Persekutuan Doa Oikukemene Kasih yang tadi malam menggelar acara Natal. Namun memoriku menyangsikannya. Wajahnya begitu familiar. Aku tak ingat pernah bertemu di mana.

"Aku sama suamiku di belakang," katanya sembari terus memegang perutnya. Aku melihat ia tampak kepayahan dengan perut yang makin membuncit. Usia kehamilan di atas 7 bulan. 

Aku melambai ke arah suaminya, tersenyum, dengan tetap dirundung pertanyaan utama; siapa sebenarnya perempuan ini; di mana kami pernah bertemu. Pikiranku terus aku genjot untuk segera menemukan siapa ia dalam belantara memoriku. Sayang gagal total. 

"Main dong ke gerejaku di Kebraon," cletuknya.

Deg...

Aku langsung ingat.

Ia adalah pendeta Batak yang pernah ikut sesiku di acara Youth, Women, and Peace Building di majelis agung GKJW beberapa waktu lalu. Aku kemudian teringat kalau ia bukan dari HKBP, HKI atau GBKP. Ia satu sinode dengan Mbak Darwita Purba, dan juga punya marga yang sama. Marga yang tak bernomor. 

Namun tetap saja aku gagal mengingat siapa namanya. 

Kami pun terlibat dalam percakapan hangat seputar kunjunganku ke Siantar beberapa waktu lalu. 

"Eh kapan gerejamu natalan?" tanyaku pada pendeta perempuan bermarga Purba yang masih belum aku ingat namanya.

"24 Desember, Mas" jawabnya.
"Natalanmu selama ini belum pernah didatangi teman-teman Muslim kan?" tebakku.

Boru Purba ini pun menggeleng.

"Ayo dong undang teman-teman Muslim. Apa nggak bosan selama ini Natalan hanya dihadiri jemaat Kristen saja?" kami pun tertawa lepas. 

"Eh sebentar kamu harus ketemu temanku," ujarku tiba-tiba sembari mencari lokasi duduk mas Irwan Putra Aidit, aktifis GP Ansor dan Banser, temanku dalam urusan lintas agama. Kebetulan rumahnya tak jauh dari Kebraon, tempat gereja GKPS berlokasi.

Aku gandeng perempuan boru Purba ini menghampiri mas Irwan yang hanya 3 meter dari tempat duduk kami. Aku memperkenalkan keduanya. 

"Gus, iki adikku, pendeta Batak di Kebraon. Tolong natalan tanggal 24 nanti dikunjungi ya. Silahkan bercakap-cakap," ujarku pada mas Irwan.

Aku pelan-pelan meninggalkan mereka yang larut dalam percakapan. Mereka tampak saling berbincang dan bertukar nomor telpon. Namun tetap saja, aku gagal mengingat namanya. Bodoh sekali aku ini. Amnesia temporer super akut.

"Namanya Pendeta Elva, Gus" kata mas Irwan berbisik padaku setelah Elva pamit pulang.

"Hati-hati di jalan ya, Elva! Jaga bayimu!" teriakku dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Ia terlihat tersenyum. 

Monday, December 9, 2019

MIRA DAN AGAMANYA


"Gus, saya Mira. Katolik. Saya datang dari Depok. Saya hanya ingin berbagi cerita saja di forum ini," ungkapnya dari  pojok belakang forum diskusi "Memaknai Kelahiran Isa Almasih," di GKI Kebayoran Baru tadi malam (7/12).

Mira dulunya Islam. Ia kemudian memutuskan berpindah ke Katolik. Tidak mudah baginya untuk hal tersebut. Ia kerap sembunyi-sembunyi untuk membaca setelah Alkitab karena takut menyakiti orang-orang terdekatnya. 

"Mbak, matur nuwun atas sharingnya. Mungkin aku salah namun menurutku tugas suci manusia adalah menjadi cahaya bagi alam raya. Berbuat baik dan nengasihi. Tidak menyakiti orang lain. Cahaya bisa berwujud apa saja. Lampu petromaks, halogen, lilin, ublik, atau bahkan krim antiaging," kataku.

Jika untuk mampu menjadi cahaya seseorang perlu bantuan agama, maka beragama menjadi wajib baginya. Dan jika untuk menjadi cahaya pula ia butuh pertolongan agama tertentu, maka agama tersebut harus ia pilih. 

Saya menggaris bawahi dua bantuan di atas -- beragama dan agama tertentu -- untuk memastikan kita bisa berfikir adil; pertama, bahwa  ada kemungkinan orang bisa memancarkan cahaya tanpa bantuan agama. Dan kedua, kemungkinan kita memilih agama yang berbeda dari pengguna agama lain dalam "agama tertentu," 

Setiap orang pada dasarnya merdeka untuk memutuskan apakah akan memakai dua bantuan ini atau tidak. Pijakan saya dalam hal ini adalah QS. 2:256. 

Ayat ini, sebagaimana dicatat ibn Jarir al-Tabari melalui Ikrima dari Ibn Abbas, turun saat ada orang tua (Islam) galau karena anaknya memilih agama lain. Kanjeng Nabi kemudian menyampaikan ayat ini, ayat "tidak ada paksaan dalam beragama (Islam),"

Secara historis, sikap ayat ini kemudian tercermin, misalnya, dalam posisi Kanjeng Nabi terhadap keyakinan pamandanya, Abi Thalib. Pria ini hingga akhir hayatnya tetap teguh beragama sebagaimana leluhurnya. 

Sangat mungkin posisi ayat al-Quran dan sikap Nabi ini merupakan cerminan refleksi mendalam atas pergumulan personal Nabi ketika memilih beragama diluar agama mainstream kala itu. Nabi, menurut ceritanya, kerap mengalami persekusi dari sekitarnya karena keyakinannya. Bahkan hingga 15 pengikut awalnya diminta mencari suaka politik ke kerajaan Aksum Ethiopia yang dipimpin raja beragama Kristen. 

Nabi dalam ayat antipemaksaan agama tersebut seakan ingin menyatakan kepada kita agar tidak mempersekusi pemeluk agama lain karena Nabi dan pengikutnya pernah mengalami pengalaman persekusi. 

"Mbak, aku melihat mbak bahagia dengan kondisi beragama sampeyan seperti ini. Aku ikut bahagia atas hal itu. Tetap perkuat relasi baik dengan ortu serta yang lain," kataku.

Dalam forum kemarin aku juga memprovokasi peserta agar mau mempertimbangkan model beragama substantif dan hibrid. Yakni sejenis beragama yang adaptif atas hal-hal positif yang, katakanlah, dimiliki agama lain. 

Sederhananya, sepeda motor yang saya miliki adalah Suzuki Shogun 125. Namun kini seluruh sparepart motor saya tidaklah original keluaran pabrik yang khusus tipe tersebut. Spion, lampu, busi, maupun aki adalah beberapa elemen "pengkhiatan" yang kini menempel di motor saya. 

Sepeda motor seperti ini bisa disebut hybrid -- something that is formed by combining two or more things. Setiap bagian saling melengkapi. Model hybrid juga lazim dalam sejarah agama maupun praktek keagaman. Orang bisa beragama formal tertentu namun memiliki karakteristik dan prilaku yang dianggap dekat agama lainnya.

Menurut beberapa romo, Gus Dur itu katolik. Minus baptisnya saja. Bagi mereka etika dan prilaku Gus Dur dianggap telah mencerminkan idealitas nilai-nilai yang diajarkan Gusti Yesus. Gus Dur dalam kesempatan lain juga pernah menyatakan Romo Mangun adalah muslim. Minus syahadat. 

Pointnya, setiap agama harusnya dipahami sebagai salah satu jalan menuju keilahian. Keilahian dalam hal ini dimaknai sebagai kewajiban pemeluknya untuk berkorban demi orang lain. Ya, beragama sama dengan berkorban. 

Orang Islam perlu memikirkan untuk mengorbankan model klasik beragamanya agar bisa memperoleh derajat yang lebih tinggi. Mengorbankan ego keagamaannya, misalnya, dengan cara memberikan ruang setara bagi pemeluk agama lain adalah tantangan terbesar. Mengorbankan fanatisme dengan cara tidak memaksakan kehendak, contohnya, terhadap orang seperti Mira merupakan model beragama yang lebih dewasa. 

Lan tanalu al-birra khatta tunfiqu min ma tukhibbun. Seseorang tidak akan mendapak kebaikan sampai ia mengorbankan apa yang ia cintai. 

Benarkah kita telah beragama seperti itu?

Friday, December 6, 2019

LINDUNGI KOTA SANTRI(WATI) DARI KEJAHATAN SEKSUAL


Rilis Jaringan Alumni Santri Jombang (JASiJO)



LINDUNGI KOTA SANTRI(WATI) DARI KEJAHATAN SEKSUAL


Setelah dihantam kasus kekerasan seksual massal di SMPN 6 setahun lalu, Kota Santri kembali didera cobaan yang sama. Kali ini santriwati salah satu pesantren di kawasan Ploso Jombang menjadi Korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh salah satu elit pesantren tersebut. Polisi sendiri sudah menetapkan MS, diduga pelaku, sebagai tersangka. 

Berkaitan dengan hal tersebut, Jaringan Alumni Santri/wati Jombang (JASiJo) menyatakan sikap sebagai berikut:

 1.  Mengecam aksi kekerasan seksual terhadap Korban santriwati
 2. Mengapresiasi kesigapan Polres Jombang dalam merespon kasus ini serta berani membongkar seluruh skandal yang telah berlangsung lama. JASiJo berkeyakinan masih ada Korban lain dalam skandal ini. Kepolisian juga tidak perlu minder dan takut mengingat kasus ini melibatkan "orang besar"
 3. Mendukung kepolisian untuk memberikan keadilan publik dan Korban dengan cara mempertimbangkan untuk menahan tersangka mengingat ancaman pidananya lebih dari 5 tahun serta agar mempermudah proses penyidikan
 4. Mendorong Pemkab Jombang  lebih serius memastikan semua institusi pendidikan, khususnya pesantren, untuk memperbaiki sistemnya agat terbebas dari potensi praktek kekerasan, termasuk kekerasan seksual, utamanya terhadap anak
 5. Mendesak pemerintah dan DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


Jombang, 5 Desember 2019

Aan Anshori 

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...