Pages

Sunday, December 22, 2019

MENUKAR DOA DI GKI BONDOWOSO


Rekor terbaikku dimintai doa lintas agama adalah ketika menghantar emeritasi Pdt. Prof. Gerrit di GPIB Malioboro beberapa bulan lalu. Sebelumnya, saya kerap memimpin doa umum lintas agama, mewakili orang Islam. 

Namun kemarin malam, Sabtu (21/12), ada permintaan agak unik dari kawanku, Pdt. Martin, yang melayani di GKI Bondowoso. 

"Aku nang grejo, gus. Persiapan natalan. Tak tunggu ndek sana ya. Tolong arek-arek diberi doa agar persiapan natal kami lancar," begitu kira-kira tulinya di WA. Aku hanya ngakak saja. 

Hari itu, aku sudah niatkan untuk mampir ke GKI Bondowoso. Tiga kali aku ke Bondowoso namun belum pernah ke gerejanya Marti. Padahal aku berkali-kali bekerja bersamanya di banyak event. Maka, setelah mengisi acara BAMAG setempat di GPIB Bondowoso, aku meminta Afif, kordinator GUSDURian setempat, mengantarku. 

"Nggak pakai helm, Fif," tanyaku.
Ia hanya meringis. "Aman mas,"

Aku pun tiba di gereja mungil. Martin menyambutku dan mengantarkan ke dalam. Aku melihat beberapa remaja sedang berlatih menyanyi. Yang lainnya sibuk menata dekorasi. 

Orang Kristen itu seperti film India. Kawinan, nyanyi. Berduka, nyanyi. Pokoknya tidak ada satupun ritual yang meninggalkan nyanyian. "Pantas kalian terlihat tegar meski kerap dipersekusi," godaku. Mereka tertawa.


Saya kemudian ngobrol dengan nonik-nonik yang ada di sana. Mereka bercerita tentang persekusi yang dialami saat di sekolah. "Dulu pas aku ikut pelajaran agama, guruku tiba-tiba menyuruhku syahadat. Yo tak jawab; yak apa nek bapak ae sing masuk Kristen," ujarnya disambut tawa kami.

Martin selanjutnya meminta pemain musik melakukan perform lagu di hadapanku. Saya tahu, ia ingin menghormatiku dan Afif sebagai tamu. Ia suguhkan sebuah lagu. Ia sendiri yang menyanyi. Suaranya bagus sekali. Membuatku iri.

"Opo iku judule?" tanyaku setengah berbisik kepada nonik yang duduk di belakangku. 
"Atas Bumi nan Permai," jawabnya pendek.

Waktu semakin larut. Aku harus bergeser ke Library Cafe di pinggiran kota untuk memantik diskusi seputar Gus Dur dan Natal. Puluhan anak-anak GUSDURian sudah menunggu. Aku berharap Pdt. Martin segera menerima pamitku dan tidak menagih doaku. 

Ternyata aku salah.

"Rek..rek.. Ayo ngumpul mrene. Kita minta Gus Aan berdoa untuk kelancaran persiapan natal kita," ujarnya sembari memegang mic.

Aku berfikir keras, apa yang harus aku sampaikan dalam doa ini. Aku tidak mau doa biasa-biasa saja. Berbahasa Arab, membiarkan mereka tidak paham dan aku langsung bisa pergi secepatnya. "Tidak. Aku tak mau seperti itu. Aku ingin doaku berkesan dan dipahami," batinku. 

"Bro, iki serius tah?" aku mengkonfirmasi lagi.
"Lho serius iki," ujarnya
"Cara Islam?" aku memastikan
"Cara Islam," Martin menjawab mantap.

Ia serahkan mic ke aku. Memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kananku membuka al-Quran. Aku pilih satu ayat, membaca potongan tiap kata berbahasa Arab dan langsung aku terjemahkan Indonesia, seperti orang yang sedang membaca kitab kuning.

"Idz qolati malaikatu/ ketika malaikat berkata. Ya maryamu/hai Maryam. Inna alloha/sesungguhnya Gusti, yubassiruki/memberimu kabar gembira, bikalimatihi/dengan kehadiran KalimatNya..." aku mulai membacakan firman Al-Quran menyangkut narasi kehadiran Yesus. 

Aku sengaja demikian untuk memberikan konteks doa yang aku akan naikkan. 

"Gusti, mereka ini, Pdt. Martin dan jemaatnya adalah orang-orang baik. Aku bersaksi untuk itu. Mereka bekerja siang malam untuk merayakan kelahiran seseorang yang telah Engkau firmankan dalam al-Quran. Berilah mereka kekuatan agar acara Natal mereka lancar. Aku dan Afif senang diterima mereka dengan baik. Sebagai ciptaanMu kami berdua juga merasa senang atas Natal tahun ini. Semoga perayaan ini dan perayaan lainya semakin menguatkan relasi Islam-Kristen,"

Itu salah satu potongan doa yang aku ingat. Selebihnya tersimpan dalam CCTV GKI. Mungkin. 

Pdt. Martin selanjutnya gantian mendoakan kami berdua. Aku mengamini secara khusyu', sekhusyuk waktu aku mengamini doa kiaiku.

Setelah bertukar doa. Aku pamit. 

"Gak sido turu pastoriku?" ia bertanya.
"Kapan-kapan ae yo. Aku tak nerusno turu nang Ijen," jawabku.

Aku dan Afif berlalu. Memacu motor membelah dinginnya Bondowoso menuju arena pengajian lainnya.(*)

No comments:

Post a Comment