"Gus, saya Mira. Katolik. Saya datang dari Depok. Saya hanya ingin berbagi cerita saja di forum ini," ungkapnya dari pojok belakang forum diskusi "Memaknai Kelahiran Isa Almasih," di GKI Kebayoran Baru tadi malam (7/12).
Mira dulunya Islam. Ia kemudian memutuskan berpindah ke Katolik. Tidak mudah baginya untuk hal tersebut. Ia kerap sembunyi-sembunyi untuk membaca setelah Alkitab karena takut menyakiti orang-orang terdekatnya.
"Mbak, matur nuwun atas sharingnya. Mungkin aku salah namun menurutku tugas suci manusia adalah menjadi cahaya bagi alam raya. Berbuat baik dan nengasihi. Tidak menyakiti orang lain. Cahaya bisa berwujud apa saja. Lampu petromaks, halogen, lilin, ublik, atau bahkan krim antiaging," kataku.
Jika untuk mampu menjadi cahaya seseorang perlu bantuan agama, maka beragama menjadi wajib baginya. Dan jika untuk menjadi cahaya pula ia butuh pertolongan agama tertentu, maka agama tersebut harus ia pilih.
Saya menggaris bawahi dua bantuan di atas -- beragama dan agama tertentu -- untuk memastikan kita bisa berfikir adil; pertama, bahwa ada kemungkinan orang bisa memancarkan cahaya tanpa bantuan agama. Dan kedua, kemungkinan kita memilih agama yang berbeda dari pengguna agama lain dalam "agama tertentu,"
Setiap orang pada dasarnya merdeka untuk memutuskan apakah akan memakai dua bantuan ini atau tidak. Pijakan saya dalam hal ini adalah QS. 2:256.
Ayat ini, sebagaimana dicatat ibn Jarir al-Tabari melalui Ikrima dari Ibn Abbas, turun saat ada orang tua (Islam) galau karena anaknya memilih agama lain. Kanjeng Nabi kemudian menyampaikan ayat ini, ayat "tidak ada paksaan dalam beragama (Islam),"
Secara historis, sikap ayat ini kemudian tercermin, misalnya, dalam posisi Kanjeng Nabi terhadap keyakinan pamandanya, Abi Thalib. Pria ini hingga akhir hayatnya tetap teguh beragama sebagaimana leluhurnya.
Sangat mungkin posisi ayat al-Quran dan sikap Nabi ini merupakan cerminan refleksi mendalam atas pergumulan personal Nabi ketika memilih beragama diluar agama mainstream kala itu. Nabi, menurut ceritanya, kerap mengalami persekusi dari sekitarnya karena keyakinannya. Bahkan hingga 15 pengikut awalnya diminta mencari suaka politik ke kerajaan Aksum Ethiopia yang dipimpin raja beragama Kristen.
Nabi dalam ayat antipemaksaan agama tersebut seakan ingin menyatakan kepada kita agar tidak mempersekusi pemeluk agama lain karena Nabi dan pengikutnya pernah mengalami pengalaman persekusi.
"Mbak, aku melihat mbak bahagia dengan kondisi beragama sampeyan seperti ini. Aku ikut bahagia atas hal itu. Tetap perkuat relasi baik dengan ortu serta yang lain," kataku.
Dalam forum kemarin aku juga memprovokasi peserta agar mau mempertimbangkan model beragama substantif dan hibrid. Yakni sejenis beragama yang adaptif atas hal-hal positif yang, katakanlah, dimiliki agama lain.
Sederhananya, sepeda motor yang saya miliki adalah Suzuki Shogun 125. Namun kini seluruh sparepart motor saya tidaklah original keluaran pabrik yang khusus tipe tersebut. Spion, lampu, busi, maupun aki adalah beberapa elemen "pengkhiatan" yang kini menempel di motor saya.
Sepeda motor seperti ini bisa disebut hybrid -- something that is formed by combining two or more things. Setiap bagian saling melengkapi. Model hybrid juga lazim dalam sejarah agama maupun praktek keagaman. Orang bisa beragama formal tertentu namun memiliki karakteristik dan prilaku yang dianggap dekat agama lainnya.
Menurut beberapa romo, Gus Dur itu katolik. Minus baptisnya saja. Bagi mereka etika dan prilaku Gus Dur dianggap telah mencerminkan idealitas nilai-nilai yang diajarkan Gusti Yesus. Gus Dur dalam kesempatan lain juga pernah menyatakan Romo Mangun adalah muslim. Minus syahadat.
Pointnya, setiap agama harusnya dipahami sebagai salah satu jalan menuju keilahian. Keilahian dalam hal ini dimaknai sebagai kewajiban pemeluknya untuk berkorban demi orang lain. Ya, beragama sama dengan berkorban.
Orang Islam perlu memikirkan untuk mengorbankan model klasik beragamanya agar bisa memperoleh derajat yang lebih tinggi. Mengorbankan ego keagamaannya, misalnya, dengan cara memberikan ruang setara bagi pemeluk agama lain adalah tantangan terbesar. Mengorbankan fanatisme dengan cara tidak memaksakan kehendak, contohnya, terhadap orang seperti Mira merupakan model beragama yang lebih dewasa.
Lan tanalu al-birra khatta tunfiqu min ma tukhibbun. Seseorang tidak akan mendapak kebaikan sampai ia mengorbankan apa yang ia cintai.
Benarkah kita telah beragama seperti itu?
No comments:
Post a Comment