Heroik itu seperti apa? Bagiku; siapapun yang berani mengambil resiko menghadapi ketakutannya, maka aksi tersebut adalah heroik. Persis seperti yang dialami oleh adik-adikku; Indah, Rahma dan Latief kemarin, Rabu (26/12).
Pages
Saturday, December 28, 2019
HEROIK A LA RAHMA, LATIEF DAN INDAH
Heroik itu seperti apa? Bagiku; siapapun yang berani mengambil resiko menghadapi ketakutannya, maka aksi tersebut adalah heroik. Persis seperti yang dialami oleh adik-adikku; Indah, Rahma dan Latief kemarin, Rabu (26/12).
Wednesday, December 25, 2019
MELUNASI JANJI DI GKI DAN GKJW KOTA SANTRI
Kemarin aku menulis status panjang. Status tentang janjiku pada muslimah milenial perempuan untuk mendampinginya masuk gereja, pertama kali dalam hidupnya. Perempuan itu bernama Jihan. Ia yang memakai jilbab di sampingku.
Sunday, December 22, 2019
MENUKAR DOA DI GKI BONDOWOSO
Rekor terbaikku dimintai doa lintas agama adalah ketika menghantar emeritasi Pdt. Prof. Gerrit di GPIB Malioboro beberapa bulan lalu. Sebelumnya, saya kerap memimpin doa umum lintas agama, mewakili orang Islam.
Saya kemudian ngobrol dengan nonik-nonik yang ada di sana. Mereka bercerita tentang persekusi yang dialami saat di sekolah. "Dulu pas aku ikut pelajaran agama, guruku tiba-tiba menyuruhku syahadat. Yo tak jawab; yak apa nek bapak ae sing masuk Kristen," ujarnya disambut tawa kami.
Saturday, December 21, 2019
PERNYATAAN SIKAP JARINGAN ISLAM ANTIDISKRIMINASI (JIAD) TERKAIT PELARANGAN NATAL DI SUMATERA BARAT DAN HIMBAUAN MUI JAWA TIMUR
JIAD bersyukur peristiwa pelarangan Natal di dua kabupaten di Sumbar mencuat ke publik setelah sekian lama luput pengamatan. Pelarangan ini tidak bisa diterima, baik secara nalar maupun konstitusi. Keduanya menjamin kemerdekaan beragama/berkeyakinan sekaligus ekspresinya.
Negara perlu segera turun tangan ikut memastikan umat Kristiani di dua kabupaten tersebut terpenuhi hak-haknya. Biarlah Natal tahun ini menjadi Natal tragis terakhir kali yang tidak boleh terulang lagi ke depannya.
Friday, December 20, 2019
DRAMA PEMBEBASAN DI JAZZ
Doktrin kelima dari 9 nilai utama Gus Dur adalah pembebasan. Kata ini dalam bahasa Inggris bisa dipadankan dengan "to liberate," artinya, menurut Webster, " to free (someone or something) from being controlled by another person, group, etc."
Friday, December 13, 2019
AMNESIA MAKELAR NATAL
Monday, December 9, 2019
MIRA DAN AGAMANYA
"Gus, saya Mira. Katolik. Saya datang dari Depok. Saya hanya ingin berbagi cerita saja di forum ini," ungkapnya dari pojok belakang forum diskusi "Memaknai Kelahiran Isa Almasih," di GKI Kebayoran Baru tadi malam (7/12).
Friday, December 6, 2019
LINDUNGI KOTA SANTRI(WATI) DARI KEJAHATAN SEKSUAL
Saturday, November 2, 2019
CELANAMU TIDAK CINGKRANG? JANGAN KUATIR TIDAK MASUK SURGA
Apakah dengan demikian aku dan jutaan pemakai celana non-cingkrang akan masuk neraka? Jika mereka menteri urusan surga-neraka, sangat mungkin iya. Namun alhamdulillah, ternyata dua tempat itu masih dalam otoritas Allah.
Allohku mahaPengampun (rakhim) bahkan terhadap kejahatan yang jelas merugikan orang, sepanjang pelakunya mengakui kesalahan dan memohon ampun. Selain itu, surga dan neraka adalah misteri Alloh. Berbuat baik tak serta membuat seseorang masuk surga secara otomatis. Begitu juga terkait neraka.
Lantas, bagaimana jluntrunganya sehingga kita kerap disuguhi "ajaran," yang sering disebut sebagai hadits nabi yang menyatakan pemakai celana/sarung non-cingkrang tidak akan dilihat Alloh, alias diacuhkanNya, dan kabarnya akan masuk neraka?
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)
Cobalah dipikir dengan baik dan tidak emosional; bagaimana mungkin Tuhan yang mahaAgung, mahaPemurah, mahaTakButuhManusia, mahaSegalanya, tiba-tiba dipersepsikan begitu mencemburui celana non-cingkrang.
Coba direnungkan sekali lagi; kejahatan model apa yang bisa kita bayangkan, yang dilakukan oleh mereka pemakai celana non-cingkrang? Tidak ada!
Jika memang bercelana non-cingkrang dapat membuat pemakainya masuk neraka, sudah pasti tindakan ini merupakan kejahatan serius yang tidak mungkin diabaikan al-Quran. Padahal kenyataannya kitab suci ini tidak berkata apapun terkait model celana.
Penelisikanku menunjukkan, hadits celana cingkrang berkaitan dengan hadits yang kabarnya dinarasikan Ibnu Umar sebagaimana dicatat Sahih Muslim 5574.
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.”
Hadits senada (5576) juga terekam di kitab yang sama.
إِنَّ الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
Perhatikan dengan benar dua teks di atas; pelarangan celana non-cingkrang selalu DIKAITKAN DENGAN iringan sikap sombong. Hipotesisku, kala itu banyak pemakai celana non-cingkrang yang kerap menampilkannya dengan perasaan sombong di hadapan orang lain. Pamrih pengen dipuji atau sedang mengintimidasi orang lain.
Marilah kita baca apa yang tertulis dalam Sahih Muslim No. 306, sebagaimana cerita Abi Dzar.
يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.”
Nabi Muhammad menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,
خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”
Nabi menjawab,
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.”
Orang isbal (musbil) adalah individu yang pakaian atau celananya menjuntai hingga di bawah mata kaki diiringi kesombongan.
....
Lihatlah, pelarangan isbal ini digolongkan bersama dengan kecaman atas pelaku sumpah palsu dan pengungkitan pemberian --dua hal yang kerap menyakiti perasaan orang lain. Ini menunjukkan pelarangan isbal terletak BUKAN pada aspek fashionnya, NAMUN pada sikap kesombongan karena memakai pakaian tersebut. Kesombongan --dalam hal ini adalah berpakaian -- merupakan tindakan tidak sensitif dan empatif yang bisa menyakiti perasaan orang lain.
Dalam konteks yang lebih luas, larangan kesombongan celana non-cingkrang ini sebangun dengan ketidakbolehan kita bersikap sombong karena gadget, jabatan sosial, properti atau kekayaan lain yang kita miliki. Dengan kata lain, melalui teks di atas, kita sebenarnya diminta untuk tidak menyakiti orang lain, sebagaimana kerap dilakukan kelompok celana cingkrang dengan cara merasa dirinya lebih mulia, lebih tinggi, ketimbang non-cingkrang.
Saranku; bercelanalah, tidak hanya sesuka hatimu namun juga pastikan tidak ada intensi kesombongan apalagi niatan merendahkan orang lain. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akandirendahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.
-- at KA Sri Tanjung menuju Jember
Aan Anshori
Friday, September 13, 2019
Ibn Hazm dan Anting untuk Emeritasi Pdt. Gerrit Singgih
Harusnya, aku menjadi salah satu pembedah buku keren milik Prof. Gerrit ini. Namun apa daya aku sudah terlanjur mengiyakan undangan dari PGIW Banten, Sabtu (14/9).
"Tapi bisakah hadir dalam emeritasiku, Gus?" tanya pendeta yang semakin flamboyan dengan antingnya. Aku segera mengubah jadwalku di Banten. Mempercepatnya agar bisa bablas ke Jogja hari Minggunya. Untung tiket kereta masih tersedia. Maka, besok malam aku akan bergerak menuju Lempuyangan dari Stasiun Senen. Padahal, saat menulis status ini, aku lagi berkereta ke Stasiun Senen.
Aku merasa harus datang pada momen penting temanku ini. Prof. Gerrit ditahbiskan di GPIB Makassar sekitar awal tahun 80an. Setelah itu dia diminta berdinas di wilayah akademik, di UKDW.
Aku mengenal professor ini secara tak sengaja. Adalah Hana Singgih, temanku alumni NMCP UI asal Makassar yang pertama kali menyebut namanya padaku ketika tahu aku bergerak di isu interfaith. Pak Gerrit masih saudaranya. Sama-sama bermarga Singgih, jika tidak salah.
Aku tak pernah secara langsung mengikuti kelasnya. Namun dalam pandanganku Professor Gerrit adalah sosok penting dalam kekristenan Indonesia. Tak terhitung lagi berapa pendeta dan teolog lulusan UKDW yang pernah menikmati kelas yang ia ampu.
Bersama Lail adikku, aku pernah diundang mengunjungi tempatnya bekerja di UKDW. Ruangan sederhana namun menyenangkan. Persinggunganku dengan professor ini semakin intens dalam mengkampanyekan pesan profetik agama supaya lebih ramah terhadap isu minoritas gender dan seksualitas. Kami tidak sendirian. Ada juga mas Steve Suleeman, pengajar STFT Jakarta yang lebih dulu emeritasi sebagai pendeta di GKI.
Secara personal, aku melihat "kesendirian," pak Gerrit hingga menjelang emeritasi merupakan pergulatan luar biasa dari professor ini dalam rangka mendedikasikan dirinya bagi ilmu pengetahuan dan imannya. Banyak sekali cendekiawan tersohor Islam klasik yang juga memilih hidup "sendiri" tanpa pasangan. Sebut saja Ibn Jarir al-Tabari, ibn Taymiyyah dan tentu saja Ibn Hazm.
Yang aku sebut terakhir tadi cukup unik. Pernah suatu ketika, sebagaimana ditulis Camilla Adang dalam "Ibn Hazm On Homosexuality; A Case- Study of Zàhirl Legal Methodology," Ibn Hazm menolak datang ke sebuah undang pesta.
Gara-garanya sepele. Ia takut tidak bisa menguasai dirinya karena ada cowok ganteng yang bisa membuat jantungnya berdebar-debar di pesta itu. Hazm dengan seluruh kepandaian yang ia miliki mematahkan argumen hukum Islam yang memvonis homoseksualitas dengan aneka pidana bunuh, misalnya dirajam, dibakar, atau dijatuhkan dari tempat tinggi dan ditimpuki batu setelahnya. Ia membahas pendapatnya itu di bab akhir kitab masterpiecenya al-Muhalla.
Sama seperti halnya Ibn Hazm, professor Gerrit juga mendedikasikan pikiran dan energinya untuk menyusun argumentasi biblikal agar bisa selaras dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
Aku sendiri menduga kuat ibn Hazm adalah seorang gay. Namun jangan pernah bertanya padaku apakah Professor Gerrit gay atau bukan. Aku tak berani lancang menjawabnya.
Sebagai seorang teman, aku cukupkan diriku bahagia melihatnya semakin ekspresif dengan politik ketubuhannya seperti sekarang. Jika boleh berharap ia akan tetap memakai anting saat emeritasinya. Syukur-syukur bisa ketemu seseorang yang mampu membuat hatinya berdebar seperti halnya Ibn Hazm.
Panjang umur perjuangan, Prof!
-- at GayaBaruMalam menuju Stasiun Senen.
Wednesday, August 28, 2019
SAAT NAHDLIYYIN MENJADI SAKSI PERKAWINAN GKI dan HKBP
Hampir 50 tahun beragama Islam dengan rekam jejak 19 tahunan bergerak di isu lintas iman, baru kali ini aku terlibat dalam urusan administrasi perkawinan Kristen.
Aku dijadikan salah satu saksi perkawinan Lia dan Erwin. Saksi lainnya adalah Susi Indraswari, penggerak GUSDURian Jombang. Keterlibatanku sebagai saksi di sana bukanlah sekedar sebagai saksi sebagaimana orang yang menyaksikan karnaval atau perpindahan ibukota.
Kesaksiaanku formal. Nama dicatat. KTP diverifikasi. Orangnya juga harus hadir. Kesaksiaanku adalah by law. Tertera jelas nama dan agamaku; Moh. Anshori, S.H. - Islam (notok). Dibacakan di hadapan forum sembari diakhiri, "Benar demikian?" kata petugas.
https://www.facebook.com/1561443699/posts/10219307753075534/?app=fbl
Lia adalah ....
dosen UC, Tionghoa, pernah Perkantas, jemaat GKI Jombang dan alumni Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) pertama di kota Santri. Sedang Erwin; Batak dan bergereja di HKBP. Marganya Bagariang yang konon terlarang kawin dengan Situmeang, Marbun, Simanungkalit, Hutahuruk, dan Sitohang. Untuk kepentingan perkawinan, Lia mendapat marga Manalu.
Pemberkatan keduanya dilakukan di HKBP ressort Pasar Minggu oleh Pdt. Ruth Betty Agustina br Pandjaitan, setahun lalu kira-kira. Aku tahu karena pegang dokumennya.
Aku masih ingat mengajak banyak teman-teman GUSDURian Jombang datang ke perayaan perkawinan mereka, bersamaan dengan halal bi halal tahun lalu. Perayaan semakin meriah karena teman-teman waria Jombang juga datang. Aku ajak mereka.
Tiba di Dispendukcapil Jombang, kami langsung antri. Dapat urutan ketiga dari total empat pasangan yang akan dilayani pagi ini. Setelah dipanggil, kami semua masuk ke dalam ruangan mirip persidangan. Tiga orang petugas duduk di depan, bangkunya lebih tinggi.
"Saya baru pertama kali mengalami hal seperti ini, sebagai muslim berusia hampir 50 tahun. Saya kira perjumpaan seperti ini penting untuk mengajarkan toleransi. Terima kasih," tiba-tiba saya nyerocos menerobos keheningan saat tanda tangan kehadiran diedarkan.
Dalam hukum Islam (fikih) klasik, keterlibatanku di perkawinan ini pasti agak bermasalah. Aku akan dianggap mempercayai sekaligus meneguhkan perkawinan dalan agama yang dianggap musyrik -- menyembah selain Allah yang Esa. Aku akan dilabeli sebagai pendosa.
Akan tetapi sebagai orang yang tidak hanya berkecimpung dalam hukum Islam namun juga bergaul dan sedang mempelajari kekristenan, juga agama lain, aku merasa Kristen jauh dari status musyrik, apalagi kafir. Mereka adalah orang beriman.
Perkawinan Rasulullah Muhammad dan Khadijah tidak diselenggarakan dalam instrumen keislaman ketat seperti sekarang. Mereka berdua tunduk dalam perkawinan adat yang tidak menyinyiri perempuan dengan status sosial dan ekonomi melebihi pasangannya.
Saksi-saksi mereka juga beragama lokal dan Kristen Timur. Khadijah sendiri, perempuan terhormat dan menjunjung tinggi feminisme, besar dan dididik dalam kultur non-Islam. Sedikit cerita menarik perkawinan Khadijah dan Rasulullah bisa diakses dalam tulisanku https://locita.co/esai/seandainya-khadijah-ikut-women-march
Maka sesungguhnya, jika mau merujuk pada imaji perkawinan awal Rasulullah, apa yang aku lakukan di Dispendukcapil tergolong masih "ringan," Sayangnya, kultur pendidikan klasik Islam di Indonesia masih terpenjara dalam dogma belakangan yang sangat kuat. Tidak mendidik pengikutnya mengeksplorasi berbagai hal untuk kebaikan peradaban. Ah, tak mengapa.
"Apakah perkawinan ini atas kehendak sendiri atau orang lain," tanya petugas pencatat perkawinan, seperti seorang hakim.
"Kemauan sendiri," jawab Erwin.
Pertanyaan serupa juga dilawatkan ke Lia. Jawabnya juga sama " Kehendak sendiri,"
Perkawinan Kristen hari ini memperlihatkan padaku betapa sistem ini memberikan kemerdekaan kepada mempelai, utamanya perempuan, untuk berbicara atas namanya sendiri. Menjawab sendiri, tidak dimakelari oleh orang lain.
Dalam perkawinan Islam Sunni yang aku pernah ikuti dan alami, mempelai perempuan dimanjakan sistem; ia tidak akan ditanya atau berhak berbicara selama proses. Ayahnyalah, atau wali, yang membereskan semuanya, termasuk meminta bantuan petugas KUA untuk mengadakan akad "transaksi," Mempelai perempuan dicomblangi oleh dua agen; ayah dan penghulu. Sedang hal itu tidak berlaku bagi mempelai laki-laki.
Setiap agama dan keyakinan punya sistem nilai dan ritual tersendiri. Itu sebabnya kita bisa dianalisa secara terbuka, termasuk untuk menemukan; mana aspek pinggiran dan mana inti; mana yang harus ada (tsabit), mana yang boleh berubah (mutahawwil).
Lia dan Erwin telah memberiku, seorang Nahdliyyin, kesempatan melihat dari dekat sekaligus terlibat dalam etape penting dalam kehidupan mereka. Aku belajar banyak dari proses ini dan merasa terhormat. Itu sebabnya aku menggunakan baju yang sangat jarang aku pakai; seragam pengurus NU saat Muktamar NU Makassar 2010.
I am happy for both of you Muliasari Kartikawati Manalu & Erwin Bagariang.
Friday, August 16, 2019
SALIB SOMAD; MENJADI DRAKULA ATAU MANUSIA?
Teman-teman Kristianiku yang terkasih,
Konten video Ustadz A. Somad (UAS) sungguh tidak sensitif terhadap simbol suci kalian. Meski disampaikan dalam forum tertutup, namun melihat lelaki ini memaparkan opininya disertai mimik merendahkan dan disambut tawa meremehkan dari pendengarnya membuatku pilu.
Aku tahu pasti banyak di antara kalian yang kuat mendengar ocehan sinis UAS, namun tetap saja aku membayangkan akan sangat banyak warga Kristen mendidih darahnya dan terluka saat simbol dan junjungannya diolok.
UAS telah secara tepat mengcopy-paste pandangan para Islamist klasik menyangkut salib. Sangat mungkin mereka dan dirinya pernah punya pengalaman kelam berkaitan dengan salib. Barangkali mereka pernah kesurupan, susah tidur, atau mendadak adem panas ketika melihatnya.
Atau, bisa juga mereka memang melihat jin "kafir," raksasa muncul mengiringi salib. Jika demikian halnya, kita malah justru harus mengasihani dan mendorong mereka; agar mau belajar mengetahui lebih banyak lagi, agar tidak kesurupan lagi.
Tapi, namanya juga orang kesurupan, mereka pasti tidak ingat jika Alloh SWT. telah mewanti-wanti umat Islam agar tidak menghina sesembahan agama lain.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 6:108)
Bayangkan jika junjungan Islam, Allah dan Nabi Muhammad, direndahkan setara dengan apa yang dilakukan UAS terhadap salib dan Yesus. Rasanya pasti sangat melukai.
Namun aku harus jujur kepada kalian. Apa yang UAS sampaikan merupakan doktrin mainstream di kalangan Islam Indonesia, setidaknya yang beraliran Sunni. Sangat banyak orang Islam yang mengikuti doktrin tersebut, tidak hanya pengikut mantan 02 namun juga eks 01.
Kita tak perlu menjadi seorang ilmuwan untuk mampu menyatakan bahwa doktrin seperti ini akan merawat cara pandang bias dan prasangka Islam terhadap kekristenan dengan implikasi yang sangat serius; perendahan, diskriminasi, intoleransi dan, yang paling menakutkan, tegaknya negara Islam di Indonesia.
Sayangnya, hingga hari ini, rasanya belum ada satu pun sarjana Islam Indonesia yang berani mengajukan wacana tanding atas konservatisme hukum Islam (fiqh) menyangkut salib. Ini agak menyedihkan manakala kita tahu Negara kita, melalui pajak yang kita bayar, telah mengeluarkan triliunan rupiah guna membiayai beasiswa ribuan Muslim agar lebih rasional dan berani bertindak adil.
Konservatisme pandangan Islam atas salib senyata telah menjadikan banyak muslim bak drakula dan vampire dalam film-film Hollywood. Keduanya kerap lari terbirit-terbirit ketika salib disorongkan ke muka mereka berdua. Menggelikan.
Aku berdosa jika mengatakan aku tidak pernah dirawat dalam konservatisme tersebut. Benarlah adanya, aku memang pernah dijaga dan dirawat sangat lama olehnya, hingga kemudian bisa mengkonfirmasi keberadaan "jin kafir," sebagaimana tuduhan UAS.
Lebih dari 15 tahun terakhir ini aku, dengan segenap keislaman dan kesantrianku, blusukan ke gereja, kuburan Kristen, paroki, rumah warga Kristen, maupun pastori. Bahkan, tak jarang aku menginap, membuat acara dan makan bersama orang-orang Kristen. Aku pasti menemukan banyak salib dalam berbagai ragam.
Yang mengejutkanku, tak pernah sekalipun aku bertemu jin kafir --baik dalam arti metafisik maupun metaforik. Metafisik merujuk pada perwujudan bentuk gendruwo atau aneka reinkarnasi makhluk jahat adi-kodrati. Sedangkan metaforik bermakna simbolisasi kejahatan dan keangkaramurkaan yang dianggap melekat pada siapa saja yang mengimaninya.
Justru sebaliknya aku menjumpai hangatnya persahaban dan tulusnya persaudaraan. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Tidak sekalipun mereka berupaya mengkonversiku masuk agamanya. Malahan tak sedikit yang cukup gigih mengingatkanku saat waktu shalat tiba.
Saat berjumpa dengan mereka, aku belajar banyak hal positif dalam Alkitab, utamanya menyangkut budi pekerti, kemanusiaan dan cinta kasih serta keadilan. Sungguh benarlah adanya firman Alloh SWT. yang meminta Muslim untuk menaruh perhatian serius (mengimani) kitab-kitab suci sebelum alQuran, sebagaimana disinggung QS. 2:1-4. Bagiku, ayat itu sangat sakti; bisa memprosesku dari drakula menjadi manusia.
UAS mungkin tidak memiliki teman Kristen yang cukup sehingga tidak pernah mencecap pengalaman itu. Sekali lagi, ia harus dikasihani. Usulku, lawatlah dia. Ajak ngopi dan undang dia berbicara di gereja, semoga ia cukup berani.
Aku sepenuhnya menyadari ketakutan banyak umat Islam terhadap salib lebih dikarenakan dogma klasik berbasis pengalaman masa lalu. Bagiku, satu-satunya cara mematahkan dogma tersebut adalah melalui perjumpaan Islam-Kristen secara terus menerus. Harus ada keberanian untuk melakukan hal itu.
Berbekal pengalaman yang aku punyai, dalam kurun waktu 3 tahun ini, aku telah mengajak ratusan anak muda Islam berhijrah; mengunjungi gereja, bertemu salib dan mempersilahkan mereka memandanginya.
Alhamdulillah, mereka tidak hanya tetap muslim namun justru semakin teguh pada iman barunya; iman yang memahami, bukan menyalahpahami. Dengan demikian berarti mereka sudah sembuh, tidak lagi seperti drakula yang kelimpungan ketika menjumpai salib. ِMaka nikmat Tuhan kami yang manakah yang kami dustakan?
Teman-temanku Katolik dan Protestan, ampunilah UAS meski aku tahu ini sangat tidak mudah. Percayalah, hanya sosok rendah hati yang akan mewarisi bumi Indonesia. Bukan para drakula.
Kami, para GUSDURian, bersama kalian.
Wednesday, July 24, 2019
Indonesia dan Misteri Kresek Hitam di Klasis Jakarta I
Kira-kira dua jam setelah sesi, panitia memberiku kresek hitam, isinya sungguh sangat mengagetkanku.
**
"Saya heran dan merenung; ribuan kali kalian didiskriminasi, dipersekusi, dihinakan, kok masih saja tetap krasan bergaul dengan kami di Indonesia. Masih tetap rela dan baik kepada kami. Ini menjadi perenungan teologis bagi saya," aku berkata pada puluhan pendeta dan majelis gereja GKI Klasis Jakarta I di salah satu hotel di kawasan Kramat Raya, Jumat (19/7).
Aku diminta secara khusus untuk menghantar sesi diskusi selama 2 jam. Topiknya "Merumuskan ulang suka cita dalam kepelbagaian," Mungkin aku satu-satunya orang Islam yang diundang berbicara di forum agung itu.
Di hadapan mereka aku bicara blak-blakan menyangkut dua aspek penting penyulut kekerasan dan intoleransi terhadap kekristenan di Indonesia.
Pertama adalah menyangkut doktrin teologis Islam yang hingga sekarang tidak bisa move on perihal klaim keselamatan dan kebenaran. Lebih dari 1430 tahun telah berlalu namun tidak ada perubahan signifikan menyangkut perumusan ulang atasnya. Kafir, kafir dan kafir selalu dihujankam kepada penganut selain Islam beserta konsekuensi logis kehidupan bermasyarakat.
Kedua, menyangkut kekuatiran banyak orang Islam Indonesia akan dijadikannya negara ini menjadi negara Kristen. Kekuatiran ini tentu agak menggelikan namun sayangnya hal ini tak pernah secara serius dibincang dan diurai lebih dalam hingga memunculkan kesalahpahaman.
Padahal apa yang selama ini dilakukan gereja dalam konteks NKRI, menurutku, justru ingin memastikan NKRI tidak jatuh menjadi negara Islam, namun kelompok Islam malah menganggapnya sebagai penghalang terbentuknya imperium Islam di Indonesia.
"Saya ingin melihat sejarah dari perspektif yang katakanlah antimainstream, bahwa selalu dikatakan kelompok Islam merupakan yang paling berjasa atas NKRI. Saya katakan, faktanya tidak sesederhana itu," aku kembali menandaskan.
Melihat lini masa sejarah, setidaknya ada 3 kali keberhasilan penggagalan Islamisasi NKRI di mana gereja (kelompok Kristen, juga Katolik) berperan sangat penting. Pertama, saat Piagam Jakarta coba diajukan pada tahun 1945. Kedua, pada saat kelompok Kristen bersama kalangan Nasionalis berhasil mengungguli faksi Islam di Konstituante saat perumusan dasar negara baru paruh akhir tahun 1955. Ketiga, saat Pilpres yang baru saja kita lalui.
"Ini adalah modalitas besar bagi konfidensi gereja untuk mengambil peran lebih aktif dalam merespon situasi kontemporer intoleransi. Saya ingin ibu/bapak di sini bisa bercerita ke anak-cucu betapa gereja punya reputasi mentereng dalam soal ini," lanjutku, "agar mereka tahu sejarah agamanya dalam mempertahankan NKRI,"
Aku meminta peserta agar menjadikan gerejanya lebih militan lagi, bersatu padu dengan kelompok nasionalis dan Islam Progresif untuk menjaga kepelbagaian di Indonesia. "Ini perjalanan berat bagi kami orang Islam. Jangan pernah patah semangat dan menyerah pada kenakalan kami," aku agak memelas dan memohon. Entah apa yang ada di benak mereka. Aku tidak peduli.
Pak Sani, professor teknik dari Univ. Parahyangan Bandung, yang menjadi moderatorku membuka dua sesi pertanyaan. Banyak sekali yang merespon, hingga waktunya lebih dari dua jam. Jika tidak dihentikan, diskusinya mungkin bisa berlarut-larut.
"Okay mari kita akhiri sampai di sini," kata Pak Sani. Namun aku buru-buru menginterupsinya agar diberikan kesempatan mengucapkan kalimat penutup.
"Nganu.. Jika boleh, saya meminta forum ini ditutup dengan doa yang dipimpin pendeta paling senior di forum ini" ungkapku. Permintaanku diloloskan. Pak Sani kemudian meminta Pdt. Anton Pardosi memimpin. Doa dilarung dengan khidmat.
Setelah acara selesai, Loudy, salah satu panitia, tiba-tiba menanyai warna kesukaanku. "Aku lebih suka merah ketimbang hitam," jawabku pendek. Aku berfikir kaos acara ini akan terbuat dari kain adem dan nyaman. Lumayan untuk ganti baju selama perjalanan panjang.
Sejam kemudian bang Pontas, ketua panitia acara, menyerahkan kresek hitam berisi kotak. "Supaya Gus Aan bisa segera berkomunikasi dengan keluarga di rumah. Terimalah, gus," katanya dengan logat Batak kental.
Ternyata isinya bukan kaos yang aku kira sebelumnya.(*)
Wednesday, June 12, 2019
Yesus Garis Lengkung atau Isa Garis Lurus?
Aku harus mencatat, topik polemis antara Islam-Kristen biasanya cenderung dihindari. Takut nanti malah gegeran. Ketakutan itu aku kira wajar karena sangat mungkin muncul dari model pemikiran yang sejak awal bias dan cenderung kaku dalam melihat sebuah persoalan. Bias dalam arti; pemikiran tertentu selalu lebih dianggap lebih unggul ketimbang lainnya, dan kebiasan ini, lebih jauh, diterapkan kaku tidak hanya secara murni, namun juga sepenuhnya konsekuen.
Jadinya ya mesti gegeran, ilok-ilokan, krayah-krayahan, dan cokotan-cokotan. Apalagi hingga saat ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi belum punya kewenangan untuk menangani perselisihan pandangan, misalnya, "Apakah Yesus/Isa dinaikkan setelah atau sebelum ia mati?" Bagi Kristen, jawabannya sudah sangat jelas. Namun bagi hampir semua Muslim Indonesia, pertanyaan itu akan ditimpali dengan pertanyaan lain, "Memang kata siapa Isa sudah mati? Ia masih hidup kok sampai sekarang,"
Biasanya, Diskusi kemudian akan sepenuhnya bergeser pada lorong gelap seputar tiga hal menyangkut dirinya; kematian, penyaliban, dan, yang paling penting adalah, aspek keilahiannya.
Dalam pengajaran Islam tentang Isa/Yesus, kami tidak dididik mengetahui model lain memahami sosok ini, selain dari yang kami miliki, yakni sejenis keyakinan yang merupakan penggabungan dari unsur Gnostik, Arian, Jullian of Hellicarnasus Menophysite Seven Antioch dan unsur Nestorian. Bagi kalian yang tidak cukup paham, ini mungkin mirip resep membuat margarita atau mojito.
Nah, akibat dari absennya pengajaran model pemahaman lain tentang Isa maka kami kerap sedikit gelagapan dan terseok-seok memahami Isa, misalnya, dari sudut pandang trinitarian yang terkenal highly sophisticated, canggih, meliuk-liuk, dan berlapis-lapis. Bandingkan dengan cara pandang unitarian ala rata-rata Muslim yang cenderung straight-forward; nek ijo yo ijo, nek abang yo abang, bukan ijo yang abang atau abang yang ijo.
Lalu mana yang benar dari cara pandang tersebut? Menurutku, pertanyaan itu justru tidak tepat karena sama artinya dengan mempertanyakan; antara MU dan Barcelona, mana yang disebut sepakbola.
Pemain MU akan sedikit kesulitan dengan tiki-taka a la Barca jika ditransfer ke sana. Pun, tidak mudah bagi pemain Barca untuk menerima kick-and-rush model premier league.
Pemain garis lengkung akan bersabar dan beradaptasi dengan dua model iklim permainan tadi. Baginya, mempelajari tiki-taka dan kick-n-rush justru malah memudahkannya menentukan strategi memenangkan pertandingan. Baginya, semakin banyak stok strategi, semakin baik.
Namun bagi pemain-garis-lurus, pilihan tiki-taka atau kick n rush adalah harga mati. Baginya, fanatik pada strategi tertentu --dan menutup pintu mempelajari strategi lain-- merupakan cara terbaik menyelamatkannya dan komunitasnya dari kekalahan.
Anda pemain yang mana?
Thursday, June 6, 2019
MERAGUKAN AGAMA SENDIRI, BOLEHKAH?
Aku melihat whatsapp, puluhan pesan telah masuk. Hampir semuanya seputar urusan hari permaafan formal internasional. Namun ada satu yang menarik; urusan meragukan iman.
Oh ha, Mentari bukanlah nama sebenarnya. Kami tidak pernah bertemu fisik, hanya di FB saja.
---
Mentari: Assalamualaikum Gus.
Minal Aidin wal Faizin
Maaf lahir batin..🙏
Gus, saya boleh curhat dikit Ndak? Beberapa bulan lalu saya baca tulisan seorang fisikawan, bahwa bumi ini sudah terbentuk jutaan tahun. Manusia pertama sendiri diperkirakan 250 ribu tahun. Tapi agama baru hitungan 8-9 ribu tahun.
Ditambah lagi sy melihat ada banyak bentuk kekurangan dalam agama. Soal poligami dan perbudakan misalnya. Setelah membaca itu jujur sy menjadi agnostik.
Sebenarnya sy masih percaya Tuhan, tapi saya ragu pada agama. Mohon pencerahannya Gus. Bantu saya kembali yakin pada agama ini. Sy fakir ilmu, sy tidak tahu bacaan apa yg bisa mengembalikan keyakinan saya pada agama. Mohon petunjuk Gus 🙏
Aan: Hai Mentari.. Selamat menikmati liburan lebaran ya...
Waaahh kereen bacaanmu. Begini.
Menurutku, kita selalu punya ruang untuk meragukan apapun, termasuk agama. Aku melihatnya hal itu bagian dari pendewasaan imani.
Perbudakan, perang, poligami, aahh.... Kamu tahu, betapa sulitnya aku sendiri menghadapi hal2 tersebut dalam konstelasi keimanan dan keislamanku.
Aku tidak tahu apakah aku harus bersedih atau gembira dengan situasimu saat ini. Namun menurutku tugas utama manusia adalah menjadi manusia; memanusiakan manusia --tak peduli ia punya agama atau tidak; berpoligami atau tidak; percaya kuburan atau tidak, atau yang lain ya...
Intinya, tugas kita adalah BERBUAT BAIK (menjadi rahmat bagi semuanya) sebagaimana tugas Gusti.
Maka, aku sangat bersedih manakala situasimu saat ini memengaruhimu menjalankan tugas sebagai manusia.
Teruslah meragukan keimananmu NAMUN jangan pernah RAGU sedetikpun untuk menjalankan misimu sebagai manusia ya.
Thank youuu
Mentari: Terharu sy bacanya gus..
Makasih banyak pencerahannya..🙏
Aan: :)
---
Lamat-lamat aku dengar Nirwana dari Gigi. Rupanya Amiroh tengah bekerja keras dengan berkas-berkasnya.
Tuesday, June 4, 2019
TEMANI KAMI MENJADI DEWASA
Monday, June 3, 2019
NU dan Pancasila; Membayar Hutang Sejarah Yang Tidak Mudah
Saturday, May 18, 2019
CERITA SERU DI KINIBALU EMPAT SATU
Kinibalu 41 adalah markas Yayasan Kasih Bangsa Surabaya, tempat bedah buku "Mengeja Cahaya," pada Sabtu (18/5). Kinibalu 41 identik dengan tarekat CM (Congregatio Missionis), sama seperti halnya SMA Sinlui dan 6 paroki lainnya di Surabaya. CM berbeda dengan Pr, atau projo. Biasanya, Pr datang belakangan ke suatu wilayah setelah tarekat CM atau tarekat SJ (Jesuit) masuk terlebih dahulu.
Oleh panitia bedah buku, aku didudukkan di kursi sebelah Rm. Robertus Wijanarko, akrab dipanggil Romo Jack. Dia adalah orang penting dalam tarekat CM seluruh Indonesia. Dua romo lain yang hadir, Rm. Parno dan Rm. Novan, keduanya sama-sama dari tarekat CM, tampak hormat sekali pada Romo Jack.
Rm. Jack adalah pengajar senior di STFT Widya Sasana Malang. Aku pernah tidur selama seminggu di sekolah ini saat mengikuti kuliah singkat filsafat tahun 2001 ketika masih di PMII Jombang. Itu merupakan pengalaman pertama dalam hidupku tidur di luar rumah selain masjid, surau dan pesantren. Ibuku sangat terkejut mendengar ceritaku tidur di tempat itu, apalagi aku mengabarkannya dengan senang hati.
"Ten nggene tilem wonten salibe guedeeee, buk. Kulo tilem pas ten ngandape soale konco-konco wedi tilem mriku. Lha mboten wonten nggon maleh'e," ceritaku
"Lhooohh..." Ibuku tampak cemas, dan memintaku mengucapan syahadat lagi. Tidak tanggung-tanggung; tiga kali!
Aku keberatan karena aku tidak merasa telah mengkhianati agamaku. Namun aku tak ingin membuat ibuku, Hj. Alfiyah, terus dipelintir kekuatiran. Maka aku pun membaca syahadat lagi di depan orang yang sangat aku hormati ini.
Perkembangan dalam hidupku selanjut berlaku sebaliknya. Jika aku baru berani masuk gereja saat kuliah dan Amiroh malah baru tahun 2012 lalu, maka Galang dan Cecil lebih awal. Keduanya sudah aku kenalkan masuk gereja sejak mereka SD. Pernah aku ajak natalan di GKI Jombang.
Perjumpaan yang tulus adalah kunci melepaskan belenggu dogma yang sudah pasti berwatak bias dan mengandung anasir negative-stereotype terhadap identitas lain, terutama Kristen dan Tionghoa. Seringkali kita berada dalam garis dilema; apakah tetap berada di belakang garis demarkasi ataukah berani melampaui dan menghirup nikmatnya merdeka dari prasangka.
Aku belajar dari para kontributor buku "Mengeja Cahaya," yang menulis kisah-kisahnya. Mereka terlibat dan berhasil menuliskan pergulatan itu untuk publik. Narasi memori mereka adalah senjata paling dahsyat untuk melakukan perubahan, sepanjang dituliskan dan dimemorialisasikan.
"Mbak, aku penasaran dengan cerita anak Madura-Muslim yang kamu bantu. Sejauhmana relasi kalian? Apakah ia datang saat natal dan paskah? Tulislah juga pengalaman-pengalaman getir yang kamu alami bersama mendiang suami dari kakak-kakak iparmu. Almarhum suami mbak dicoret ya daftar penerima waris keluarga? Tulislah mbak," demikianlah banyak pintaku pada mbak Wike, salah satu kontributor buku.
Di forum bedah buku kemarin, aku membuat presentasi pendek berjudul "Mengubah dengan Narasi Memori," Dalam presentasi tersebut,baku sedikit menceritakan pengalamanku bergelut dengan dunia penulisan dan narasi memori; mengajak orang mengalami sesuatu dan memintanya menuliskan apapun tentang hal itu.
"Bacalah cerita yang ditulis Fina ketika untuk pertama kalinya ia masuk ke gereja dan makan di bangunan tersebut. Lucu dan sangat orisinil. Ia melakukan pengakuan dosa dalam tulisan tersebut," kataku sembari memunculkan slide tulisan Fina yang berjudul "Termenung di hadapan salib GKJW Banyuwangi,"
Aku benar-benar suka dengan forum kemarin yang berjalan gayeng dari jam 16.00-19.30. Selain itu, aku menjadi lebih ngerti tentang tarekat lain di Katolik Surabaya. Sebab selama ini aku biasanya nongkrong dengan para romo dari tarekat projo saja.
"Mo, tak ambilken bubur sruntul ya?" tawarku pada romo Jack. Ia menolaknya dengan halus sembari mengucapkan terima kasih. Aku kemudian mengambil bubur manis dan menyantapnya dekat Romo Jack.
"Mo, ini lho enak banget. Sumpah Mo. Ayolah.." aku menawarinya lagi.
Dia tetap menolak sembari mengatakan ada problem gula darah dalam tubuhnya.
"Justru karena saya tahu ada itu (gula darah) makanya saya terus menggoda romo untuk makan bubur manis ini. Biar gulanya kambuh," tawa kami pun pecah.
*5 menit kemudian
"Eh tapi yakin Mo nggak mau bubur ini?" tanyaku sembari berjanji akan mengunjungi Romo ini dan kembali numpangg tidur di Widya Sasana.
Saturday, May 4, 2019
JEJAK SUCINYA CINTA TERLARANG DAN KONSILI VATIKAN II DI FILM NOVITIATE
Lebih khusus, rasa penasaranku tersulut oleh informasi adanya aktifitas seksual sesama jenis. Sensasinya seperti akan menyaksikan film tentang fenomena mairil (amraad) di pesantren tertentu. Hasratku pada Novitiate makin bergolak saat tahu Rotten Tomatoes, situs yang terkenal sangat pelit memberi rating film, malah justru mengganjar Novitiate dengan nilai 83,7%
"Seheboh apa sih film ini?" Aku menggumam dalam hati sembari membayangkannya dengan Ave Maryam. Kupacu motorku ke warkop berwifi gratis. Setelah memesan Javanesse-Americano coffee -- campuran kopi tubruk 2k dan es batu 1k -- aku segera mencarinya di dunia maya non-torrent. Sebagaimana aku duga sebelumnya, pencarianku sia-sia.
Aku kemudian mengarahkan navigasiku ke area torrent. Yes! Nemu berbagai versi. Aku pilih file yang seednya tinggi dan kapasitas mendekati 1 Gb. Biar cepet downloadnya. Aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk membereskannya. Itu pun dengan cara "menyetop," secara diam-diam puluhan pengguna wifi di warkop tersebut. Maafkan daku.
Tidak sia-sia usahaku dua jam ke warkop berwifi gratis untuk menyedot film superapik ini. Dalam durasi singkat, penggambaran erotisisme suci dua calon biarawati, Cathleen dan Emanuela, begitu sempurna kekenyalannya. Begitu mendebarkan. Katakan padaku; apakah ada yang lebih menggetarkan ketimbang melakukan percintaan terlarang di tengah tekanan waktu? Ini seperti dua orang pengurus mahasiswa yang sama-sama terkurung birahi cinta dan akhirnya memutuskan "mengeksekusinya" di toilet dekat lokasi teman-temannya yang tengah rapat.
Cathleen dengan segenap kenekatan dan keputusasaannya menanti "jamahan balik," Yesus yang tiap detik ia agungkan sebagai calon pasangannya, masuk ke kamar l Emanuel. Ia begitu menghiba kepada Emanual agar mau mewakiliNya menjamah tubuhnya, mencumbuinya, menebus semua cinta dan kesetiaan yang ia persembahkan setiap detik padaNya.
"Comfort me, please...please..please," ratap Cathleen terus mengulang-ulang permintaan itu di sebelah Emanuela. Ia seperti seekor kuda sekarat yang memohon-mohon tuannya agar segera membunuhnya; agar penderitaannya berakhir. Cathleen seperti lelaki-laki yang meratap pada pasangannya dengan sorot mata mupeng level dewa "Cinta, sebentaaaaaaaarrr aja. Boleh ya? Pleaseeeee,"
Aku benar-benar menahan nafas menikmati setiap detik yang dibeber sutradaranya dalam scene di atas ranjang ini.
Emanuela memahami betul kebutuhan temannya ini, meski ia sendiri terlihat sangat galau dengan ajakan "dosa" ini.
"Okey..okey... stop talking," katanya agak gemas sembari mendaratkan bibirnya ke bibir Cathleen yang berisik meracaukan "comfort me please..." terus menerus. Aku ikut adem-panas mengikutinya dari layar 10 inchi laptopku.
Tidak ada aksi lanjutan kecuali hangatnya ciuman Cathleen dan Emanuela dalam hitungan detik. Memang, menurutku, hal itu tidak perlu dilanjutkan karena Novitiate bukan film kelas Xhamster atau Youjizz.
Sang sutradara begitu jujur menggambarkan aksi sensual suci sesama jenis ini. Namun, apakah ini bisa dikategorikan sebagai lesbianisme? Aku ragu.
Dalam kajian modern, lesbian merujuk pada sebuah konsep yang solid, yang tidak bisa diketahui hanya dari gejala permukaannya saja. Sederhananya begini, jika penyakit DBD kerap ditandai oleh meningkatnya suhu badan (panas) maka tidak setiap panas yang diderita seseorang adalah DBD.
Kebirahian yang didemontrasikan oleh Cathleen dan kemudian dibantu oleh Emanuel, berakar dari penantian sangat panjang yang dideritanya sebagai konsekuensi dogma institusional kala itu. Setiap biarawati adalah "bride of Jesus" di mana "kehadiranNya" yang adikodrati dinarasikan sedemikian rupa kepada setiap biarawati --yang belum tentu semuanya bisa menerima kemayaan "suami," mereka.
Situasinya sangat mirip LDR yang tak berkesudahan tenggatnya. Maka, pada saat Chathleen begitu merindukan sentuhan fisikNya ia selanjutnya meminta bantuan kepada siapapun yang terdekat, dan memproyeksikannya sebagai Nya.
Yang tampak secara fisik adalah percumbuan dua orang perempuan. Namun dibalik itu, di balik pikiran Cathleen, apakah Emanuela adalah Emanuela? Ataukah ia sebenarnya Yesus yang menjelma dalam daging dan darah Emanuela?
Kajian modern memisahkan secara tegas bahwa yang tampak tidak selalu mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi. Awam akan menandai relasi yang tampak itu sebagai lesbianisme. Namun yang sebenarnya terjadi hanyalah hubungan seksual perempuan dan perempuan. Jika yang ada dibenak Cathleen adalah Yesus yang bertransformasi ke dalam tubuh Emanuela maka sebenarnya ia bisa dikatakan menyukai lawan jenis pada saat itu.
Jika masih bingung, barangkali peribahasa "tidak ada rotan, akar pun jadi," bisa jadi analogi. Saat bertemu akar karena tidak ada rotan, maka akar difungsikan sebagai rotan. Jika rotan tersedia, akar akan ditinggalkan, atau bahkan digunakan keduanya.
Praktek seksual adalah yang tampak. Sedangkan orientasi seksual bersemayam dalam pikiran masing-masing. Praktek seksual belum tentu mencerminkan orientasi seksual. Pemilik tubuh merupakan pihak yang paling tahu.
Lazimnya, praktek seksual sejenis (sekali lagi, belum tentu homoseksual) --baik laki-laki maupun perempuan
Itu sebabnya, jejak relasi sejenis kerap terdeteksi di penjara, barak militer, istana harem, asrama pendidikan (keagamaan), dunia asketisme, dan lingkungan yang menerapkan segregasi ketat berbasis gender. Jejak relasi sesama jenis perempuan di lingkungan biara Katolik sendiri pernah dikaji beberapa orang, misalnya Hannah Steinkopf-Frank, Judith Brown, Marta Trzebiatowska, dan lainnya.
Namun setelah aksi malam itu, Emanuela nampak begitu biasa-biasa saja saat berpapasan dengan Cathleen di lorong biara. Cuek. Melihat pun tidak. Berbeda dengan Cathleen yang menyapanya, seperti ingin mendiskusikan lebih jauh.
Cathleen memang nampak dirundung kesunyian, persis seperti kesunyian yang menjadi ciri dasar biara dalan film itu. Berbicara ada jamnya. Nggak boleh sembarangan seperti di kost-kostan. Jika melanggar, bisa-bisa disuruh merangkak, tengkurap di lantai dengan posisi seperti di salib, hingga "diminta" mencabuki dirinya sendiri dengan penance.
Saat Cathleen memilih jujur mengatakan "dosa malam itu," di hadapan sejawatnya dan suster kepala, nama yang disebut terakhir ini nampak begitu berang.
"But I don't think it was a sin," Cathleen terbata-bata.
Cathleen makin merasa berdosa, menangis menghiba agar segera dikenakan hukuman penance. Namun suster kepala justru menyuruhnya merangkak ke satu per satu biarawati yang hadir sembari meminta hukuman.
Biara tersebut memang dicitrakan sangat ketat mendidik anggotanya. Hal ini sangat mungkin karena biarawati dianggap bukan sembarang perempuan di kalangan Katolik Roma. Mereka adalah perempuannya perempuan, intinya inti, pengantinnya pengantin (Yesus). Hingga kemudian konsili Vatikan II mereformasi banyak hal, termasuk institusi kebiarawatian.
"Regarding the culture of more extreme abnegation and self-punishment still prevalent in many communities today,
please be advised that according to the council, this is no longer understood to be the appropriate path to follow for all those seeking greater union with Christ. It is no longer acceptable to view any acts of extreme sacrifice as an act of love," kata Suster Kepala sembari terisak ketika membacakan surat dari Uskup Agung di hadapan suster lainnya. Isakannya makin parau di paragraf terakhir.
"Finally, from here forward, in the eyes of both the holy church and god, the status of all nuns shall be reduced as equal to that of any regular practicing catholic. While the choice to enter the convent remains one's own, this does not necessarily make nuns any more beloved or special in the eyes of god,"
Tak pelak, surat Uskup Agung terkait hasil Konsili Vatikan II ini kabarnya menyebabkan sekitar 90.000 ribu biarawati memilih eksodus dari institusi ini. Pada tahun 1985, terbit sebuah buku testimonial "coming-out" para mantan biarawati, karya Rosemary Curb dan Nancy Manahan. Judulnya Lesbian nuns: Breaking silence. Dugaan saya bisa jadi ada diantara mereka yang eksodus tadi adalah narasumbernya.
Apakah termasuk Cathleen? Saya ragu.
Di akhir film itu, Cathleen terlihat bersimpuh di altar untuk ditahbiskan. Namun ia merasa gamang apakah akan meneruskan statusnya sebagai biarawati permanen atau tidak. Lalu, masihkah ia terus berelasi dengan Emanuela? Saya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja layar laptopku menjadi gelap. Film usai. (*)