Pages

Saturday, December 28, 2019

HEROIK A LA RAHMA, LATIEF DAN INDAH


Heroik itu seperti apa? Bagiku; siapapun yang berani mengambil resiko menghadapi ketakutannya, maka aksi tersebut adalah heroik. Persis seperti yang dialami oleh adik-adikku; Indah, Rahma dan Latief kemarin, Rabu (26/12).

Setelah selesai mengisi acara di Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) Bojonegoro, aku balik ke Jombang diantar mobil kampus. Dikawal 5 orang, termasuk ketiganya. Aku harusnya diantar ke Pasar Babat untuk selanjutnya ngebis ke Jombang. 

Namun aku meminta mereka mengantarku ke GKJW Sumbergondang Bluluk Lamongan. Jaraknya dari Bojonegoro sekitar 60an kilometer. 

"Eh ada nggak diantara kalian yang belum pernah ke gereja?" tanyaku di mobil.
"Saya gus," kata Rahma.
"Aku juga belum pernah, gus" kata Indah.

Aku agak kaget mendengar pengakuan mereka, mengingat mereka cukup dekat dengan PMII --Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia-- organisasi mahasiswa yang dikenal cukup moderat. Aku kemudian mewartakan kabar gembira bahwa perjalanan ini menuju gereja. 

"Ini akan menjadi momen bersejarah dalam hidup kalian," timpalku.

"Saya juga belum pernah, gus" kata Latief sang sopir. Menurutnya gereja dalam dogma yang ia terima adalah tempat yang mengerikan; seseorang (muslim) akan diberi minum, dihipnotis, dan dikristenkan. 

Aku tak kuat menahan tawaku mendengar hal tersebut. Namun buru-buru aku minta maaf karena aku merasa tidak sopan menertawakan hal ini. 

Keinginanku untuk mematahkan doktrin tersebut semakin meluap. Aku memang paling sebal melihat orang  dibohongi apalagi jika dimaksudkan agar ia membenci orang lain. Mengutip omongan Cinta le Rangga; itu jahat!

**
Setelah berkendaraan sekitar satu jaman, akhirnya kami tiba di pasar Tanjung Ngimbang. Kami harus menempuh perjalanan melalui jalan kampong sejauh 6-7 kilometer hingga tiba di GKJW Sumbergondang. 

“Kita mampir dulu ke rumah pendetanya ya,” kataku sembari meminta Latief memarkir mobil di rumah depan gereja, rumah Pdt. Nugroho. Raut kelaparan sangat tampak di muka mereka. “Nanti ada makanannya, gus?” Aku jadi teringat pertanyaan salah satu dari mereka saat di mobil. 

Setelah memperkenalkan mereka dengan Pdt. Nugroho, Mbak Menik dan putri tunggal mereka, Ruth, aku mengajak mereka menuju gereja. Berjalan kaki. Pdt. Nugroho sendiri yang memandu kami, membuka gerbang dan pintu gereja. 

Aku melihat dekorasi sisa perayaan Natal masih terpasang di altar dan tergantung di langit-langit gereja. “Ah masih saja tidak berplavon gereja tua ini,” gumamku dalam hati. Gereja ini memang tak memakai plavon sehingga gentingnya terlihat. 

Aku langsung duduk santai di kursi panjang paling depan.Mencoba beristirahat sejenak. Aku biarkan anak-anak PMII berjalan-jalan di dalam gereja. Mata mereka terus mengamati setiap sudut gereja, seakan ingin memastikan diri mereka akan baik-baik saja. 

“Ayo, duduklah di sini. Dekatku. Biar kalian lebih tenang,” teriakku. 

Beberapa wajah mereka memang tampak sedikit tegang. Maklum ini pengalaman mereka pertama kali.Rahma dan Indah duduk di dekatku. Mata mereka masih saja menscan apa saja yang ada dalam gereja. 

Tak seberapa lama Mbak Menik dan Ruth bergabung dengan kami. Obrolan meluncur kemana-mana, utamanya seputar sejarah gereja yang usianya lebih dari 125 tahun ini. Pelan-pelan, ketegangan mulai mencair dari raut muka mereka. 

Aku harus berterima kasih pada Ruth. Anak kelas 4 SD ini punya jasa besar melumerkan ketegangan Rahma dan Indah. Ia menempel terus keduanya, mengajaknya bermain. Ruth seperti sedang menemukan kakak perempuan baru. Wajarlah karena ia anak tunggal. 

Tiba-tiba ia mengambil boneka berselimut kain putih. “Itu replika bayi Yesus untuk drama kemarin ya, Ruth?” tebakku. Dia mengangguk sembari langsung menuju Rahma dan Indah. Ditunjukkannya boneka tersebut. Rahma ikut menggendongnya, Ruth tampak senang. Mereka pun tertawa-tawa.

“Ayo balik ke rumah tadi. Kita makan,” ajakku ke rombongan. 

Mbak Menik memang telah menyiapkan makanan untukku. Ia memasak belut. Masakannya ditambah karena aku mengabari akan membawa beberapa anak PMII yang ingin main ke gereja. Ia sangat senang mendengar hal itu. Aku dan anak-anak PMII membantu menyiapkan makan malam di ruang tamu. “Jangan dimakan dulu ya. Kita berdoa,” kataku saat melihat tangan-tangan mereka begitu aktif mendekati makanan yang tersedia. 

Setelah Pdt. Nugroho memimpin doa makan, barulah kami menyantap tanpa komentar. Lima menit saat kami makan, aku berseloroh “Guys, kalian yakin makanan ini tidak mengandung babi?” Sontak mereka agak terkejut. Aku tertawa-tawa meneruskan makan. Mereka pun ikut tertawa. 

**
Sore itu aku melihat aksi heroik yang jauh dari kesan kepahlawan a la narasi mainstream. Rahma, Latief dan Indah tidak malu mengakui kelemahan dan ketakutannya serta, yang lebih penting, berani dengan gagah menghadapinya. 

Bagiku itu heroik.

-- warkop JokTing

Wednesday, December 25, 2019

MELUNASI JANJI DI GKI DAN GKJW KOTA SANTRI


Kemarin aku menulis status panjang. Status tentang janjiku pada muslimah milenial perempuan untuk mendampinginya masuk gereja, pertama kali dalam hidupnya. Perempuan itu bernama Jihan. Ia yang memakai jilbab di sampingku.

Aku tunaikan janjiku malam ini padanya, di GKI Jombang.

"You are gonna be fine, with me. I will not let you walk alone," aku mengucapkan padanya.

Jihan dan Ainur --yang berkopiah- datang menjemputku di rumah. Keduanya ikut menata roti yang aku pegang. Meletakkan lilinnya dan mengiris roti. 

Roti itu aku beli di toko sebelah rumah bersama Cecil siang hari. Cecil pula yang memilih warna roti dan lilinnya. "Merah aja, Yah. Warna natal," katanya di toko roti. Penjaga toko, ABG perempuan Islam, sempat heran saat Cecil ngomong seperti itu. 


Keheranannya mungkin disebabkan Cecil mengucap "alhamdulillah" dengan keras saat bersin di hadapannya, sebelum ngomong soal Natal. "Mbaknya tadi wajahnya berubah saat aku ngomong Natal. Mungkin ia pikir 'anak ini Islam kok beli kue untuk Natal'" katanya tertawa-tawa saat aku bonceng menuju Stasiun tadi.

Kepada Jihan, aku meminta agar ia mau menuliskan pengalaman pertama kalinya masuk gereja. Pasti menyenangkan. Kepadanya pula aku mengingatkan agar ia siap-siap dirisak karena pilihannya ini. 

"Dibully itu menyenangkan lho kalau dinikmati," kataku di mobil. Keduanya tertawa terbahak-bahak.

Kami tak sampai selesai di GKI Jombang. Aku harus berada di tempat lain. WAku terus berbunyi mengingatkanku agar segera merapat ke GKJW Bongsorejo. Aku harus memberi sambutan di sana. 

"Ayo ndang mrene. Dienteni Wabup," kata Pdt. Ridha.

Maka GKJW Bongsorejo menjadi natalan kedua bagi Jihan dan Ainur malam ini. Bagaimana perasaan yang berkecamuk di dada keduanya? Entahlah. Namun Jihan sempat ngomong pendek di mobil. "Kulo mbrabak, gus," 

Mbrabak adalah bahasa jawa untuk melukiskan wajah yang sedang menahan air mata agar tidak ambrol. Situasi ini biasanya dipicu oleh perasaan trenyuh, takjub, senang, atau sejenisnya.

Aku terus mendengar ceritanya sembari membatin "Janjiku telah terlunasi."

Inilah ceritaku kemarin malam. #natalangusdurian #gusduriannatalan

Sunday, December 22, 2019

MENUKAR DOA DI GKI BONDOWOSO


Rekor terbaikku dimintai doa lintas agama adalah ketika menghantar emeritasi Pdt. Prof. Gerrit di GPIB Malioboro beberapa bulan lalu. Sebelumnya, saya kerap memimpin doa umum lintas agama, mewakili orang Islam. 

Namun kemarin malam, Sabtu (21/12), ada permintaan agak unik dari kawanku, Pdt. Martin, yang melayani di GKI Bondowoso. 

"Aku nang grejo, gus. Persiapan natalan. Tak tunggu ndek sana ya. Tolong arek-arek diberi doa agar persiapan natal kami lancar," begitu kira-kira tulinya di WA. Aku hanya ngakak saja. 

Hari itu, aku sudah niatkan untuk mampir ke GKI Bondowoso. Tiga kali aku ke Bondowoso namun belum pernah ke gerejanya Marti. Padahal aku berkali-kali bekerja bersamanya di banyak event. Maka, setelah mengisi acara BAMAG setempat di GPIB Bondowoso, aku meminta Afif, kordinator GUSDURian setempat, mengantarku. 

"Nggak pakai helm, Fif," tanyaku.
Ia hanya meringis. "Aman mas,"

Aku pun tiba di gereja mungil. Martin menyambutku dan mengantarkan ke dalam. Aku melihat beberapa remaja sedang berlatih menyanyi. Yang lainnya sibuk menata dekorasi. 

Orang Kristen itu seperti film India. Kawinan, nyanyi. Berduka, nyanyi. Pokoknya tidak ada satupun ritual yang meninggalkan nyanyian. "Pantas kalian terlihat tegar meski kerap dipersekusi," godaku. Mereka tertawa.


Saya kemudian ngobrol dengan nonik-nonik yang ada di sana. Mereka bercerita tentang persekusi yang dialami saat di sekolah. "Dulu pas aku ikut pelajaran agama, guruku tiba-tiba menyuruhku syahadat. Yo tak jawab; yak apa nek bapak ae sing masuk Kristen," ujarnya disambut tawa kami.

Martin selanjutnya meminta pemain musik melakukan perform lagu di hadapanku. Saya tahu, ia ingin menghormatiku dan Afif sebagai tamu. Ia suguhkan sebuah lagu. Ia sendiri yang menyanyi. Suaranya bagus sekali. Membuatku iri.

"Opo iku judule?" tanyaku setengah berbisik kepada nonik yang duduk di belakangku. 
"Atas Bumi nan Permai," jawabnya pendek.

Waktu semakin larut. Aku harus bergeser ke Library Cafe di pinggiran kota untuk memantik diskusi seputar Gus Dur dan Natal. Puluhan anak-anak GUSDURian sudah menunggu. Aku berharap Pdt. Martin segera menerima pamitku dan tidak menagih doaku. 

Ternyata aku salah.

"Rek..rek.. Ayo ngumpul mrene. Kita minta Gus Aan berdoa untuk kelancaran persiapan natal kita," ujarnya sembari memegang mic.

Aku berfikir keras, apa yang harus aku sampaikan dalam doa ini. Aku tidak mau doa biasa-biasa saja. Berbahasa Arab, membiarkan mereka tidak paham dan aku langsung bisa pergi secepatnya. "Tidak. Aku tak mau seperti itu. Aku ingin doaku berkesan dan dipahami," batinku. 

"Bro, iki serius tah?" aku mengkonfirmasi lagi.
"Lho serius iki," ujarnya
"Cara Islam?" aku memastikan
"Cara Islam," Martin menjawab mantap.

Ia serahkan mic ke aku. Memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kananku membuka al-Quran. Aku pilih satu ayat, membaca potongan tiap kata berbahasa Arab dan langsung aku terjemahkan Indonesia, seperti orang yang sedang membaca kitab kuning.

"Idz qolati malaikatu/ ketika malaikat berkata. Ya maryamu/hai Maryam. Inna alloha/sesungguhnya Gusti, yubassiruki/memberimu kabar gembira, bikalimatihi/dengan kehadiran KalimatNya..." aku mulai membacakan firman Al-Quran menyangkut narasi kehadiran Yesus. 

Aku sengaja demikian untuk memberikan konteks doa yang aku akan naikkan. 

"Gusti, mereka ini, Pdt. Martin dan jemaatnya adalah orang-orang baik. Aku bersaksi untuk itu. Mereka bekerja siang malam untuk merayakan kelahiran seseorang yang telah Engkau firmankan dalam al-Quran. Berilah mereka kekuatan agar acara Natal mereka lancar. Aku dan Afif senang diterima mereka dengan baik. Sebagai ciptaanMu kami berdua juga merasa senang atas Natal tahun ini. Semoga perayaan ini dan perayaan lainya semakin menguatkan relasi Islam-Kristen,"

Itu salah satu potongan doa yang aku ingat. Selebihnya tersimpan dalam CCTV GKI. Mungkin. 

Pdt. Martin selanjutnya gantian mendoakan kami berdua. Aku mengamini secara khusyu', sekhusyuk waktu aku mengamini doa kiaiku.

Setelah bertukar doa. Aku pamit. 

"Gak sido turu pastoriku?" ia bertanya.
"Kapan-kapan ae yo. Aku tak nerusno turu nang Ijen," jawabku.

Aku dan Afif berlalu. Memacu motor membelah dinginnya Bondowoso menuju arena pengajian lainnya.(*)

Saturday, December 21, 2019

PERNYATAAN SIKAP JARINGAN ISLAM ANTIDISKRIMINASI (JIAD) TERKAIT PELARANGAN NATAL DI SUMATERA BARAT DAN HIMBAUAN MUI JAWA TIMUR


JIAD bersyukur peristiwa pelarangan Natal di dua kabupaten di Sumbar mencuat ke publik setelah sekian lama luput pengamatan. Pelarangan ini tidak bisa diterima, baik secara nalar maupun konstitusi. Keduanya menjamin kemerdekaan beragama/berkeyakinan sekaligus ekspresinya. 

JIAD sangat menyayangkan respon Negara yang terkesan lembek menghadapi masalah ini. Negara dan aparatusnya perlu belajar lagi tentang Pancasila dan Konstitusi; bahwa apapun perikatan/perjanjian/kesepakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi tidaklah bisa dibenarkan. 

Dulu ada kasus, seorang Katolik dilarang tinggal di pemukiman Muslim di Bantul atas dasar tradisi dan kesepakatan. Namun Negara hadir dan senyatanya menyelesaikan masalah itu. Kuncinya ada di aparat negara. Keengganan mereka justru menimbulkan spekulasi sejauhmana radikalisme menelusup di tubuh negara? 


Negara perlu segera turun tangan ikut memastikan umat Kristiani di dua kabupaten tersebut terpenuhi hak-haknya. Biarlah Natal tahun ini menjadi Natal tragis terakhir kali yang tidak boleh terulang lagi ke depannya.

Sebagai bagian dari masyarakat Islam Indonesia, JIAD menyerukan agar umat Islam berhenti menghentikan segala persekusi dan diskriminasi terhadap Kekristenan dan pemeluk agama lain. Islam tidak bisa lagi disandera untuk memuntahkan narasi egoistik penuh kebencian terhadap anak bangsa yang berbeda agama/keyakinan. Berhentilah merongrong Pancasila dan kebhinnekaan dengan membawa-bawa Islam. 

Perongrongan Pancasila lainnya muncul di Jawa Timur dalam bentuk himbauan MUI yang melarang orang Islam mengucapkan selamat Natal. Himbauan ini sangat berpotensi memecah belah keluarga besar Indonesia. Tidak ada manfaatnya sama sekali dan malah justru menimbulkan kemudlaratan. Itu sebabnya himbauan ini tidak perlu diikuti. 

Sebaliknya JiAD menyerukan kepada setiap muslim agar tidak perlu takut mengucapkan "Selamat Natal," dan menghadiri undangan perayaannya sebagaimana yang pernah dicontohkan almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan ribuan pengikutnya (GUSDURian). Dalam konteks ini, JIAD mengamini dawuh Gus Dur; semakin tinggi kadar keislaman seseorang, harusnya, semakin besar pula rasa toleransinya.



Makam Gus Dur, 22 Desember 2019.

Aan Anshori
Kordinator JIAD
085780314559 (WA)

Friday, December 20, 2019

DRAMA PEMBEBASAN DI JAZZ


Doktrin kelima dari 9 nilai utama Gus Dur adalah pembebasan. Kata ini dalam bahasa Inggris bisa dipadankan dengan "to liberate," artinya, menurut Webster, " to free (someone or something) from being controlled by another person, group, etc."

Doktrin ini, dengan demikian, mendorong setiap kader GDian untuk senantiasa bekerja melakukan pembebasan dalam hal apa saja. Misalnya, jika kamu melihat ada salah satu dari pasangan yang hidup menderita dalam relasi pacaran, maka tugasmu adalah memerdekakan salah satunya dari penderitaan. 



"Kenapa kamu tetap bersamanya padahal menderita?" tanya kader kepada Korban. 
"Aku suka dia, mas," katanya menunduk.
"Aku tahu, namun seyakin apa rasa sukamu padanya pantas dibalas dengan penderitaan seperti ini? Lihatlah, ia sedang bergandengan dengan orang lain," tambah kader.
"Duuhh mas.. Sesak dada ini," ia membuang muka.

"Kenapa kamu tidak memilih orang lain yang jelas lebih menyayangimu?" Kader terus memburu.
"Emang ada yang seperti itu?" Korban setengah tak percaya.
"Ada dong... Dia lho nggak jauh darimu. Selalu ada untukmu. Mungkin kamu tak merasakan," Kader mulai menjelaskan.
"Mas, aku tahu siapa dia namun aku tak yakin dia seperti itu. Apalagi ia telah menjadi milik orang lain," segera Korban membuang muka dari hujaman tatapan Kader.



Hujan pun mulai turun, persis yang aku alami di Warkop Kulit dekat IAIN Kediri saat ini. 

Atas budi baik Yuska, aku nebeng mobilnya menuju IAIN Kediri. Sebagai salah satu presidium GDian Jawa Timur, ia memang berencana hadir di IAIN Kediri. Dengan mengendari Jazz, kami menuju Kediri, pusat sinode denominasi "Gudang Garam" di mana aku menjadi salah satu dari jutaan jemaatnya.

Di mobil itulah aku terjebak dalam drama singkat pembebasan. Kisahnya sebagaimana gambar percakapan yang aku unggah.

Friday, December 13, 2019

AMNESIA MAKELAR NATAL


"Hai mas.. Apa kabar?" 

Tiba-tiba punggungku dicolek perempuan. Aku langsung menoleh ke belakang, melihatnya. Cantik dan bermuka teduh. 

"Hai.. Apa kabar? Selamat Natal ya," aku membalasnya dengan hangat sembari langsung berdiri. Aku masih terus berfikir siapa perempuan ini. Sejenak aku meyakini ia adalah salah jemaat Persekutuan Doa Oikukemene Kasih yang tadi malam menggelar acara Natal. Namun memoriku menyangsikannya. Wajahnya begitu familiar. Aku tak ingat pernah bertemu di mana.

"Aku sama suamiku di belakang," katanya sembari terus memegang perutnya. Aku melihat ia tampak kepayahan dengan perut yang makin membuncit. Usia kehamilan di atas 7 bulan. 

Aku melambai ke arah suaminya, tersenyum, dengan tetap dirundung pertanyaan utama; siapa sebenarnya perempuan ini; di mana kami pernah bertemu. Pikiranku terus aku genjot untuk segera menemukan siapa ia dalam belantara memoriku. Sayang gagal total. 

"Main dong ke gerejaku di Kebraon," cletuknya.

Deg...

Aku langsung ingat.

Ia adalah pendeta Batak yang pernah ikut sesiku di acara Youth, Women, and Peace Building di majelis agung GKJW beberapa waktu lalu. Aku kemudian teringat kalau ia bukan dari HKBP, HKI atau GBKP. Ia satu sinode dengan Mbak Darwita Purba, dan juga punya marga yang sama. Marga yang tak bernomor. 

Namun tetap saja aku gagal mengingat siapa namanya. 

Kami pun terlibat dalam percakapan hangat seputar kunjunganku ke Siantar beberapa waktu lalu. 

"Eh kapan gerejamu natalan?" tanyaku pada pendeta perempuan bermarga Purba yang masih belum aku ingat namanya.

"24 Desember, Mas" jawabnya.
"Natalanmu selama ini belum pernah didatangi teman-teman Muslim kan?" tebakku.

Boru Purba ini pun menggeleng.

"Ayo dong undang teman-teman Muslim. Apa nggak bosan selama ini Natalan hanya dihadiri jemaat Kristen saja?" kami pun tertawa lepas. 

"Eh sebentar kamu harus ketemu temanku," ujarku tiba-tiba sembari mencari lokasi duduk mas Irwan Putra Aidit, aktifis GP Ansor dan Banser, temanku dalam urusan lintas agama. Kebetulan rumahnya tak jauh dari Kebraon, tempat gereja GKPS berlokasi.

Aku gandeng perempuan boru Purba ini menghampiri mas Irwan yang hanya 3 meter dari tempat duduk kami. Aku memperkenalkan keduanya. 

"Gus, iki adikku, pendeta Batak di Kebraon. Tolong natalan tanggal 24 nanti dikunjungi ya. Silahkan bercakap-cakap," ujarku pada mas Irwan.

Aku pelan-pelan meninggalkan mereka yang larut dalam percakapan. Mereka tampak saling berbincang dan bertukar nomor telpon. Namun tetap saja, aku gagal mengingat namanya. Bodoh sekali aku ini. Amnesia temporer super akut.

"Namanya Pendeta Elva, Gus" kata mas Irwan berbisik padaku setelah Elva pamit pulang.

"Hati-hati di jalan ya, Elva! Jaga bayimu!" teriakku dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Ia terlihat tersenyum. 

Monday, December 9, 2019

MIRA DAN AGAMANYA


"Gus, saya Mira. Katolik. Saya datang dari Depok. Saya hanya ingin berbagi cerita saja di forum ini," ungkapnya dari  pojok belakang forum diskusi "Memaknai Kelahiran Isa Almasih," di GKI Kebayoran Baru tadi malam (7/12).

Mira dulunya Islam. Ia kemudian memutuskan berpindah ke Katolik. Tidak mudah baginya untuk hal tersebut. Ia kerap sembunyi-sembunyi untuk membaca setelah Alkitab karena takut menyakiti orang-orang terdekatnya. 

"Mbak, matur nuwun atas sharingnya. Mungkin aku salah namun menurutku tugas suci manusia adalah menjadi cahaya bagi alam raya. Berbuat baik dan nengasihi. Tidak menyakiti orang lain. Cahaya bisa berwujud apa saja. Lampu petromaks, halogen, lilin, ublik, atau bahkan krim antiaging," kataku.

Jika untuk mampu menjadi cahaya seseorang perlu bantuan agama, maka beragama menjadi wajib baginya. Dan jika untuk menjadi cahaya pula ia butuh pertolongan agama tertentu, maka agama tersebut harus ia pilih. 

Saya menggaris bawahi dua bantuan di atas -- beragama dan agama tertentu -- untuk memastikan kita bisa berfikir adil; pertama, bahwa  ada kemungkinan orang bisa memancarkan cahaya tanpa bantuan agama. Dan kedua, kemungkinan kita memilih agama yang berbeda dari pengguna agama lain dalam "agama tertentu," 

Setiap orang pada dasarnya merdeka untuk memutuskan apakah akan memakai dua bantuan ini atau tidak. Pijakan saya dalam hal ini adalah QS. 2:256. 

Ayat ini, sebagaimana dicatat ibn Jarir al-Tabari melalui Ikrima dari Ibn Abbas, turun saat ada orang tua (Islam) galau karena anaknya memilih agama lain. Kanjeng Nabi kemudian menyampaikan ayat ini, ayat "tidak ada paksaan dalam beragama (Islam),"

Secara historis, sikap ayat ini kemudian tercermin, misalnya, dalam posisi Kanjeng Nabi terhadap keyakinan pamandanya, Abi Thalib. Pria ini hingga akhir hayatnya tetap teguh beragama sebagaimana leluhurnya. 

Sangat mungkin posisi ayat al-Quran dan sikap Nabi ini merupakan cerminan refleksi mendalam atas pergumulan personal Nabi ketika memilih beragama diluar agama mainstream kala itu. Nabi, menurut ceritanya, kerap mengalami persekusi dari sekitarnya karena keyakinannya. Bahkan hingga 15 pengikut awalnya diminta mencari suaka politik ke kerajaan Aksum Ethiopia yang dipimpin raja beragama Kristen. 

Nabi dalam ayat antipemaksaan agama tersebut seakan ingin menyatakan kepada kita agar tidak mempersekusi pemeluk agama lain karena Nabi dan pengikutnya pernah mengalami pengalaman persekusi. 

"Mbak, aku melihat mbak bahagia dengan kondisi beragama sampeyan seperti ini. Aku ikut bahagia atas hal itu. Tetap perkuat relasi baik dengan ortu serta yang lain," kataku.

Dalam forum kemarin aku juga memprovokasi peserta agar mau mempertimbangkan model beragama substantif dan hibrid. Yakni sejenis beragama yang adaptif atas hal-hal positif yang, katakanlah, dimiliki agama lain. 

Sederhananya, sepeda motor yang saya miliki adalah Suzuki Shogun 125. Namun kini seluruh sparepart motor saya tidaklah original keluaran pabrik yang khusus tipe tersebut. Spion, lampu, busi, maupun aki adalah beberapa elemen "pengkhiatan" yang kini menempel di motor saya. 

Sepeda motor seperti ini bisa disebut hybrid -- something that is formed by combining two or more things. Setiap bagian saling melengkapi. Model hybrid juga lazim dalam sejarah agama maupun praktek keagaman. Orang bisa beragama formal tertentu namun memiliki karakteristik dan prilaku yang dianggap dekat agama lainnya.

Menurut beberapa romo, Gus Dur itu katolik. Minus baptisnya saja. Bagi mereka etika dan prilaku Gus Dur dianggap telah mencerminkan idealitas nilai-nilai yang diajarkan Gusti Yesus. Gus Dur dalam kesempatan lain juga pernah menyatakan Romo Mangun adalah muslim. Minus syahadat. 

Pointnya, setiap agama harusnya dipahami sebagai salah satu jalan menuju keilahian. Keilahian dalam hal ini dimaknai sebagai kewajiban pemeluknya untuk berkorban demi orang lain. Ya, beragama sama dengan berkorban. 

Orang Islam perlu memikirkan untuk mengorbankan model klasik beragamanya agar bisa memperoleh derajat yang lebih tinggi. Mengorbankan ego keagamaannya, misalnya, dengan cara memberikan ruang setara bagi pemeluk agama lain adalah tantangan terbesar. Mengorbankan fanatisme dengan cara tidak memaksakan kehendak, contohnya, terhadap orang seperti Mira merupakan model beragama yang lebih dewasa. 

Lan tanalu al-birra khatta tunfiqu min ma tukhibbun. Seseorang tidak akan mendapak kebaikan sampai ia mengorbankan apa yang ia cintai. 

Benarkah kita telah beragama seperti itu?

Friday, December 6, 2019

LINDUNGI KOTA SANTRI(WATI) DARI KEJAHATAN SEKSUAL


Rilis Jaringan Alumni Santri Jombang (JASiJO)



LINDUNGI KOTA SANTRI(WATI) DARI KEJAHATAN SEKSUAL


Setelah dihantam kasus kekerasan seksual massal di SMPN 6 setahun lalu, Kota Santri kembali didera cobaan yang sama. Kali ini santriwati salah satu pesantren di kawasan Ploso Jombang menjadi Korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh salah satu elit pesantren tersebut. Polisi sendiri sudah menetapkan MS, diduga pelaku, sebagai tersangka. 

Berkaitan dengan hal tersebut, Jaringan Alumni Santri/wati Jombang (JASiJo) menyatakan sikap sebagai berikut:

 1.  Mengecam aksi kekerasan seksual terhadap Korban santriwati
 2. Mengapresiasi kesigapan Polres Jombang dalam merespon kasus ini serta berani membongkar seluruh skandal yang telah berlangsung lama. JASiJo berkeyakinan masih ada Korban lain dalam skandal ini. Kepolisian juga tidak perlu minder dan takut mengingat kasus ini melibatkan "orang besar"
 3. Mendukung kepolisian untuk memberikan keadilan publik dan Korban dengan cara mempertimbangkan untuk menahan tersangka mengingat ancaman pidananya lebih dari 5 tahun serta agar mempermudah proses penyidikan
 4. Mendorong Pemkab Jombang  lebih serius memastikan semua institusi pendidikan, khususnya pesantren, untuk memperbaiki sistemnya agat terbebas dari potensi praktek kekerasan, termasuk kekerasan seksual, utamanya terhadap anak
 5. Mendesak pemerintah dan DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


Jombang, 5 Desember 2019

Aan Anshori 

Saturday, November 2, 2019

CELANAMU TIDAK CINGKRANG? JANGAN KUATIR TIDAK MASUK SURGA


Teman dekatku bercerita; suaminya kerap dibombardir kawan-kawannya perihal celana yang ia kenakan. Panjang celananya menjuntai menutupi matakakinya, seperti celana panjang lazimnya. Semua celana panjangku seperti itu kecuali yang pendek.

Apakah dengan demikian aku dan jutaan pemakai celana non-cingkrang akan masuk neraka? Jika mereka menteri urusan surga-neraka, sangat mungkin iya. Namun alhamdulillah, ternyata dua tempat itu masih dalam otoritas Allah.

Allohku mahaPengampun (rakhim) bahkan terhadap kejahatan yang jelas merugikan orang, sepanjang pelakunya mengakui kesalahan dan memohon ampun. Selain itu, surga dan neraka adalah misteri Alloh. Berbuat baik tak serta membuat seseorang masuk surga secara otomatis. Begitu juga terkait neraka.

Lantas, bagaimana jluntrunganya sehingga kita kerap disuguhi "ajaran," yang sering disebut sebagai hadits nabi yang menyatakan pemakai celana/sarung non-cingkrang tidak akan dilihat Alloh, alias diacuhkanNya, dan kabarnya akan masuk neraka?

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ

“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)

Cobalah dipikir dengan baik dan tidak emosional; bagaimana mungkin Tuhan yang mahaAgung, mahaPemurah, mahaTakButuhManusia, mahaSegalanya, tiba-tiba dipersepsikan begitu mencemburui celana non-cingkrang.

Coba direnungkan sekali lagi; kejahatan model apa yang bisa kita bayangkan, yang dilakukan oleh mereka pemakai celana non-cingkrang? Tidak ada!

Jika memang bercelana non-cingkrang dapat membuat pemakainya masuk neraka, sudah pasti tindakan ini merupakan kejahatan serius yang tidak mungkin diabaikan al-Quran. Padahal kenyataannya kitab suci ini tidak berkata apapun terkait model celana.

Penelisikanku menunjukkan, hadits celana cingkrang berkaitan dengan hadits yang kabarnya dinarasikan Ibnu Umar sebagaimana dicatat Sahih Muslim 5574.

لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ

“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.”

Hadits senada (5576) juga terekam di kitab yang sama.

إِنَّ الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Perhatikan dengan benar dua teks di atas; pelarangan celana non-cingkrang selalu DIKAITKAN DENGAN iringan sikap sombong. Hipotesisku, kala itu banyak pemakai celana non-cingkrang yang kerap menampilkannya dengan perasaan sombong di hadapan orang lain. Pamrih pengen dipuji atau sedang mengintimidasi orang lain.

Marilah kita baca apa yang tertulis dalam Sahih Muslim No. 306, sebagaimana cerita Abi Dzar.

يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.”

Nabi Muhammad menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,

خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”

Nabi menjawab,

الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.”

Orang isbal (musbil) adalah individu yang pakaian atau celananya menjuntai hingga di bawah mata kaki diiringi kesombongan.
....

Lihatlah, pelarangan isbal ini digolongkan bersama dengan kecaman atas pelaku sumpah palsu dan pengungkitan pemberian --dua hal yang kerap menyakiti perasaan orang lain. Ini menunjukkan pelarangan isbal terletak BUKAN pada aspek fashionnya, NAMUN pada sikap kesombongan karena memakai pakaian tersebut. Kesombongan --dalam hal ini adalah  berpakaian -- merupakan tindakan tidak sensitif dan empatif yang bisa menyakiti perasaan orang lain.

Dalam konteks yang lebih luas, larangan kesombongan celana non-cingkrang ini sebangun dengan ketidakbolehan kita bersikap sombong karena gadget, jabatan sosial, properti atau kekayaan lain yang kita miliki. Dengan kata lain, melalui teks di atas, kita sebenarnya diminta untuk tidak menyakiti orang lain, sebagaimana kerap dilakukan kelompok celana cingkrang dengan cara merasa dirinya lebih mulia, lebih tinggi, ketimbang non-cingkrang.

Saranku; bercelanalah, tidak hanya sesuka hatimu namun juga pastikan tidak ada intensi kesombongan apalagi niatan merendahkan orang lain. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akandirendahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.

-- at KA Sri Tanjung menuju Jember

Aan Anshori

Friday, September 13, 2019

Ibn Hazm dan Anting untuk Emeritasi Pdt. Gerrit Singgih

Harusnya, aku menjadi salah satu pembedah buku keren milik Prof. Gerrit ini. Namun apa daya aku sudah terlanjur mengiyakan undangan dari PGIW Banten, Sabtu (14/9).

"Tapi bisakah hadir dalam emeritasiku, Gus?" tanya pendeta yang semakin flamboyan dengan antingnya. Aku segera mengubah jadwalku di Banten. Mempercepatnya agar bisa bablas ke Jogja hari Minggunya. Untung tiket kereta masih tersedia. Maka, besok malam aku akan bergerak menuju Lempuyangan dari Stasiun Senen. Padahal, saat menulis status ini, aku lagi berkereta ke Stasiun Senen.

Aku merasa harus datang pada momen penting temanku ini. Prof. Gerrit ditahbiskan di GPIB Makassar sekitar awal tahun 80an. Setelah itu dia diminta berdinas di wilayah akademik, di UKDW.

Aku mengenal professor ini secara tak sengaja. Adalah Hana Singgih, temanku alumni NMCP UI asal Makassar yang pertama kali menyebut namanya padaku ketika tahu aku bergerak di isu interfaith. Pak Gerrit masih saudaranya. Sama-sama bermarga Singgih, jika tidak salah.

Aku tak pernah secara langsung mengikuti kelasnya. Namun dalam pandanganku Professor Gerrit adalah sosok penting dalam kekristenan Indonesia. Tak terhitung lagi berapa pendeta dan teolog lulusan UKDW yang pernah menikmati kelas yang ia ampu.

Bersama Lail adikku, aku pernah diundang mengunjungi tempatnya bekerja di UKDW. Ruangan sederhana namun menyenangkan. Persinggunganku dengan professor ini semakin intens dalam mengkampanyekan pesan profetik agama supaya lebih ramah terhadap isu minoritas gender dan seksualitas. Kami tidak sendirian. Ada juga mas Steve Suleeman, pengajar STFT Jakarta yang lebih dulu emeritasi sebagai pendeta di GKI.

Secara personal, aku melihat "kesendirian," pak Gerrit hingga menjelang emeritasi merupakan pergulatan luar biasa dari professor ini dalam rangka mendedikasikan dirinya bagi ilmu pengetahuan dan imannya. Banyak sekali cendekiawan tersohor Islam klasik yang juga memilih hidup "sendiri" tanpa pasangan. Sebut saja Ibn Jarir al-Tabari, ibn Taymiyyah dan tentu saja Ibn Hazm.

Yang aku sebut terakhir tadi cukup unik. Pernah suatu ketika, sebagaimana ditulis Camilla Adang dalam "Ibn Hazm On Homosexuality; A Case- Study of Zàhirl Legal Methodology," Ibn Hazm menolak datang ke sebuah undang pesta.

Gara-garanya sepele. Ia takut tidak bisa menguasai dirinya karena ada cowok ganteng yang bisa membuat jantungnya berdebar-debar di pesta itu. Hazm dengan seluruh kepandaian yang ia miliki mematahkan argumen hukum Islam yang memvonis homoseksualitas dengan aneka pidana bunuh, misalnya dirajam, dibakar, atau dijatuhkan dari tempat tinggi dan ditimpuki batu setelahnya. Ia membahas pendapatnya itu di bab akhir kitab masterpiecenya al-Muhalla.

Sama seperti halnya Ibn Hazm, professor Gerrit juga mendedikasikan pikiran dan energinya untuk menyusun argumentasi biblikal agar bisa selaras dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.

Aku sendiri menduga kuat ibn Hazm adalah seorang gay. Namun jangan pernah bertanya padaku apakah Professor Gerrit gay atau bukan. Aku tak berani lancang menjawabnya.

Sebagai seorang teman, aku cukupkan diriku bahagia melihatnya semakin ekspresif dengan politik ketubuhannya seperti sekarang. Jika boleh berharap ia akan tetap memakai anting saat emeritasinya. Syukur-syukur bisa ketemu seseorang yang mampu membuat hatinya berdebar seperti halnya Ibn Hazm.

Panjang umur perjuangan, Prof!

-- at GayaBaruMalam menuju Stasiun Senen.

Wednesday, August 28, 2019

SAAT NAHDLIYYIN MENJADI SAKSI PERKAWINAN GKI dan HKBP

Hampir 50 tahun beragama Islam dengan rekam jejak 19 tahunan bergerak di isu lintas iman, baru kali ini aku terlibat dalam urusan administrasi perkawinan Kristen.

Aku dijadikan salah satu saksi perkawinan Lia dan Erwin. Saksi lainnya adalah Susi Indraswari, penggerak GUSDURian Jombang. Keterlibatanku sebagai saksi di sana bukanlah sekedar sebagai saksi sebagaimana orang yang menyaksikan karnaval atau perpindahan ibukota.

Kesaksiaanku formal. Nama dicatat. KTP diverifikasi. Orangnya juga harus hadir. Kesaksiaanku adalah by law. Tertera jelas nama dan agamaku; Moh. Anshori, S.H. - Islam (notok). Dibacakan di hadapan forum sembari diakhiri, "Benar demikian?" kata petugas.

https://www.facebook.com/1561443699/posts/10219307753075534/?app=fbl

Lia adalah ....

dosen UC, Tionghoa, pernah Perkantas, jemaat GKI Jombang dan alumni Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) pertama di kota Santri. Sedang Erwin; Batak dan bergereja di HKBP. Marganya Bagariang yang konon terlarang kawin dengan Situmeang, Marbun, Simanungkalit, Hutahuruk, dan Sitohang. Untuk kepentingan perkawinan, Lia mendapat marga Manalu.

Pemberkatan keduanya dilakukan di HKBP ressort Pasar Minggu oleh Pdt. Ruth Betty Agustina br Pandjaitan, setahun lalu kira-kira. Aku tahu karena pegang dokumennya.

Aku masih ingat mengajak banyak teman-teman GUSDURian Jombang datang ke perayaan perkawinan mereka, bersamaan dengan halal bi halal tahun lalu. Perayaan semakin meriah karena teman-teman waria Jombang juga datang. Aku ajak mereka.

Tiba di Dispendukcapil Jombang, kami langsung antri. Dapat urutan ketiga dari total empat pasangan yang akan dilayani pagi ini. Setelah dipanggil, kami semua masuk ke dalam ruangan mirip persidangan. Tiga orang petugas duduk di depan, bangkunya lebih tinggi.

"Saya baru pertama kali mengalami hal seperti ini, sebagai muslim berusia hampir 50 tahun. Saya kira perjumpaan seperti ini penting untuk mengajarkan toleransi. Terima kasih," tiba-tiba saya nyerocos menerobos keheningan saat tanda tangan kehadiran diedarkan.

Dalam hukum Islam (fikih) klasik, keterlibatanku di perkawinan ini pasti agak bermasalah. Aku akan dianggap mempercayai sekaligus meneguhkan perkawinan dalan agama yang dianggap musyrik -- menyembah selain Allah yang Esa. Aku akan dilabeli sebagai pendosa.

Akan tetapi sebagai orang yang tidak hanya berkecimpung dalam hukum Islam namun juga bergaul dan sedang mempelajari kekristenan, juga agama lain, aku merasa Kristen jauh dari status musyrik, apalagi kafir. Mereka adalah orang beriman.

Perkawinan Rasulullah Muhammad dan Khadijah tidak diselenggarakan dalam instrumen keislaman ketat seperti sekarang. Mereka berdua tunduk dalam perkawinan adat yang tidak menyinyiri perempuan dengan status sosial dan ekonomi melebihi pasangannya.

Saksi-saksi mereka juga beragama lokal dan Kristen Timur. Khadijah sendiri, perempuan terhormat dan menjunjung tinggi feminisme, besar dan dididik dalam kultur non-Islam. Sedikit cerita menarik perkawinan Khadijah dan Rasulullah bisa diakses dalam tulisanku https://locita.co/esai/seandainya-khadijah-ikut-women-march

Maka sesungguhnya, jika mau merujuk pada imaji perkawinan awal Rasulullah, apa yang aku lakukan di Dispendukcapil tergolong masih "ringan,"  Sayangnya, kultur pendidikan klasik Islam di Indonesia masih terpenjara dalam dogma belakangan yang sangat kuat. Tidak mendidik pengikutnya mengeksplorasi berbagai hal untuk kebaikan peradaban. Ah, tak mengapa.

"Apakah perkawinan ini atas kehendak sendiri atau orang lain," tanya petugas pencatat perkawinan, seperti seorang hakim.
"Kemauan sendiri," jawab Erwin.
Pertanyaan serupa juga dilawatkan ke Lia. Jawabnya juga sama " Kehendak sendiri,"

Perkawinan Kristen hari ini memperlihatkan padaku betapa sistem ini memberikan kemerdekaan kepada mempelai, utamanya perempuan, untuk berbicara atas namanya sendiri. Menjawab sendiri, tidak dimakelari oleh orang lain.

Dalam perkawinan Islam Sunni yang aku pernah ikuti dan alami, mempelai perempuan dimanjakan sistem; ia tidak akan ditanya atau berhak berbicara selama proses. Ayahnyalah, atau wali, yang membereskan semuanya, termasuk meminta bantuan petugas KUA untuk mengadakan akad "transaksi," Mempelai perempuan dicomblangi oleh dua agen; ayah dan penghulu. Sedang hal itu tidak berlaku bagi mempelai laki-laki.

Setiap agama dan keyakinan punya sistem nilai dan ritual tersendiri. Itu sebabnya kita bisa dianalisa secara terbuka, termasuk untuk menemukan; mana aspek pinggiran dan mana inti; mana yang harus ada (tsabit), mana yang boleh berubah (mutahawwil).

Lia dan Erwin telah memberiku, seorang Nahdliyyin, kesempatan melihat dari dekat sekaligus terlibat dalam etape penting dalam kehidupan mereka. Aku belajar banyak dari proses ini dan merasa terhormat. Itu sebabnya aku menggunakan baju yang sangat jarang aku pakai; seragam pengurus NU saat Muktamar NU Makassar 2010.

I am happy for both of you Muliasari Kartikawati Manalu & Erwin Bagariang.

Friday, August 16, 2019

SALIB SOMAD; MENJADI DRAKULA ATAU MANUSIA?

Teman-teman Kristianiku yang terkasih,

Konten video Ustadz A. Somad (UAS)  sungguh tidak sensitif terhadap simbol suci kalian. Meski disampaikan dalam forum tertutup, namun melihat lelaki ini memaparkan opininya disertai mimik merendahkan dan disambut tawa meremehkan dari pendengarnya membuatku pilu.

Aku tahu pasti banyak di antara kalian yang kuat mendengar ocehan sinis UAS, namun tetap saja aku membayangkan akan sangat banyak warga Kristen mendidih darahnya dan terluka saat simbol dan junjungannya diolok.

UAS telah secara tepat mengcopy-paste pandangan para Islamist klasik menyangkut salib. Sangat mungkin mereka dan dirinya pernah punya pengalaman kelam berkaitan dengan salib. Barangkali mereka pernah kesurupan, susah tidur, atau mendadak adem panas ketika melihatnya.

Atau, bisa juga mereka memang melihat jin "kafir," raksasa muncul mengiringi salib. Jika demikian halnya, kita malah justru harus mengasihani dan mendorong mereka; agar mau belajar mengetahui lebih banyak lagi, agar tidak kesurupan lagi.

Tapi, namanya juga orang kesurupan, mereka pasti tidak ingat jika Alloh SWT. telah mewanti-wanti umat Islam agar tidak menghina sesembahan agama lain.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 6:108)

Bayangkan jika junjungan Islam, Allah dan Nabi Muhammad, direndahkan setara dengan apa yang dilakukan UAS terhadap salib dan Yesus. Rasanya pasti sangat melukai.

Namun aku harus jujur kepada kalian. Apa yang UAS sampaikan merupakan doktrin mainstream di kalangan Islam Indonesia, setidaknya yang beraliran Sunni. Sangat banyak orang Islam yang mengikuti doktrin tersebut, tidak hanya pengikut mantan 02 namun juga eks 01.

Kita tak perlu menjadi seorang ilmuwan untuk mampu menyatakan bahwa doktrin seperti ini akan merawat cara pandang bias dan prasangka Islam terhadap kekristenan dengan implikasi yang sangat serius; perendahan, diskriminasi, intoleransi dan, yang paling menakutkan, tegaknya negara Islam di Indonesia.

Sayangnya, hingga hari ini, rasanya belum ada satu pun sarjana Islam Indonesia yang berani mengajukan wacana tanding atas konservatisme hukum Islam (fiqh) menyangkut salib. Ini agak menyedihkan manakala kita tahu Negara kita, melalui pajak yang kita bayar, telah mengeluarkan triliunan rupiah guna membiayai beasiswa ribuan Muslim agar lebih rasional dan berani bertindak adil.

Konservatisme pandangan Islam atas salib senyata telah menjadikan banyak muslim bak drakula dan vampire dalam film-film Hollywood. Keduanya kerap lari terbirit-terbirit ketika salib disorongkan ke muka mereka berdua. Menggelikan.

Aku berdosa jika mengatakan aku tidak pernah dirawat dalam konservatisme tersebut. Benarlah adanya, aku memang pernah dijaga dan dirawat sangat lama olehnya, hingga kemudian bisa mengkonfirmasi keberadaan "jin kafir," sebagaimana tuduhan UAS.

Lebih dari 15 tahun terakhir ini aku, dengan segenap keislaman dan kesantrianku, blusukan ke gereja, kuburan Kristen, paroki, rumah warga Kristen, maupun pastori. Bahkan, tak jarang aku menginap, membuat acara dan makan bersama orang-orang Kristen. Aku pasti menemukan banyak salib dalam berbagai ragam.

Yang mengejutkanku, tak pernah sekalipun aku bertemu jin kafir --baik dalam arti metafisik maupun metaforik. Metafisik merujuk pada perwujudan bentuk gendruwo atau aneka reinkarnasi makhluk jahat adi-kodrati. Sedangkan metaforik bermakna simbolisasi kejahatan dan keangkaramurkaan yang dianggap melekat pada siapa saja yang mengimaninya.

Justru sebaliknya aku menjumpai hangatnya persahaban dan tulusnya persaudaraan. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Tidak sekalipun mereka berupaya mengkonversiku masuk agamanya. Malahan tak sedikit yang cukup gigih mengingatkanku saat waktu shalat tiba.

Saat berjumpa dengan mereka, aku belajar banyak hal positif dalam Alkitab, utamanya menyangkut budi pekerti, kemanusiaan dan cinta kasih serta keadilan. Sungguh benarlah adanya firman Alloh SWT. yang meminta Muslim untuk menaruh perhatian serius (mengimani) kitab-kitab suci sebelum alQuran, sebagaimana disinggung QS. 2:1-4. Bagiku, ayat itu sangat sakti; bisa memprosesku dari drakula menjadi manusia.

UAS mungkin tidak memiliki teman Kristen yang cukup sehingga tidak pernah mencecap pengalaman itu. Sekali lagi, ia harus dikasihani. Usulku, lawatlah dia. Ajak ngopi dan undang dia berbicara di gereja, semoga ia cukup berani.

Aku sepenuhnya menyadari ketakutan banyak umat Islam terhadap salib lebih dikarenakan dogma klasik berbasis pengalaman masa lalu. Bagiku, satu-satunya cara mematahkan dogma tersebut adalah melalui perjumpaan Islam-Kristen secara terus menerus. Harus ada keberanian untuk melakukan hal itu.

Berbekal pengalaman yang aku punyai, dalam kurun waktu 3 tahun ini, aku telah mengajak ratusan anak muda Islam berhijrah; mengunjungi gereja, bertemu salib dan mempersilahkan mereka memandanginya.

Alhamdulillah, mereka tidak hanya tetap muslim namun justru semakin teguh pada iman barunya; iman yang memahami, bukan menyalahpahami. Dengan demikian berarti mereka sudah sembuh, tidak lagi seperti drakula yang kelimpungan ketika menjumpai salib. ِMaka nikmat Tuhan kami yang manakah yang kami dustakan?

Teman-temanku Katolik dan Protestan, ampunilah UAS meski aku tahu ini sangat tidak mudah. Percayalah, hanya sosok rendah hati yang akan mewarisi bumi Indonesia. Bukan para drakula.

Kami, para GUSDURian, bersama kalian.

Wednesday, July 24, 2019

Indonesia dan Misteri Kresek Hitam di Klasis Jakarta I

Kira-kira dua jam setelah sesi, panitia memberiku kresek hitam, isinya sungguh sangat mengagetkanku.

**

"Saya heran dan merenung; ribuan kali kalian didiskriminasi, dipersekusi, dihinakan, kok masih saja tetap krasan bergaul dengan kami di Indonesia. Masih tetap rela dan baik kepada kami. Ini menjadi perenungan teologis bagi saya," aku berkata pada puluhan pendeta dan majelis gereja GKI Klasis Jakarta I di salah satu hotel di kawasan Kramat Raya, Jumat (19/7).

Aku diminta secara khusus untuk menghantar sesi diskusi selama 2 jam. Topiknya "Merumuskan ulang suka cita dalam kepelbagaian," Mungkin aku satu-satunya orang Islam yang diundang berbicara di forum agung itu.

Di hadapan mereka aku bicara blak-blakan menyangkut dua aspek penting penyulut kekerasan dan intoleransi terhadap kekristenan di Indonesia.

Pertama adalah menyangkut doktrin teologis Islam yang hingga sekarang tidak bisa move on perihal klaim keselamatan dan kebenaran. Lebih dari 1430 tahun telah berlalu namun tidak ada perubahan signifikan menyangkut perumusan ulang atasnya. Kafir, kafir dan kafir selalu dihujankam kepada penganut selain Islam beserta konsekuensi logis kehidupan bermasyarakat.

Kedua, menyangkut kekuatiran banyak orang Islam Indonesia akan dijadikannya negara ini menjadi negara Kristen. Kekuatiran ini tentu agak menggelikan namun sayangnya hal ini tak pernah secara serius dibincang dan diurai lebih dalam hingga memunculkan kesalahpahaman.

Padahal apa yang selama ini dilakukan gereja dalam konteks NKRI, menurutku, justru ingin memastikan NKRI tidak jatuh menjadi negara Islam, namun kelompok Islam malah menganggapnya sebagai penghalang terbentuknya imperium Islam di Indonesia.

"Saya ingin melihat sejarah dari perspektif yang katakanlah antimainstream, bahwa selalu dikatakan kelompok Islam merupakan yang paling berjasa atas NKRI. Saya katakan, faktanya tidak sesederhana itu," aku kembali menandaskan.

Melihat lini masa sejarah, setidaknya ada 3 kali keberhasilan penggagalan Islamisasi NKRI di mana gereja (kelompok Kristen, juga Katolik) berperan sangat penting. Pertama, saat Piagam Jakarta coba diajukan pada tahun 1945. Kedua, pada saat kelompok Kristen bersama kalangan Nasionalis berhasil mengungguli faksi Islam di Konstituante saat perumusan dasar negara baru paruh akhir tahun 1955. Ketiga, saat Pilpres yang baru saja kita lalui.

"Ini adalah modalitas besar bagi konfidensi gereja untuk mengambil peran lebih aktif dalam merespon  situasi kontemporer intoleransi. Saya ingin ibu/bapak di sini bisa bercerita ke anak-cucu betapa gereja punya reputasi mentereng dalam soal ini," lanjutku, "agar mereka tahu sejarah agamanya dalam mempertahankan NKRI,"

Aku meminta peserta agar menjadikan gerejanya lebih militan lagi, bersatu padu dengan kelompok nasionalis dan Islam Progresif untuk menjaga kepelbagaian di Indonesia. "Ini perjalanan berat bagi kami orang Islam. Jangan pernah patah semangat dan menyerah pada kenakalan kami," aku agak memelas dan memohon. Entah apa yang ada di benak mereka. Aku tidak peduli.

Pak Sani, professor teknik dari Univ. Parahyangan Bandung, yang menjadi moderatorku membuka dua sesi pertanyaan. Banyak sekali yang merespon, hingga waktunya lebih dari dua jam. Jika tidak dihentikan, diskusinya mungkin bisa berlarut-larut.

"Okay mari kita akhiri sampai di sini," kata Pak Sani. Namun aku buru-buru menginterupsinya agar diberikan kesempatan mengucapkan kalimat penutup.

"Nganu.. Jika boleh, saya meminta forum ini ditutup dengan doa yang dipimpin pendeta paling senior di forum ini" ungkapku. Permintaanku diloloskan. Pak Sani kemudian meminta Pdt. Anton Pardosi memimpin. Doa dilarung dengan khidmat.

Setelah acara selesai, Loudy, salah satu panitia, tiba-tiba menanyai warna kesukaanku. "Aku lebih suka merah ketimbang hitam," jawabku pendek. Aku berfikir kaos acara ini akan terbuat dari kain adem dan nyaman. Lumayan untuk ganti baju selama perjalanan panjang.

Sejam kemudian bang Pontas, ketua panitia acara, menyerahkan kresek hitam berisi kotak. "Supaya Gus Aan bisa segera berkomunikasi dengan keluarga di rumah. Terimalah, gus," katanya dengan logat Batak kental.

Ternyata isinya bukan kaos yang aku kira sebelumnya.(*)

Wednesday, June 12, 2019

Yesus Garis Lengkung atau Isa Garis Lurus?

Setelah membikin "keributan," di GKI Jombang, aku kini berangkat menuju Purwokerto. Di kota tersebut aku diajak Pdt. Maria dan Pdt. Dimas untuk bikin goro-goro; memperkuat relasi Kristen-Islam dengan cara mendiskusikan topik yang agak-agak nyrempet bahaya, yakni menyangkut kenaikan Yesus/Isa.

Aku harus mencatat, topik polemis antara Islam-Kristen biasanya cenderung dihindari. Takut nanti malah gegeran. Ketakutan itu aku kira wajar karena sangat mungkin muncul dari model pemikiran yang sejak awal bias dan cenderung kaku dalam melihat sebuah persoalan. Bias dalam arti; pemikiran tertentu selalu lebih dianggap lebih unggul ketimbang lainnya, dan kebiasan ini, lebih jauh, diterapkan kaku tidak hanya secara murni, namun juga sepenuhnya konsekuen.

Jadinya ya mesti gegeran, ilok-ilokan, krayah-krayahan, dan cokotan-cokotan. Apalagi hingga saat ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi belum punya kewenangan untuk menangani perselisihan pandangan, misalnya, "Apakah Yesus/Isa dinaikkan setelah atau sebelum ia mati?" Bagi Kristen, jawabannya sudah sangat jelas. Namun bagi hampir semua Muslim Indonesia, pertanyaan itu akan ditimpali dengan pertanyaan lain, "Memang kata siapa Isa sudah mati? Ia masih hidup kok sampai sekarang,"

Biasanya, Diskusi  kemudian akan sepenuhnya bergeser pada lorong gelap seputar tiga hal menyangkut dirinya; kematian, penyaliban, dan, yang paling penting adalah, aspek keilahiannya.

Dalam pengajaran Islam tentang Isa/Yesus, kami tidak dididik mengetahui model lain memahami sosok ini, selain dari yang kami miliki, yakni sejenis keyakinan yang merupakan penggabungan dari unsur Gnostik, Arian, Jullian of Hellicarnasus Menophysite Seven Antioch dan unsur Nestorian. Bagi kalian yang tidak cukup paham, ini mungkin mirip resep membuat margarita atau mojito.

Nah, akibat dari absennya pengajaran model pemahaman lain tentang Isa maka kami  kerap sedikit gelagapan dan terseok-seok memahami Isa, misalnya, dari sudut pandang trinitarian yang terkenal highly sophisticated, canggih, meliuk-liuk, dan berlapis-lapis. Bandingkan dengan cara pandang unitarian ala rata-rata Muslim yang cenderung straight-forward; nek ijo yo ijo, nek abang yo abang, bukan ijo yang abang atau abang yang ijo.

Lalu mana yang benar dari cara pandang tersebut? Menurutku, pertanyaan itu justru tidak tepat karena sama artinya dengan mempertanyakan; antara MU dan Barcelona, mana yang disebut sepakbola.

Pemain MU akan sedikit kesulitan dengan tiki-taka a la Barca jika ditransfer ke sana. Pun, tidak mudah bagi pemain Barca untuk menerima kick-and-rush model premier league.

Pemain garis lengkung akan bersabar dan beradaptasi dengan dua model iklim permainan tadi. Baginya, mempelajari tiki-taka dan kick-n-rush justru malah memudahkannya menentukan strategi memenangkan pertandingan. Baginya, semakin banyak stok strategi, semakin baik.

Namun bagi pemain-garis-lurus, pilihan tiki-taka atau kick n rush adalah harga mati. Baginya, fanatik pada strategi tertentu --dan menutup pintu mempelajari strategi lain-- merupakan cara terbaik menyelamatkannya dan komunitasnya dari kekalahan.

Anda pemain yang mana?

Thursday, June 6, 2019

MERAGUKAN AGAMA SENDIRI, BOLEHKAH?

Matahari sudah membumbung cukup tinggi. Makin lama sinarnya membuat wajahku panas. Aku pun terbangun. Begitulah alarm natural di kamarku.

Aku melihat whatsapp, puluhan pesan telah masuk. Hampir semuanya seputar urusan hari permaafan formal internasional. Namun ada satu yang menarik; urusan meragukan iman.

Oh ha, Mentari bukanlah nama sebenarnya. Kami tidak pernah bertemu fisik, hanya di FB saja.

---

Mentari: Assalamualaikum Gus.
Minal Aidin wal Faizin
Maaf lahir batin..🙏
Gus, saya boleh curhat dikit Ndak? Beberapa bulan lalu saya baca tulisan seorang fisikawan, bahwa bumi ini sudah terbentuk jutaan tahun. Manusia pertama sendiri diperkirakan 250 ribu tahun. Tapi agama baru hitungan 8-9 ribu tahun.

Ditambah lagi sy melihat ada banyak bentuk kekurangan dalam agama. Soal poligami dan perbudakan misalnya. Setelah membaca itu jujur sy menjadi agnostik.

Sebenarnya sy masih percaya Tuhan, tapi saya ragu pada agama. Mohon pencerahannya Gus. Bantu saya kembali yakin pada agama ini. Sy fakir ilmu, sy tidak tahu bacaan apa yg bisa mengembalikan keyakinan saya pada agama. Mohon petunjuk Gus 🙏

Aan: Hai Mentari.. Selamat menikmati liburan lebaran ya...
Waaahh kereen bacaanmu. Begini.
Menurutku, kita selalu punya ruang untuk meragukan apapun, termasuk agama. Aku melihatnya hal itu bagian dari pendewasaan imani.

Perbudakan, perang, poligami, aahh.... Kamu tahu, betapa sulitnya aku sendiri menghadapi hal2 tersebut dalam konstelasi keimanan dan keislamanku.

Aku tidak tahu apakah aku harus bersedih atau gembira dengan situasimu saat ini. Namun menurutku tugas utama manusia adalah menjadi manusia; memanusiakan manusia --tak peduli ia punya agama atau tidak; berpoligami atau tidak; percaya kuburan atau tidak, atau yang lain ya...

Intinya, tugas kita adalah BERBUAT BAIK (menjadi rahmat bagi semuanya) sebagaimana tugas Gusti.

Maka, aku sangat bersedih manakala situasimu saat ini memengaruhimu menjalankan tugas sebagai manusia.

Teruslah meragukan keimananmu NAMUN jangan pernah RAGU sedetikpun untuk menjalankan misimu sebagai manusia ya.

Thank youuu

Mentari: Terharu sy bacanya gus..
Makasih banyak pencerahannya..🙏

Aan: :)

---

Lamat-lamat aku dengar Nirwana dari Gigi. Rupanya Amiroh tengah bekerja keras dengan berkas-berkasnya.

Tuesday, June 4, 2019

TEMANI KAMI MENJADI DEWASA

MAAFKAN KAMI, selama hampir sebulan penuh telah membuat republik ini menjadi panggung bagaimana kesalehan kami tercitrakan.
Jika boleh jujur, ingin rasanya menutup mukaku ini karena rasa malu. Betapa tidak, tigapuluh hari kalian harus menenggang manifestasi praktek spiritualitas yang menurutku kurang dewasa. Istirahat kalian tidak cukup nyaman karena loud speaker masjid dan musalla menyalak lebih lama. Belum lagi tradisi patrol membangunkan sahur yang tak pernah absen sejak dini hari.
Yang paling memilukan barangkali tayangan-tayangan di layar televisi. Ceramah agama kerap didominasi konten yang  mengunggul-unggulkan produk sendiri tanpa intensi merangkul produk lain. Itu belum seberapa. Penayangan artis-artis muallaf menghiasi televisi sungguhlah sebuah hal yang tidak bisa dikatakan toleran. Coba bayangkan, bagaimana perasaan kita jika misalnya pada saat menjelang natal, televisi menayangkan para artis yang berpindah keyakinan dari Islam dan bangga dengan hal itu. Piye perasaanmu? Baguslah jika biasa-biasa saja meski aku yakin stasiun TV itu akan digeruduk dan disomasi sesegera mungkin.
Maafkan kami, selama Ramadlan ini layanan publik, seperti biasa, beroperasi setengah hati karena alasan puasa. Itupun kami minta agar dimaklumi. Kami juga memaksa halus kalian untuk praktek pemerintahan kabupaten/kota yang dengan entengnya menutup warung, restoran, karaoke, dan lokasi-lokasi yang dituding sebagai sumber maksiat. Bahkan terkadang penutupan itu dilakukan dengan paksa. "Khusus untuk non-Muslim," begitu bunyi spanduk yang susah payah dipasang depan rumah makan di wilayah Sumatera.
Maafkan kami karena sempat membuat Republik ini geger dengan peristiwa 21-22 Mei lalu. Ramadlan senyatanya tidak cukup membuat kami kuat menahan amarah dan akal sehatnya. Begitu banyak yang ditangkap karena jutaan hoax dimuntahkan dan selalu saja simbol-simbol agamaku muncul di sana. Itu belum termasuk bom gagal di pospam Kartasura Solo kemarin.
Maafkan kami yang tak pernah meminta maaf atas hal itu. Sungguh.
Rasa bersalah semakin membuncah manakala, seperti biasanya, kalian tetap baik pada kami. Gereja, klenteng, vihara, dan bangunan-bangunan suci kalian buka dengan hati bersuka-cita sembari menyediakan takjil, sahur bahkan bingkisan lebaran, untuk kami. Sungguh sebuah level kebaikan yang nyaris tak mungkin kami balas. Mungkinkah kami, orang Islam, membuka rumah dan komplek tempat ibadah kami agar kalian bisa merayakan hari suci kalian? Mungkin saja, namun teologi kami tidak pernah diarahkan ke sana. Kami mungkin terlalu jaim dan kuatir untuk itu. Kami takut terlihat rapuh ketika hendak mencintai
Maafkan kami, karena dipastikan seluruh hal di atas akan terulang lagi tahun depan. Entah sampai kapan.
Terima kasih, jangan lelah menemani kami menjadi dewasa.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 2019.
-at Kauman Mojoagung Jombang

Monday, June 3, 2019

NU dan Pancasila; Membayar Hutang Sejarah Yang Tidak Mudah

SELAMA ini, NU dikenal sangat getol menyuarakan pembelaannya terhadap Pancasila. Keberpihakannya semakin mencolok saat gelombang khilafah berusaha melumat Bangsa ini, dilumat untuk tunduk pada Islam politik.
Sangat sulit untuk tidak melihat NU tampil sebagai satu-satunya ormas Islam "ivy league," yang membabati gerogotan kanker tersebut saat lainnya diam dan malas. Kenapa NU bisa sedemikian ngototnya membela Pancasila, vis a vis melawan tubuh Islamnya sendiri? Menurut saya, NU sedang membayar hutang sejarahnya.
Sejak menit pertama perumusan Pancasila Juni 1945, melalui wakilnya, Wahid Hasyim, NU mendukung ideologi Islam sebagai platform utama Pancasila. Bersama-sama wakil Muslim-Nasionalisnya, ia setuju Piagam Jakarta tercantum dalam sila pertama, presiden haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam.
Dua hal penting ini adalah cerminan betapa elit Islam kala itu menganggap kelompoknya punya jasa lebih besar, jumlah lebih banyak, ketimbang kelompok lainnya. Seandainya pada saat itu HTI ada, bisa dipastikan NU akan bahu-membahu dengannya mengegolkan gagasan Indonesia bersyariah. Namun alur sejarah berkata lain, dalam sebuah momentum singkat sekitar 18 Agustus 1945, dua hal krusial itu hilang bersama dengan digunakannya kata "Pembukaan," mengganti diksi "mukaddimah," dalam pembukaan UUD 1945.
Tidak cukup jelas apa yang sebenarnya terjadi pada pertemuan antara seluruh wakil Islam di PPKI dan Hatta ketika Latuharhary dkk. mengancam wilayah Indonesia timur akan berpisah jika Islam ngotot dipaksakan. Namun yang pasti, anasir-anasir simbolik Islam politik benar-benar dikepras pada rapat tersebut.
Wahid Hasyim memang tidak sengotot Ki Bagus Hadikusumo, satu-satunya yang tetap kukuh agar tiga hal di atas dipertahankan. Saking ngototnya, Soekarno merasa perlu meminta tolong khusus kepada Kasman Singodimejo agar melunakkan hati wakil Muhammadiyah ini, dan berhasil. Meskipun belakang Kasman merasa sangat bersalah atas keberhasilan tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, meski telah berpisah dengan Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri pada pemilu 1956, NU tetaplah seperti yang dulu. Wakil-wakilnya di Konstituante tetap satu suara dengan wakil Islam lainnya; menuntut agar piagam Jakarta dimasukkan kembali.
Faisal Ismail dalam disertasinya mencatat wakil-wakil NU seperti Ahmad Zaini, KH. Masjkur, KH. Saifuddin Zuhri maupun Ahjak Sosrosugondo mengkritik keras Pancasila sebagai slogan kosong yang tidak memberikan muatan konkrit bagi bangsa.
Bagi yai Zuhri, ayah Menteri Agama Lukman Saifuddin, maupun yai Masjkur, sila pertama akan menyebabkan problem teologis karena bisa diinterpretasikan berbeda-beda. "Bagi yang percaya batu adalah tuhan, maka Tuhan adalah batu. Bagi penyembah pohon, maka Tuhan di sila tersebut adalah pohon," tegas KH. Masjkur.
Sila pertama, menurut Ahjak, juga bermasalah karena juga masih mengadoposi Komunisme yang dianggap tidak bertuhan. "Tidak ada konsep alternatif kecuali menjadikan Islam sebagai dasar negara karena kesempurnaannya," tawar KH. Zuhri.
Mereka sangat ngotot mengusung Islam sebagaimana juga Natsir, Isa Anshary dan Otman Raliby dari Partai Masyumi, Sjamsijah Abbas dari Perti maupun MT. Abubakar dari PSII.
Tiga kali voting dalam sidang Konstituante, tiga kali pula NU tetap konsisten pada pendiriannya; syariat Islam. Titik.
Meski pengusung Piagam Jakarta kalah tipis beruntun tiga kali, sidang perumusan dasar negara tetap tidak memenuhi kuorum sehingga, presiden Soekarno tidak punya pilihan lagi kecuali mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Salah satu isinya;  mengembalikan UUD 1945 tanpa Piagam Jakarta. Para pengusung syariat Islam semakin kecewa, terutama kepada Soekarno yang telah mengalahkan mereka 2-0.
Pancasila rasa Demokrasi-Terpimpinnya Soekarno kemudian dijalankan pascadekrit. Poros agama dalam Nasakom diisi oleh Nahdlatul Ulama. Betul, NU akhirnya bisa duduk bersama dengan PKI dan, saya kira, mulai belajar melihat lawan politik yang ia hajar habis-habisan selama sidang Konstituante.
Pilihan NU untuk "membelot" ke kelompok Nasionalis bisa dipahami dalam rangka ingin membuktikan bahwa dirinya jauh lebih progresif ketimbang Masyumi, kompetitor sekaligus rumah politik lama penuh derita bagi Nahdliyyin.
Memang, NU dibawah kepemimpinan rais aam Yai Wahab Chasbullah sejak 1947 hingga 1971 bisa dikatakan cukup progresif dan terbuka. Dia adalah satu-satunya kiai papan atas NU, kala itu, yang cukup dekat dengan lingkar studi dan politiknya HOS Cokroaminoto di Surabaya ketika Soekarno masih relatif muda. Pemikiran out of the box kiai cum pengusaha ini adalah jejak awal yang sangat penting di tengah tradisionalisme Nahdliyyin yang masih cukup dekat dengan blok-Islamnya Masyumi dkk.
Pada kelanjutannya, blok-Islam ini, dengan sokongan militer, dan Amerika Serikat, akhirnya berhasil membalaskan dendam pada Soekarno dengan cara melengserkannya, berbarengan dengan sekutu terkuat; PKI.
Dalam soal Tragedi 65-66, penting diketahui bahwa terdapat dua kelompok di tubuh NU saat itu; faksi mbah Wahab-Idham Chalid yang cukup moderat, dan faksi militan-tradisionalis yang lebih dekat dengan Masyumi. Saya menulis agak panjang kiprah keduanya dalam "Kemenangan Faksi Militan; Jejak Kelam Elit Nahdlatul Ulama akhir September-Oktober 1965,"
Yang menarik, selama proses transisi awal Orde Lama ke Orde Baru, dalam kurun 1967-1970, sebagai imbas dari penggayangan ratusan ribu Tertuduh PKI, terdapat fakta mencengangkan, yakni banyak orang pindah agama ke Kristen/Katolik. Jumlahnya mencapai mendekati satu juta orang. Mereka menemukan salib sebagai “jalan spiritualitas baru” pelipur duka gara-gara Tragedi 1965.
Kenyataan ini tak pelak membuat  blok-Islam makin membenci kelompok Kristen, rival abadi mereka dalam perumusan dasar negara ini. Sikap ini pada gilirannya akan mempertebal kecurigaan mereka dalam perjalanan Pancasila.
Di tangan Soeharto, Pancasila berubah menjadi teks suci untuk melegitimasi ketakutannya terhadap dua yang dianggap musuh; komunisme dan Islam-Politik. Seluruh aspirasi politik aliran (Islam) dikanalisasi menjadi satu pintu partai politik melalui PPP, agar mudah dikontrol kemudian ditundukkan.
Faksi di dalam Nahdlatul Ulama yang dekat dengan Blok Islam kembali bersatu dengan blok tersebut untuk memperjuangkan aspirasi syariat melalui partai tersebut dalam bingkai Pancasila dan NKRI, hingga kemudian Nahdlatul Ulama dinakhkodai dua tokoh utamanya; Yai Akhmad Shiddiq sebagai rais aam dan Gus Dur sebagai ketua umum. Keduanya memutuskan NU menerima asas tunggal Pancasila sebagai dasar organisasi menggantikan narasi Islam yang telah diugemi sejak lama oleh organisasi ini.
Dua orang ini kemudian mengambil sikap politik yang tak kalah penting, yakni menarik NU keluar dari arena politik praktis di mana selama ini NU adalah lokomotif utama PPP.
Khusus Gus Dur, ia begitu sangat serius memberikan arah baru dalam NU, terutama bagaimana Islam bisa sejalan dengan Pancasila untuk merawat kebhinnekaan yang ada. Sungguh. Ia memberikan segalanya agar NU bisa menjadi lebih moderat, termasuk mempertaruhkan previlese darah birunya dengan menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta dan  membuka acara malam puisi Yesus Kristus.
Itu hanya contoh kecil dari langkah-langkah "nyleneh" Gus Dur mengaplikasikan Pancasila dalam semangat ke-NU-annya yang membuatnya tidak hanya diboikot kiai Asad Syamsul Arifin, kiai sangat senior di kalangan NU, namun juga membuat suami Sinta Nuriyah ini harus menghadapi "sidang" ratusan kiai di Pesantren Arjawinangun Cirebon 1989.
Secara khusus terkait luka masa lalu Kristen-Islam, Gus Dur yang merupakan "santo" di kalangan jutaan Nahdliyyin terasa benar-benar memberikan antibiotik agar luka itu sembuh dan sekaligus membuat ikatan Islam-Kristen jauh lebih kuat, sebagaimana keinginan asasi Pancasila. Hal ini tercermin dari penggalan pidato Presiden Gus Dur 27 Desember 1999 pada sebuah perayaan Natal.
".... Suka cita ini bukanlah hanya monopoli Anda-anda yang beragama Kristen saja, tapi adalah kegembiraan kita semua. Ini tertuang baik dalam kitab suci kaum Kristiani maupun di dalam Al-Quranul Karim yang saya percayai, karena di sana diterangkan adanya seorang Juru Selamat yang datang ke dunia. Dari semua penafsiran Al-Quran menyatakan, bahwa Sang Juru Selamat itu adalah Isa al Masih,"
NU dibawah komando Gus Dur pelan-pelan bermetamorfosis menjadi kekuatan baru pembela Pancasila yang sesungguhnya. Bukan pengusung Pancasila yang munafik; mulutnya menyatakan Pancasila namun hatinya menginginkan tegaknya syariat Ialam.
Dalam pikiran saya, NU seperti tengah membayar hutang masa lalunya terhadap Pancasila. Pembayaran itu tidaklah mudah karena hingga detik ini, masih ada tiga kelompok dalam NU terkait penerimaan Pancasila; menolak, lamis, dan menerima sepenuhnya.
Saya ada di kelompok terakhir. Entah Anda.(*)

Saturday, May 18, 2019

CERITA SERU DI KINIBALU EMPAT SATU

Kinibalu 41 adalah markas Yayasan Kasih Bangsa Surabaya, tempat bedah buku "Mengeja Cahaya," pada Sabtu (18/5). Kinibalu 41 identik dengan tarekat CM (Congregatio Missionis), sama seperti halnya SMA Sinlui dan 6 paroki lainnya di Surabaya. CM berbeda dengan Pr, atau projo. Biasanya, Pr datang belakangan ke suatu wilayah setelah tarekat CM atau tarekat SJ (Jesuit) masuk terlebih dahulu.

Oleh panitia bedah buku, aku didudukkan di kursi sebelah Rm. Robertus Wijanarko, akrab dipanggil Romo Jack. Dia adalah orang  penting dalam tarekat CM seluruh Indonesia. Dua romo lain yang hadir, Rm. Parno dan Rm. Novan, keduanya sama-sama dari tarekat CM, tampak hormat sekali pada Romo Jack.

Rm. Jack adalah pengajar senior di STFT Widya Sasana Malang. Aku pernah tidur selama seminggu di sekolah ini saat mengikuti kuliah singkat filsafat tahun 2001 ketika masih di PMII Jombang. Itu merupakan pengalaman pertama dalam hidupku tidur di luar rumah selain masjid, surau dan pesantren. Ibuku sangat terkejut mendengar ceritaku tidur di tempat itu, apalagi aku mengabarkannya dengan senang hati.

"Ten nggene tilem wonten salibe guedeeee, buk. Kulo tilem pas ten ngandape soale konco-konco wedi tilem mriku. Lha mboten wonten nggon maleh'e," ceritaku

"Lhooohh..." Ibuku tampak cemas, dan memintaku mengucapan syahadat lagi. Tidak tanggung-tanggung; tiga kali!

Aku keberatan karena aku tidak merasa telah mengkhianati agamaku. Namun aku tak ingin membuat ibuku, Hj. Alfiyah, terus dipelintir kekuatiran. Maka aku pun membaca syahadat lagi di depan orang yang sangat aku hormati ini.

Perkembangan dalam hidupku selanjut berlaku sebaliknya. Jika aku baru berani masuk gereja saat kuliah dan Amiroh malah baru tahun 2012 lalu, maka Galang dan Cecil lebih awal. Keduanya sudah aku kenalkan masuk gereja sejak mereka SD. Pernah aku ajak natalan di GKI Jombang.

Perjumpaan yang tulus adalah kunci melepaskan belenggu dogma yang sudah pasti berwatak bias dan mengandung anasir negative-stereotype terhadap identitas lain, terutama Kristen dan Tionghoa. Seringkali kita berada dalam garis dilema; apakah tetap berada di belakang garis demarkasi ataukah berani melampaui dan menghirup nikmatnya merdeka dari prasangka.

Aku belajar dari para kontributor buku "Mengeja Cahaya," yang menulis kisah-kisahnya. Mereka terlibat dan berhasil menuliskan pergulatan itu untuk publik. Narasi memori mereka adalah senjata paling dahsyat untuk melakukan perubahan, sepanjang dituliskan dan dimemorialisasikan.

"Mbak, aku penasaran dengan cerita anak Madura-Muslim yang kamu bantu. Sejauhmana relasi kalian? Apakah ia datang saat natal dan paskah? Tulislah juga pengalaman-pengalaman getir yang kamu alami bersama mendiang suami dari kakak-kakak iparmu. Almarhum suami mbak dicoret ya daftar penerima waris keluarga? Tulislah mbak," demikianlah banyak pintaku pada mbak Wike, salah satu kontributor buku.

Di forum bedah buku kemarin, aku membuat presentasi pendek berjudul "Mengubah dengan Narasi Memori," Dalam presentasi tersebut,baku sedikit menceritakan pengalamanku bergelut dengan dunia penulisan dan narasi memori; mengajak orang mengalami sesuatu dan memintanya menuliskan apapun tentang hal itu.

"Bacalah cerita yang ditulis Fina ketika untuk pertama kalinya ia masuk ke gereja dan makan di bangunan tersebut. Lucu dan sangat orisinil. Ia melakukan pengakuan dosa dalam tulisan tersebut," kataku sembari memunculkan slide tulisan Fina yang berjudul "Termenung di hadapan salib GKJW Banyuwangi,"

Aku benar-benar suka dengan forum kemarin yang berjalan gayeng dari jam 16.00-19.30. Selain itu, aku  menjadi lebih ngerti tentang tarekat lain di Katolik Surabaya. Sebab selama ini aku biasanya nongkrong dengan para romo dari tarekat projo saja.

"Mo, tak ambilken bubur sruntul ya?" tawarku pada romo Jack. Ia menolaknya dengan halus sembari mengucapkan terima kasih. Aku kemudian mengambil bubur manis dan menyantapnya dekat Romo Jack.

"Mo, ini lho enak banget. Sumpah Mo. Ayolah.." aku menawarinya lagi.
Dia tetap menolak sembari mengatakan ada problem gula darah dalam tubuhnya.

"Justru karena saya tahu ada itu (gula darah) makanya saya terus menggoda romo untuk makan bubur manis ini. Biar gulanya kambuh," tawa kami pun pecah.

*5 menit kemudian

"Eh tapi yakin Mo nggak mau bubur ini?" tanyaku sembari berjanji akan mengunjungi Romo ini dan kembali numpangg tidur di Widya Sasana.

Saturday, May 4, 2019

JEJAK SUCINYA CINTA TERLARANG DAN KONSILI VATIKAN II DI FILM NOVITIATE

Novitiate (bacanya: novisyiet) artinya calon biarawan/wati atau suster dalam tradisi Katolik Roma. Aku mengetahui film ini dari Trisno Madia. Ulasannya cukup membuatku tergerak ingin menonton film Hollywood tahun 2017 yang menceritakan pengembaraan seorang calon suster di lingkungan biara.

Lebih khusus, rasa penasaranku tersulut oleh informasi adanya aktifitas seksual sesama jenis. Sensasinya seperti akan menyaksikan film tentang fenomena mairil (amraad) di pesantren tertentu. Hasratku pada Novitiate makin bergolak saat tahu Rotten Tomatoes, situs yang terkenal sangat pelit memberi rating film, malah justru mengganjar Novitiate dengan nilai 83,7% sebuah jaminan mutu atas karya film.

"Seheboh apa sih film ini?" Aku menggumam dalam hati sembari membayangkannya dengan Ave Maryam. Kupacu motorku ke warkop berwifi gratis. Setelah memesan Javanesse-Americano coffee -- campuran kopi tubruk 2k dan es batu 1k -- aku segera mencarinya di dunia maya non-torrent. Sebagaimana aku duga sebelumnya, pencarianku sia-sia.

Aku kemudian mengarahkan navigasiku ke area torrent. Yes! Nemu berbagai versi. Aku pilih file yang seednya tinggi dan kapasitas mendekati 1 Gb. Biar cepet downloadnya. Aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk membereskannya. Itu pun dengan cara "menyetop," secara diam-diam puluhan pengguna wifi di warkop tersebut. Maafkan daku.

Tidak sia-sia usahaku dua jam ke warkop berwifi gratis untuk menyedot film superapik ini. Dalam durasi singkat, penggambaran erotisisme suci dua calon biarawati, Cathleen dan Emanuela, begitu sempurna kekenyalannya. Begitu mendebarkan. Katakan padaku; apakah ada yang lebih menggetarkan ketimbang melakukan percintaan terlarang di tengah tekanan waktu? Ini seperti dua orang pengurus mahasiswa yang sama-sama terkurung birahi cinta dan akhirnya memutuskan "mengeksekusinya" di toilet dekat lokasi teman-temannya yang tengah rapat.

Cathleen dengan segenap kenekatan dan keputusasaannya menanti "jamahan balik," Yesus yang tiap detik ia agungkan sebagai calon pasangannya, masuk ke kamar l Emanuel. Ia begitu menghiba kepada Emanual agar mau mewakiliNya menjamah tubuhnya, mencumbuinya, menebus semua cinta dan kesetiaan yang ia persembahkan setiap detik padaNya.

"Comfort me, please...please..please," ratap Cathleen terus mengulang-ulang permintaan itu di sebelah Emanuela. Ia seperti seekor kuda sekarat yang memohon-mohon tuannya agar segera membunuhnya; agar penderitaannya berakhir. Cathleen seperti lelaki-laki yang meratap pada pasangannya dengan sorot mata mupeng level dewa "Cinta, sebentaaaaaaaarrr aja. Boleh ya? Pleaseeeee,"

Aku benar-benar menahan nafas menikmati setiap detik yang dibeber sutradaranya dalam scene di atas ranjang ini.

Emanuela memahami betul kebutuhan temannya ini, meski ia sendiri terlihat sangat galau dengan ajakan "dosa" ini.

"Okey..okey... stop talking," katanya agak gemas sembari mendaratkan bibirnya ke bibir Cathleen yang berisik meracaukan "comfort me please..." terus menerus. Aku ikut adem-panas mengikutinya dari layar 10 inchi laptopku.

Tidak ada aksi lanjutan kecuali hangatnya ciuman Cathleen dan Emanuela dalam hitungan detik. Memang, menurutku, hal itu tidak perlu dilanjutkan karena Novitiate bukan film kelas Xhamster atau Youjizz.

Sang sutradara begitu jujur menggambarkan aksi sensual suci sesama jenis ini. Namun, apakah ini bisa dikategorikan sebagai lesbianisme? Aku ragu.

Dalam kajian modern, lesbian merujuk pada sebuah konsep yang solid, yang tidak bisa diketahui hanya dari gejala permukaannya saja. Sederhananya begini, jika penyakit DBD kerap ditandai oleh meningkatnya suhu badan (panas) maka tidak setiap panas yang diderita seseorang adalah DBD.

Kebirahian yang didemontrasikan oleh Cathleen dan kemudian dibantu oleh Emanuel, berakar dari penantian sangat panjang yang dideritanya sebagai konsekuensi dogma institusional kala itu. Setiap biarawati adalah "bride of Jesus" di mana "kehadiranNya" yang adikodrati dinarasikan sedemikian rupa kepada setiap biarawati --yang belum tentu semuanya bisa menerima kemayaan "suami," mereka.

Situasinya sangat mirip LDR yang tak berkesudahan tenggatnya. Maka, pada saat Chathleen begitu merindukan sentuhan fisikNya ia selanjutnya meminta bantuan kepada siapapun yang terdekat, dan memproyeksikannya sebagai Nya.

Yang tampak secara fisik adalah percumbuan dua orang perempuan. Namun dibalik itu, di balik pikiran Cathleen, apakah Emanuela adalah Emanuela? Ataukah ia sebenarnya Yesus yang menjelma dalam daging dan darah Emanuela?

Kajian modern memisahkan secara tegas bahwa yang tampak tidak selalu mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi. Awam akan menandai relasi yang tampak itu sebagai lesbianisme. Namun yang sebenarnya terjadi hanyalah hubungan seksual perempuan dan perempuan. Jika yang ada dibenak Cathleen adalah Yesus yang bertransformasi ke dalam tubuh Emanuela maka sebenarnya ia bisa dikatakan menyukai lawan jenis pada saat itu.

Jika masih bingung, barangkali peribahasa "tidak ada rotan, akar pun jadi," bisa jadi analogi. Saat bertemu akar karena tidak ada rotan, maka akar difungsikan sebagai rotan. Jika rotan tersedia, akar akan ditinggalkan, atau bahkan digunakan keduanya.

Praktek seksual adalah yang tampak. Sedangkan orientasi seksual bersemayam dalam pikiran masing-masing. Praktek seksual belum tentu mencerminkan orientasi seksual. Pemilik tubuh merupakan pihak yang paling tahu.

Lazimnya, praktek seksual sejenis (sekali lagi, belum tentu homoseksual) --baik laki-laki maupun perempuan
kerap terjadi di lingkungan di mana akses terhadap lawan jenis terbatas. Semakin terbatas, semakin tinggi kemungkinan praktek relasi sejenis.

Itu sebabnya, jejak relasi sejenis kerap terdeteksi di penjara, barak militer, istana harem, asrama pendidikan (keagamaan), dunia asketisme, dan lingkungan yang menerapkan segregasi ketat berbasis gender. Jejak relasi sesama jenis perempuan di lingkungan biara Katolik sendiri pernah dikaji beberapa orang, misalnya Hannah Steinkopf-Frank, Judith Brown, Marta Trzebiatowska, dan lainnya.

Namun setelah aksi malam itu, Emanuela nampak begitu biasa-biasa saja saat berpapasan dengan Cathleen di lorong biara. Cuek. Melihat pun tidak. Berbeda dengan Cathleen yang menyapanya, seperti ingin mendiskusikan lebih jauh.

Cathleen memang nampak dirundung kesunyian, persis seperti kesunyian yang menjadi ciri dasar biara dalan film itu. Berbicara ada jamnya. Nggak boleh sembarangan seperti di kost-kostan. Jika melanggar, bisa-bisa disuruh merangkak, tengkurap di lantai dengan posisi seperti di salib, hingga "diminta" mencabuki dirinya sendiri dengan penance.

Saat Cathleen memilih jujur mengatakan "dosa malam itu," di hadapan sejawatnya dan suster kepala, nama yang disebut terakhir ini nampak begitu berang.

"But I don't think it was a sin," Cathleen terbata-bata.

Cathleen makin merasa berdosa, menangis menghiba agar segera dikenakan hukuman penance. Namun suster kepala justru menyuruhnya merangkak ke satu per satu biarawati yang hadir sembari meminta hukuman.

Biara tersebut memang dicitrakan sangat ketat mendidik anggotanya. Hal ini sangat mungkin karena biarawati dianggap bukan sembarang perempuan di kalangan Katolik Roma. Mereka adalah perempuannya perempuan, intinya inti, pengantinnya pengantin (Yesus). Hingga kemudian konsili Vatikan II mereformasi banyak hal, termasuk institusi kebiarawatian.

"Regarding the culture of more extreme abnegation and self-punishment still prevalent in many communities today,
please be advised that according to the council, this is no longer understood to be the appropriate path to follow for all those seeking greater union with Christ. It is no longer acceptable to view any acts of extreme sacrifice as an act of love," kata Suster Kepala sembari terisak ketika membacakan surat dari Uskup Agung di hadapan suster lainnya. Isakannya makin parau di paragraf terakhir.

"Finally, from here forward, in the eyes of both the holy church and god, the status of all nuns shall be reduced as equal to that of any regular practicing catholic. While the choice to enter the convent remains one's own, this does not necessarily make nuns any more beloved or special in the eyes of god,"

Tak pelak, surat Uskup Agung terkait hasil Konsili Vatikan II ini kabarnya menyebabkan sekitar 90.000 ribu biarawati memilih eksodus dari institusi ini. Pada tahun 1985, terbit sebuah buku testimonial "coming-out" para mantan biarawati, karya Rosemary Curb dan Nancy Manahan. Judulnya Lesbian nuns: Breaking silence. Dugaan saya bisa jadi ada diantara mereka yang eksodus tadi adalah narasumbernya.

Apakah termasuk Cathleen? Saya ragu.

Di akhir film itu, Cathleen terlihat bersimpuh di altar untuk ditahbiskan. Namun ia merasa gamang apakah akan meneruskan statusnya sebagai biarawati permanen atau tidak. Lalu, masihkah ia terus berelasi dengan Emanuela? Saya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja layar laptopku menjadi gelap. Film usai. (*)