Namun capaian manis telah sukses aku torehkan awal tahun 2019. Dalam sehari saja, aku telah bisa membawa 160an mahasiswa/i. Yang paling heroik, mereka jalan kaki sejauh 3 kilometer.
Ada yang sempat kram kakinya! Aku menyebutnya sebagai hijrah; perjalanan dari situasi gelap penuh prasangka menuju kehidupan baru yang meninggalkan prasangka agama.
****
Sebenarnya aku berfikir keras apakah harus menerima tawaran mengisi sesi gender dan al-Quran dalam Sekolah Islam dan Gender (SIG) PMII Rayon Sunan Bonang Universitas Islam Malang. Alasanya ada beberapa; aku sudah terlalu sering mengisi di PMII, lokasinya terlalu jauh dari titik terakhir acaraku sehari sebelumnya, durasi sesi yang sangat singkat --hanya 90 menit, dan pesertanya terlalu banyak dengan pemahaman gender yang tidak seragam.
Aku benar-benar harus menghitung kehadiranku di forum itu. Jika tidak setimpal, dalam arti memastikan mereka akan mendapat pencerahan setidaknya dalam aspek kognitif, afeksi dan psikomotorik, maka kehadiranku tak terlalu berarti.
Namun aku juga berfikir; kalau bukan aku, siapa lagi yang mau mengisi forum selevel "kompetisi liga kasta ketiga" ini. SIG memang tidaklah terlalu menarik bagi beberapa pemateri karena jauh dari hiruk pikuk pemberitaan. Ibarat kata, KUMnya tidak terlalu banyak.
Bukan bermaksud sombong, namun jika pertanyaannya "Kenapa harus Aan?" maka dengan mudah bisa aku sampaikan hipotesisku, bahwa fasilitator/pemateri gender dengan perspektif non-binary dan non-conforming gender masih sangat minim di internal elit-elit PMII. Mereka, rata-rata, masih memakai binary-gender, yang menurutku, tidak lagi cukup kompatible dengan semangat kemajuan.
"Pesertanya sekitar 70-100 orang, gus," jawab Fauzi, laison officer SIG yang terus berkomunikasi denganku. Fauzi adalah salah satu penggerak GUSDURian Malang, lulus KPG, dan termasuk senior di PMII Unisma.
Aku tak sanggup menolaknya. Mengumpulkan peserta sebanyak itu adalah kerja keras luar biasa yang harus diapresiasi. Maka aku pun menerima tawaran itu sembari terus memutar otak mencari formula tepat untuk memberi yang terbaik bagi mereka dalam konteks pluralisme.
Segera setelahnya, aku langsung menginformasikan jadwal kedatanganku ke WA grup GUSDURian Batu. Aku kulo nuwun karena mau masuk wilayah mereka. Ini merupakan fatsoen yang aku coba terapkan di kalangan GUSDURian, sembari mempersilahkan GDian setempat untuk bisa memanfaatkan diriku untuk capacity building. Lumayan kan, mereka nggak perlu repot menyediakan biaya transportasiku.
"Adakah jaringan kita yang punya gereja di sekitar Villa Sumber Urip 2 Tlikung Junrejo Batu?" tanyaku ke WA grup tersebut. Mbak Yelly, salah satu anggota grup, langsung menjawab gerejanya ada di dekat lokasi. Jaraknya sekitar 3 km dari villa tempat forum berlangsung. Kalau berjalan kaki sekitar 40-50 menit menurut Googlemaps. Lumayan lama.
Aku punya ide mengajak semua peserta mengunjungi gereja tersebut. Namun bukankah tidak ada hubungannya antara gender-Islam dan kunjungan gereja? Jelas ada.
Di sana nantinya, peserta akan berdiskusi dengan Mbak Yelly seputar perempuan dan gereja. Namun harus aku akui, tujuanku sebenarnya mengajak mereka ke sana tak lain adalah untuk memangkas kadar kolesterol intoleransi yang menumpuk dalam benak mereka.
Tingginya kolesterol ini merupakan konsekuensi dari kuatnya dogma kebenaran yang dicekokkan sejak kanak, sehingga menimbulkan dampak negatif dalam bentuk intoleransi.
"Merasa benar itu baik. Namun merasa paling benar itu berbahaya," kata Mbak Alissa Wahid suatu ketika. Jika diterapkan dalam konteks sekarang maka; meyakini Islam sebagai agama yang benar adalah baik, namun meyakininya sebagai yang paling baik bisa menimbulkan masalah dalam berelasi dengan agama lain.
Kata "paling" memuat konsekuensi menganggap "yang lain" lebih rendah. Sehingga, "yang rendah" tidak pantas memimpin maupun mendapat hak yang sama dengan "yang paling," Menghadapi kuncian dogma mematikan seperti ini, yang dipadu dengan pelabelan negatif terhadap nonmuslim, membuatku berfikir ekstra keras menemukan cara melucutinya.
Dalam hal ini aku teringat sebuah kata bijak; "Tell me I will forget, show me I will remember, and involve me I will understand," Merujuk pada hal itu, maka mengkhotbahkan pluralisme kepada orang Muslim tidak akan memberikan dampak yang cukup signifikan.
Dibutuhkan aspek kedua dan ketiga, yakni menunjukkan sekaligus menciptakan interaksi langsung dengan "yang dianggap salah,"
Jika pertanyaannya adalah kenapa harus ke gereja, maka bisa aku jawab dengan mudah; kenapa tidak.
Gereja, dalam hopotesisku, merupakan simbol Kekristenan yang begitu ditakuti oleh sebagian muslim Indonesia. Ketakutan ini didasarkan pada sebuah keyakinan seorang Muslim(ah) akan otomatis menjadi Kristen seandainya masuk gereja. Keyakinan seperti ini aku anggap sebagai mitos --sesuatu yang tidak bisa verifikasi sebagai kebenaran mutlak. Ratusan orang telah aku bawa masuk gereja dan tidak ada satu pun yang mengalami hal itu. Namun menyampaikan fakta yang aku alami ini secara oral tidak secara otomatis membuat mereka yakin. Mereka harus mengalaminya sendiri. Bagiku, cara terbaik mengusir ketakutan adalah dengan menghadapinya, bukan menghindarinya.
Setelah mengisi sesi gender selama sejam dengan model duduk ala Bioskop XXI, aku bersama mereka mulai menyusuri jalan beraspal yang menjorok turun. Berjalan kaki. Panitia tidak mempersiapkan angkutan umum. Mungkin karena budgetnya kurang atau faktor lain. "Biar mereka sekalian olah raga pagi, gus," kata Fauzi.
Ternyata jalan kaki sepanjang 3 km itu lumayan jauh. Beberapa panitia aku minta kembali ke villa untuk mengambil motor dan mengangkuti mereka satu per satu. Aku sendiri berjalan paling belakang untuk menngantisipasi yang tercecer. "Angkut temanmu yang terlihat paling kelelahan. Angkut sekaligus dua," kataku ke pengendara motor, tim sweeper. Aku sendiri cukup kuatir akan ada kejadian buruk menimpa peserta. Meminta mereka jalan kaki sejauh itu tanpa dibekali pengetahuan tentang kemampuan fisik seluruh peserta benar-benar beresiko. Aku benar-benar merasa bodoh sekali.
JATUH KORBAN
Mimpi buruk pun akhirnya datang. Aku melihat satu peserta perempuan berdiri lama di hadapanku. Ia dipegangi temannya. "Kram? Sebelah mana?," tanyaku kepadanya sembari memeganginya. Dia menunjuk kaki kiri. Aku minta ia duduk namun ia tidak bisa. Rasa sakitnya begitu hebat. Terlihat dari wajahnya.
"Aku tahu kamu belum pernah dipegang laki-laki, tapi percayalah padaku ya," kataku sembari memintanya merebahkan punggungnya ke aku untuk aku bantu duduk di pinggir jalan.
"Aduuuuuuuuhh..." ia kesakitan lagi saat aku menggeser tubuhnya. Temannya yang perempuan membantu terlihat gopoh. Aku mulai memijat kakinya pelan. Dia terlihat malu, sangat khas tipikal kebanyakan perempuan Islam-Jawa-Sunni-konservatif yang hidup di area rural.
Aku mengajaknya terus berbincang mengenai banyak hal agar ia lebih rileks dan tidak kikuk menerima pijatan dari laki-laki yang tidak ia kenal sebelumnya. Metode pengalihan-perhatian ini aku pelajari dari film berlatar belakang medis seperti E.R.
Setelah merasa lebih baik, aku memanggil tim sweeper agar segera mengangkutnya ke lokasi tujuan agar bisa beristirahat lebih baik. Ia kemudian aku bantu naik motor, diapit temannya. Lagi-lagi aku melihat muka malunya duduk sangat mepet dengan tim sweeper laki-laki. "Dik, relaks. Tidak akan terjadi apa-apa. Yang bonceng itu saudaramu sepergerakan. Tidak akan terjadi apa-apa. Sampai jumpa di gereja," kataku menenangkannya kembali. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Motor pun melesat.
Akhirnya, satu per satu 160 kader PMII masuk ke gereja GPdI sekitar jam 8 pagi. Bertepatan dengan selesainya ibadah Minggu. Suasananya begitu ramai hingga meluber ke jalan besar. Aku melihat beberapa polisi dan tentara ada di depan gerbang. Mukanya agak tegang.
"Ada kekuatiran gereja akan diserang, mas," kata mbak Yelly sembari tertawa.
Sebelum masuk gerbang gereja aku salami semua aparat yang ada di sana. Aku memperkenalkan diri dan mengatakan sebagai penanggung jawab kelas. Suasana menjadi lebih rileks setelah kami terlibat obrolan santai.
Acara dimulai sesaat kemudian, setelah aku mempersilahkan semua duduk dan meminta perwakilan PMII, GUSDURian, kepolisian dan wakil GPdI maju ke depan.
"Ini anugerah luar biasa bagi gereja kami. Dapat dikunjungi oleh saudara-saudara Muslim kami," kata Pdt. Xxx memberi sambutan setelah nyanyian Indonesia Raya.
"Siapa di antara kalian yang baru kali ini masuk gereja?" tanyaku melengking. Hampir separuh lebih yang mengangkat tangannya. Sebagian beaar mereka pemah tinggal di pesantren antara 3-5 tahunan.
Aku selanjutnya mempersilahkan peserta menyampaikan kesannya. Sekitar 7 orang mengangkat tangannya. Satu per satu mereka menyampaikan perasaannya. Semuanya dengan jujur menyatakan kekagetan bisa masuk gereja dan diterima dengan baik.
"Saya menyangka orang Kristen itu jahat. Memusuhi kami. Nyatanya kok nggak. Saya jadi heran,"
"Impian saya akhinya terkabul. Bisa masuk gereja. Sejak dulu saya pengen sekali masuk namun dilarang orang tua. Berdosa katanya,"
"Saya sempat ragu saat mau masuk. Kuatir murtad,"
Begitulah yang bisa aku ingat dari testimoni mereka. Ucapan terima kasih selalu meluncur di setiap testimoni. Sulit untuk tidak menganggapnya tulus.
Aku percaya pengalaman ini akan menguatkan mereka menghadapi derasnya gencetan intoleransi. Kunjungan mereka bak antibiotik tidak hanya membentengi mereka dari ajakan berprasangka negatif, namun juga terlebih dahulu berhasil menetralisirnya.
"Kalian telah menjadi manusia Islam yang baru. Muslim tanpa kecurigaan pada Kekristenan. Namun ingatlah, akan banyak cibiran dan perisakan terhadapmu. Semoga kalian kuat," kataku menutup acara.
Hijrah 160 Muslim(ah) adalah ikhtiar yang telat. Harusnya persentuhan seperti ini telah disemai sejak awal di bangku sekolah dasar agar radikalisme tidak menjalar seperti sekarang.
Sudah berapa orang yang telah kamu ajak berhijrah? (*)