Pages

Friday, January 10, 2020

DARI NATAL HINGGA MADRASAH KADER NU ALUMNI PMII JAWA TIMUR




Apa hubungannya Natal dan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU)? Tidak ada sampai aku melakoni perjalanan dua hari ini.

**""

Aku senang sekali terlibat mewarnai Natal Peradi Surabaya. Menurut informasinya, ini natal warna-warni pertama yang mengundang teman-teman Islam di luar Peradi. Bagiku ini luar biasa karena semangat "sahabat" yang menjadi tema besar PGI-KWI terimplementasi dengan terobosan.

"Saya senang dengan Cak Haryanto. Ia muslim sejati. Kemuslimannya digunakan untuk menjadi rahmat bagi teman-teman profesi yang beragama Kristen," begitulah aku memuji ketua Peradi Surabaya, Jumat (10/1) di rumah makan Emerald Surabaya. 

Cak Haryanto, menurut Mbak Liana Wati --anggota Peradi yang berjemaat di Paroki SMTB-- justru mendorong anggota Peradi Kristen/Katolik agar menyelenggarakan perayaan Natal seperti ini. 

Bagiku ini menarik, mengingat sangat banyak orang Islam yang memilih bersikap sebaliknya. Aku berhutang banyak pada mas Johanes dan Romo Pras. Aku menikmati firman Tuhan yang disampaikan romo dengan gelar berderet ini.

Di hadapan undangan, aku berpesan agar Natal seperti ini, Natal warna-warni, ditradisikan oleh Peradi Surabaya dan ditiru organisasi profesi lainnya. Cukup banyak pengacara Islam yang hadir meski prosentasenya masih kalah jauh dengan yang belum hadir. 



"Bagi yang beragama Islam, mendatangi undangan itu wajib. Apalagi undangan menghadiri peringatan sosok suci yang juga ada dalam teologi Islam," kataku sembari menyitir ayat Natal di Surah Maryam. 

Natal juga menjadi bahan untuk menggodaku pagi ini, saat bertemu banyak alumni PMII di arena Madrasah Kader Nahdlatul Ulama. 


"Lohh... Jik Islam koen tibake An, luwih sering nang grejo timbang nang masjid," kata Faizin sembari ketawa ngakak. Faizin adalah ketua KPU Pasuruan yang juga teman di Tambakberas dulu. 

"Lho...lapo koen nang kene, An" tanya Yeni Lutfiana tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat melihatku. Sebelumnya ia sempat heran melihat nama "Aan Anshori," di daftar absensi. "Apa ada Aan Anshori lain selain Aan Anshori ya?" 

Tak hanya Yeni yang kaget, Amik IKPMII Gresik juga tak menyangka ketemu denganku.

"Ya allooohhh... Isun sempat gak percoyo ndelok ente. Lapo awakmu melok ngene iki?" katanya, aku langsung memeluknya sembari menanyakan kabar. Keheranan yang sama juga hinggap ke Irul Giant IKAPMII Tuban hingga mas Amin Said Husni, ketua umum IKPMII Jawa Timur.
"Loh An, awakmu melok tah?" tanyanya heran.

Namun tak ada apresiasi yang lebih "menggairahkan," selain yang diberikan ketua IKPMII Jombang, mas Amir Maliki, saat foto peserta dari Jombang diposting di grup WA. 

"Tafadlol ya ikhwany, wah ada tokoh lgbt di sana ya," 

Aku hanya menjawabnya pendek. "Siapp mas yai.. Kan NU ngurusi semua yang diurusi Republik ini 😉"

Yang aku rasakan, mereka begitu hangat menyambutku, memberiku apresiasi dengan kapasitas dan pengalaman yang terkoleksi dalam memori mereka. Begitu membahagiakan. 



Aku harus berterima kasih pada Furi yang aku anggap sebagai jenderal rombongan peserta dari Jombang. Ia begitu sabar dan telaten membantu kami agar bisa ikut.

Aku sendiri memaknai keikutsertaanku dalam program doktriner NU ini sebagai upaya mendidikku rendah hati dan  mengasah kepekaan terhadap penderitaan liyan, sebagaimana yang aku pahami dari laku GD.

MC baru saja membuka acara. Lantunan al-Quran mulaiy disuarakan. Surah QS. Al-Hasyr 18-20. 

Aku harus mengakhiri status ini. 


-- at UNSURI Sidoarjo

Thursday, January 9, 2020

NATAL DAN PANCASILA-NIAL


Aku sedang berkereta menuju rumah saat ini. Perjalanan panjang Batu-Malang-Ponorogo-Jogjakarta-Purwokerto berakhir sore ini di warkop dekat stadion Jombang. Aku dkk. GDian Jombang akan rapat persiapan Haul Gus Dur yang rencananya akan diselenggarakan secara sederhana saja. 

Besok sore, aku diundang menghadiri acara Natal Peradi Surabaya. Mungkin ini natalan lintas agama pertama kali yang dilakukan organisasi advokat ini. Aku senang sekali sewaktu diajak mendiskusikan acara ini oleh salah satu pengurusnya untuk mempersiapkan acara ini. 

"Undanglah teman-teman Islam dan agama lain pas natalan, mas. Natalan versi 4.0 adalah perayaan yang juga didesain untuk menselebrasi kuatnya relasi Kristen-Islam ditengah kecamuk situasi intoleransi," kataku padanya. Ia menyambutnya gembira. 

Aku juga sudah mengontak beberapa adik-adikku di Surabaya, para Gusdurian, untuk bisa hadir dalam perayaan tersebut. Kehadiran mereka sangatlah penting untuk mengimbangi eskalasi intoleransi. Bayangkan saja, tiap hari, selalu saja tersedia berita intoleransi terhadap Kristiani yang dilakukan banyak orang Islam; GPdI di Bantul, restriksi perayaan natal di Dharmasraya dan Sijunjung, Perumahan di Rajeg dan masih banyak lagi. 

Bayangkan jika persekusi semacam ini berlangsung aktif sejak akhir 90an hingga sekarang. Bayangkan bagaimana situasi psikologis banyak orang Kristen terhadap orang Islam di Indonesia. Itu sebabnya, aku sangat bisa memahami jika ada orang Kristen yang punya persepsi minor terhadap Islam. Lha wong wajah agamaku lebih banyak ditampilkan dengan mengerikan dan tidak ramah. 


Maka, kunjungan Natal oleh teman-teman GDian adalah ijtihad kecil-kecilan agar wajah Islam kembali bersahabat. Upaya ini tentulah tidak mudah karena setiap saat resiko akan siap menghempaskan mereka. Di Jakarta, ada anak GDian yang diwarning keluarganya. Sokongan biaya kuliahnya terancam gara-gara ia sering keluar-masuk gereja melakukan kerja-kerja lintasiman. Di daerah Jawa Tengah, ada ketua forum lintasagama mengundurkan diri untuk meredam gejolak pascavideo ucapan natalnya di gereja sempat viral. Sangat mungkin ia mengalami banyak perisakan. 

Sebagaimana Sudarto Toto yang menjadi tersangka Polda Sumbar, bagiku, mereka adalah para martir bagi agamanya. Mereka memilih jalan sunyi aktifisme untuk mengembalikan marwah Islam, melawan narasi antikeberagaman dari saudaranya sendiri, ketimbang sekedar menumpahkan uneg-uneg dan kemarahannya di media sosial. 

Aku merasa ada masalah serius dalam tubuh Islam Indonesia menyangkut Pancasila. Masalah itu bernama Islamisme, atau dalam bahasa sederhananya; serba Islam --dengan asumsi agama lain jahat dan lebih rendah. Masalah ini harus dipecahkan.


Diskusi pembumian Pancasila di lembaga-lembaga keislaman, jika tidak bisa dikatakan sepi, berjalan agak lamis, yakni masih menganggap Pancasila sebagai yang-sakti sekaligus, diam-diam, meyakininya sebagai jalur legitimatif menegakkan Islamisme. 

Pancasila model lamis inilah yang, terus terang saja, cukup sulit "disembuhkan," termasuk di kalangan milenial Islam. Padahal di kalangan milenial Kekristenan dan agama lain, Pancasila terasa lebih dipahami sebagaimana yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini.

Bagaimana kontestasi dua milenial dalam mengusung model Pancasila yang berbeda ini? Mari kita diskusikan di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya hari Minggu ini.

-- at Stasiun Nganjuk bersama KA Anjasmoro

Wednesday, January 1, 2020

BERAGAMA DALAM ENAM PURNAMA

Oleh Celestine

Prolog; Celestine, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu mahasiswiku di Kelas Religion semester lalu. Aku tidak tahu apa agamanya. Mungkin Protestan atau Katolik --dua agama mayoritas di kelas. Ia menulis refleksi ini sebagai bagian tugas UAS. Aku senang membacanya. Judul aku tambahkan untuk melengkapi tulisan. -- Aan Anshori



*****
Setelah mengikuti kelas Religion bersama teman-teman dengan berbagai agama, tentunya memiliki kesan tersendiri bagi saya. Seumur hidup saya, saya belum pernah sekalipun membahas tentang agama bersama dengan teman-teman yang memiliki agama berbeda dengan saya. 

Tetapi, di semester ini, saya diberikan kesempatan untuk merasakan bagaimana berinteraksi, membicarakan soal kepercayaan saya dan orang lain dan mengetahui lebih dalam mengenai agama atau kepercayaan orang lain serta pandangan agama lain terhadap agama yang saya percayai. 

Dengan pertemuan-pertemuan yang dilakukan setiap minggunya, kuliah umum, dan doa yang bergiliran antar agama setiap minggunya, saya merasakan indahnya persatuan. Walau hanya sekali dalam seminggu, tetapi persatuan antar agama sangat dirasakan didalam kelas. 

Saat berdiskusi atau mendengarkan teman-teman yang beragama lain bercerita tentang agamanya, saya merasakan kedekatan antar agama di dalam kelas. Saya merasa tidak ada jarak ataupun penghalang antar agama selama kelas berlangsung. 

Kami semua dapat bersatu, mengutarakan pendapat, mendengarkan pendapat agama lain, dan sama-sama saling mengetahui agama-agama lain. Saya juga merasakan bagaimana selama ini saya salah dalam memandang agama lain dan juga bagaimana agama lain memandang agama saya. 

Menurut saya, belajar bersama teman-teman yang tidak se-agama dengan saya merupakan suatu hal yang sangat berkesan. Tidak hanya ilmu tentang beragama yang didapat dari dosen, tetapi juga ilmu sosial yang secara tidak langsung saya pelajari selama perkuliahan Religion ini. 

Jika sebelumnya saya merasa tidak peduli dengan tata cara berdoa ataupun apapun itu tentang agama lain, sekarang saya sadar bahwa penting untuk mengetahui paling tidak beberapa hal penting untuk menghormati agama lain. Misalnya waktu sholat bagi agama Islam. Menurut saya waktu sholat teman-teman kita yang muslim penting untuk kita ketahui. 

Sebagai mahasiswa Universitas Ciputra, saya mengikuti berbagai organisasi dan kepanitiaan acara-acara yang ada di Universitas Ciputra. Dalam penyelenggaraan acara, khususnya saat perencanaan rundown acara, perlu ada waktu sholat bagi saudara-saudara kita yang beragama Islam. Maka dari itu saya rasa mengetahui waktu sholat mereka sangat penting agar tidak menimbulkan kesalahpahaman nantinya. 

Saya memaknai pembelajaran ini sebagai suatu proses mempelajari asal-usul, ciri-ciri dan struktur asasi agama-agama dengan maksud untuk mengetahui persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya yang sebenarnya serta sejauh mana hubungan agama yang satu dengan agama yang lain sehingga dapat diungkapkan pentingnya agama bagi pemeluknya masing-masing. Sehingga dari pembelajaran ini saya tahu apa saja hal-hal yang dapat memecah belah manusia antar agama di Indonesia. 

Pada saat saya berada di dunia kerja nanti, saya yakin apa yang saya pelajari saat ini sangat berguna untuk saya kedepannya. Saat di dunia kerja nanti, saya akan berhadapan dengan banyak sekali orang dengan latar belakang dan sifat yang berbeda-beda. 

Tetapi, selama pembelajaran ini saya rasa saya sudah dilatih untuk bekerja sama dan hidup berdampingan dengan teman-teman agama lain bahkan masuk dan memahami tempat ibadah mereka. Meskipun saya masih harus banyak belajar, tetapi dengan pembelajaran ini sudah sangat memberikan bekal untuk masa depan saya nantinya.

Dari pembelajaran ini, saya memetik banyak hal-hal positif. Yang pertama, saya menjadi mengerti bagaimana beragama yang baik, yaitu tetap taat kepada agama saya dan juga menghormati agama lain disekitar saya karena Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki banyak perbedaan yang perlu dipersatukan. Yang kedua, saya belajar bagaimana bersikap yang benar saat menghadapi atau berhubungan dengan panganut kepercayaan lain. 

Saat berhadapan dengan seseorang yang beragama lain, harusnya saya tidak takut atau menjaga jarak selama saya tidak berbuat hal-hal yang dapat menyakiti hati orang tersebut terkait kepercayaannya. Saya percaya, semua agama mengajarkan setiap manusia di dunia ini untuk berbuat baik. Hanya saja terkadang ada beberapa oknum yang menyalahartikan ajaran agamanya dan berbuat sesuatu yang salah dengan mengatasnamakan agamanya. 

Yang ketiga, saya belajar banyak untuk melihat agama saya dari sudut pandang yang berbeda. Saya belajar memahami orang-orang beragama yang berbeda dengan saya. Saya belajar mengerti bagaimana cara mereka memandang agama saya dan bagaimana saya harus bersikap agar mereka tidak salah menilai ajaran agama saya.

Pada intinya, saya sangat bersyukur telah diberikan kesempatan untuk melewati pembelajaran ini selama beberapa bulan. Banyak sekali hal-hal positif yang saya dapatkan dari pembelajaran ini, tidak hanya mengenai teori tetapi juga praktik langsung yang dapat langsung saya rasakan. Saya berharap saya dapat turut menyebarkan dampak positif dari pembelajaran ini kepada orang-orang disekitar saya sehingga tidak ada lagi isu-isu perpecahan bangsa yang dikarenakan perbedaan agama. (*)

Foto: presentasi kelompok "Ritual Agama-agama"

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...