Pages

Wednesday, February 26, 2020

COBAAN ITU BERNAMA SITTI HIKMAWATTY


Sitti artinya "lemah," bahasa Jawa dari tanah. Kata Siti juga disematkan pada Maryam, ibunya Yesus, dalam narasi Islam Jawa yang aku pahami. Sedangkan kata Hikmawatty berasal dari kata dasar hikmat -- artinya kebijaksanaan. 

Sitty Hikmawaty (SH) adalah anugerah yang diberikan Tuhan pada kita. Ia menjadi martir agar kita bisa mengukur sejauhmana kita bijak dalam merespon persoalan, termasuk persoalan hamil di kolam renang yang pernah dilontarkannya. 


Kita menjadi kalap dan merisak hingga yang bersangkutan dan lembaganya kedodoran dan akhirnya minta maaf. Padahal SH adalah "utusan," Tuhan agar kita bijak dan rendah hati untuk tidak terlalu mengagung-agungkan sains. Sain boleh diikuti namun sebagai orang yang percaya kemahakuasaan Tuhan, kita akan dicap sombong jika Tuhan adalah seturut dan sejalan sepenuhnya dengan logika sains. 


Dengan logika sains, banyak orang tidak percaya tuhan yang tidak bisa diverifikasi secara pasti. Tuhan rasanya lebih tinggi dari sains. Bukan sains an sich. Jika Tuhan telah berkehendak, apa yang kita anggap tidak masuk akal justru berkata sebaliknya. 

Saya tadi menyinggung soal Siti Maryam (SM), mamanya Yesus. Ada kaitannya dengan hal ini. 


Dalam al-Quran diceritakan, sewaktu Alloh memberi kabar kepada SM bahwa ia akan mengandung dan melahirkan anak laki-laki (Yesus), perempuan ini protes keras. SM dalam penggambaran Quran memang bukanlah perempuan pendiam yang manut. Sebaliknya, ia adalah sosok perempuan keren, tukang protes, khas para aktifis dan feminis. Jibril yang disuruh Alloh mengabarinya terkait rencana kelahiran Yesus pun diprotesnya dua kali, termasuk dalam cerita ini.

Jibril/Gabriel: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang saleh".

Maryam: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun". 

(Allah berfirman dengan perantaraan) Jibril: "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.


Mungkin kita berfikir Tuhan hanya mampu berbuat ajaib dalam konteks reproduksi hanya pada peristiwa Yesus dan Maryam. Jika kita berfikir demikian, rasanya kita tengah melimitasi kemahakuasaan (omnipotence) Tuhan. Sungguhlah hal itu tidaklah elok. 

Bagi orang beriman, kemahakuasaan Tuhan tidak terbatas waktu. Her mighty is timeless. Sainslah yang bertugas membuktikannya, bukan Sitti Hikmawatty. Perempuan ini sekedar pionNya agar siapapun sadar batas kemurkaan atas nama sains. Namun demikian nasib Sitti Hikmawatty tidak seindah Siti Maryam.


Renang dulu ah... Semoga tidak ada yang hamil.

Friday, February 21, 2020

BANGUN SAMUDRA; CERITA ADIK DAN KAKAK


Dua hari belakangan ini, Facebookdome  gempar oleh foto mas Bangun Samudra (MBS), seorang muallaf yang kini kerap diundang ceramah ke sana-sini. Pokok kegemparan tersebut salah satunya bersumber dari foto poster pengajian yang ia akan isi. Di poster tersebut MBS ditulis "mantan Pastor," dan "S3 Vatican," -- dua hal yang jelas perlu diluruskan dan telah dilakukan dengan baik oleh teman-teman Katolik. MBS bukan mantan pastor dan bukan S3 Vatikan.

Kok bisa dua hal itu muncul? Bisa jadi MBS yang mengaku dan meminta demikian, atau mungkin narasi itu merupakan kekreatifan panitia pengajian. 

Panitia acara apapun memang dituntut sekreatif mungkin agar acaranya laku. Namun terkadang mereka lupa bahwa siapapun tidak bisa serta merta menyematkan sesuatu yang bukan tempat. Jika hal itu dilakukan maka sudah barang tentu akan jadi bahan tertawaan dan cemoohan. Persis seperti kejadian ini. Memalukan.

Memang memalukan, persis seperti yang pernah terjadi padaku saat masih Tsanawiyah (SMP) dan SMA. Ketika itu aku sangat tertarik mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kekristenan. Tidak dalam semangat persaudaraan keimanan, alih-alih, hal itu dipicu oleh keinginan menggelora membuktikan Islam adalah agama paling benar. Caranya? Dengan sekuat tenaga menuding kekristenan sebagai salah satu agama paling membingungkan dan kontradiktif. "Semakin aku berhasil meyakinkan diriku dengan cara itu, semakin aku merasa keislamanku otentik," kira-kira begitulah.

Tapi kenapa harus kekristenan, bukan yang lain? Dari eksplorasiku beberapa tahun ini, aku menemukan seperti ini; dalam trilogi sumber keislaman --alQuran, hadits dan sira (sejarah hidup nabi Muhammad-- orang selain-Islam setidaknya dibagi menjadi dua; kelompok pagan (politeis) dan kelompok ahl al-Kitab (pengikut Nabi Musa dan Pengikut Nabi Isa/Yesus). Terhadap keduanya, Islam didakwahkan sebagai agama baru, agama pengganti yang lama. Kami bisa memahami jika kelompok pagan, misalnya, resisten terhadap dakwah tersebut. Namun kami sangat frustasi dan tidak bisa menerima jika Yahudi dan Kristen tidak mau berpindah sebab secara teologi ketiganya banyak kesamaan. Sebagai catatan, dalam pewahyuan selanjutnya, ahl al-Kitab yang tidak mau memeluk Islam dianggap kafir juga.

"Gue bisa paham jika orang lain nggak mau pakai produk gue. Lha tapi ini kan elu, kakak gue, puluhan tahun hidup bareng, keluar dari rahim yang sama, kenapa elu juga ikut-ikutan nggak mau pakai produk gue. Elu tega ya?!" -- kira-kira ilustrasinya seperti itu.

Sejak saat itu, si adik membenci dua kakaknya dan diam-diam mendeklarasikan perang terhadap mereka. Perang hanya akan selesai jika dua kakak bersedia memakai produk adik. Menurut Bill Warner dalam "Statistical Islam," 64 persen isi al-Quran didedikasikan tentang kafir, Hadits 37 persen dan sira membahas kafir sebanyak 81 persen. 

Si adik lalu melakukan banyak cara "suci" untuk memastikan seluruh pemakai produknya merawat kekesalan terhadap kakaknya. Konsep jihad --sebelum dimaknai lebih halus dan inklusif oleh para sarjana muslim modern-- dimaknai sebagai "holy war" dalam kerangka perang yang digaungkan si adik. 


Nah, dalam konteks peperangan, bersiasat adalah hal paling fundamental. Siapa yang kalah bersiasat, dipastikan akan kalah dalam peperangan. Siasat dalam perspektif sang adik adalah kemampuan mengalahkan, bukan masalah benar dan salah. Itu sebabnya, menipu (deceit) diperbolehkan dalam perang. Jadi jangan heran jika ada tokoh atau politisi Islam yang begitu heroik ngomong tentang pluralisme dalam Pancasila dan UUD 1945 di televisi namun sangat kontras dengan praktek prilakunya. 


Aku jadi teringat, dalam kitab hadits Sahih Bukhari, ada bab yang menyatakan perang adalah terkait siasat/menipu (babu al-kharb khud'atu) dan bahkan ada juga subbab khusus yang berjudul "al-kadzibi fi al-kharb," -- telling lies in war. Dalam subbab itu, ada hadits yang berisi tentang dua sosok; Muhammad bin Maslamah yang membunuh Ka'b bin Ashraf. 

Aku berkeyakinan, sekuat apapun koreksi publik terkait kesalahan pencantuman "mantan pastor," dan "S3 Vatikan," tidak akan membuat sang adik berhenti. Sebaliknya, cemoohan dan koreksi akan membuat si adik semakin bergairah dan tertantang mencari cara terbaik meneruskan "perang suci" dan memenangkannya. Termasuk, meyakinkan dirinya sendiri bahwa koreksi dan cemoohan itu adalah siasat sang kakak. 


It is all about perception of holy war that no one cannot stop it, babe, unless ....



** Warkop Iwan Pasar Pithik

Sunday, February 16, 2020

ADA GUS DUR DAN LGBT DI LEDALERO


"Gus Dur biasanya tidur di Ledalero kalau ke sini meski sudah disediakan hotel," kata Eddy Kurniawan, mantan aktifis FPPI yang kini menjabat sebagai sekretaris GP Ansor Kabupaten Sikka, tadi malam saat mengajakku ngopi di Maumere kemarin malam.

Barangkali itu sebabnya, menurut pria ini, hubungan Katolik dan NU di Sikka sangat baik. Pokoknya kalau NU yang berkehendak, mereka pasti mendukung. "Itu yang saya rasakan," kata pria jebolan ITATS Surabaya yang keluarganya sudah 5 generasi tinggal di Sikkan. 


Sayangnya, aku baru tahu informasi ini setelah meninggalkan STFK Ledalero. Jika tidak, aku akan meminta cerita soal Gus Dur dan Ledalero kepada mas Otto Madung, pater temanku saat penelitian di Polgov UGM yang kini telah menjadi ketua sekolah mentereng itu. 

Seperti halnya Gus Dur yang sangat apresiatif terhadap perbedaan identitas gender dan orientasi seksual, STFK Ledalero pun demikian. Sekolah ini, sepengetahuanku, merupakan satu-satunya sekolah tinggi teologi yang berani memfasilitasi bedah buku "Menafsir LGBT dalam Alkitab," Sabtu (15/2). 


"Mungkin sebentar lagi mas Otto akan dapat surat peringatan dari Vatikan karena berani menggelar acara yang sangat jelas berkaitan dengan LGBT," kataku di atas panggung. Lelaki ganteng ini terlihat senyum-senyum saja dari kejauhan. 

Tidak kurang 700 orang hadir dalam Bedah buku milik Prof. Gerrit Singgih ini  Aulanya penuh. Yang menarik, dan tidak pernah aku jumpai di acara sama sebelumnya, sekolah tinggi Katolik ini juga memperbolehkan para transpuan dari Fajar SIKKA tampil di panggung. Mereka menampilkan paduan suara sungguh indah diiringi musik para frater.

"Saya Katolik taat, berdevosi kepada bunda Maria. Saya menemukan tuhan dalam kewariaan saya. Terima kasih kepada Ledalero yang terus bergandengan dengan kami," kata Mayora, aktifis Fajar SIKKA, saat menjadi penangggap. 

Aku melihat wajah Katolik yang berbeda. Wajah yang lebih humanis dan bersahabat. Mayora juga bercerita akan ada ada pertandingan bola voli antara para waria dan mahasiswa. Aku membayangkan suasananya pasti seru. 


"Saya dan teman-teman waria bisa ikut beribadah dan pelayanan tanpa harus ribet soal pakaian. Kami memakai busana perempuan. Dan diterima dengan baik," katanya padaku. 

Isu LGBT memang sangat pelik jika dikaitkan dengan agama. Ketika MPH PGI memilih bersuara agar gereja mengakhiri stigma terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas, kelompok Islam memilih sebaliknya. 

"...tegas menolak praktik Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender sebagai perilaku menyimpang dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. PBNU juga menilai, praktik-praktik kelompok tersebut adalah sebuah penodaan kehormatan kemanusiaan," aku mengutip sikap resmi PBNU yang pernah dikeluarkan untuk menanggapi derasnya data persekusi yang dikucurkan Khanis. 

Itu sebabnya sebagai orang Islam, lanjutku, aku merasa punya kewajiban melacak problem dogmatis dalam al-Quran menyangkut isu LGBT, untuk selanjutnya berupaya menemukan serum antibiotiknya.

"Saya teringat Gus Dur. Dia ini pusakanya NU dan mau menerima LGBT. Malah pernah datang ke kontes putri waria Indonesia," kataku. 

Kita tahu, monumen agung kebencian banyak orang Islam (juga tidak sedikit orang Kristen) sering ditautkan pada teks terkait Lut (Sodom dan Gomora). Dalam alQuran, kisah ini dinarasikan dalam episode pendek yang menawarkan eksplorasi lebih lanjut. "Eksplorasi ke teks Taurat, Zabur dan Injil merupakan bagian dari doktrin keimanan Islam yang meminta pemeluknya agar mengimani tiga kitab tersebut selain al-Quran," kataku.

Nah, tafsiran pak Gerrit menyangkut kisah Sodom dan Gomora -- Kitab Kejadian 19-- memperkaya perspektifku untuk melihat ulang kisah Lut. "Ini terkait sosial injustice, inhospitality, dan gang rape. Bukan soal LGBT," katanya. 

Pater Otto Madung ikut memberikan komentar. Dia menduga isu LGBT adalah mainan politik para oligarki ketika butuh kambing hitam maupun pengalihan isu. "Menurut saya kok begitu, Mas Aan," katanya.


Aku setuju dengannya sembari menambahkan hipotesisku sendiri. LGBT adalah salah satu target dari kelompok Islam-politik, atau gerakan Islamisme, yang menguat sejak 22 tahun terakhir ini. 

Gerakan ini akan mengidentifikasi beberapa kelompok sebagai musuhnya; non-muslim, Tionghoa, Komunisme, LGBT dan dua kelompok Islam minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. 

Kenapa mereka membenci kelompok LGBT? Simple saja.  Islamisme selalu menjadikan patriarki klasik sebagai denyut jantungnya. Patriarkhi model ini sangat menjaga dua hal; maskulinitas dan reproduksi. 

Mereka merasa terhina jika ada laki-laki yang kemayu dan/atau berorientasi seksual homo. Bagi cita-cita politik mereka, menang secara kuantitatif di hadapan agama lain adalah keharusan. Reproduksi biologis adalah kanal utamanya. Itu sebabnya, relasi seksual non-prokreasi sebagaimana yang mereka pahami dari homoseksualitas dianggap akan mengganggu jalan kesuksesan menaklukkan dunia secara kuantitatif.


"Saya suka STFT Ledalero. Katoliknya keren. Mau menerima para waria dan mendiskusikan tentang LGBT," batinku sembari mengingat teman-teman Muslim dan Kristen yang berfikiran terbuka.

Aku merasa spirit Gus Dur sangat kuat di sekolah ini. Spirit mau berkorban demi orang lain. Persis seperti yang dilakukan STFK Ledalero. 

"Soal pengorbanan, saya kok merasa Gus Dur mengikuti Yesus ya, Mo. Memanggul salib," kataku pada Pater Bernard. Ia mengangguk dan tersenyum.


-- at 30.000 feets of NAM Air from Maumere to Denpasar.

Friday, February 14, 2020

NYALI YUDIAN WAHYUDI


Baru saja dilantik sebagai kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Yudian Wahyudi telah melakukan gebrakan pertama. Dalam sebuah wawancara, pria jebolan Harvad Law University ini menyatakan agama merupakan musuh terbesar Pancasila. 

Sontak banyak pihak kelojotan. Terutama kelompok-kelompok yang selama ini terindikasi getol menelikung Pancasila, baik terang-terangan maupun diam-diam. Mereka ngamuk membabi buta karena topengnya terbuka sedikit. Saking geramnya, Sekjen MUI Anwar Abbas bahkan meminta Jokowi mengganti Yudian. 

"Kalau benar beliau punya pandangan seperti itu maka tindakan presiden yang paling tepat untuk beliau adalah yang bersangkutan dipecat tidak dengan hormat," kata Abbas.

Yudian bukanlah anak kemarin sore yang tidak mengerti pasang surut dinamika agama dan Pancasila dalam sejarah Indonesia. Saya meyakini dia sangat paham dua entitas ini punya relasi yang campur aduk layaknya lagu Def Leppard "When love and hate collide," bahkan hingga sekarang. 

Sejak awal kemerdekaan, sejarah kita mencatat ada upaya serius dari kelompok Islam untuk bisa mengendalikam negara ini dengan cara menginjeksikan  formalisme Islam ke dalam konstitusi, sebagaimana catatan R.E Elson (2007) "Another Look at the
Jakarta Charter Controversy of 1945,"

Ditambah lagi, dengan pengalaman karir akademik dan profesionalitasnya, Yudian telah membuktikan kapasitasnya sebagai sosok kepala batu yang ekspresif "membela" Pancasila di beberapa kebijakannya selama di UIN Sunan Kalijaga. 

Bukanlah keseleo lidah saat pria ini mengatakan agama adalah musuh terbesar Pancasila. Ia masih menjaga kesantunan dengan tidak mengatakan Islam-politik (Islamisme) adalah yang ia maksudkan. 

Islamisme adalah hantu bagi Negara ini.  ia adalah sisi gelap dari Islam yang saya pahami bercita-cita luhur mewujudkan keadilan tanpa diskriminasi atas nama apapun. Cita-cita luhur inilah yang diserap Pancasila beserta saripati agama lain. 

Sebaliknya, hantu Islamisme berfikir secara sempit; ingin menjadikan negara majemuk ini tunduk pada kemauan satu agama saja. Dulu penundukan ini dijalankan dengan kekuatan senjata. Namun pengasong Islamisme sadar Indonesia terlalu kuat jika ditundukkan dengan cara tersebut. 


Maka sejak Demokrasi Terpimpin ditumbangkan rezim Orde Baru++ mereka mengubah strategi menjadi lebih "sopan", tricky dan mematikan. Saya menyebutnya sebagai kudeta merangkak; mendorong umat Islam melaksanakan tuntunan syariat secara kaffah. "...dan negara Islam akan hadir dengan sendirinya," kata Sjafruddin Prawiranegara kepada alm. MC Ricklefs dalam sebuah wawancara. 

Kudeta merangkak diretas dengan menguasai jalur pendidikan di segala level. Baik formal maupun informal; dengan uang pribadi maupun memanfaatkan APBD maupun APBN. Strategi berjalan dengan memanfaatkan gerakan tarbiyah yang terinspirasi Revolusi Iran, dan berjalan secara klandestin lebih dari 20 tahun saat Soeharto berkuasa. 

Jadi jangan heran kalau situasi pendidikan Indonesia menjadi semakin oleng ke kanan dari tahun ke tahun. Wajah regulasi berbau syariat Islam di daerah sejak 1998 hingga 2012 juga menunjukkan kemenangan mereka. Komnas Perempuan mendeteksi ada sekitar 200an aturan daerah seperti ini selama itu.

Bagi mereka, Pancasila bukanlah musuh yang harus dilawan secara frontal -- sebab akan membentur tembok tebal. Melainkan, ia harus dianggap sebagai teman satu selimut yang wajib digangsir  eksistensinya ---dan telah dilakukan sejak lama.

Mereka tidak ingin mengganti Pancasila. Alih-alih, dasar negara ini dipastikan tetap ada namun hanya dipakai casingnya saja. Sebab jerohannya sudah dipreteli dan dimodifikasi agar Negara Islam bisa tegak secara diam-diam. Salah satu yang kerap mereka kampanyekan adalah sila pertama hanyalah milik umat Islam --dengan meyakini secara sepihak Tuhan agama lain tidak esa. 

Entah berapa lama kesaktian Pancasila mampu bertahan setelah diperkosa puluhan tahun. Tidak hanya oleh Islamisme, namun juga Orde Baru, dan Islamisme lagi -- kali ini lebih parah. Dalam konteks inilah, saya kira tudingan Yudian menemukan landasannya. 

Kita butuh kepala BPIP bernyali seperti Yudian Wahyudi. Nyalakannya semoga tidak berhenti untuk negeri ini.


Happy Valentine Day! 


-- Maumere Sikka.

Monday, February 10, 2020

MODERASI BABI


Boleh percaya boleh tidak. Musuh bebuyutan si imut babi, salah satunya, adalah apapun yang merepresentasi dan mengaitkan dirinya dengan Islam. 

Jika mulai banyak orang Islam bisa berdamai dengan anjing maka terhadap babi, hampir tak ada yang berani bersuara selantang terkait, atau berpose demonstratif bersama, babi. 

Bisa dikatakan, babi adalah kelemahan paling menganga dalam bangunan konfidensi Islam. Sesakti apapun seseorang, setinggi langit keilmuan yang ia miliki, ia akan tunduk, lungkrah tak berdaya di hadapan babi. 

Hukum klasik Islam terlihat masih belum bisa move on merekonsiliasi binatang kiyut ini -- tak peduli berapa banyak jumlah Ph.D dan professsor hukum Islam yang berhasil diproduksi oleh sistem pendidikan modern.


Stigma terhadap babi begitu pekat dan tidak main-main. Siapapun yang berani mencoba menguliknya dalam rangka memoderasi hukum Islam atasnya, sedikittttttt saja, pasti aku terjungkal. Cobalah jika tidak percaya.

Namun kenapa perlu dimoderasi? Sebab stigma terhadap babi punya dampak serius terhadap orang yang berdekatan dengan binatang ini, baik mengkonsumsinya atau tak keberatan dengannya. Pada isu lain, metode moderasi juga nampak dilakukan NU saat berusaha menjinakkan kata "kafir"  dengan "muwaththinun," oleh NU beberapa waktu lalu.

Lihatlah yang pernah terjadi di salah satu mall di Makassar. Sekelompok orang Islam memaksa agar gerai kuliner babi ditutup secara sepihak. Aksi itu berhasil. 

Padahal, keharaman babi tidak serta merta membolehkan seorang Muslim bertindak aniaya terhadap hak orang lain yang berpandangan babi boleh dikonsumsi. Ini persis seperti analogi; ketidakbolehan orang Islam menghalangi atau mempersekusi orang beragama lain. Lakum dinukum waliya din. 


"Dunia Perbabian ini mmg  berat dan sensitif ya abangda. Didalam semua rangkaian adat batak, babi memiliki posisi yang strategis sehingga ketika isu pemusnahan babi di Sumut mencuat, spirit soliditas peradatan langsung menguat, abangda," kata temanku, dosen bermarga Purba --entah Purba nomor berapa.

Aku pun membalasnya, "Itu bagus. Jangan biarkan implementasi ngawur doktrin klasik kami menggerus local wisdom di sana. Pertahankan sampai titik darah penghabisan," 

Menurutku, tugas berat moderasi hukum Islam dapat diukur sejauhmana keberhasilannya mendorong sebanyak mungkin umat Islam untuk mampu berkata; bagimu daging babimu, bagiku engkau tetap saudaraku. 

Isn't that pretty, baby?


--warkop by pass Krian menikmati video clip agung Mariah Carey "Always My Baby"

Sunday, February 9, 2020

SERU PASUKAN BIRU DI GKJW WARU


Adakah yang paling membahagiakan selain bisa mengajak banyak orang datang ke tempat yang paling mereka takuti karena dogma –dan akhirnya ketakutan tersebut tidak terbukti? Pastilah ada kebahagiaan lain selain hal tersebut. Namun bagiku hari ini, Sabtu (8/2), adalah hari bahagiaku.


Aku berhasil mengajak 50 orang pasukan biru, sebutan untuk para kader PMII, untuk bisa duduk di ruang ibadah GKJW Waru belajar tentang hadits dalam perspektif keadilan perempuan. 

Maksudnya gereja menyelenggarakan kelas tersebut? Tidak. 


Sebagaimana yang aku tulis di status kemarin, aku meminta panitia Sekolah Islam dan Gender untuk mencari gereja terdekat sebagai tempat sesiku berlangsung. Akhirnya, mereka mendapatkan GKJW Waru. Lokasinya berjarak 7-8 kilometer dari tempat utama. 

"Begitu mendapat kabar akan ada kunjungam dari teman-teman PMII, kami langsung rapat dan memutuskan oke. Kami senang gereja ini berguna, terutama bagi teman-teman Muslim," kata Pdt. Adi dalam sambutannya. 


Saat selesai sambutan, aku langsung menyalaminya dan mengucapkan terima. Kami pun ngobrol bersama majelis lainnya, termasuk mas Yoyok, liaison officer dari GKJW. 


“Kalian harus belajar dari kebaikan GKJW. Tempat sucinya dipersembahkan kepada kita untuk dipakai melangsungkan pembelajaran agama. Rasanya belum ada masjid yang bisa melakukan kebaikan level ini. Itu salah satu poin penting kenapa saya minta lokasinya di gereja, agar kita bisa belajar berempati,” kataku membuka sesi. 


Mereka terlihat tersenyum kecut. Aku tahu apa yang mereka pikirkan sebagai anggota kelompok mayoritas negeri ini.

Aku bertindak sebagai fasilitator di acara tersebut. 

Pertama-tama aku mengajak peserta memahami posisi personalku menyangkut topik yang aku bawakan, "Hadits perspektif Perempuan," Topik ini aku maknai sebagai kewajiban setiap Muslim memperjuangkan keadilan gender --dalam hal ini perempuan. 

"Siapakah yang kita akan sebut sebagai 'perempuan'?" tanyaku pada mereka. Mereka hanya diam dengan wajah bingung, seperti tengah menyatakan "Bukannnya semua sudah jelas, pak?"

Perempuan tidak hanya cukup dicirikan oleh instrumen biologis yang dipunyai seseorang. Memiliki payudara atau vagina tidak lantas membuat pemiliknya merasa dirinya seperti yang dipersangkakan orang lain.   


Seluruh pengalaman personal seseorang yang membentuk keyakinannya menuju siapa sebenarnya dirinya adalah hal inheren yang tidak boleh dikesampingkan. "Maka, kalau ada orang datang padaku dan mengatakan dirinya perempuan maka aku akan menganggapnya sesuai yang ia kehendaki ," ujarku.

Seperti yang sudah aku singgung di depan, sebagian besar peserta merupakan perempuan dan tinggal di pesantren. Lazimnya, ketika ada kata hadits," dan "perempuan/wanita," maka persepsi mereka adalah serangkaian hadits yang membolehkan dan tidak membolehkan tindakan yang dilakukan perempuan. Hadits dipahami sebagai sebuah instrumen kontrol atas diri dan ketubuhan perempuan.

"Di sesi ini aku tidak akan membincang, misalnya, bagaimana shalat perempuan, jenis darah yang keluar dari vagina, atau etika perempuan/istri saat di rumah dan di luar rumah, dalam pandangan Islam klasik. Sebaliknya, aku akan melengkapi pengetahuan dan skill kalian agar bisa berargumentasi ketika ada orang merendahkan perempuan dengan menyitir sebuah hadits," ujarku.

Untuk hal ini, aku memilih 4 landasan sebagai titik pijak. Pertama, bahwa tugas orang Islam adalah menciptakan keadilan sosial bagi dunia (rahmatan lil 'alamin). Kedua, perempuan dan laki-laki berposisi sejajar di mata Gusti karena tumbuh dari satu sumber (nafs wahidah) sebagaimana QS. al-Nisa' 1. Ketiga, kita diminta bersikap kritis atas sesuatu dan diminta bertanya pada ahlinya jika tidak punya pengetahuan, sesuai al-Isra' 36 dan al-Anbiya' 7. Keempat, bagi mereka yang beragama, maka posisi agama dan pengetahuan (sains) adalah saling melengkapi untuk menuju rahmatan lil 'alamin. Keduanya sejajar. 

Aku selanjutnya mengajak mereka mengetahui hal-hal dasar mengenai perhaditsan. Dalam konteks ini, aku memapar problem otentisitas hadits dan cara menyortirnya, keragaman koleksi hadits dari tiap golongan Islam dan, yang paling utama, sejauhmana dialektika penganuliran antara al-quran --sebagai sumber hukum primer-- dan hadits. 

"Derajat tertinggi hadits, menurutku, adalah yang berstatus mutawattir, multiple chains, bukan ahad --single chain," aku berujar. 

Maka menjadi penting, tambahku, menjadikan 4 pokok di atas sebagai landasan. Siapapun yang ngomong bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki, nggak peduli ia kiai, ustadz, habib atau yang lain, abaikan saja. 

Aku selanjutnya memapar pandang Imam Ghazali terkait perempuan yang ditulisnya dalam karya monumentalnya Ihya' 'Ulumuddin. Aku membagi peserta menjadi 4 kelompok dan meminta mereka mendiskusikannya. 

Woila.. Mereka ternyata bisa kritis. Menarik sekali mengingat reputasi Imam Ghazali yang begitu tinggi hingga sangat sedikit orang yang berani mengkritik kitab tersebut.


Mereka mempresentasikan hasil diskusinya di hadapan peserta lainnya. Seru sekali suasana

Di akhir acara, aku mengajak mereka mengunjungi tokoh utama feminisme Islam awal yang sejarahnya ditenggelamkan rezim patriarki Islam. Ia adalah Lady Sukayna bint Rahab wa al-Husayn bin Ali wa Fatimah bint Khadijah wa Muhammad. 

"Ia adalah cicit Rasululloh. Bisa kalian jadikan patron memperjuangkan kesetaraan perempuan kalau kalian mau," ujarku dari pinggir mimbar, bangga melihat mereka belajar hal penting di gereja. 

Kami lalu menutup sesi itu dengan berdiri dan maju ke depan menyanyikan Padamu Negeri.(*)



Friday, February 7, 2020

BULKONAH di IAIN MANADO


Betapa senangnya diriku. Bisa singgah lagi di institusi pendidikan tinggi Islam sementereng IAIN Manado. Dari banyak IAIN atau UIN yang aku pernah kunjungi. Rata-rata model arsitekturnya sama semua. 

Sangat mungkin ada panduannya dari “atas,” atau jangan-jangan kontraktor pelaksananya satu bendera. Terasa tidak kreatif. Entahlah.

Namun sore itu, Sabtu (15/2), aku disambut dengan sangat ramah oleh mas Sulaiman, dosen IAIN yang sehari sebelumnya bertemu denganku di acara bedah buku “Menafsir LGBT dalam Alkitab,” di GMIM Sion Winangun. 

Ia tidak sendirian ternyata. Telah hadir pula mas Ali, wakil dekan, yang ternyata orang Ngapak Brebes. Dunia sempit sekali memang.

Topik yang dibahas dalam forum diskusi dadakan ini seputar Guyonan Gus Dur dan relevansinya saat sekarang –merujuk pada semakin kuatnya intoleransi yang dilakukan banyak orang Islam, terutama pada kelompok Kristen. 

“Saya nggak pernah riset soal guyonan Gus Dur. Namun jika mau dikategorisasikan, saya baru mampu menemukan dua; as self-criticism dan counter Islamic legal opinion,” aku memulai setelah terlebih dahulu menyodorkan humor Gus Dur soal seberapa dekat agama-agama terhadap tuhannya. Hindu memanggil tuhannya dengan “om,” sedang Kristen kerap menyapa dengan “Bapak,”


“Kalau Islam, tuhannya jauuuhh. Manggilnya aja pakai toa,” begitu aku menirukan Gus Dur dan langsung disambut tawa peserta diskusi. 

Di titik ini, aku menyinggung problem musalla di Minahasa Utara di mana penggunaan toa dan speaker dianggap mengganggu kenyamanan lingkungan tersebut. 

“Mas, apa memungkinkan misalnya IAIN mengajukan fiqh sosial seputar penggunaan speaker luar dalam ritual dan dan dampaknya terhadap relasi kemajemukan? Kalau misalnya ada banyak orang Islam yang merasa bising dengan nyanyian orang Kristen dan meminta mereka mengecilkan volumenya, maka harusnya orang Islam tidak melakukan hal sama," kataku pada mas Ali dan Sulaiman. Keduanya merespon dengan argumentasi yang cukup rasional.


Aku selanjutnya mencontohkan dua humor Gus Dur yang aku anggap masuk kategori kedua – sebagai hukum Islam alternative. Dua humor tersebut adalah seputar jawaban Gus Dur ketika ditanya apakah doa orang Katolik/Kristen bisa “nyampek,” ke almarhum orang tuanya yang Muslim. Dan, guyonan tentang curhatan orang NU yang anaknya masuk Kristen.

“Lihatlah, jika dianalisis, Gus Dur seperti sedang menggoda hukum Islam klasik yang masih terlalu serius mewasiti relasi Islam-Kristen. Gus Dur menggunakan guyonan karena tahu betul masih banyak orang Islam yang cenderung tegang dalam membahas hal penting. Dari sini, kita mengenal jargon agung di kalangan NU; dari gegeran menjadi ger-geran” ujarku.

Untuk mengulik lebih dalam seputar maraknya intoleransi di Indonesia, dalam forum tersebut, mau tidak mau, aku juga harus  memapar agak mendalam seputar stigma; apa dan bagaiman makhluk ini bekerja mendorong sebuah peradaban menghancurkan dirinya sendiri.


Selama proses berlangsung, aku benar-benar tak tahan untuk tidak menjamah white-board yang ada di ruangan tersebut. Aku merasa lebih mampu menjelaskan gagasanku menggunakan apa yang disebut bulkonah; bulat, kotak dan panah.