Pages

Sunday, February 16, 2020

ADA GUS DUR DAN LGBT DI LEDALERO


"Gus Dur biasanya tidur di Ledalero kalau ke sini meski sudah disediakan hotel," kata Eddy Kurniawan, mantan aktifis FPPI yang kini menjabat sebagai sekretaris GP Ansor Kabupaten Sikka, tadi malam saat mengajakku ngopi di Maumere kemarin malam.

Barangkali itu sebabnya, menurut pria ini, hubungan Katolik dan NU di Sikka sangat baik. Pokoknya kalau NU yang berkehendak, mereka pasti mendukung. "Itu yang saya rasakan," kata pria jebolan ITATS Surabaya yang keluarganya sudah 5 generasi tinggal di Sikkan. 


Sayangnya, aku baru tahu informasi ini setelah meninggalkan STFK Ledalero. Jika tidak, aku akan meminta cerita soal Gus Dur dan Ledalero kepada mas Otto Madung, pater temanku saat penelitian di Polgov UGM yang kini telah menjadi ketua sekolah mentereng itu. 

Seperti halnya Gus Dur yang sangat apresiatif terhadap perbedaan identitas gender dan orientasi seksual, STFK Ledalero pun demikian. Sekolah ini, sepengetahuanku, merupakan satu-satunya sekolah tinggi teologi yang berani memfasilitasi bedah buku "Menafsir LGBT dalam Alkitab," Sabtu (15/2). 


"Mungkin sebentar lagi mas Otto akan dapat surat peringatan dari Vatikan karena berani menggelar acara yang sangat jelas berkaitan dengan LGBT," kataku di atas panggung. Lelaki ganteng ini terlihat senyum-senyum saja dari kejauhan. 

Tidak kurang 700 orang hadir dalam Bedah buku milik Prof. Gerrit Singgih ini  Aulanya penuh. Yang menarik, dan tidak pernah aku jumpai di acara sama sebelumnya, sekolah tinggi Katolik ini juga memperbolehkan para transpuan dari Fajar SIKKA tampil di panggung. Mereka menampilkan paduan suara sungguh indah diiringi musik para frater.

"Saya Katolik taat, berdevosi kepada bunda Maria. Saya menemukan tuhan dalam kewariaan saya. Terima kasih kepada Ledalero yang terus bergandengan dengan kami," kata Mayora, aktifis Fajar SIKKA, saat menjadi penangggap. 

Aku melihat wajah Katolik yang berbeda. Wajah yang lebih humanis dan bersahabat. Mayora juga bercerita akan ada ada pertandingan bola voli antara para waria dan mahasiswa. Aku membayangkan suasananya pasti seru. 


"Saya dan teman-teman waria bisa ikut beribadah dan pelayanan tanpa harus ribet soal pakaian. Kami memakai busana perempuan. Dan diterima dengan baik," katanya padaku. 

Isu LGBT memang sangat pelik jika dikaitkan dengan agama. Ketika MPH PGI memilih bersuara agar gereja mengakhiri stigma terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas, kelompok Islam memilih sebaliknya. 

"...tegas menolak praktik Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender sebagai perilaku menyimpang dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. PBNU juga menilai, praktik-praktik kelompok tersebut adalah sebuah penodaan kehormatan kemanusiaan," aku mengutip sikap resmi PBNU yang pernah dikeluarkan untuk menanggapi derasnya data persekusi yang dikucurkan Khanis. 

Itu sebabnya sebagai orang Islam, lanjutku, aku merasa punya kewajiban melacak problem dogmatis dalam al-Quran menyangkut isu LGBT, untuk selanjutnya berupaya menemukan serum antibiotiknya.

"Saya teringat Gus Dur. Dia ini pusakanya NU dan mau menerima LGBT. Malah pernah datang ke kontes putri waria Indonesia," kataku. 

Kita tahu, monumen agung kebencian banyak orang Islam (juga tidak sedikit orang Kristen) sering ditautkan pada teks terkait Lut (Sodom dan Gomora). Dalam alQuran, kisah ini dinarasikan dalam episode pendek yang menawarkan eksplorasi lebih lanjut. "Eksplorasi ke teks Taurat, Zabur dan Injil merupakan bagian dari doktrin keimanan Islam yang meminta pemeluknya agar mengimani tiga kitab tersebut selain al-Quran," kataku.

Nah, tafsiran pak Gerrit menyangkut kisah Sodom dan Gomora -- Kitab Kejadian 19-- memperkaya perspektifku untuk melihat ulang kisah Lut. "Ini terkait sosial injustice, inhospitality, dan gang rape. Bukan soal LGBT," katanya. 

Pater Otto Madung ikut memberikan komentar. Dia menduga isu LGBT adalah mainan politik para oligarki ketika butuh kambing hitam maupun pengalihan isu. "Menurut saya kok begitu, Mas Aan," katanya.


Aku setuju dengannya sembari menambahkan hipotesisku sendiri. LGBT adalah salah satu target dari kelompok Islam-politik, atau gerakan Islamisme, yang menguat sejak 22 tahun terakhir ini. 

Gerakan ini akan mengidentifikasi beberapa kelompok sebagai musuhnya; non-muslim, Tionghoa, Komunisme, LGBT dan dua kelompok Islam minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. 

Kenapa mereka membenci kelompok LGBT? Simple saja.  Islamisme selalu menjadikan patriarki klasik sebagai denyut jantungnya. Patriarkhi model ini sangat menjaga dua hal; maskulinitas dan reproduksi. 

Mereka merasa terhina jika ada laki-laki yang kemayu dan/atau berorientasi seksual homo. Bagi cita-cita politik mereka, menang secara kuantitatif di hadapan agama lain adalah keharusan. Reproduksi biologis adalah kanal utamanya. Itu sebabnya, relasi seksual non-prokreasi sebagaimana yang mereka pahami dari homoseksualitas dianggap akan mengganggu jalan kesuksesan menaklukkan dunia secara kuantitatif.


"Saya suka STFT Ledalero. Katoliknya keren. Mau menerima para waria dan mendiskusikan tentang LGBT," batinku sembari mengingat teman-teman Muslim dan Kristen yang berfikiran terbuka.

Aku merasa spirit Gus Dur sangat kuat di sekolah ini. Spirit mau berkorban demi orang lain. Persis seperti yang dilakukan STFK Ledalero. 

"Soal pengorbanan, saya kok merasa Gus Dur mengikuti Yesus ya, Mo. Memanggul salib," kataku pada Pater Bernard. Ia mengangguk dan tersenyum.


-- at 30.000 feets of NAM Air from Maumere to Denpasar.

No comments:

Post a Comment