Pages

Friday, February 7, 2020

BULKONAH di IAIN MANADO


Betapa senangnya diriku. Bisa singgah lagi di institusi pendidikan tinggi Islam sementereng IAIN Manado. Dari banyak IAIN atau UIN yang aku pernah kunjungi. Rata-rata model arsitekturnya sama semua. 

Sangat mungkin ada panduannya dari “atas,” atau jangan-jangan kontraktor pelaksananya satu bendera. Terasa tidak kreatif. Entahlah.

Namun sore itu, Sabtu (15/2), aku disambut dengan sangat ramah oleh mas Sulaiman, dosen IAIN yang sehari sebelumnya bertemu denganku di acara bedah buku “Menafsir LGBT dalam Alkitab,” di GMIM Sion Winangun. 

Ia tidak sendirian ternyata. Telah hadir pula mas Ali, wakil dekan, yang ternyata orang Ngapak Brebes. Dunia sempit sekali memang.

Topik yang dibahas dalam forum diskusi dadakan ini seputar Guyonan Gus Dur dan relevansinya saat sekarang –merujuk pada semakin kuatnya intoleransi yang dilakukan banyak orang Islam, terutama pada kelompok Kristen. 

“Saya nggak pernah riset soal guyonan Gus Dur. Namun jika mau dikategorisasikan, saya baru mampu menemukan dua; as self-criticism dan counter Islamic legal opinion,” aku memulai setelah terlebih dahulu menyodorkan humor Gus Dur soal seberapa dekat agama-agama terhadap tuhannya. Hindu memanggil tuhannya dengan “om,” sedang Kristen kerap menyapa dengan “Bapak,”


“Kalau Islam, tuhannya jauuuhh. Manggilnya aja pakai toa,” begitu aku menirukan Gus Dur dan langsung disambut tawa peserta diskusi. 

Di titik ini, aku menyinggung problem musalla di Minahasa Utara di mana penggunaan toa dan speaker dianggap mengganggu kenyamanan lingkungan tersebut. 

“Mas, apa memungkinkan misalnya IAIN mengajukan fiqh sosial seputar penggunaan speaker luar dalam ritual dan dan dampaknya terhadap relasi kemajemukan? Kalau misalnya ada banyak orang Islam yang merasa bising dengan nyanyian orang Kristen dan meminta mereka mengecilkan volumenya, maka harusnya orang Islam tidak melakukan hal sama," kataku pada mas Ali dan Sulaiman. Keduanya merespon dengan argumentasi yang cukup rasional.


Aku selanjutnya mencontohkan dua humor Gus Dur yang aku anggap masuk kategori kedua – sebagai hukum Islam alternative. Dua humor tersebut adalah seputar jawaban Gus Dur ketika ditanya apakah doa orang Katolik/Kristen bisa “nyampek,” ke almarhum orang tuanya yang Muslim. Dan, guyonan tentang curhatan orang NU yang anaknya masuk Kristen.

“Lihatlah, jika dianalisis, Gus Dur seperti sedang menggoda hukum Islam klasik yang masih terlalu serius mewasiti relasi Islam-Kristen. Gus Dur menggunakan guyonan karena tahu betul masih banyak orang Islam yang cenderung tegang dalam membahas hal penting. Dari sini, kita mengenal jargon agung di kalangan NU; dari gegeran menjadi ger-geran” ujarku.

Untuk mengulik lebih dalam seputar maraknya intoleransi di Indonesia, dalam forum tersebut, mau tidak mau, aku juga harus  memapar agak mendalam seputar stigma; apa dan bagaiman makhluk ini bekerja mendorong sebuah peradaban menghancurkan dirinya sendiri.


Selama proses berlangsung, aku benar-benar tak tahan untuk tidak menjamah white-board yang ada di ruangan tersebut. Aku merasa lebih mampu menjelaskan gagasanku menggunakan apa yang disebut bulkonah; bulat, kotak dan panah.

No comments:

Post a Comment