Pages

Sunday, February 9, 2020

SERU PASUKAN BIRU DI GKJW WARU


Adakah yang paling membahagiakan selain bisa mengajak banyak orang datang ke tempat yang paling mereka takuti karena dogma –dan akhirnya ketakutan tersebut tidak terbukti? Pastilah ada kebahagiaan lain selain hal tersebut. Namun bagiku hari ini, Sabtu (8/2), adalah hari bahagiaku.


Aku berhasil mengajak 50 orang pasukan biru, sebutan untuk para kader PMII, untuk bisa duduk di ruang ibadah GKJW Waru belajar tentang hadits dalam perspektif keadilan perempuan. 

Maksudnya gereja menyelenggarakan kelas tersebut? Tidak. 


Sebagaimana yang aku tulis di status kemarin, aku meminta panitia Sekolah Islam dan Gender untuk mencari gereja terdekat sebagai tempat sesiku berlangsung. Akhirnya, mereka mendapatkan GKJW Waru. Lokasinya berjarak 7-8 kilometer dari tempat utama. 

"Begitu mendapat kabar akan ada kunjungam dari teman-teman PMII, kami langsung rapat dan memutuskan oke. Kami senang gereja ini berguna, terutama bagi teman-teman Muslim," kata Pdt. Adi dalam sambutannya. 


Saat selesai sambutan, aku langsung menyalaminya dan mengucapkan terima. Kami pun ngobrol bersama majelis lainnya, termasuk mas Yoyok, liaison officer dari GKJW. 


“Kalian harus belajar dari kebaikan GKJW. Tempat sucinya dipersembahkan kepada kita untuk dipakai melangsungkan pembelajaran agama. Rasanya belum ada masjid yang bisa melakukan kebaikan level ini. Itu salah satu poin penting kenapa saya minta lokasinya di gereja, agar kita bisa belajar berempati,” kataku membuka sesi. 


Mereka terlihat tersenyum kecut. Aku tahu apa yang mereka pikirkan sebagai anggota kelompok mayoritas negeri ini.

Aku bertindak sebagai fasilitator di acara tersebut. 

Pertama-tama aku mengajak peserta memahami posisi personalku menyangkut topik yang aku bawakan, "Hadits perspektif Perempuan," Topik ini aku maknai sebagai kewajiban setiap Muslim memperjuangkan keadilan gender --dalam hal ini perempuan. 

"Siapakah yang kita akan sebut sebagai 'perempuan'?" tanyaku pada mereka. Mereka hanya diam dengan wajah bingung, seperti tengah menyatakan "Bukannnya semua sudah jelas, pak?"

Perempuan tidak hanya cukup dicirikan oleh instrumen biologis yang dipunyai seseorang. Memiliki payudara atau vagina tidak lantas membuat pemiliknya merasa dirinya seperti yang dipersangkakan orang lain.   


Seluruh pengalaman personal seseorang yang membentuk keyakinannya menuju siapa sebenarnya dirinya adalah hal inheren yang tidak boleh dikesampingkan. "Maka, kalau ada orang datang padaku dan mengatakan dirinya perempuan maka aku akan menganggapnya sesuai yang ia kehendaki ," ujarku.

Seperti yang sudah aku singgung di depan, sebagian besar peserta merupakan perempuan dan tinggal di pesantren. Lazimnya, ketika ada kata hadits," dan "perempuan/wanita," maka persepsi mereka adalah serangkaian hadits yang membolehkan dan tidak membolehkan tindakan yang dilakukan perempuan. Hadits dipahami sebagai sebuah instrumen kontrol atas diri dan ketubuhan perempuan.

"Di sesi ini aku tidak akan membincang, misalnya, bagaimana shalat perempuan, jenis darah yang keluar dari vagina, atau etika perempuan/istri saat di rumah dan di luar rumah, dalam pandangan Islam klasik. Sebaliknya, aku akan melengkapi pengetahuan dan skill kalian agar bisa berargumentasi ketika ada orang merendahkan perempuan dengan menyitir sebuah hadits," ujarku.

Untuk hal ini, aku memilih 4 landasan sebagai titik pijak. Pertama, bahwa tugas orang Islam adalah menciptakan keadilan sosial bagi dunia (rahmatan lil 'alamin). Kedua, perempuan dan laki-laki berposisi sejajar di mata Gusti karena tumbuh dari satu sumber (nafs wahidah) sebagaimana QS. al-Nisa' 1. Ketiga, kita diminta bersikap kritis atas sesuatu dan diminta bertanya pada ahlinya jika tidak punya pengetahuan, sesuai al-Isra' 36 dan al-Anbiya' 7. Keempat, bagi mereka yang beragama, maka posisi agama dan pengetahuan (sains) adalah saling melengkapi untuk menuju rahmatan lil 'alamin. Keduanya sejajar. 

Aku selanjutnya mengajak mereka mengetahui hal-hal dasar mengenai perhaditsan. Dalam konteks ini, aku memapar problem otentisitas hadits dan cara menyortirnya, keragaman koleksi hadits dari tiap golongan Islam dan, yang paling utama, sejauhmana dialektika penganuliran antara al-quran --sebagai sumber hukum primer-- dan hadits. 

"Derajat tertinggi hadits, menurutku, adalah yang berstatus mutawattir, multiple chains, bukan ahad --single chain," aku berujar. 

Maka menjadi penting, tambahku, menjadikan 4 pokok di atas sebagai landasan. Siapapun yang ngomong bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki, nggak peduli ia kiai, ustadz, habib atau yang lain, abaikan saja. 

Aku selanjutnya memapar pandang Imam Ghazali terkait perempuan yang ditulisnya dalam karya monumentalnya Ihya' 'Ulumuddin. Aku membagi peserta menjadi 4 kelompok dan meminta mereka mendiskusikannya. 

Woila.. Mereka ternyata bisa kritis. Menarik sekali mengingat reputasi Imam Ghazali yang begitu tinggi hingga sangat sedikit orang yang berani mengkritik kitab tersebut.


Mereka mempresentasikan hasil diskusinya di hadapan peserta lainnya. Seru sekali suasana

Di akhir acara, aku mengajak mereka mengunjungi tokoh utama feminisme Islam awal yang sejarahnya ditenggelamkan rezim patriarki Islam. Ia adalah Lady Sukayna bint Rahab wa al-Husayn bin Ali wa Fatimah bint Khadijah wa Muhammad. 

"Ia adalah cicit Rasululloh. Bisa kalian jadikan patron memperjuangkan kesetaraan perempuan kalau kalian mau," ujarku dari pinggir mimbar, bangga melihat mereka belajar hal penting di gereja. 

Kami lalu menutup sesi itu dengan berdiri dan maju ke depan menyanyikan Padamu Negeri.(*)



No comments:

Post a Comment