Pages

Saturday, March 28, 2020

TAKUT MATI


Seluruh histeria global terkait corona sebenarnya bermuara pada satu hal; takut mati. Namun kadang seseorang terlalu takut mengakuinya, lalu membungkusnya dengan argumentasi yang canggih-canggih. 

Namun pagi ini, aku tak menyangka akan "ditampar," oleh seorang nenek, saat kami berdua asik berbelanja di stand aneka sayur Pasar Legi Jombang. Kejadiannya dua jam lalu. 

"Mbak, pertimbangkan untuk memakai masker. Situasinya sudah seperti ini lho," kataku pada pemilik stand sembari menyerahkan uang Rp.2.000 untuk seikat serai. 

"Aku pengen, dik, tapi aku sulit bernafas," jawabnya dengan tetap meladeni pembeli lainnya.

Tiba-tiba seorang nenek di depanku, yang asyik memilih tomat menimpali kami tanpa rasa bersalah. Ia dengan ketus berpandangan tidak perlu memakai masker. 

"Nggak usah pakai. Kayak kita nggak percaya Tuhan saja. Masih ada Tuhan," ujarnya. 

Kami pun terus berdiskusi sembari tetap memastikan kebutuhan kami terlayani dengan baik. Aku pergi meninggalkan mereka berdua setelah serai di tanganku.

Omongan nenek tadi terus menggedor-gedor pikiranku. Kenapa harus ada kebodohan menempel ke tubuh makhluk yang oleh Tuhan diberi akal untuk berfikir. Terlalu banyak orang seperti nenek tersebut. Konfidensinya keterlaluan. 

Setelah menikmati kopi yang disajikan Tini, pemilik warkop langgananku, aku berfikir; kenapa nenek itu bisa sampai sekonfiden itu? Kenapa ia tidak takut mati? Apa yang ia cecap sehingga memiliki keberanian setinggi gunung Uhud ditambah Mahameru? 


Aku yakin ia tidak punya akun sosial media, bahkan sangat mungkin ia tidak memiliki gadget yang terkoneksi internet. Ia mungkin memiliki TV namun aku tidak yakin ia terpengaruh massifnya  pemberitaan tentang corona, yang pada titik tertentu menstimulasi kekuatiran seseorang dengan cepat. 

Kekuatiran berselaput ilmu pengetahuan berlapis-lapis inilah selanjutnya diyakini sebagai fase "menjadi lebih pintar," --- dan meminta pemilik tubuh untuk memilih satu-satunya opsi yang tersedia; takut mati. 

Aku yakin nenek itu tidak takut mati --meski aku tidak sempat menanyakannya. Namun percayalah, ia pasti akan menjawab, kira-kira, "Mati iku urusane Gusti Awwoh," Tidak kurang, tidak lebih. 

Jika demikian jawabnya, aku mungkin akan ganti menimpalinya balik "Silahkan saja mati, namun masalahnya, kamu juga membuat orang lain akan mati jika tidak patuh SOP," Rasanya puas bisa memojokkan dirinya.  Namun bukankah jawabanku hanya meneguhkan kebenaran bahwa kematiaan adalah hal yang harus ditakutkan? 

Nenek ini, jangan-jangan, pernah membaca novel "The Physician," karya Noah Gordon yang diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama 2013 lalu. Sebab ketidaktakutan nenek ini terasa senafas dengan omongan Ibn Sina dalam film tersebut. 

"Because there is nothing to be afraid of. Death is merely a threshold we must all cross, into the silence, after the final heartbeat. Drifting away with our final exhalation into eternal peace..."

Jika kepandaian nenek tersebut setara  Ibn Sina atau Noah Gordon ia pasti  mampu meredaksikan pengetahuannya sesastrawi mereka. Namun aku yakin kematian, bagi sang nenek, adalah kepastian yang harus diterima setiap orang agar bertemu Tuhan sebagai wujud kedamaian abadi

Di titik mati-adalah-kedamaian-abadi, kita sepakat dengan nenek itu. Bedanya, ia tampak tidak takut dengan kematian. Sedangkan kita? Rasanya justru sebaliknya.

Tidak takut mati per hari ini bukanlah monopoli nenek dan orang-orang sejalannya. Keberanian menantang maut juga secara nyata ditunjukkan mereka yang berada di garda depan penanggulangan corona. Siapa mereka? Siapa saja yang tanpa rasa takut "menyelamatkan," mereka yang tengah dirundung ketakutan akan mati. 

Harusnya, takut-mati mendorong kita lebih menghargai hidup. Bukan hidup kita personal ---karena kita akan terjebak dengan egoisme individual, namun hidup orang lain. Egoisme individual secara sederhana ditunjukkan dengan masih adanya strategi profit taking, malas berbagi, atau menipu orang lain atas nama corona. Cara ini sungguh tak terpuji atas nama takut-mati.


Bandingkan dengan yang dilakukan Hazem Sedda, sebagaimana dilansir harian Independent Inggris. Pria ini menerapkan kebijakan "beli banyak lebih mahal," untuk kertas toilet yang dijualnya. Satu pak tisu dihargai USD 3,5  --setara Rp.56 ribu. Jika beli dua pak, Anda akan dikenakan USD 99 atau setara Rp.1,6 juta.

"Ojo serakah, cuk. Mikiro wong liyo!" begitu ia menambahkan tulisan di daftar harga.


Sedda mengajak orang berani menghargai hidup dengan cara memikirkan orang lain. Nenek tadi, mengajarkan keberanian, tidak takut mati dengan caranya sendiri. Ada juga yang takut mati hingga hanya ia yang ada dalam pikirannya. 

Lalu siapa yang akan mati duluan ke depannya? Di sinilah misterinya. 

Dan aku mendengar nenek itu, dengan suara berat, mengutip omongan Achilles ke Briseis, dalam film Troy, "The gods envy us. They envy us because we're mortal, because any moment may be our last. Everything is more beautiful because we're doomed. You will never be lovelier than you are now. We will never be here again."


-- Warkop Iwan Pasar Legi, tetap dengan menjaga jarak. 


 

Thursday, March 26, 2020

SUGENG KUNDUR TUTOR BAHASA INGGRISKU


Barusan aku tahu KH. Nur Akhlis, wakil ketua PCNU Kab. Kediri telah meninggal dunia. Berita ini benar-benar mengagetkanku. Sebab dalam memoriku, pria ini akan immortal persis seperti gambaran 25 tahun lalu. Ceria, ganteng, smart, supel dan punya dedikasi. 

Aku mengenalnya sebagai "mister," Akhlis, tutorku bahasa Inggris dalam 2 dari 3 fase di BEC Pare Kediri. Aku masuk kursusan legendaris itu kira-kira September 1994, setelah bosan menjadi penjaga portal galian C di dekat makam Sunan Drajat Lamongan. Saat itu aku baru lulus SMA. Bingung mau ke mana; takut kuliah karena nggak punya biaya, ingin kerja namun masih sangat hijau. 

Akhirnya ada kawanku SMA, alm. Zainul Muttaqin putra KH. Nurcholish Klinterejo, mengajak untuk kursus di BEC Pare. Aku menyelesaikannya tepat waktu dengan hasil yang lumayan. Menyandang the best four dari 200 peserta kursus angkatanku. 

Aku sadar ada kontribusi besar dari Mr. Akhlis dalam capaian itu. Selama diajar olehnya aku merasa akrab dengannya meski aku tak yakin ia masih mengenalku. Anak didiknya sangat banyak di BEC. Belum lagi di EECC, kursusan miliknya sendiri. 


Aku dekat dengannya karena ia nyambung jika diajak ngobrol apa saja; dari politik hingga urusan agama yang progresif. Sejak awal aku sudah menduga ia bukanlah tutor bahasa Inggris biasa. Somehow, aku merasa ia seorang yang begitu dekat dengan organisasi. Dugaanku belakangan terbukti. Ia tidak jauh-jauh dari NU, pesantren dan PMII --tiga kuadran yang aku juga terjerumus di dalamnya, akhirnya. 

Sugeng kundur, mas gus .....


Ps. And yes, I am used to being so extremely cute since the age of innocence.

Friday, March 20, 2020

TOLONG GUS


Aku tak tahan untuk tidak menuliskannya. Cerita ini --cerita tentang keinginan seorang ayah agar anaknya bisa dikembalikan sebagai perempuan "sejati," yang feminin dan menyukai lawan jenis. Bukan sebaliknya.

"Tolong gus...." ia memohon begitu tulusnya dengan intonasi tersebut.

Aku benar-benar bingung dan trenyuh atas permohonan ini. Intonasi itu mengingatkanku pada Priam, raja Troy, ketika memohon kepada Achilles agar dizinkan membawa pulang mayat Hector anaknya. Mayat itu tergeletak bersimbah darah di depan tenda Achilles setelah keduanya duel satu lawan satu.

Aku bingung karena aku bukan Achilles dan ia juga bukan Priam, King of Troy.

---

Ini adalah kedatangannya kedua kali ke rumahku. Kedatangan yang pertama sekitar setahun lalu. Ia bersama istri dan putrinya yang ia minta aku "sembuhkan,"

Saat itu sang putri, sebut saja Steve, baru saja bertengkar hebat dengannya. Terjadi kontak fisik, meski keduanya saling menyesali atas peristiwa itu sesudahnya. Sang bapak, panggil saja Priam, begitu frustasi melihat Steve tidak juga kembali ke "kodrat,"nya sebagai perempuan pada umumnya.  Keduanya sama-sama emosional dan sedikit lepas kendali. 

"Dari dulu aku selalu diajak ayah berkunjung ke kiai-kiai pilihan ayah, aku turuti. Sekarang giliranku mengajak ayah ke kiaiku, namanya Gus Aan," Steve bercerita. 

Priam sangat berharap ada kekuatan dari langit, semacam larikan roh kudus, yang bisa membuat Steve putrinya menjadi apa yang ia idealkan. Itu sebabnya ia meretas kekuatan tersebut melalui kanal para kiai-kiai, para orang-orang tua. Dari mereka, Priam berharap Steve akan sembuh. 

Kecintaan Priam terhadap putrinya membuat pria ini begitu sangat bersemangat mengubah Steve. Namun sayangnya kecintaan ini malah membuat Steve begitu tertekan.

"Nek koyok ngene aku tak bunuh diri aja, gus" katanya sembari mendengus di hadapan kami bertiga. Terdengar ada sesenggukan tangis. Tidak dari Steve namun dari orang di sampingnya. Sang ibu. 

Perempuan ini terus mengelus Steve sembari menangis. Menangis dan menangis. Ia tampak sedang mentransfer energi kedamaian kepada putrinya ini. Cinta mati betul kedua orang ini pada Steve, batinku.


"Mas, tak banyak kiai, gus atau ustadz yang pernah belajar ilmu gender dan seksualitas, meski mereka menguasai fikih," kataku. 

Tanpa ilmu tersebut, tambahku, fikih hanya akan menjadi arena penghakiman bagi Steve.  Jika diteruskan, itu berarti sampeyan berdua harus siap-siap kehilangan Steve. Entah mereka siap atau tidak. Ibunya makin tersengguk-sengguk.

"Sampeyan itu wataknya keras, mas. Pemberani. Ksatria. Siapapun akan sampeyan hadapi sepanjang sampeyan tidak merasa bersalah. Sampeyan juga perlu menyadari Steve mewarisi itu. Aku nyuwun tulung, jangan bersikap keras pada Steve," pintaku.

Selanjutnya aku memberikan perspektif SOGIE-SC pada mereka. Steve tentu  sudah menguasai ilmu tersebut dan aku meyakini ia sudah menyampaikan ke orang tuanya. Selain SOGIESC, aku juga menawarkan cara pandang baru dalam berislam, khususnya dalam perspektif keadilan minoritas gender dan seksualitas.

Meyakinkan mereka tentu tidaklah mudah, sesulit meyakinkan orang yang bertuhan secara membabi buta dalam isu corona. Padahal aku merasa sudah sangat gamblang dan rasional menjelaskan hal tersebut.

Malam itu, Priam melakukan resistensi padaku di hadapan anak dan istrinya. ia menahan rasa marah yang meluap-luap dan terlihat sangat kecewa dengan "kiai," yang dianggapnya tidak sejalan dengan pikirannya.

Aku diam saja sembari tersenyum, mendengarkan ia membentak-bentakku, di rumahku. Aku meminta maaf padanya karena tidak seperti yang ia bayangkan, sembari terus mempersilahkannya berbicara, mengeluarkan uneg-unegnya. 

Dalam hatiku, aku hanya membatin, betapa Tuhan sangat menyayangiku dengan cara memberiku tamu yang unik pada tuan rumahnya. Kadang aku masih suka senyum-senyum sendiri mengingatnya.

Ketiganya lalu pamit pulang. Priam nampak begitu bersalah padaku. Berkali-kali ia minta maaf. Namun aura kemaraham tetap tinggal di raut wajahnya. 

"Ndak popo mas, aku bisa memahami sampeyan kok. Tolong jangan ada lagi kekerasan saat berbeda pandangan dengan Steve," ujarku. ".... Mbak, aku nitip bojo sampeyan dan Steve ya. Siramlah air kala mereka sedang panas," kataku pada perempuan ini. Ia hanya mengangguk sambil terus menyeka matanya dengan tisu.

Itu kejadian setahun lalu. 


Sore itu, Priam datang membawa seplastik besar krupuk menemuiku kembali. Aku benar-benar tidak menyangka. Pengharapanku pupus setelah peristiwa itu.

"Mas, aku senang sampeyan ke sini lagi. Sungguh," ujarku menyapanya. Ia langsung meminta maaf.

Jika boleh jujur, tiga hari sebelum Priam ke sini, aku merasa telah mendapat pertanda dari alam raya. Secara tak sengaja, aku melihat postingan di IG Steve. Mereka sekeluarga tampak sedang menunggu makanan di meja restoran. Uniknya, tidak hanya ada Priam, istrinya dan Steve di foto itu. Ada satu sosok perempuan berwajah oriental feminim duduk di samping Steve. 

Kami segera larut dalam obrolan yang bernas, penuh canda diselingi negoisasi-negoisasi agak alot.

"Tolong ya gus...."
(*)

Saturday, March 14, 2020

Jawa KW yang Keminter


Betapa senang dan masygulnya aku menerima tawaran dari mas Otto, tokoh senior kelompok Penghayat Jawa Timur. Doktor ini memintaku bersedia menjadi pembicara dalam musyawarah Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) -- semacam federasi kelompok penghayat yang punya kepengurusan hingga level pusat.

Aku masygul karena organisasi tersebut telah aku anggap pewaris dan pelestari tradisi dan spiritualitas Jawa. Core of the core.

Ya, gara-gara ada "Jawa"nya itulah aku merasa galau, sebab aku juga Jawa namun kerap merasa minder dengan kejawaanku.

"Ngapunten, saya nggak bisa bahasa Jawa, apalagi jika disuruh menulis, apalagi jika ditanya filosofi dan hal subtil lainnya. Saya merasa Jawa KW," ujarku memulai sesi. Entah apa yang ada dalam pikiran ratusan orang di hadapanku, Kamis (12/3), di Malang.


Tak ada yang lebih ironis ketimbang Jawa sepertiku, jika dipikir; dididik lebih takut nggak bisa ngaji Arab ketimbang nggak mampu menulis honocoroko; dilatih untuk lebih tahu sejarah Islam (Arab) ketimbang leluhurnya sendiri; dan, dikondisikan untuk tidak merasa malu dengan ironi itu.

Dalam sesi pendek bersama satu narasumber lainnya, aku mempresentasikan beberapa slide berjudul "Mewujudkan Keluhuran Jawa Timur; Peran MLKI dalam pandangan seorang GUSDURian," -- panjang sekali judulnya. Sok pintar.

Dalam presentasi tersebut aku berusaha menawarkan gagasan idealitas peran MLKI agar Jawa Timur lebih toleran. Tawaran dimulai dengan paparanku menyangkut peringkat Indeks Demokrasi Jawa Timur yang masuk dalam kategori sedang.

Kemudian aku susuli dengan data potret keislaman Indonesia yang semakin miring ke "kanan," dalam kurun 20 tahun terakhir ini. Kemiringan ini berimplikasi terhadap kebencian muslim dewasa terhadap non-muslim (termasuk Penghayat), Tionghoa, Tertuduh-Komunis, dan LGBT.

"Anda sekalian termasuk kelompok yang terkena imbas karena dianggap beragama secara nyleneh dan keminter," kataku. Nyleneh berarti berbeda dari kelaziman, khususnya yang ada sangkut pautnya dengan Islam, tambahku.

Jika mau jujur, Islam dan penghayat di Jawa seperti Milea dan Dilan. Keduanya tak bisa dipisahkan. Aku pernah membaca, tapi entah di buku apa, bahwa tidak ada suku yang memeluk Islam terbanyak di dunia melebihi Jawa. Islamisasi Jawa berjalan sangat massif, setidaknya menurut catatan MC. Ricklefs.

Jawa yang telah punya sistem ketuhanan sendiri sebelum Islam datang menjadi babak belur atas ekspansi agama Arab ini. Uniknya, meski babak belur, Jawa ternyata masih sangguh bernegoisasi dengan Islam.

Hal ini terlihat dalam sinkretisme mistis sebagaimana hipotesis Ricklefs. Sinkretisme mistis adalah semacam doktrin yang mencakup tiga hal; menjadi Jawa adalah menjadi Islam; menjadi Islam berarti melakukan tuntunannya (rukun Islam); dan, tetap mempercayai makhluk adikodrati.

Sedangkan "keminter," dalam hal ini aku maksudkan untuk menunjukkan kemampuan hampir semua anggota penghayat menemukan maksud "sejati," dari sebuah agama, TANPA harus tergantung dengan khazanah intelektual Islam klasik.

Jika tasawwuf adalah level keislaman tertinggi, dan untuk mencapai hal ini muslim Sunni kerap meminta bantuan Imam Ghazali dengan Ihya Ulum al-din dan Bidayah al-Hidayah, atau al-Hikam milik Ibnu Atha'illah al-Sakandari, maka kelompok Penghayat cukup menggunakan kemampuan rasio dan nurani. Keminter adalah olokan yang dinisbatkan banyak orang Islam kepada Penghayat.

Dalam pandangan orang Islam, mereka dianggap telah offside dan diminta segera kembali berislam secara "benar," meninggalkan cara-cara yang menjurus syirik. Itu sebabnya, saat Mahkamah Konstitusi memutuskan Penghayat bisa mendapatkan kolom agamanya di KTP secara mandiri, MUI dan beberapa ormas lain tidak setuju. Bagi mereka, "agama," punya derajat lebih tinggi ketimbang Penghayat.

"Tapi kan tidak semua ormas Islam memusuhi kami, misalnya NU?" ujarku mencoba menebak apa yang mereka pikirkan. NU dalam pandangan mereka, tebakanku, masih dianggap sebagai ormas Islam yang relatif terdepan dalam upaya merawat kebinekaan, ketimbang yang lain. Persepsi ini sungguhlah benar adanya meskipun butuh penggambaran yang lebih utuh.

Survei LSI-Denny JA menempatkan Nahdlatul Ulama sebagai ormas paling banyak pengikutnya, meninggalkan ormas-ormas Islam lainnya. Bagi sebagian banyak orang, hasil survei ini disambut gembira.

Aku sendiri mencoba berfikir agak mendalam hingga tiba pada sebuah perenungan; jika kami dianggap sebaga ormas terbesar Islam di Indonesia, kenapa praktek intoleransi di negeri makin meninggi? Benarkah pelakunya Islam non-NU atau sebenarnya ada hal yang tidak kami ketahui, atau bahkan enggan kami ungkapkan?

“Saya membagi ormas Islam kaitannya dengan toleransi dan Pancasila dalam 3 kuadran,” ujarku pada mereka.

Pertama, kuadran konservatif. Ormas model ini sangat kental nuansa islamismenya. Mereka adalah pendukung utama perubahan republik ini menjadi negara Islam. Semua, bagi mereka, harus serba Islam, dari urusan makanan, ranjang hingga panggung politik.

Mereka juga masih menggunakan diksi binerik, misalnya, Islam – Kafir, yang-benar – yang-salah. Itu sebabnya, dakwahnya kental nuansa konversif –sangat senang dan bergairah mengislamkan pemeluk agama lain. Jangan ditanya pendapat mereka terkait pemimpin publik; apakah harus seagama atau tidak. Jawaban mereka sudah sangat pasti; emoh pemimpin non-Muslim.

Kuadran kedua adalah moderat. Kelompok ini tidak setuju jika Indonesia diganti sistem Islam sebagaimana tawaran HTI. Namun mereka tidak keberatan dengan maraknya regulasi syariah di daerah-daerah. Kelompok ini lebih politis dan pada banyak hal, tanpa mereka sadari, sepakat negara ini menganakemaskan umat Islam, meskipun banyak diantara mereka yang sudah mengganti diksi “kafir,” menjadi “muwaththinun – warganegara,”

Bagaimana pandangan mereka menyangkut pemimpin non-Islam? Sekali, lebih politis, sangat tergantung dari kepentingan politik yang berkembang saat itu.

Kuadran terakhir, progresif. Kelompok ini posisinya sangat jelas; antiislamisme. Mereka percaya demokrasi merupakan sistem yang relatif fair untuk membangun tujuan syariah yang adil dan setara untuk semua orang, apapun identitasnya.

Dalam pandangan mereka, Islam dianggap bukan satu-satunya jalan kebenaran. Setiap agama adalah jalan menuju keselamatan jika diikuti dengan baik. Bahkan, pada titik tertentu, kelompok ini juga menyuarakan pentingnya affirmative action dalam bentuk ketidakberatannya dipimpin oleh kelompok minoritas.

Mereka tidak menggunakan kata "kafir," untuk menyebut orang non-Islam, melainkan “orang yang beriman,”

“Ibu Bapak, tiga kuadran ini saya gunakan untuk memetakan ormas Islam, tanpa melihat afiliasi mereka apakah dari NU, Muhammadiyah, Persis, atau yang lain,” ujarku. Aku senyatanya berusaha membekali para peserta dengan alat ukur agar bisa lebih memahami ormas Islam di tempat mereka masing-masing.

Kenapa tiga kuadran tersebut penting bagi MLKI? Sebab umat Islam yang kini tengah “sakit,” akan sangat sulit “sembuh,” tanpa bantuan elemen lain. Di hadapan mereka aku meminta peserta bersabar atas perlakuan tidak mengenakkan dari banyak orang Islam. “Kalau ibu bapak mulai menyerah mengajak kami berbuat baik, lunas sudah republik ini,” kataku sembari tertawa.

Dalam forum tersebut, aku juga mengajak MLKI mempertimbangkan empat indikator peran yang bisa dilakukan secara berjenjang; dari indikator terendah sampai tertinggi --sebagaimana dalam gambar. “Jika MLKI mampu mengajak ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah atau MUI bisa ngopi jagongan di sekretariat MLKI, Jawa Timur akan jauh menjadi lebih harmonis lagi,” kataku, seorang Jawa KW yang sok pintar ini.

Diluar presentasiku, Ada peristiwa menarik di saat tersebut. Adalah narasumber yang duduk di sebelahku. Perempuan berjilbab modis. Namanya Meithi, seorang doktor. Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Mendengar namanya saja baru kali ini.

Namun ketika bertemu denganku di atas panggung, ia berkata lirih sembari tersenyum, “Oooo ini tho namanya Aan Anshori yang kemarin diusir dari kolam renang gara-gara sempakan,”

Kami pun terpingkal-pingkal bersama.(*)

Sunday, March 1, 2020

TERLALU SEKSI, TERUSIR DARI KOLAM RENANG


Dulu, aku pernah membaca berita seorang pria harus dideportasi dari Saudi Arabia gara-gara gantengnya keterlaluan. Otoritas setempat menganggap pria tersebut dapat mengganggu ketertiban umum, membuat perempuan dan laki-laki di sana susah berkonsentrasi jika ada dia. 

Namun siapa sangka hal yang sama terjadi pada diriku saat menikmati kolam renang sebuah hotel dekat Terminal Bratang Surabaya beberapa hari lalu. 


Aku menginap di hotel tersebut tiga hari untuk sebuah training. Dari sejak hari pertama aku telah menggunakan kolam tersebut. Layaknya para perenang, aku hanya memakai celana dalam saja. Tak mungkin aku memakai sarung dan berbaju koko atau bercelana panjang saat renang. Karena pasti akan dijadikan bahan tertawaan. 

Hari ketiga, pagi hari sekitar pukul tujuh, aku turun dari kamar menuju kolam renang. Memakai handuk dan kaos serta sandal hotel. 

Aku melihat gerombolan ibu-ibu berbaju renang syar'i telah lebih dulu tiba. Suara percakapan mereka keras sekali. Aku tak ambil pusing, melewati mereka, berjalan menyusuri kolam renang menuju ujung. 

Aku membuka handuk dan kaos. Meletakkannya di meja yang disediakan dan menuju bibir kolam renang.

"Ya Alloh..." Aku mendengar suara perempuan memekik. Aku tak merasa itu ditujukan padaku. Bisa jadi mereka tengah berkomunikasi di internal. 

Aku berenang menyelesaikan beberapa laps hingga kemudian petugas menghampiriku di pinggir kolam. 

"Pak, mohon maaf, kalau berenang harus memakai pakaian renang," katanya agak kikuk.

Aku kaget. 

"Apa aku terlihat memakai baju kantor, mas?" kataku sembari tersenyum. 

"Ibu-ibu di sana keberatan dengan pakaian bapak," katanya tak mampu menyembunyikan perasaan bersalahnya. 
"Oohhh Ok. Aku selesaikan dua putaran lagi ya," kataku.


Aku tahu kalau petugas tahu aku biasanya memakai apa yang aku kenakan saat berenang sejak hari pertama. Mungkin ia juga merasa tidak enak dengan ibu-ibu tersebut. 

Sejenak aku sempat berfikir untuk menolak keinginan mereka. Aku juga punya hak atas kolam ini. Jika mereka merasa terganggu, mereka bisa berpura-pura tidak melihatku. 

Namun aku segera menyadari mereka pasti sangat tidak nyaman melihat ada laki-laki bercelana dalam, tidak mereka kenal, harus satu kolam dengan mereka. Sangat mungkin mereka merasa jijik, malu atau bahkan tidak kuat atas pesona yang aku miliki, sehingga memilih bersikap destruktif atas apa yang tidak mereka ingini.

Sikap seperti ini kurang lebih mencerminkan keinginan kuat menjaga kemurnian diri maupun identitas kelompok; yang bisa diterima adalah mereka yang lebih kurang sama dengan identitas mereka. 

Sungguhpun demikian, aku tetap merasa bersalah jika harus membuat mereka tidak nyaman. Bayangkan saja, mereka harus bersusah payah mengatasi ketidakpercayaan diri dengan cara membungkus tubuhnya --berjilbab lengkap layaknya hendak ke pengajian-- hanya agar bisa menikmati kolam renang semi-publik bersama laki-laki lain. 

Mereka adalah Korban!

Tidak ada satu agamapun yang mampu membuat perempuannya begitu tidak percaya diri pada tubuhnya sendiri kecuali agamaku yang ditafsirkan secara menyedihkan. 

Itu sebabnya, betapa tidak beradabnya aku jika membuat mereka semakin tidak nyaman saat menikmati sedikit kemerdekaannya di kolam renang.

Aku lantas keluar dari kolam itu. Menuju kursi dan meja malas. Aku sengaja membiarkan tubuhku terbuka sembari membaca beberapa pesan di handphone. Setelah beberapa saat, aku beranjak dari kursi menuju pintu keluar kolam, yang itu berarti harus melewati gerombolan ibu-ibu tadi. 

Sempat aku berfikir untuk membebat bagian bawah tubuhku dengan handuk. Namun aku urungkan. Aku melenggang di hadapan mereka tetap menggunakan celana dalam sembari menenteng handuk dan kaos. 

Apakah kemahaseksian itu nyata justru saat ia terusir, tidak ada, kalah? 

Aku lega telah menulisnya.