Betapa senang dan masygulnya aku menerima tawaran dari mas Otto, tokoh senior kelompok Penghayat Jawa Timur. Doktor ini memintaku bersedia menjadi pembicara dalam musyawarah Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) -- semacam federasi kelompok penghayat yang punya kepengurusan hingga level pusat.
Aku masygul karena organisasi tersebut telah aku anggap pewaris dan pelestari tradisi dan spiritualitas Jawa. Core of the core.
Ya, gara-gara ada "Jawa"nya itulah aku merasa galau, sebab aku juga Jawa namun kerap merasa minder dengan kejawaanku.
"Ngapunten, saya nggak bisa bahasa Jawa, apalagi jika disuruh menulis, apalagi jika ditanya filosofi dan hal subtil lainnya. Saya merasa Jawa KW," ujarku memulai sesi. Entah apa yang ada dalam pikiran ratusan orang di hadapanku, Kamis (12/3), di Malang.
Tak ada yang lebih ironis ketimbang Jawa sepertiku, jika dipikir; dididik lebih takut nggak bisa ngaji Arab ketimbang nggak mampu menulis honocoroko; dilatih untuk lebih tahu sejarah Islam (Arab) ketimbang leluhurnya sendiri; dan, dikondisikan untuk tidak merasa malu dengan ironi itu.
Dalam sesi pendek bersama satu narasumber lainnya, aku mempresentasikan beberapa slide berjudul "Mewujudkan Keluhuran Jawa Timur; Peran MLKI dalam pandangan seorang GUSDURian," -- panjang sekali judulnya. Sok pintar.
Dalam presentasi tersebut aku berusaha menawarkan gagasan idealitas peran MLKI agar Jawa Timur lebih toleran. Tawaran dimulai dengan paparanku menyangkut peringkat Indeks Demokrasi Jawa Timur yang masuk dalam kategori sedang.
Kemudian aku susuli dengan data potret keislaman Indonesia yang semakin miring ke "kanan," dalam kurun 20 tahun terakhir ini. Kemiringan ini berimplikasi terhadap kebencian muslim dewasa terhadap non-muslim (termasuk Penghayat), Tionghoa, Tertuduh-Komunis, dan LGBT.
"Anda sekalian termasuk kelompok yang terkena imbas karena dianggap beragama secara nyleneh dan keminter," kataku. Nyleneh berarti berbeda dari kelaziman, khususnya yang ada sangkut pautnya dengan Islam, tambahku.
Jika mau jujur, Islam dan penghayat di Jawa seperti Milea dan Dilan. Keduanya tak bisa dipisahkan. Aku pernah membaca, tapi entah di buku apa, bahwa tidak ada suku yang memeluk Islam terbanyak di dunia melebihi Jawa. Islamisasi Jawa berjalan sangat massif, setidaknya menurut catatan MC. Ricklefs.
Jawa yang telah punya sistem ketuhanan sendiri sebelum Islam datang menjadi babak belur atas ekspansi agama Arab ini. Uniknya, meski babak belur, Jawa ternyata masih sangguh bernegoisasi dengan Islam.
Hal ini terlihat dalam sinkretisme mistis sebagaimana hipotesis Ricklefs. Sinkretisme mistis adalah semacam doktrin yang mencakup tiga hal; menjadi Jawa adalah menjadi Islam; menjadi Islam berarti melakukan tuntunannya (rukun Islam); dan, tetap mempercayai makhluk adikodrati.
Sedangkan "keminter," dalam hal ini aku maksudkan untuk menunjukkan kemampuan hampir semua anggota penghayat menemukan maksud "sejati," dari sebuah agama, TANPA harus tergantung dengan khazanah intelektual Islam klasik.
Jika tasawwuf adalah level keislaman tertinggi, dan untuk mencapai hal ini muslim Sunni kerap meminta bantuan Imam Ghazali dengan Ihya Ulum al-din dan Bidayah al-Hidayah, atau al-Hikam milik Ibnu Atha'illah al-Sakandari, maka kelompok Penghayat cukup menggunakan kemampuan rasio dan nurani. Keminter adalah olokan yang dinisbatkan banyak orang Islam kepada Penghayat.
Dalam pandangan orang Islam, mereka dianggap telah offside dan diminta segera kembali berislam secara "benar," meninggalkan cara-cara yang menjurus syirik. Itu sebabnya, saat Mahkamah Konstitusi memutuskan Penghayat bisa mendapatkan kolom agamanya di KTP secara mandiri, MUI dan beberapa ormas lain tidak setuju. Bagi mereka, "agama," punya derajat lebih tinggi ketimbang Penghayat.
"Tapi kan tidak semua ormas Islam memusuhi kami, misalnya NU?" ujarku mencoba menebak apa yang mereka pikirkan. NU dalam pandangan mereka, tebakanku, masih dianggap sebagai ormas Islam yang relatif terdepan dalam upaya merawat kebinekaan, ketimbang yang lain. Persepsi ini sungguhlah benar adanya meskipun butuh penggambaran yang lebih utuh.
Survei LSI-Denny JA menempatkan Nahdlatul Ulama sebagai ormas paling banyak pengikutnya, meninggalkan ormas-ormas Islam lainnya. Bagi sebagian banyak orang, hasil survei ini disambut gembira.
Aku sendiri mencoba berfikir agak mendalam hingga tiba pada sebuah perenungan; jika kami dianggap sebaga ormas terbesar Islam di Indonesia, kenapa praktek intoleransi di negeri makin meninggi? Benarkah pelakunya Islam non-NU atau sebenarnya ada hal yang tidak kami ketahui, atau bahkan enggan kami ungkapkan?
“Saya membagi ormas Islam kaitannya dengan toleransi dan Pancasila dalam 3 kuadran,” ujarku pada mereka.
Pertama, kuadran konservatif. Ormas model ini sangat kental nuansa islamismenya. Mereka adalah pendukung utama perubahan republik ini menjadi negara Islam. Semua, bagi mereka, harus serba Islam, dari urusan makanan, ranjang hingga panggung politik.
Mereka juga masih menggunakan diksi binerik, misalnya, Islam – Kafir, yang-benar – yang-salah. Itu sebabnya, dakwahnya kental nuansa konversif –sangat senang dan bergairah mengislamkan pemeluk agama lain. Jangan ditanya pendapat mereka terkait pemimpin publik; apakah harus seagama atau tidak. Jawaban mereka sudah sangat pasti; emoh pemimpin non-Muslim.
Kuadran kedua adalah moderat. Kelompok ini tidak setuju jika Indonesia diganti sistem Islam sebagaimana tawaran HTI. Namun mereka tidak keberatan dengan maraknya regulasi syariah di daerah-daerah. Kelompok ini lebih politis dan pada banyak hal, tanpa mereka sadari, sepakat negara ini menganakemaskan umat Islam, meskipun banyak diantara mereka yang sudah mengganti diksi “kafir,” menjadi “muwaththinun – warganegara,”
Bagaimana pandangan mereka menyangkut pemimpin non-Islam? Sekali, lebih politis, sangat tergantung dari kepentingan politik yang berkembang saat itu.
Kuadran terakhir, progresif. Kelompok ini posisinya sangat jelas; antiislamisme. Mereka percaya demokrasi merupakan sistem yang relatif fair untuk membangun tujuan syariah yang adil dan setara untuk semua orang, apapun identitasnya.
Dalam pandangan mereka, Islam dianggap bukan satu-satunya jalan kebenaran. Setiap agama adalah jalan menuju keselamatan jika diikuti dengan baik. Bahkan, pada titik tertentu, kelompok ini juga menyuarakan pentingnya affirmative action dalam bentuk ketidakberatannya dipimpin oleh kelompok minoritas.
Mereka tidak menggunakan kata "kafir," untuk menyebut orang non-Islam, melainkan “orang yang beriman,”
“Ibu Bapak, tiga kuadran ini saya gunakan untuk memetakan ormas Islam, tanpa melihat afiliasi mereka apakah dari NU, Muhammadiyah, Persis, atau yang lain,” ujarku. Aku senyatanya berusaha membekali para peserta dengan alat ukur agar bisa lebih memahami ormas Islam di tempat mereka masing-masing.
Kenapa tiga kuadran tersebut penting bagi MLKI? Sebab umat Islam yang kini tengah “sakit,” akan sangat sulit “sembuh,” tanpa bantuan elemen lain. Di hadapan mereka aku meminta peserta bersabar atas perlakuan tidak mengenakkan dari banyak orang Islam. “Kalau ibu bapak mulai menyerah mengajak kami berbuat baik, lunas sudah republik ini,” kataku sembari tertawa.
Dalam forum tersebut, aku juga mengajak MLKI mempertimbangkan empat indikator peran yang bisa dilakukan secara berjenjang; dari indikator terendah sampai tertinggi --sebagaimana dalam gambar. “Jika MLKI mampu mengajak ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah atau MUI bisa ngopi jagongan di sekretariat MLKI, Jawa Timur akan jauh menjadi lebih harmonis lagi,” kataku, seorang Jawa KW yang sok pintar ini.
Diluar presentasiku, Ada peristiwa menarik di saat tersebut. Adalah narasumber yang duduk di sebelahku. Perempuan berjilbab modis. Namanya Meithi, seorang doktor. Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Mendengar namanya saja baru kali ini.
Namun ketika bertemu denganku di atas panggung, ia berkata lirih sembari tersenyum, “Oooo ini tho namanya Aan Anshori yang kemarin diusir dari kolam renang gara-gara sempakan,”
Kami pun terpingkal-pingkal bersama.(*)
No comments:
Post a Comment