Pages

Saturday, March 28, 2020

TAKUT MATI


Seluruh histeria global terkait corona sebenarnya bermuara pada satu hal; takut mati. Namun kadang seseorang terlalu takut mengakuinya, lalu membungkusnya dengan argumentasi yang canggih-canggih. 

Namun pagi ini, aku tak menyangka akan "ditampar," oleh seorang nenek, saat kami berdua asik berbelanja di stand aneka sayur Pasar Legi Jombang. Kejadiannya dua jam lalu. 

"Mbak, pertimbangkan untuk memakai masker. Situasinya sudah seperti ini lho," kataku pada pemilik stand sembari menyerahkan uang Rp.2.000 untuk seikat serai. 

"Aku pengen, dik, tapi aku sulit bernafas," jawabnya dengan tetap meladeni pembeli lainnya.

Tiba-tiba seorang nenek di depanku, yang asyik memilih tomat menimpali kami tanpa rasa bersalah. Ia dengan ketus berpandangan tidak perlu memakai masker. 

"Nggak usah pakai. Kayak kita nggak percaya Tuhan saja. Masih ada Tuhan," ujarnya. 

Kami pun terus berdiskusi sembari tetap memastikan kebutuhan kami terlayani dengan baik. Aku pergi meninggalkan mereka berdua setelah serai di tanganku.

Omongan nenek tadi terus menggedor-gedor pikiranku. Kenapa harus ada kebodohan menempel ke tubuh makhluk yang oleh Tuhan diberi akal untuk berfikir. Terlalu banyak orang seperti nenek tersebut. Konfidensinya keterlaluan. 

Setelah menikmati kopi yang disajikan Tini, pemilik warkop langgananku, aku berfikir; kenapa nenek itu bisa sampai sekonfiden itu? Kenapa ia tidak takut mati? Apa yang ia cecap sehingga memiliki keberanian setinggi gunung Uhud ditambah Mahameru? 


Aku yakin ia tidak punya akun sosial media, bahkan sangat mungkin ia tidak memiliki gadget yang terkoneksi internet. Ia mungkin memiliki TV namun aku tidak yakin ia terpengaruh massifnya  pemberitaan tentang corona, yang pada titik tertentu menstimulasi kekuatiran seseorang dengan cepat. 

Kekuatiran berselaput ilmu pengetahuan berlapis-lapis inilah selanjutnya diyakini sebagai fase "menjadi lebih pintar," --- dan meminta pemilik tubuh untuk memilih satu-satunya opsi yang tersedia; takut mati. 

Aku yakin nenek itu tidak takut mati --meski aku tidak sempat menanyakannya. Namun percayalah, ia pasti akan menjawab, kira-kira, "Mati iku urusane Gusti Awwoh," Tidak kurang, tidak lebih. 

Jika demikian jawabnya, aku mungkin akan ganti menimpalinya balik "Silahkan saja mati, namun masalahnya, kamu juga membuat orang lain akan mati jika tidak patuh SOP," Rasanya puas bisa memojokkan dirinya.  Namun bukankah jawabanku hanya meneguhkan kebenaran bahwa kematiaan adalah hal yang harus ditakutkan? 

Nenek ini, jangan-jangan, pernah membaca novel "The Physician," karya Noah Gordon yang diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama 2013 lalu. Sebab ketidaktakutan nenek ini terasa senafas dengan omongan Ibn Sina dalam film tersebut. 

"Because there is nothing to be afraid of. Death is merely a threshold we must all cross, into the silence, after the final heartbeat. Drifting away with our final exhalation into eternal peace..."

Jika kepandaian nenek tersebut setara  Ibn Sina atau Noah Gordon ia pasti  mampu meredaksikan pengetahuannya sesastrawi mereka. Namun aku yakin kematian, bagi sang nenek, adalah kepastian yang harus diterima setiap orang agar bertemu Tuhan sebagai wujud kedamaian abadi

Di titik mati-adalah-kedamaian-abadi, kita sepakat dengan nenek itu. Bedanya, ia tampak tidak takut dengan kematian. Sedangkan kita? Rasanya justru sebaliknya.

Tidak takut mati per hari ini bukanlah monopoli nenek dan orang-orang sejalannya. Keberanian menantang maut juga secara nyata ditunjukkan mereka yang berada di garda depan penanggulangan corona. Siapa mereka? Siapa saja yang tanpa rasa takut "menyelamatkan," mereka yang tengah dirundung ketakutan akan mati. 

Harusnya, takut-mati mendorong kita lebih menghargai hidup. Bukan hidup kita personal ---karena kita akan terjebak dengan egoisme individual, namun hidup orang lain. Egoisme individual secara sederhana ditunjukkan dengan masih adanya strategi profit taking, malas berbagi, atau menipu orang lain atas nama corona. Cara ini sungguh tak terpuji atas nama takut-mati.


Bandingkan dengan yang dilakukan Hazem Sedda, sebagaimana dilansir harian Independent Inggris. Pria ini menerapkan kebijakan "beli banyak lebih mahal," untuk kertas toilet yang dijualnya. Satu pak tisu dihargai USD 3,5  --setara Rp.56 ribu. Jika beli dua pak, Anda akan dikenakan USD 99 atau setara Rp.1,6 juta.

"Ojo serakah, cuk. Mikiro wong liyo!" begitu ia menambahkan tulisan di daftar harga.


Sedda mengajak orang berani menghargai hidup dengan cara memikirkan orang lain. Nenek tadi, mengajarkan keberanian, tidak takut mati dengan caranya sendiri. Ada juga yang takut mati hingga hanya ia yang ada dalam pikirannya. 

Lalu siapa yang akan mati duluan ke depannya? Di sinilah misterinya. 

Dan aku mendengar nenek itu, dengan suara berat, mengutip omongan Achilles ke Briseis, dalam film Troy, "The gods envy us. They envy us because we're mortal, because any moment may be our last. Everything is more beautiful because we're doomed. You will never be lovelier than you are now. We will never be here again."


-- Warkop Iwan Pasar Legi, tetap dengan menjaga jarak. 


 

No comments:

Post a Comment

Featured Post

JIWA YANG TERGODA HIKAYAT KADIROEN

Aku geregetan dengan Semaoen, ketua PKI pertama yang lahir di Curahmalang Sumobito Jombang tahun 1899 ini. Bukan karena ideologi dan ketokoh...