Pages

Saturday, April 11, 2020

MENAGIH KIDUNG SELAIN LADY AISYAH


Nama (Lady) Aisyah (LA) kini tengah viral. Kisah romansanya bersama sang suami, Nabi Muhammad (NM), dipahat dalam alunan lagu. Umat Islam Indonesia pasti gembira memiliki satu lagi tambahan kidung "Mazmur," modern yang mengambil setting romantika NM. 

LA adalah istri ketiga dalam sejarah rumah tangga NM. Itu artinya, ia merupakan istri kedua NM dalam sejarah poligininya. Jumlah pasti berapa banyak perempuan yang bisa dikaitkan dengan romantika NM masih tetap menjadi perdebatan. Para sejarahwan Islam dan Barat belum satu suara. Masih ada dispute hingga hari ini.

LIMA KLASIFIKASI
Para perempuan dalam sejarah romantika NM terbagi menjadi 5 kuadran --  sebagaimana dinyatakan QS. 33.50/49. Pertama, adalah mereka (para perempuan) yang telah diberi mas kawin oleh NM. Kedua, para budak yang menjadi miliknya dan perolehan dari peperangan. Ketiga, para sepupu NM --baik dari jalur ayah maupun ibu -- yang ikut hijrah (ke Madinah). Keempat, para perempuan mukmin (al-Quran menggunakan kata mukmin ketimbang muslim) yang menyerahkan diri mereka kepada NM untuk dinikahi. Klasifikasi ini, menurut ayat tersebut, merupakan privilige yang hanya dimiliki NM saja, bukan berlaku umum. 

Mari kita kembali ke LA.
Putri Abu Bakar ini merupakan istri kedua dalam lintasan poligami NM. Awalnya, NM hidup bermonogami dengan Lady Khadijah (LK) selama kurang lebih 25 tahun. Keduanya menikah sekitar Juli 595 M, hingga LK meninggal dunia April 620 M. 

Tak butuh waktu lama, kira-kira sebulan kemudian, Mei 620 M, NM menikahi seorang janda. Namanya Lady Sawdah bint Zam'a (LS). Usianya sekitar 30 tahun. Ia digambarkan sebagai perempuan yang "fat and very slow," -- setidak menurut historian Muslim seperti Ibn Ishaq, Ibn Hisyam, Tabari maupun Ibn Saad. 

Pada bulan yang sama, masuklah LA dalam kehidupan rumah tangga LS dan NM. LA adalah satu-satunya istri NM yang statusnya perawan. Saat itu ia berusia 9 tahun. Tiga tahun kemudian, sekitar April/Mei 623, LS secara resmi hidup bersama NM. LA bukanlah sosok perempuan yang sepenuhnya mellow, cute, menggemaskan seperti dalam lagu yang viral. Itu adalah satu dari sekian banyak sisi dari hidupnya. 

LA adalah perempuan yang tidak hanya pandai, namun juga dikenal sangat berani menyampaikan apa yang harus disampaikan, termasuk saat ia merasa kesal kepada suaminya dalam persoalan permaduan. Ia pernah dituduh berselingkuh dan menjadi amat marah kepada Ali bin Abi Thalib menantunya. Diduga kuat kemarahannya dipicu karena Ali ngompori NM supaya menceraikan LA gara-gara skandal tersebut. 

LA dikabarkan merasa sangat terluka dan menyimpannya hingga, sebagaimana dugaan banyak sejarahwan, membawa kemarahan tersebut dalam arena peperangan. Perang Jamal (Battle of camel) memperhadapkan LA versus Ali bersama ribuan pasukan di belakang mereka berdua. LA adalah satu-satunya istri NM yang memimpin perang; melawan menantunya sendiri!

Perempuan keempat adalah Lady Hafsa (LH), putri Umar bin Khattab, janda berusia 18 tahun. Dinikahi tahun 625 sekitar Januari atau Februari. Suami LH meninggal saat perang Badar. LH berada dalam satu barisan bersama LA saat para istri NM terbelah menjadi dua kelompok. Saling berseteru. Kelompok satunya dipimpin Lady Ummu Salamah dan Lady Zaynab bint Jahsy. 

Setahun kemudian, NM menikahi Lady Hind bint Mughiroh atau dikenal dengan nama lain, Umm Salamah. Ia berusia 29 tahun, janda dari mendiang Abu Salamah yang mati setelah sebelumnya terluka dalam perang Uhud. 

Perempuan keenam dan ketujuh adalah  Lady Zaynab bint Khuzaimah, janda berusia 30 tahun, dinikahi pada tahun 626 dan meninggal dunia beberapa bulan kemudian; serta Lady Juwayriyyah, putri kepala suku Bani Mustaliq yang kalah perang dari NM tahun 627. Usinya 20 tahun. Awalnya ia berstatus concubine (selir?) sebelum akhirnya dinikahi resmi NM dan dimerdekakan. 

Siapakah perempuan kedelapan hingga kesepuluh? Ada Lady Zaynab bint Jahs (LZJ), janda 38 tahun, putri dari bibi NM dari jalur ibu, dinikahi tahun 627.  Dalam rumah tangga Nabi, ia adalah rival utama Lady Aisyah. Keduanya pernah terlibat adu mulut hebat di rumah LA sebelum akhirnya dipisah oleh Abu Bakar, ayah LA. 

Selanjutnya  pada tahun 628, ada Lady Mariyah Qibtiyyah (LMQ), budak-concubine, "hadiah," dari penguasa Mesir agar relasinya dengan NM membaik. Dari Maria, lahirlah Ibrahim, satu-satunya anak laki-laki NM yang, tragisnya, meninggal saat bayi. Dan yang kesepuluh adalah Lady Ramlah bint Abi Sufyan (LRAS), janda 35 tahun, dinikahi pada 628 setelah NM kembali dari perang Khaybar. 

Sudah selesai? Belum. Masih ada tiga lagi perempuan yang ada dalam sejarah normatif kerumahtanggaan NM. Ketiganya adalah Lady Safiyyah (LSH), 17 tahun, putri dari Huyayy kepala suku Yahudi Banu Nadlir yang kalah perang dari NM. Sangat mungkin ia berstatus concubine awalnya, kemudian  masuk Islam, dan akhirnya dimerdekakan. Kejadiannya sekitar tahun 628 M. 

Setahun kemudian, kehidupan rumah tangga NM makin semarak dengan kehadiran Lady Maymunah bint al-Harith, janda, dinikahi NM saat berusia 27 tahun. Yang terakhir adalah Lady Rayhanna bint Zayd (LR) , janda Yahudi bani Nadlir yang ditangkap setelah suaminya mati terbunuh ketika Bani Qurayza diserang NM dan pasukannya. Kejadiannya tahun 627 M. LR meninggal pada 632 M. mendahului NM. 

Itulah para perempuan yang ada dalam romantika kehidupan rumah tangga NM, sebagaimana dicatat Montgomery Watt, professor studi-studi Arab dan Islam, dalam "Excursus L," buku "Muhammad at Medina," 

Watt mendasarkan catatannya pada banyak sumber klasik Islam, diantaranya Ibn Saad, Tabari, Ibn Hisyam, maupun sumber Barat seperti Leon Caetani, G.H. Stern dan Wellhausen. Itu sebabnya ia juga menemukan nama-nama perempuan selain yang telah disebutkan di atas. Jumlahnya sekitar 23an.

Saya membayang jika saja seluruh perempuan yang pernah hidup bersama NM dibuatkan kidung mazmurnya --berdasarkan pengalaman personalnya masing-masing, umat Islam pasti akan menjadi lebih mengerti seluk beluk rumah tangga NM. Mungkin tidak hanya ada bahagia saja tetapi juga sembilu dan airmata di dalamnya. 

Lalu, siapa saja 23 perempuan tersebut? Lebih-lebih, kenapa LA terasa mendapat spotlight melebihi LK atau istri-istri lainnya? (*)

(Bersambung)

-----Bacaan pendukung----

1. Watt, William Montgomery. Muhammad at medina. At the Clarendon Press, 1956.
2. ʻAbd al-Malik Ibn Hishām, Alfred Guillaume, and Muḥammad Ibn Isḥāq. The Life of Muhammad: A Translation of Ishāq's Sīrat Rasūl Allah, with Introd. and Notes by A. Guillaume. Oxford University Press, 1967.
3. Sa'd, Ibn. "Kitab al-Tabaqat al-kabir, ed." E. Sachau et al., Leiden 40.9 (1905).
4. Al-tabari, Muhammad B. Jarir. "Ta'rikh al-Rusul wal-Muluk, in de Goeje et al." (1879).
5. Stern, Gertrude Henrietta. Marriage in early Islam. Vol. 18. Royal Asiatic Society, 1939.
6. Al-Bukhari, Sahih. "translated by Dr." Muhammed Muhsin Khan, Arabic-English (Saudi: Darussalam, 1997) (1996).
7. Jordac, George. The Voice of Human Justice (Sautu'l'Adalati'l Insaniyah). Lulu Press, Inc, 2014.
8. Wessels, Antonie. A Modern Arabic Biography of Muḥammad: A Critical Study of Muḥammad Ḥusayn Haykal's Ḥayāt Muḥammad. Brill Archive, 1972.
9. Kurzman, Charles, ed. Liberal Islam: a source book. Oxford University Press, USA, 1998.
10. Houtsma, M. Th, ed. EJ Brill's first encyclopaedia of Islam, 1913-1936. Vol. 4. Brill, 1993.

Friday, April 10, 2020

JUMAT AGUNG DAN TIGA KELOMPOK ISLAM


Hari ini Jumat Agung di tengah pandemi Corona. Dua ribuan tahun lalu, pada hari yang sama, banyak orang berkumpul menyaksikan seorang manusia menjalani penghukuman yang sangat kejam, sebelum akhirnya diarak dan mati di kayu salib. Disalib adalah simbol penghukuman paling nista, paling dihindari. Hampir tidak ada yang berani ngomong dengan bangga dan riang gembira, "Asyikkk, aku besok disalib,"

Namun demikian, ribuan tahun kemudian, manusia yang disalib tersebut berubah menjadi figur sentral, manifestasi Illah sempurna dengan darah dan dagingnya, dan memiliki miliaran pengikut. 

Peristiwa penyaliban Yesus yang menjadi titik sentral keimanan pengikutnya, secara bersamaan juga menjadi poin krusial yang dipersoalkan doktrin mainstream agama sesudahnya, Islam, agamaku. Doktrin tersebut diajarkan bahwa Yesus tidak disalib. Dia diselamatkan Allah dari penghinaan tentara dan komplotannya. Dalam teksnya, AlQuran jelas mengecam siapapun yang membuat plot untuk menghancurkan Yesus. 


Hingga hari ini, aku merasa umat Islam terbelah menjadi tiga kuadran menyangkut peristiwa penyaliban Yesus. Pertama, dan ini yang paling dominan, adalah mereka yang tidak bisa menerima Yesus, messenger of God ke-24 dalam galaksi 25 rasul Islam, mati disalib. Kenapa mereka tidak bisa menerima hal itu? Jawabnya simpel; mereka tidak bisa menerima kenyataan ada orang baik yang dilindungi Allah dapat mati setragis dan sehina itu. Cukuplah Ayub saja 

"Tidak, itu tidak boleh terjadi. Itu sama artinya Tuhan lemah karena tidak mampu memproteksi kekasihNya. Tuhan kami tidak selemah dan setega itu," 

Cara pandang ini, lebih tepatnya --situasi kebatinan ini,  sepenuhnya bersifat arbitrer, sangat personal dan sangat psikologis. Mungkin situasinya mirip seperti Anda yang masih rela menduda/menjanda, ke mana-mana membawa foto mendiang pasangan yang sangat Anda cintai, tak mau menikah lagi karena menganggap pernikahan dengan orang lain adalah pengkhianatan pada mendiang. Anda 100 persen masih meyakini mendiang masih hidup, tidak mati seperti anggapan banyak orang, sebab tidak mungkin Tuhan akan menyengsarakan Anda, umatNya. 

Kelompok ini juga aklamatif menolak Yesus sebagai sepenuhnya-Tuhan --dan sepenuhnya-manusia-- karena dalam logika sederhana mereka; tidak masuk akal Tuhan menitis pada manusia, apalagi pada ia yang hayatnya berakhir senista itu. "Lu gile ya, masak lu mau nyamain gue, artis, dengan pengemis. Lu menghina gue tauk!"

Sangat mungkin ini imbas pengajaran normatif pada setiap muslim terkait doktrin "shame and honor," Doktrin ini, pada titik tertentu, sangat kuat dipengaruhi cara pandang Perjanjian Lama. Diksi seperti weak, rejected, unknown, defeated, poor, blind, orphaned, humbled dan dead adalah representasi dari "shame," yang harus dihindari setiap orang, apalagi disematkan kepada Tuhan. 

Itu sebabnya, tatkala Musa berhasil membebaskan bangsa Israel dari Mesir, ia dianggap mampu mengubah "shame," menjadi "honor," bagi bangsa tersebut. Kata "honor," biasanya identik dengan; healed, worthy, beloved, clean, citizen, rich, conquerer, adopted, strenght, resurrected, reconciled, choosen, dan blessed.

Mereka, kelompok pertama, akan sekuat tenaga menghajar siapa saja yang memposisikan Tuhan sejajar dengan manusia "lemah," cum "mati nista di kayu salib," seperti Yesus. No way! dalam pandangan mereka. 

Mereka bersikeras tak menggubris argumentasi apapun yang mereka pikir ujungnya hanya akan menganulir keyakinan mereka tentang Tuhan dalam narasi "shame and honor," tadi. Tak terkecuali argumentasi dan logika indah nan mencengangkan trinitas a la Athanasius. 

Bagi mereka, siapapun yang memosisikan Yesus sebagai Tuhan sama saja menabrak doktrin utama keesaan Tuhan yang dibawa Abraham hingga Musa; jangan ada ilah lain di antara kita. Titik.

Kelompok intoleran-destruktif dari kalangan Islam yang selama ini rajin menjadi panopticon-keilahian bagi orang Kristen di Indonesia mengikuti doktrin ini, sepenuhnya. Mereka merasa memiliki mandat suci memproteksi kemurnian tuhan (tauhid)

Kelompok kedua, mereka yang meyakini doktrin sebagaimana kelompok satu, namun lebih memilih santai dalam menyikapi perbedaan. Mereka tidak terlalu mau dipusing dengan urusan tersebut. Mereka lebih memilih kerja-kerja oikumenik, dialog karya, ketimbang mendialogkan urusan kematian Yesus dalam landskap teologi Kristen maupun Islam. 

"Percuma, nggak akan ada habisnya. Lakum dinukum wa liyadin. Kita kerja sosial saja ya. Aku tetap baik sama kamu meskipun aku tidak mengucapkan selamat Natal," 

Baik kelompok satu maupun dua biasanya tidak merasa perlu mlipir untuk mempelajari bagaimana model pemahaman Kristiani atas doktrin trinitas dan penyaliban Yesus. Kalau pun toh ada yang belajar, kerapkali bertujuan meneguhkan keyakinannya sendiri bahwa Yesus tidaklah disalib; bahwa ia bukan Anak Allah; bahwa ia bukan Tuhan dan manusia, atau; bahwa penyalibannya bermakna --ketimbang sia-sia. 

Kelompok ketiga, adalah kelompok minoritas. Yakni, mereka yang berupaya serius menemukan "jembatan," teologis merekonsiliasi fakta historis dan klaim dogmatis di internal umat Islam. Dengan sungguh-sungguh mereka merekonstruksi ulang --sekaligus mendialogkan kembali-- teks dan semangat alQuran dalam sirkuit kitab-kitab Abrahamik. 

Misalnya, dalam teks krusial alQuran, satu-satunya, seputar penyaliban (QS. 5:157), kelompok ini lebih memilih penafsiran; yang diserupakan/disamarkan adalah peristiwanya, bukan Yesus. Itu berarti, kelompok ini meragukan teori stuntman --bahwa yang disalib adalah orang lain yang diserupakan dengan Yesus-- yang menjadi doktrin mainstream Islam-Sunni. 

Dengan pemahaman antimainstream demikian, maka kelompok ini telah membuka gerbang terciptanya peluang menyisipkan "jembatan," agar terjadi dialog antara fakta historik dan klaim teologis di internal Islam. Yang paling menantang untuk "direkonsiliasi," justru seputar klaim keesaan. 

Kelompok 1 dan 2 terasa belum mampu membedakan antara Tuhan dan Ketuhanan. Ketuhanan lebih menyerupai sebuah sistem. Cakupannya lebih luas ketimbang tuhan. Presiden berbeda dengan kepresidenan, Islam tidak sama dengan  keislaman, begitu juga dokter dan kedokteran. Tuhan orang Kristen adalah satu, esa, dengan model  berketuhanan unik melalui Trinitas. 

Saya berharap tiga kuadran beserta sekelumit penjelasannya ini dapat menjadi terang bagi siapapun yang berkehendak merawat kebhinnekaan Indonesia. Selamat merayakan Paskah, merayakan kemenangan dari penderitaan Gusti Yesus.


Aan Anshori
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori


Sunday, April 5, 2020

CORONA. LGBT dan KEWARASAN KITA


Kadang kita merasa sudah berfikir waras menghadapi corona, sewaras cara kita menyikapi LGBT. Namun benarkah demikian?

***
Barusan aku pulang dari jalan-jalan, ngopi di dekat Stadion, Selasa (31/3). Warkopnya sepi, hanya ada 3 orang denganku, ditambah penjualnya. Jadi 4 orang.

Warkop ini adalah satu-satunya yang buka dan berwifi dari puluhan yang bisa aku temukan sepanjang Jl. Gus Dur hingga Jl. Hasyim Asyari dekat perempatan Mojosongo. Puluhan warkop terkena dampak meranggasnya corona di areal Jombang Kota. 

Aku membayangkan bagaimana nasib warkop-warkop yang selama ini menyangga denyut peradaban Kota Santri ini. Ya, akses high speed wifi membuat banyak orang lebih teredukasi, setidaknya mereka, para users warkop, bisa berproses secara online, termasuk keranjingan game, mengakses jurnal internasional, maupun sekedar menziarahi situs-situs dewasa macam pornhub atau xhamster.

"Aku dikurung tidak boleh keluar rumah dan menerima tamu selama 14 hari, gus," tiba-tiba teman dekatku mengirim WA setelah kopi disediakan. WAnya sebelum itu, memperingatkanku agar tidak menganggap remeh virus ini. 

Aku bisa memahami itu meskipun jujur saja aku tidak mengerti kenapa ia dikurung selama 14 hari. Bukankah itu protap standard penanggulangan corona?

"Statusku ODP," ujarnya pendek di WA.

"Whaaatt?! Kok bisa?" aku benar-benar bingung dibuatnya. Ia adalah teman yang sangat dekat denganku. Teman seperjuangan. beberapa hari lalu kami masih ngopi bersama dengan teman satunya lagi. Kami juga menyusun rencana panjang untuk kerja-kerja kemanusiaan.

"Masih ingat aku melayat orang meninggal kemarin? Nah gara-gara itu aku diminta tidak keluar rumah," tambahnya. Ia selanjutnya mengirimkan screenshot surat keterangan kematian orang yang dilayatnya. Dikeluarkan oleh RSUD kotaku. Aku baca pelan-pelan, berkali-lali, namun tidaj aku temukan ada kata corona, covid19 atau diksi-diksi yang mengarah ke sana.

"Aku yo bingung, gus, kematiannya tidak ada sangkut pautnya dengan corona tapi kebijakan 14 hari tak pelak membuatku dipersepsi yang tidak-tidak. Rasane melebihi jadi teroris," ia tertawa. Ada kegetiran di sana. Aku tahu ia sedang curhat dan sangat wajar. Sangat manusiawi. 

"Itulah.. Kita merasa dihakimi, dianggap pendosa," timpalku mencoba bersimpati.

Ia bersama pasangannya menerima pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi dari kolega maupun komunitasnya. Aku menduga, pertanyaan tersebut mengarah pada corona karena ia berstatus ODP "yang bermasalah," Dua kata terakhir itu merujuk pada ketidakakuratan status tersebut kecuali jika ia melayat orang yang terkena corona. 


Yang justru mengagetkanku adalah pertanyaan lanjutan yang dihujamkan padaku, "Sampyan dulu pas kasus LGBT ya gini ta gus?"

Aku tahu arah pembicaraannya. Ia tampak merasa terstigma dan mendapatkan stereotype negatif dengan status ODP-nya. Persis seperti yang pernah aku terima saat bersama kelompok LGBT, hingga sekarang.

"Jauh lebih buruk, sist. Tidak hanya menimpaku, namun juga pasangan dan anak-anakku," aku menambahkan. Aku kemudian memberinya beberapa contoh status-bullyan yang pernah aku terima --bahkan hingga sekarang. Status-status itu tersimpan abadi di internet.

"Bayangkan aku diberi label Ustadz cabul, ustadz penyuka lubang tahi, homo, penghuni neraka, ustadz sesat dan bahkan ada yang pernah bilang 'Kalau lihat mukanya Aan bawaannya pengen membunuhnya saja,'" tulisku padanya. 

Serangkaian status tersebut, tambahku, membuat diriku jauh lebih kuat dan, pada aspek tertentu, justru membuatku merasa lebih dewasa. 

Ya, oleh keadaaan, aku dipaksa agar sebisa mungkin menahan diri dan tidak marah. Dituntut lebih bisa bersabar meskipun sangat ingin menggampari satu per satu mereka yang menyalahpahamiku. 

Rasa sakitnya persis seperti dituding sebagai teroris --hanya karena ada sekelompok orang Islam yang mengebom gereja-gereja di Surabaya. Rasa pedihnya persis seperti ketika ada tenglang bermental rasis yang meremehkan setiap huana yang ia temui, huana sepertiku. 

Aku lupa bercerita pada temanku ini sebuah kejadian terkait LGBT dan aku. Begini kisahnya. 

Sekita 1-2 tahun lalu, aku menjadi guide rombongan dosen-dosen MKU sebuah universitas swasta ternama di Surabaya. Mereka berkunjung ke kampusku di Tebuireng. Saat mengantarkan mereka pulang, jalan kaki, dari kampus menuju bis mereka yang diparkir dekat PG. Tjoekir, seorang dosen dari rombongan mereka, mendekatiku. Kami berjalan beriringan, agak jauh dari rombongan besar.

Dengan terlebih dahulu meminta maaf, ia kemudian memberiku pertanyaan, "Mas, sampeyan ini aktifis atas pelaku LGBT?

Aku pura-pura kaget dan bertanya balik. "Maksudnya pelaku itu bagaimana ya mas?"

Ia kemudia menyebut nama seorang yang sangat terkenal, dedengkot gay di Surabaya yang juga merupakan teman dekatku. 

"Oooh itu maksudnya.. Aku hetero, mas. Anakku dua. Bojoku siji, ayu, anakke kiai kampung nang Gresik, mas" kataku sembari tertawa.

ia terus mengejarku dengan pertanyaan ketika mendengar kata "Gresik," dari penjelasanku. Pertanyaan-pertanyaan a la detektif. Rupanya sang dosen ini begitu mengenal Gresik.

Dengan agak malas, mau tak mau aku kemudian meladeni pertanyaan-pertanyaannya.

"Gresik Manyar, mas," ujarku
"Manyar ngendi?" ubernya
"Ngampel, mas" sahutku
"Lho aku kenal banyak orang Ngampel, Mas" ujarnya tak mau kalah.
"Oo begitu, berarti sampeyan kenal dengan kiai **tiiiitttttt*** --aku menyebut nama almarhum mertuaku****, dong?" tanyaku balik. Namun ia tidak menjawabnya. Alih-alih, dosen ini menyebutkan satu nama perempuan yang cukup familiar di telingaku. 

"Aku satu kelas dengannya di Bungah," ujarnya sembari menyebut nama perempuan tersebut.

Aku segera menatapnya tajam, mengidentifikasi ulang berapa kira-kira usia dosen ini. Ia lebih tua dariku, rasanya tidak mungkin dia sekelas dengan perempuan yang ia sebut tadi. Sebab, perempuan itu jauh dibawahku.

"Mas, yakin sampeyan gak salah nyebut nama perempuan itu? Apa namanya bukan ****tiiittttt***?" aku mencoba mengkoreksinya.

Dia kelihatan bingung dan segera memberiku tambahan informasi dimana perempuan itu tinggal sekarang dan aktifitasnya.

"....suaminya adalah kiai ***tiiiitttt*** dan sudah meninggal beberapa tahun lalu. Perempuan tersebut kini menjadi single parent dan mengelola yayasan pendidikan di desanya," aku menimpalinya dengan informasi tambahan.

"Betuuul sekali!" ia agak berteriak kegirangan. Entah karena apa. 

"Perempuan itu adalah anak keempat dari lima perempuan. Dia punya adik, si bungsu, juga jebolan Bungah," tambahku.

"Betul mas, konon adiknya iku pinter dan ayu, Tapi sebentar, mas, dari mana sampeyan tahu ini semua?" ujarnya heran

"Mas, perempuan teman sampeyan sekolah itu adalah kakak iparku," ujarku menjelaskan.

Ia terdiam, mungkin sedang dalam proses mencerna.

"Adiknya, yang sampeyan sebut ayu dan pinter iku bojoku," aku tambah ngakak. Ia melongo.

Kami terdiam sesaat. Hanya terdengar suara sepatu kami. Suasananya hening, sangat menyiksaku. Tak tahan, aku memilih membuka obrolan.

"Jadi, mas, terkait soal apakah aku aktifis atau pe...." 
"Tidak usah diteruskan, gus," ia segera memotong pembicaraanku, "... saya sudah tahu, nggak usah diteruskan. Saya minta maaf ya, Gus," katanya dengan intonasi yang sangat sopan. Sepertinya ia sudah tahu mertuaku.

Relasi kami selanjutnya menjadi sangat-sangat kaku dan canggung. Aku jadi nggak enak sendiri.

====

Lalu, apakah temanku nantinya terjangkit corona? Aku yakin tidak. Namun seandainya ia positif, aku takkan meninggalkannya, apalagi menstigmanya. 

Let's dance with it, not make it as horrible enemy. It is just our fear, that keeps taking away our sanity, is a thing that we should deal with.

Wednesday, April 1, 2020

COVID19 MUSUH KITA, BEGINI AKIBATNYA?


Banyak orang kaget kenapa ada warga yang sampai setega itu pada mayat terinfeksi covid19. Saya sendiri kaget dengan kekagetan mereka. Kaget karena kenapa mereka kaget dengan buah yang telah mereka tanam sendiri. Bukankah pagi, siang, sore dan malam hari mereka tidak henti-hentinya kampanye betapa jahatnya covid19? Jahat melampaui segala ragam penyakit yang tersedia. Bukankan mereka, kita semua, meletakkan covid dalam area peperangam dalam imajinasi kita? Ia adalah musuh, amarah Tuhan, dan entitas di mana semua kemarahan dan kebodoham kita kumpulkan di dalamnya. Kita bahkan rela menggelorakan perang padanya. 

Kita ogah salaman maupun berdekatan dengan orang lain karena dalam alam bawah sadar kita, setiap orang adalah inang dari covid19, musuk kita yang tidak tampak. 

Kita yang terbiasa visual menjadi amat frustasi karena covid19 bergerak tanpa bayangan, tidak bisa terdeteksi dengan mudah. Akan lebih mudah bagi kita seandainya ia berwujud nyata. Jelas bentuknya, alamatnya, sehingga memudahkan kita menghancurkanya. 

Namun nyatanya tidak. 

Kita sedemikian frustasi karena telah seminggu lebih dikurung dan dibombardir dengan aneka informasi kejahatan covid19, dan bagaimana beringasnya virius ini di negara-negara lain. Kita, secara tak sadar, seperti calon pengantin bom yang didoktrin dan brainwashing dengan berbagai informasi kejahatan musuh. 

Dan saat waktunya tiba, di tengah kefrustasian tersebut, kita butuh obyek visualisasi covid19 yang tak tampak ini. Ada gerakan yang sangat kreatif terkait bagaimana visualisasi dilakukan, yang pertama dengan menggunakan "teori kelas," --membenturkan kelompok kaya (borjuis) versus proletar (miskin). Covid19 ditempelkan pada kelompok kaya dan kelompok miskin harus menanggung akibatnya juga. Jika visualisasi ini tidak dilakukan dengan hati-hati, kita tahu sejauhmana hal ini akan berdampak.

Yang kedua, seperti yang tampak dari penolakan pemakaman jenazah penderita covid19. Kita sangat terobsesi melihat covid19 secara nyata dan, tanpa ampun, memosisikan jenazah sebagai representasi sahih musuh yang sejak dulu kita idamkan untuk dihancurkan dan dibenci hingga pori-pori. 

Kekagetan kita atas penolakan warga atas mayat terinfeksi covid19 senyatanya absurd. Kita meletakkan virus ini sebagai musuh yang pantas dobenci. Dan pada saat ada orang dengan taat melakukan itu, kita kaget. 

Sejujurnya, sangat nampak ada kesalahan serius bagaimana kita mengkerangkai covid19 dalam kesadaran kita. Jangan nyatakan perang pada virus ini. Sebaliknya, katakan, "Shall we dance, covid19?"

Featured Post

SEPUTAR LOKASI KELAHIRAN YESUS; MENYINGKAP KLAIM AL-QURAN

Sebelum aku menemukan tulisan Mustafa Akyol, "Away in a Manger... Or Under a Palm Tree?" terbit 7 tahun lalu di The New York Times...