Kadang kita merasa sudah berfikir waras menghadapi corona, sewaras cara kita menyikapi LGBT. Namun benarkah demikian?
***
Barusan aku pulang dari jalan-jalan, ngopi di dekat Stadion, Selasa (31/3). Warkopnya sepi, hanya ada 3 orang denganku, ditambah penjualnya. Jadi 4 orang.
Warkop ini adalah satu-satunya yang buka dan berwifi dari puluhan yang bisa aku temukan sepanjang Jl. Gus Dur hingga Jl. Hasyim Asyari dekat perempatan Mojosongo. Puluhan warkop terkena dampak meranggasnya corona di areal Jombang Kota.
Aku membayangkan bagaimana nasib warkop-warkop yang selama ini menyangga denyut peradaban Kota Santri ini. Ya, akses high speed wifi membuat banyak orang lebih teredukasi, setidaknya mereka, para users warkop, bisa berproses secara online, termasuk keranjingan game, mengakses jurnal internasional, maupun sekedar menziarahi situs-situs dewasa macam pornhub atau xhamster.
"Aku dikurung tidak boleh keluar rumah dan menerima tamu selama 14 hari, gus," tiba-tiba teman dekatku mengirim WA setelah kopi disediakan. WAnya sebelum itu, memperingatkanku agar tidak menganggap remeh virus ini.
Aku bisa memahami itu meskipun jujur saja aku tidak mengerti kenapa ia dikurung selama 14 hari. Bukankah itu protap standard penanggulangan corona?
"Statusku ODP," ujarnya pendek di WA.
"Whaaatt?! Kok bisa?" aku benar-benar bingung dibuatnya. Ia adalah teman yang sangat dekat denganku. Teman seperjuangan. beberapa hari lalu kami masih ngopi bersama dengan teman satunya lagi. Kami juga menyusun rencana panjang untuk kerja-kerja kemanusiaan.
"Masih ingat aku melayat orang meninggal kemarin? Nah gara-gara itu aku diminta tidak keluar rumah," tambahnya. Ia selanjutnya mengirimkan screenshot surat keterangan kematian orang yang dilayatnya. Dikeluarkan oleh RSUD kotaku. Aku baca pelan-pelan, berkali-lali, namun tidaj aku temukan ada kata corona, covid19 atau diksi-diksi yang mengarah ke sana.
"Aku yo bingung, gus, kematiannya tidak ada sangkut pautnya dengan corona tapi kebijakan 14 hari tak pelak membuatku dipersepsi yang tidak-tidak. Rasane melebihi jadi teroris," ia tertawa. Ada kegetiran di sana. Aku tahu ia sedang curhat dan sangat wajar. Sangat manusiawi.
"Itulah.. Kita merasa dihakimi, dianggap pendosa," timpalku mencoba bersimpati.
Ia bersama pasangannya menerima pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi dari kolega maupun komunitasnya. Aku menduga, pertanyaan tersebut mengarah pada corona karena ia berstatus ODP "yang bermasalah," Dua kata terakhir itu merujuk pada ketidakakuratan status tersebut kecuali jika ia melayat orang yang terkena corona.
Yang justru mengagetkanku adalah pertanyaan lanjutan yang dihujamkan padaku, "Sampyan dulu pas kasus LGBT ya gini ta gus?"
Aku tahu arah pembicaraannya. Ia tampak merasa terstigma dan mendapatkan stereotype negatif dengan status ODP-nya. Persis seperti yang pernah aku terima saat bersama kelompok LGBT, hingga sekarang.
"Jauh lebih buruk, sist. Tidak hanya menimpaku, namun juga pasangan dan anak-anakku," aku menambahkan. Aku kemudian memberinya beberapa contoh status-bullyan yang pernah aku terima --bahkan hingga sekarang. Status-status itu tersimpan abadi di internet.
"Bayangkan aku diberi label Ustadz cabul, ustadz penyuka lubang tahi, homo, penghuni neraka, ustadz sesat dan bahkan ada yang pernah bilang 'Kalau lihat mukanya Aan bawaannya pengen membunuhnya saja,'" tulisku padanya.
Serangkaian status tersebut, tambahku, membuat diriku jauh lebih kuat dan, pada aspek tertentu, justru membuatku merasa lebih dewasa.
Ya, oleh keadaaan, aku dipaksa agar sebisa mungkin menahan diri dan tidak marah. Dituntut lebih bisa bersabar meskipun sangat ingin menggampari satu per satu mereka yang menyalahpahamiku.
Rasa sakitnya persis seperti dituding sebagai teroris --hanya karena ada sekelompok orang Islam yang mengebom gereja-gereja di Surabaya. Rasa pedihnya persis seperti ketika ada tenglang bermental rasis yang meremehkan setiap huana yang ia temui, huana sepertiku.
Aku lupa bercerita pada temanku ini sebuah kejadian terkait LGBT dan aku. Begini kisahnya.
Sekita 1-2 tahun lalu, aku menjadi guide rombongan dosen-dosen MKU sebuah universitas swasta ternama di Surabaya. Mereka berkunjung ke kampusku di Tebuireng. Saat mengantarkan mereka pulang, jalan kaki, dari kampus menuju bis mereka yang diparkir dekat PG. Tjoekir, seorang dosen dari rombongan mereka, mendekatiku. Kami berjalan beriringan, agak jauh dari rombongan besar.
Dengan terlebih dahulu meminta maaf, ia kemudian memberiku pertanyaan, "Mas, sampeyan ini aktifis atas pelaku LGBT?
Aku pura-pura kaget dan bertanya balik. "Maksudnya pelaku itu bagaimana ya mas?"
Ia kemudia menyebut nama seorang yang sangat terkenal, dedengkot gay di Surabaya yang juga merupakan teman dekatku.
"Oooh itu maksudnya.. Aku hetero, mas. Anakku dua. Bojoku siji, ayu, anakke kiai kampung nang Gresik, mas" kataku sembari tertawa.
ia terus mengejarku dengan pertanyaan ketika mendengar kata "Gresik," dari penjelasanku. Pertanyaan-pertanyaan a la detektif. Rupanya sang dosen ini begitu mengenal Gresik.
Dengan agak malas, mau tak mau aku kemudian meladeni pertanyaan-pertanyaannya.
"Gresik Manyar, mas," ujarku
"Manyar ngendi?" ubernya
"Ngampel, mas" sahutku
"Lho aku kenal banyak orang Ngampel, Mas" ujarnya tak mau kalah.
"Oo begitu, berarti sampeyan kenal dengan kiai **tiiiitttttt*** --aku menyebut nama almarhum mertuaku****, dong?" tanyaku balik. Namun ia tidak menjawabnya. Alih-alih, dosen ini menyebutkan satu nama perempuan yang cukup familiar di telingaku.
"Aku satu kelas dengannya di Bungah," ujarnya sembari menyebut nama perempuan tersebut.
Aku segera menatapnya tajam, mengidentifikasi ulang berapa kira-kira usia dosen ini. Ia lebih tua dariku, rasanya tidak mungkin dia sekelas dengan perempuan yang ia sebut tadi. Sebab, perempuan itu jauh dibawahku.
"Mas, yakin sampeyan gak salah nyebut nama perempuan itu? Apa namanya bukan ****tiiittttt***?" aku mencoba mengkoreksinya.
Dia kelihatan bingung dan segera memberiku tambahan informasi dimana perempuan itu tinggal sekarang dan aktifitasnya.
"....suaminya adalah kiai ***tiiiitttt*** dan sudah meninggal beberapa tahun lalu. Perempuan tersebut kini menjadi single parent dan mengelola yayasan pendidikan di desanya," aku menimpalinya dengan informasi tambahan.
"Betuuul sekali!" ia agak berteriak kegirangan. Entah karena apa.
"Perempuan itu adalah anak keempat dari lima perempuan. Dia punya adik, si bungsu, juga jebolan Bungah," tambahku.
"Betul mas, konon adiknya iku pinter dan ayu, Tapi sebentar, mas, dari mana sampeyan tahu ini semua?" ujarnya heran
"Mas, perempuan teman sampeyan sekolah itu adalah kakak iparku," ujarku menjelaskan.
Ia terdiam, mungkin sedang dalam proses mencerna.
"Adiknya, yang sampeyan sebut ayu dan pinter iku bojoku," aku tambah ngakak. Ia melongo.
Kami terdiam sesaat. Hanya terdengar suara sepatu kami. Suasananya hening, sangat menyiksaku. Tak tahan, aku memilih membuka obrolan.
"Jadi, mas, terkait soal apakah aku aktifis atau pe...."
"Tidak usah diteruskan, gus," ia segera memotong pembicaraanku, "... saya sudah tahu, nggak usah diteruskan. Saya minta maaf ya, Gus," katanya dengan intonasi yang sangat sopan. Sepertinya ia sudah tahu mertuaku.
Relasi kami selanjutnya menjadi sangat-sangat kaku dan canggung. Aku jadi nggak enak sendiri.
====
Lalu, apakah temanku nantinya terjangkit corona? Aku yakin tidak. Namun seandainya ia positif, aku takkan meninggalkannya, apalagi menstigmanya.
Let's dance with it, not make it as horrible enemy. It is just our fear, that keeps taking away our sanity, is a thing that we should deal with.
No comments:
Post a Comment