Pages

Thursday, June 25, 2020

Mei 98 di Surabaya; Raja Pengemis dan Vagina Yang Terkoyak


Bulan Mei baru saja pergi. Namun memori kelamnya tetap tinggal di sana. Abadi. Di bulan itu, titik penting dalam sejarah peradaban Indonesia dimulai.

Saat itu Orde Baru tumbang digantikan Reformasi. Ibarat bayi yang lahir, transisi ini diiringi oleh pertaruhan nyawa. Ada darah yang meleleh, terutama dari tubuh banyak perempuan Tionghoa. Lelehan ini menuntut kita untuk terus terjaga dan berefleksi.

Meski terus menjadi kontroversi karena tidak pernah terselesaikan secara hukum, aroma kekerasan seksual Mei 1998 di Surabaya tetap menyeruak, melalui laporan TGPF Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Catatan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) menyebut korban terbanyak ada di Jakarta, sekitar 152 orang. Di Solo, Medan dan Surabaya secara akumulatif ada 16 korban. Menurut penelitian Usman Hamid dkk. terdapat 2 korban di Surabaya. Namun benarkah hanya dua, dan sejauhmana kebenarannya?

Geger Dunia Persilatan
Dari disertasi Jemma Purdey, Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999, dapat diketahui kerusuhan terjadi malam hari 14 Mei hingga hampir subuh. Sekitar 6-7 truk bergerak menuju wilayah Semampir Surabaya Utara, diiringi beberapa sepeda motor.

Penjarahan pun terjadi di banyak toko milik Tionghoa. Pelakunya berusia antara 18-30 tahun dengan dialek bahasa daerah tertentu. Rumor yang berkembang, mereka selama ini dikenal kerap mengkonsolidasi diri untuk hajatan kriminal, istilah lain dari geng.

Entah apa yang sesungguhnya terjadi malam itu selain penjarahan. Yang pasti, setelah 6 minggu pascaperistiwa, tepatnya 1 Juli 1998, harian Jawa Pos memuat tulisan dengan judul yang mengagetkan "Ketua Konghucu Surabaya Ungkap Perkosaan Surabaya," Koran Surya pada hari yang sama juga menerbitkan tulisan dengan judul "WNI Cina Diperkosa dalam Kerusuhan Surabaya,"

Adalah Bingky Irawan yang berani mengatakan peristiwa itu melalui media. Tokoh agama yang dikenal dekat dengan Gus Dur tersebut mengaku dicurhati orang tua para korban. Ia menyatakan ada ketakutan dan kepedihan luar biasa di kalangan Tionghoa atas peristiwa perkosaan tersebut, meski ia tidak bersedia menyebutkan peristiwa tersebut secara detil, termasuk jumlahnya.

Atas pemberitaan ini, aparat kepolisian terlihat gusar dengan pria ini. Bingky diancam akan dipenjarakan jika tidak bisa mempertanggungjawabkan statemen di media. "It is hope that people do not make comments which are without evidence and fact. This can cause people to become restless. Let us work to creating an atmosphere of calm," kata M. Dayat, Kapolda Jawa Timur di Harian Surabaya Post 1 Juli 1998 dengan judul "Bingky akan Dipanggil Kapolda," sebagaimana saya kutip dalam disertasi Purdey.

Pada tanggal 2 Juli, harian Suara Indonesia menurunkan berita dengan judul, "Yang Ada Hanya Pengrusakan, Bingky Ditunggu Pasal Kebohongan," Di dalamnya, wartawan mengutip seseorang bernama Mahmud, penduduk setempat. "I am convinced that there is an aim to discredit certain member of society. If indeed this is the case, why not just report it to the authorities. This is era of reform,"

Nampaknya Mahmud merasa tersinggung dengan sinyalemen Bingky yang menyebut pelaku kerusuhan menggunakan dialek bahasa lokal tertentu. Sangat mungkin Mahmud adalah pengguna dialek tersebut, yang secara tak sadar telah menggeser isu; dari kekerasan seksual menjadi konflik berbasis etnis. Jawa Pos di hari yang sama juga memuat berita "Jika Tak Benar, Bingky Bisa Dituntut," Isinya, statemen aparat kepolisian yang mengancam Bingky akan dituntut jika pernyataannya fitnah belaka.

Saya membayangkan betapa berkecamuknya hati dan pikiran senior saya ini saat itu. Ia tengah menghadapi konsekuensi berat atas kejujuran dan keberaniannya menyatakan apa yang menimpa kelompoknya.

Bingky akhirnya menghadap aparat kepolisian sekitar tanggal 10 Juli 1998. Entah apa yang mereka obrolkan selama di dalam. Saat keluar, Bingky tetap tidak mau menjelaskan lebih detil atas pernyataannya, "Ya nanti saja. Jika saya bicara sekarang, bisa geger dunia kang ouw (persilatan) nanti," ujarnya seperti ditulis dalam Surabaya Post 11 Juli, "Geger Dunia Kang Ouw,"

Silat Sang Pengemis
Menariknya, saat ia mendatangi kantor polisi, alih-alih menggunakan setelan jas atau pakaian resmi lainnya, Bingky malah justru memakai setelan yang oleh Jawa Pos ditulis sebagai "kaipang" atau " jiang bao".

Kaipang adalah perkumpulan para pengemis dalam cerita silat Tionghoa. "Ya betul jubah rohaniwan. Jadi Kaipang saat itu, raja pengemis, wong cino kere kata Gus Dur," katanya ketika saya konfirmasi via whatsapp Menurut Bingky, ia diberi gelar ICMI oleh Gus Dur, kepanjangan dari Ikatan Cino Melarat Indonesia.

Dengan pakaian seperti itu, Binky seperti ingin menyatakan pesannya ke publik secara gamblang; Tionghoa sedang mengemis keadilan atas peristiwa 14-15 Mei, dan rohaniawannya sendiri yang maju. Sendirian. Bingky nampak sengaja berlaku satir.

Kedekatannya dengan Gus Dur saat itu tak pelak mendekatkan pria ini dengan jaringan kerjanya, terutama di lingkaran NU Jawa Timur. Dugaan saya, dengan modalitas inilah Bingky mempercayai Choirul Anam, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur saat itu, bertemu korban dan saksi. Dan benar, sekitar tiga hari setelah Bingky mendatangi panggilan polisi, Cak Anam memberikan statement yang dimuat Jawa Pos esoknya, 14 Juli, dengan judul sangat kuat "Ansor Benarkan Adanya Perkosaan,"

Saya melihat Bingky tengah memainkan jurusnya dengan lihai; dengan cara "meminjam" otoritas pemimpin puluhan ribu pasukan Banser untuk memperkuat ceritanya, tanpa perlu berhadapan dengan polisi, atau membahayakan identitas para Korban.

Simpang-siur Korban
Lalu berapa jumlah korban menurut Bingky? Menurut wawancara Purdey dengannya, jumlahnya sekitar 10an. Angka ini lebih besar ketimbang laporan yang ditulis Usman Hamid dkk. namun lebih sedikit dari temuan Gema Sukma dan Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD).

Dari hasil investigasinya, keduanya mengklaim terdapat 19 korban perkosaan dan 6 penyerangan seksual. Aksi memalukan yang semuanya terjadi di Surabaya Barat itu kebanyakan dilakukan di dalam ruko. Ansor Jawa Timur juga mengklaim terdapat 2 perempuan etnis Arab yang juga menjadi sasaran kekerasan dalam peristiwa 14-15 Mei tersebut.

Baik Bingky maupun Hesti, aktifis Gema Sukma, keduanya kerap menerima teror untuk tidak meneruskan aktifitasnya. "I received a lot of threatening telephone calls, they started by asking what my ethnicity was, then they threatened me if I continued my involvement in this problem," kata Hesti dalam berita koran Surya 14 Juli 1998, "Hesti: Tak Akan Terpejam," sebagaimana dikutip Purdey.

Hingga disertasi Purdey dipublikasikan, hanya 20% saja Korban memilih tetap tinggal di Surabaya, sisanya hidup di berbagai kota di Indonesia. Saat delegasi Taiwan datang ke Surabaya dan bertemu Bingky, beberapa dari korban mendapat tawaran dukungan medis maupun tempat mengungsi.

***
Peristiwa ini sudah 20 tahun terjadi. Mungkin luka fisik para Korban sudah mulai membaik. Kondisi psikologisnya ditekan sedemikian rupa agar bisa menerima kenyataan ini. Situasinya pasti sungguhlah berat; hidup dalam ketakutan dan bayang-bayang aib jika menyampaikan ke publik. Bangsa ini berhutang banyak permintaan maaf pada mereka.

Sedangkan bagi pelaku, mereka mungkin telah melupakannya, atau malah justru menceritakan "kegagahan" itu dengan bangga ke temannya. Saya berharap akan ada salah satu dari mereka yang berani melakukan testimoni ke publik dan meminta maaf. Sebab, bangsa ini perlu terus diuji apakah bisa memberi pengampunan atau tetap tidak dewasa memandang kesalahan. (*)



**** pernah dimuat di asumsi.co sebelum akhirnya raib :D

Sunday, June 7, 2020

CERITA DI KILOMETER 44


Hari ini, usiaku bertambah (atau berkurang?). Jika dihitung, sudah 44 tahun aku hidup dan berproses di dunia ini. Entah berapa ratus film yang sudah aku tonton. Yang terakhir, tadi jam 23.30, berjudul "The Visitor," Betapa aku sangat menyukainya. 

Tak pernah menyangka aku bisa menikmati hidup penuh liku-liku. Dididik dalam tradisi Islam-Sunni yang relatif ketat, termasuk dengan aneka pengalaman yang ada di dalamnya. Tanpa pernah merasa akan berada dalam sebuah situasi di mana aku mulai mempertanyakan doktrin-doktrin klasik  yang telah lama terinstal.

Masih terasa sekali memori betapa aku merasa tidak senang dengan orang yang  berbeda agama, khususnya Kristen, dan juga Tionghoa. Memori masa kecilku yang sering mengolok waria dan ikut sekumpulan orang dewasa memburu anjing --untuk dibunuh ramai-ramai, masih juga mengendap di otakku. 

Aku sungguh bersyukur dengan memori tersebut, yang telah menjadi modalitasku untuk bisa berdamai dengan hal-hal tersebut, pada akhirnya. 

Tuhan memang penuh teka-teki. Bagaimana tidak, aku kini malah justru didekatkan dengan hal-hal yang dulu aku takuti dan benci. Lebih dari separuh teman FBku beragama Kristen/Katolik. Bergaul dengan transgender, keluar-masuk gereja, adalah aktifitas yang cukup dominan, setidaknya dalam 15 tahun terakhir ini. Yang lebih "parah," sudah dua semester ini aku mengampu kelas di mana 95% mahasiswanya adalah Tionghoa. 

Aku bersyukur atas hidupku, atas setiap hal yang telah dianugerahkan padaku. Termasuk anugerah bisa nongkrong di warung kopi dan online tiap hari. Ke pasar, bersepeda, belanja, masak, membaca dan menulis apapun yang aku inginkan. 

Mungkin hidupku lebih mirip bapakku --lelaki yang bisa dikatakan punya kekurangan dalam kepiawaiannya berbisnis. Tidak seperti ibuku. Bapakku orang politik. Waktunya dihabiskan untuk rapat, mengetik, dan mengarsip file ---ketimbang berbisnis. 

Pada tahun itu, 80an, saat aku kecil, ia berseberangan dengan Golkar. Otomatis ia tidak suka dengan Soeharto. Ia mungkin tidak menyadari bahwa anaknya ini, laki-laki yang sedang menulis ini, lahir pada tanggal yang sama dengan orang yang dibencinya. 

Kalau ingat pak Harto, aku jadi ingat seseorang. Orang besar dengan nama sangat mentereng, melampaui Puncak Himalaya. Ia meninggal sama dengan tanggal aku lahir, 8 Juni. 

Kematiannya bisa dikatakan tragis. Mungkin itu sebabnya tidak dirayakan layaknya orang besar.

Mungkin sekitar 2-3 hari sebelum meninggal, ia jatuh sakit. Tidak diketahui secara persis apa sebabnya. Namun dari informasi yang tersedia, ia sakit sehabis memakan daging yang dimasak seorang perempuan Yahudi. Kabarnya, daging itu dibubuhi racun olehnya, dengan sengaja. 

Perempuan ini melakukannya didorong keinginan balas dendam atas apa yang dianggapnya telah dilakukan laki-laki itu, tidak hanya terhadap ayah dan saudara-saudaranya, namun juga kelompoknya. 

Laki-laki itu dianggap bertanggung jawab atas kematian mereka saat menyerang desanya. 

Sewaktu perempuan tersebut ketahuan meracuninya, para pengawal laki-laki itu langsung meminta izin untuk membunuhnya. Namun izin tidak diberikan. 

Laki-laki itu terus berjuang dengan rasa sakit yang dialaminya. Ia begitu menderita akibat daging tersebut. Tubuhnya limbung tak berdaya. Ia kemudian memilih tinggal bersama salah satu istrinya, yang sangat ia sayangi. Hingga akhirnya meninggal, dipelukan sang istri. 

Yang menarik, sebelum meninggal, ia berpesan dengan nada marah agar para pengikutnya bertindak keras terhadap orang Yahudi dan Kristen. Sangat mungkin pesan itu muncul akibat kondisinya yang tidak sehat. 

Entahlah. Namun uniknya, hingga saat ini negara di mana ia dilahirkan masih steril dari pemeluk dua agama tersebut, persis seperti desaku. 

Inilah kisahku. Di titik yang ke-44. 

Selamat ulang tahun, untuk diriku sendiri.

Saturday, June 6, 2020

MENGHORMAT SUMATERA BARAT


Aplikasi Injil berbahasa Minangkabau seketika lenyap dari playstore setelah surat Gubernur Sumatera ramai di media sosial. 

Siapapun pejabat publiknya ---apalagi selevel menteri-- sepanjang KTPnya tidak Islam, akan mengkeret jika disomasi untuk urusan yang dianggap sensitif. 

Pancasila, UUD 45, UDHR, dan aneka kovenan yang menjamin kesetaraan dan kemerdekaan ekspresi keagamaan, minggir dulu. Fokus utama Menteri, bagaimana agar si Bungsu di Sumatera Barat yang susah dewasa berhenti tantrum karena fobia.

Ini tidak berarti  sang menteri takut, namun sebaliknya, aku melihat ia merupakan kakak yang sangat perhatian pada adiknya. Tidak tega melihat si bungsu kepanasan melihat ada alkitab berbahasa Minang. Pak Menteri seperti tengah menjalankan perannya sebagai seorang Katolik sejati; work out his own salvation with fear and trembling (Phillipians 2 12).


Benarlah adanya. Orang yang sedang tantrum karena fobia tidak boleh dibully, dimaki, dicemooh atau dikritik. Itu sangatlah tidak bijak. Semakin ia diperlakukan seperti itu, semakin sulit sembuh, dan yang terparah, semakin lukanya menganga. 

Entah tantrum karena fobia atau motif politik elektoral, namun ketakutan terhadap kekristenan adalah nyata. Orang seperti Gubernur Sumatera Barat perlu diajak bicara, dilawat, diajak ngobrol, disowani, terutama oleh PGI atau KWI dengan ditemani ormas Islam Sumbar yang masih moderat --jika ada. 

Semakin interaksi antara Islam dan Kristen/Katolik terjadi di sana, semakin besar peluang fobia akan sembuh. Tanpa interaksi yang intensif, Pancasila hanya akan jadi pajangan. 

Hal ini tentu tidaklah mudah. Ketakutan dan rasa gentar selalu akan mengiringi hal tersebut. Padahal, dua perasaan itu kerap membuat kita tidak nyaman dan sering memaksa kita menghindarinya. 


Pagi ini, aku akhirnya bisa menginstal aplikasi Injil Minangkabau yang sudah raib dari playstore. Dengan cara ini, dan menuliskannya untuk publik, aku merasa telah menghormat Sumatera Barat, sebagai seorang Muslim.

Aku buka beberapa halama aplikasi tersebut dan membayangkan teman-temanku berbicara dengan logat Minang. Aku tertawa-tawa sendiri membayangkannya. 

Selanjutnya aku mencari salah satu ayat yang aku kenal. Ayat ini telah lama aku dengar --baik ketika digunakan melengkapi citra rasa humor atau saat khotbah. Ayat ini pula yang menjadi pusat perhatianku sewaktu menonton "Imitation Game," karena digunakan sebagai kunci enkripsi sandi dalam film tersebut.

"Mintaklah, mako angkau ka mana-rimo. Carilah, mako angkau ka man-dapek. Tokoklah pintu, mako pintu ka dibukakkan untuak angkau."

*** warkop pasar pithik

Thursday, June 4, 2020

ANDAI GUS DUR PAKAI FACEAPP


Aku tidak bermaksud kurang ajar, namun seandainya Gus Dur masih hidup, punya banyak waktu main gadget dan mencoba FaceApp untuk mengetahui bagaimana akan tampak dalam wujud feminin, sangat mungkin akan mirip gambar ini; foto ibunya -- bu nyai Solichah putri KH. Bisri Syansuri --kiai yang kabarnya sangat kokoh menjaga ortodoksi hukum Islam. 

Dalam hukum Islam bergaya ortodok, perempuan adalah sepenuhnya penjaga medan domestik, bukan di arena publik. 

Namun lihatlah putrinya, tampil berpidato di hadapan para habib dan banyak kiai, saat acara majelis ta'lim di Masjid Luar Batang Penjaringan Jakarta Utara. Entah tahun berapa. 

Di forum tersebut, beliau setidaknya mengutip dua petuah yang kerap dinisbatkan kepada Sayyidina Ali karrama allohu wajhah menyangkut betapa pentingnya ilmu pengetahuan ketimbang harta benda. Mungkin dalam konteks kekinian; betapa pentingnya tembus Scopus, Sinta 1, 2 dan Sinta 3. 

Bu nyai Solichah dalam pandanganku tergolong sakti. Betapa tidak, saat NU mengalami kontraksi hebat pada 1984 dan terbelah menjadi dua kubu; Cipete (KH. Chalid Mawardi dkk.) dan Situbondo (Gus Dur dkk.), beliau tampil menginisiasi rekonsiliasi. 

Bayangkan, kultur NU yang sangat patriarkhi dan maskulin, kala itu --entah saat ini, terasa luluh dan lumer di hadapan perempuan berwibawa ini.

Sekira tanggal 10 September 1984, di Pesantren Ngelom Sepanjang, beliau menghadiri acara tahlilan. Dengan pengaruhnya yang sangat besar, ia sanggup "memaksa," para kiai-kiai besar dari dua kubu untuk membuat Maklumat Keakraban. 

Maklumat bersejarah itu ditandatangani tujuh ulama terkemuka; KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, KH. Idham Chalid, KH. Macrus Aly, KH. Masjkur, KH. Saifuddin Zuhri dan KH. Achmad Siddiq.

Sangat jelas bahwa orang tua bu Nyai Sholichah telah mendidiknya sangat optimal, sehingga membuatnya mampu  melakukan kerja-kerja edukatif cum rekonsiliatif seperti ini. 

Namun tahukah kalian siapa nama nenek dari Nyai Sholichah? Ini yang baru aku tahu. Menurut Wikipedia namanya Mariah --bentuk lain dari Maria, Mary, Mirriam, Merriam. 

Ya, seperti nama ibunya Yesus.

*warkop Pasar Pithik Pasar Legi -- sebelum lockdown seperti Pasar Peterongan.